Thursday, January 25, 2024

Meneroka Jiwa (02)

 *_MENEROKA JIWA_*


*Bab 02. Pupus*


oleh Kaia Karnika



Wangi segera berjongkok, memungut serabi yang terserak di lantai. Tangannya gemetar, jantungnya berdetak lebih kencang. Ia memejamkan mata sejenak, seolah berusaha memperbaiki penglihatannya. Lalu perlahan mendongak, berharap matanya tadi keliru mengirim informasi ke area oksipital¹. Namun, kali ini ia tidak bisa memungkiri, pria yang datang bersama Linda itu memang Wisnu.

"Siapa yang mengundangmu ke sini?" tanya Linda yang sudah berdiri di sebelahnya. Salah satu kakinya menginjak sepotong serabi yang hendak diambil Wangi.

Wangi menggeleng. Seolah ada yang mencekik leher sehingga otot laringnya tak sanggup merangsang pita suara untuk mengeluarkan kata.

"Kalau tidak diundang, kenapa datang?" Linda kembali mengeluarkan perkataan pedas.

Wangi tak menyahut. Ia tahu tidak akan ada jawaban yang memuaskan Linda, dan ia tidak peduli. Di kepalanya hanya sibuk mengingat isi pesan Wisnu tadi. Apakah ini berarti Wisnu berbohong dengan mengatakan dirinya sakit? Apakah pertanyaan Wisnu mengenai rencana kedatangannya ke Gelem adalah upaya untuk memastikan tidak ada pengganggu yang merusak rencana lamarannya besok? Ia mengalihkan pandangan ke arah Wisnu yang berdiri di belakang Linda. Lelaki berkacamata itu hanya terpaku membisu, tak menduga kehadirannya.

"Heh! Ditanya diam saja! Kenapa datang ke sini?" Nada suara Linda kian meninggi kala Wangi tak juga menjawab dan hanya memperhatikan Wisnu.

Wangi menelan ludah sebelum menjawab, "Hanya mau silaturahmi." Ia mengalihkan pandangan ke arah serabi yang masih diinjak Linda. Tinggal satu itu yang belum dipungutnya.

"Ada apa ribut-ribut?" Sri yang mendengar suara keras anaknya berjalan cepat menuju teras. Ia tak dapat menutupi kekagetannya begitu melihat kehadiran Wangi.

"Ada tamu tidak diundang, Bu!" sahut Linda ketus. Disepaknya serabi yang tadi diinjak ke hadapan Wangi.

Sri ingin menumpahkan makian kepada Wangi, tetapi urung dilakukan begitu melihat kehadiran Wisnu. "Oh ... ya sudah, itu tolong dibereskan saja serabinya." Ia berupaya terlihat bijaksana di hadapan calon menantunya.

"Njih, Bu," sahut Wangi sembari memungut serabi. Tak ada satu pun serabi yang selamat untuk bisa diberikannya kepada keluarga Wiryo. "Maaf oleh-olehnya tumpah semua, Bu." Ia berusaha menahan diri agar suaranya tidak bergetar.

Sejak Wangi kecil, Bu Sri melarangnya untuk menangis, bahkan ketika mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Apa pun yang terjadi, ia harus tersenyum atau minimal tidak menunjukkan kemurungannya. Dimarahi, dicaci, bahkan dipukuli, ia hanya boleh diam. Jika berontak, maka hukuman kurungan di kandang kambing dan kehilangan jatah makan akan diterimanya.

"Ya sudah, buang di dapur sana!" perintah Sri.

Wangi berdiri, mengulurkan tangan hendak menyalami ibu angkatnya.

Sri menepis tangan Wangi. "Tanganmu kotor itu, lo!" Ia mengibaskan tangan, mengisyaratkan Wangi untuk segera masuk ke rumah agar tidak sempat berbincang dengan Wisnu.

Linda menyusul Wangi yang menuju dapur.

"Heh! Kamu pasti datang untuk mengacaukan lamaranku besok, 'kan!" tuduh Linda sambil menarik bahu Wangi.

"Aku tidak tahu kalau kamu mau dilamar besok," bela Wangi, "baru tahu tadi dari Rini."

"Halah, pembohong!"

"Aku bahkan baru tahu kalau Wisnu yang akan melamarmu," ujar Wangi sembari kembali berjalan menuju dapur. Belum usai perih setelah mendengar perkataan Yati, sekarang ditambah pedih karena pengkhianatan Wisnu. Yang lebih menyakitkan adalah ketidakterusterangan Wisnu terhadap hubungannya dengan Linda.

