Friday, January 26, 2024

Meneroka Jiwa (11)

 *_MENEROKA JIWA_*

*Bab 11. Ketakterdugaan*


oleh KaiaKarnika



Wangi membasuh muka di wastafel, mengusir penat. Rapat yang baru saja dihadirinya bersama tim HR nyaris menghabiskan waktu istirahat. Ia melirik arloji usangnya, pukul 12.50. Ia punya waktu 10 menit untuk mengisi perutnya yang keroncongan.

Saat keluar dari toilet, matanya menangkap sosok Endah–pramukantor–di ruang servis yang pintunya sedikit terbuka. Ruang servis yang terletak di seberang toilet itu berfungsi sebagai dapur sekaligus tempat para pramukantor atau office boy/girl beristirahat. Dari celah pintu yang terbuka, terlihat Endah menghitung uang, menarik napas panjang, mengelap keringat di dahi, lalu terduduk lemas sambil memegangi perutnya.

Dengan cepat, Wangi dapat memperkirakan apa yang dialami Endah. Tidak punya cukup uang untuk makan siang. Sesuatu yang pernah dialaminya beberapa kali. Segera diambil bekal makan siang pemberian Mbok Yam di ruang kerjanya, lalu menemui Endah.

"Mbak Endah," panggil Wangi sambil mengetuk pintu.

Endah, si pramukantor itu sedang meminum air putih untuk memenuhi perutnya yang kosong.

"Eh, Mbak Wangi. Ada perlu apa, Mbak? Sendok?" terka Endah yang umurnya lebih tua 2 tahun dibanding Wangi.

"Saya kebetulan masih kenyang banget, padahal bawa bekal makan siang. Mbak Endah mau?" Wangi meletakkan kotak makan di meja, kemudian membukanya. "Silakan, Mbak."

Mata Endah berbinar. Nasi, tumis kangkung, dan telor balado di kotak makan Wangi menggoda salivanya.

"Kamu sungguh tidak makan?" Endah memastikan.

"Masih kenyang banget, Mbak," jawabnya berbohong sambil membuat teh manis hangat untuk mengganjal perutnya. Pekerjaannya lebih banyak duduk dibanding tugas Endah yang menuntut kesigapan bergerak, sehingga perempuan itu pasti lebih membutuhkan makanan untuk energi. 

Endah dengan cepat menyambar sendok yang terletak tidak jauh dari posisinya. "Alhamdulillah, rezeki. Terima kasih banyak, ya, Mbak Wangi." Ia tidak menyangka mendapat makanan di saat tak punya cukup uang dari orang yang penampilannya lebih lusuh daripada dirinya.

"Sama-sama, Mbak."

"Mbak Wangi saudaranya siapa?" tanya Endah sambil mulai melahap makan siang pemberian Wangi.

Dahi Wangi berkerut, tidak sepenuhnya