"Jadi kamu tidak suka Wisnu melamarku?" Linda tidak terima.

"Aku tidak bilang begitu," sanggah Wangi.


Sanggahan Wangi membuat darah Linda kian mendidih. "Asal kamu tahu, Wisnu itu tidak ada rasa kepadamu. Ia hanya baik padamu karena kasihan, bukan cinta. Kamu saja yang mengkhayal kejauhan. Persis ibumu. Dasar sama-sama gila!"

Wangi menelan ludah, hatinya teriris. Sekuat mungkin ia menahan air mata, tak mau menumpahkan di hadapan Linda. Ia membuang semua serabi yang dimaksudkan sebagai oleh-oleh ke tempat sampah, mencuci tangan, lalu bersiap untuk segera hengkang dari rumah ini.

"Jangan bicara sepatah kata pun dengan Wisnu! Pamit pada ibu, langsung pergi! Lain kali kalau tidak disuruh datang, tidak usah ke sini!" Linda tetap menguntit di belakang Wangi, memastikan perempuan itu tidak meminta penjelasan dari Wisnu.

Wangi berjalan ke arah teras. Dilihatnya Wisnu sedang berbicara dengan Sri dan Rini.

"Saya pamit pulang, Bu," ucap Wangi sambil menyalami tangan ibu angkatnya.

Sri hanya mengulurkan tangan, tanpa berucap apa pun. Wajahnya menunjukkan ketidaksenangan atas kehadiran Wangi.

Wangi menoleh ke arah Rini dan Wisnu, lalu berkata, "Pamit."

Ia menatap Wisnu sejenak, seolah minta penjelasan, tapi tak ada reaksi apa pun dari lelaki itu. Wisnu bahkan mengalihkan bola matanya, tak mau menatap Wangi.

Helaan napas panjang dari hidung Wangi membarengi langkahnya keluar dari teras. Hatinya bak diiris sembilu melihat reaksi Wisnu. Apa salah dirinya sehingga mendapat perlakuan seperti itu dari lelaki yang selama ini justru selalu ada untuk membela? Jika seorang Wisnu sampai tega melakukan hal semacam ini, apalagi orang lain. Mungkin benar kata Linda, Wisnu tidak pernah mencintainya. Mungkin ia berdelusi, persis seperti ibunya yang meyakini bahwa Rhoma Irama jatuh cinta padanya.

Perlahan dicopot cincin perak pemberian Wisnu yang melingkar di jari manisnya, lalu dilempar ke sungai tak jauh dari rumah keluarga Wiryo. Ia tak perlu penjelasan apa pun, takkan ada yang bisa membuat acara lamaran Linda besok berubah, tak mungkin membuat Wisnu membatalkan niatnya.

Seketika itu, ia menyadari bahwa ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan, terpaksa mengakui bahwa cinta memang tidak tercipta untuknya. Pupus sudah semua mimpi bahagia. Takkan ada seorang lelaki yang akan jatuh cinta padanya. Lebih baik mengunci hati daripada tersakiti lagi.

***

Wangi menghela napas panjang sambil menutup pintu bilik kamar mandi yang baru saja selesai dibersihkannya. Perih di dada akibat pengkhianatan Wisnu masih dirasakannya walau sudah terjadi sepuluh hari lalu. Kalau soal hinaan Yati dan Linda, itu sudah biasa didapat, lebih mudah dilupakan kendati tetap meninggalkan luka. Namun, kesedihan akibat patah hati ternyata tak hilang kendati sudah menangis berhari-hari.

"Mbak, kalau mau beli serabi yang enak di mana, ya?" tanya seorang wanita yang sedang berdiri di depan wastafel.

Serabi lagi! Makanan yang kembali mengingatkan Wangi pada lukanya.

Wangi memandang ke arah perempuan berusia sekitar 50-an dan bergaya modis yang barusan bertanya. Dari logat dan pertanyaannya jelas bukan orang Solo. Sudah pasti salah satu turis domestik yang berkunjung ke mal tempatnya bekerja.

"Ada beberapa, Bu. Kalau yang paling banyak diminati serabi Notosuman Ny. Lidya, tidak jauh dari sini, sekitar empat kilo. Di dekatnya juga ada serabi Ny. Handayani. Katanya enak juga. Kalau mau yang lebih tradisional, jualan pakai gerobak di Pasar Kleco, tapi lebih jauh, sekitar sembilan kilo," jawab Wangi informatif.

"Kok, katanya? Memang Mbak belum pernah coba?" tanya perempuan tadi dengan senyum lebar.

Wangi tersenyum malu. "Kalau buat saya, hitungannya mahal, Bu. Saya belinya yang murah saja."


"Kalau kuliner untuk makan siang yang khas banget, jarang ditemukan di tempat lain, apa yang enak, Mbak? Saya tidak mau yang di mal ini. Kemarin siang dan malam sudah makan di sini karena menginap di hotel sebelah."

Wangi mengerutkan dahi, matanya nyaris terpicing, bibirnya berkerut, menandakan ia sedang berpikir. "Banyak sih, Bu. Cuma kalau ibu mau yang khas banget, ada namanya pecel sambel tumpang. Beda dengan pecel biasa, yang ini bumbunya terbuat dari campuran tempe, tahu, dan krecek. Setahu saya, tidak banyak daerah yang bisa memproduksi ini, karena tempenya khusus, namanya tempe bosok."

"Tempe bosok?"

"Tempe bosok itu tempe yang proses fermentasi lebih lama dari biasanya, lebih dari 72 jam, tapi masih aman dikonsumsi," jelas Wangi mengingat saat membantu tetangga membuat tempe bosok.

"Enak?"

"Kalau buat saya sih enak, Bu." Wangi nyaris mengeluarkan air liurnya membayangkan kenikmatan sambel tumpang.

"Di mana saya bisa beli itu?"

"Di sambel tumpang pecel Bu Kis, dekat Pengadilan Negeri Surakarta. Dekat, hanya sekitar satu kilo dari sini. Atau kalau Ibu mau sekalian beli serabi, ada Selat Solo Mbak Lies tidak jauh dari serabi Notosuman."

"Selat Solo yang daging giling berbentuk seperti lontong itu, ya?"

"Betul, Bu. Ada tambahan sayuran dan kuah kental rasa asam manis."

"Wah, tampaknya saya harus coba, ya. Terima kasih informasinya."

"Semoga kunjungannya di Solo menyenangkan, Bu."

Perempuan itu memandangi Wangi beberapa saat. Gadis di hadapannya bertubuh kurus dan tampak kuyu. Meski bersimbah peluh, tapi pembersih toilet ini ramah dan tidak malas menjawab. Beberapa kali ditemuinya orang yang malas bicara dan hanya menjawab "tidak tahu" sebagai cara cepat menghentikan tanya jawab.

Ia lalu meraih tasnya yang diletakkan di dekat wastafel, kemudian berjalan ke arah pintu keluar sambil menyempatkan diri menyelipkan selembar uang kertas ke tangan Wangi.

Wangi tak menduga gerakan perempuan itu. Dilihatnya selembar uang 50 ribu berada di genggamannya. "Bu, ini banyak sekali!" Matanya melebar tak percaya.

Perempuan itu menoleh ke arah Wangi seraya tersenyum. "Buat makan siangmu," sahutnya lalu meneruskan langkah.

"Matur nuwun sanget, Bu. Terima kasih banyak," ucap Wangi girang.

Ia lalu menyelipkan uang tersebut ke kantongnya, memutar tubuh hendak kembali bekerja. Sekonyong-konyong matanya melihat sebuah syal di wastafel. Segera diambilnya, menebak ini adalah syal milik ibu dermawan tadi. Ia berlari ke luar, berharap perempuan tadi masih belum terlalu jauh pergi. Namun, upayanya sia-sia walau sudah melongok ke beberapa gerai dekat toilet, tak ada sosok wanita dermawan itu. Ia memandangi syal yang digenggamnya sambil berpikir bagaimana cara menemukannya.

"Mikirin siapa sih, kok, melamun?" goda Eni, teman Wangi sesama petugas kebersihan mal.

"Ini ada ibu-ibu ketinggalan syal di toilet."

Eni memerhatikan syal yang dipegang Wangi. "Laporkan ke lost and found. Kalau itu syal mahal, yang punya pasti mencari. Kalau tidak, berarti murahan. Kamu ambil saja."

Wangi tersenyum, mengikuti saran Eni untuk melapor ke bagian terkait dan berharap agar perempuan tadi segera kembali begitu menyadari miliknya tertinggal.

***

Hingga jam 4 sore, perempuan pemilik syal tidak kembali ke toilet, juga tidak melapor ke bagian lost and found mal. Mungkin tidak menyadari kalau syalnya tertinggal. Atau bisa jadi seperti yang Eni sampaikan, hanya syal murahan. Namun, bagi Wangi, bukan masalah murah mahalnya, tapi kehilangan sebuah benda pastilah menyedihkan.


Setelah bernegosiasi dengan supervisornya untuk berusaha mencari empunya syal dan berbekal ingatan samar-samar tentang tempat menginapnya di hotel sebelah mal, Wangi bergegas mendatangi sepulang bekerja. Berharap agar ingatannya tidak kacau gara-gara putus cinta.

"Mas Ranto!" panggil Wangi begitu melihat petugas concierge² hotel yang kebetulan adalah tetangganya.

"Eh, Wangi. Ono opo?" Ranto menanyakan keperluan Wangi. Tidak biasanya perempuan itu melewati hotel tempatnya bekerja.

"Ini tadi ada perempuan ketinggalan syal di toilet. Katanya menginap di sini."

"Siapa namanya?"

"Aku tidak tahu. Dia cuma bilang kemarin menginap di sini."

"Lah, trus piye³?" Ranto kebingungan bagaimana cara menemukan pemilik syal di antara ratusan penghuni hotel tanpa tahu nama. Bisa jadi orang tersebut sudah check-out. Ini lebih rumit daripada menemukan pemilik sepatu kaca di cerita Cinderella.

"Aku ingat wajahnya." Wangi tidak akan lupa wajah perempuan yang memberinya uang 50 ribu secara cuma-cuma.

"Yo, ndak bisa cuma itu saja, to."

"Kalau boleh, aku tunggu di sini. Biar bisa mengecek tiap tamu yang datang atau ke luar hotel."

Ranto melongo. "Lah kalau orangnya sudah check-out, piye?"

"Ya, tidak apa-apa, yang penting sudah usaha mencari."

"Yo wis karepmu⁴! Mau nunggu di mana? Ndak boleh di lobi, hanya untuk tamu." Ranto ikut kebingungan mencari tempat Wangi menunggu.

"Di situ," sahut Wangi sambil menunjuk ke pohon rindang tak jauh dari seberang lobi. Sepertinya posisi di pohon itu akan memudahkannya untuk melihat ke arah tamu yang datang dan pergi. "Boleh, ndak?"

"Boleh, nanti tak bilang satpam. Memangnya syal mahal?" Ranto penasaran dengan pengorbanan Wangi.

"Mboh, tidak tahu." Wangi mengangkat bahu. "Nuwun, Mas." Setelah mengucapkan terima kasih, ia lalu beranjak menuju pohon.

Satu jam ... dua jam ... hingga Magrib batang hidung perempuan itu belum terlihat.

Ranto yang mulai merasa iba, menghampiri Wangi. "Kamu Magrib dulu sana, nanti kubantu menanyakan siapa pemilik syal itu. Kayak apa ciri-cirinya?"

"Aku sedang datang bulan, kok, Mas. Aku tunggu sini saja."

"Sampai kapan?"

"Sampai jam setengah sembilan. Kalau tidak ketemu juga, aku taruh lagi syal ini di lost and found mal. Tadi perjanjian dengan supervisorku begitu."

Ranto menggeleng-gelengkan kepala, tak bisa memahami sekaligus tak kuasa menghalangi.

Wangi melanjutkan aktivitasnya, memantau tamu yang datang dan pergi. Perut keroncongan diabaikannya, tak mau membalas air susu dengan air tuba.

Jarum sudah menunjukkan pukul 8.30 malam. Orang yang dicari belum juga kelihatan.

Wangi mengembuskan napas panjang. Jangan-jangan betul kata Ranto, orang itu sudah check-out. Jika tidak berjanji pada supervisornya untuk kembali menaruh syal ini di lost and found sebelum mal tutup, ingin rasanya menanti hingga tengah malam. Dengan berat hati, ia menghampiri Ranto, hendak pamit sekaligus mengucapkan terima kasih telah mengizinkannya mengamati para tamu.

Baru saja menginjakkan kaki di teras depan lobi, sebuah mobil sedan hitam berhenti, sepasang lelaki dan perempuan turun sambil berpamitan dengan orang yang mengantar mereka.


Wangi nyaris meloncat kegirangan. Perempuan itu adalah si pemilik syal.

"Bu," sapa Wangi riang.

Perempuan bertubuh langsing itu terkejut melihat kehadiran pembersih toilet mal. "Hai, ada apa?"

Wangi menyodorkan syal, "Ini punya Ibu, 'kan?"

Perempuan itu kian terkejut. Ia tidak menyadari syalnya tertinggal. "Betul, punya saya. Ketinggalan, ya?"

"Iya, Bu. Maaf saya tidak sempat mengejar ibu saat masih di mal." Wangi semringah, perjuangannya tidak sia-sia.

"Ya ampun! Jadi merepotkanmu, ya."

"Tidak, kok, Bu. Saya permisi, Bu." Wangi bergegas pamit.

"Eh, tunggu!" Perempuan itu segera mengeluarkan dompet.

Wangi dapat menebak apa yang akan dilakukan perempuan itu. "Tidak usah, Bu. Pemberian ibu tadi siang saja masih utuh. Pareng, Bu." Ia segera pamit dan berlari menjauh. Tak mau disangka mengharapkan pamrih.

Sebuah senyum tercipta di bibir plum-nya, setitik bahagia muncul di hati. Berbuat baik memang selalu menjadi obat terbaik, dengan seketika cukup mengurangi kesedihan patah hatinya. Cinta boleh pupus, tapi tidak dengan nurani.

"Ada apa?" tanya lelaki yang bersama perempuan pemilik syal.

"Syalku tertinggal di toilet mal. Gadis itu menemukannya. Dia pembersih toilet," ujar si perempuan sambil memperlihatkan syalnya.

"Kok, dia bisa tahu kamu di sini?" tanya lelaki yang merupakan suami perempuan itu.

Si perempuan mengernyitkan dahi, mempertanyakan hal yang sama. Ia kemudian menghampiri petugas concierge yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka. "Mas, perempuan tadi sengaja menunggui saya?"

Ranto mengangguk. "Iya, Bu. Katanya dia cuma ingat kalau ibu bilang menginap di sini, tapi tidak tahu nama ibu. Jadi, dia memutuskan untuk menunggu, siapa tahu ketemu."

"Dari jam berapa dia menunggu?" tanya si suami.

"Sekitar jam 4 kalau tidak salah." Ranto teringat ia baru memulai giliran tugasnya ketika Wangi datang.

"Astaga!" Si perempuan terperangah. Dalam hati merasa bersalah. Harga syal ini tidak seberapa dibanding pengorbanan gadis itu menunggunya.

Si suami melirik Rolex di pergelangan tangan kirinya. "Hampir lima jam menunggumu."

"Iya, sudah saya suruh pulang, ndak mau. Milih nunggu di bawah pohon itu. Untung akhirnya bisa bertemu Ibu," sahut Ranto sambil menunjuk ke arah pohon tempat Wangi menunggu.

"Kamu kenal?" tanya si perempuan.

"Kenal, Bu. Dia indekos di sebelah rumah saya," jawab Ranto.

Si perempuan semringah. "Saya minta nomor teleponnya, boleh?"

"Saya ndak punya, Bu. Namun, akan tanya ke adik saya yang sering ngobrol dengannya. Nanti saya infokan ke kamar Ibu." Ranto memberikan solusi.

"Terima kasih, Mas," ucap si perempuan lalu melangkah masuk ke lobi setelah menginformasikan nomor kamarnya kepada Ranto.

"Mau kasih apa ke gadis itu?" tanya si suami.

Si perempuan mengangkat bahu. "Entahlah, belum terpikir. Aku kagum dengan sikapnya. Hanya untuk sebuah syal tidak berarti saja dia rela berkorban, menunggu hampir lima jam. Kamu bisa bayangkan bagaimana dia menjaga sesuatu yang sangat berharga."

-----


Note:

¹ Oksipital: bagian di otak yang bertugas mengenali objek yang ditangkap oleh indera penglihatan.


² Concierge: salah satu bagian di hotel yang berperan untuk melayani para tamu sekaligus sebagai pusat informasi sepanjang para tamu tinggal atau bermalam di hotel tersebut.


³ Trus piye: lalu bagaimana (Bahasa Jawa)


⁴ Yo wis sak karepmu: ya sudah, suka-suka kamu (Bahasa Jawa)


*****


Bersambung....

No comments:

Post a Comment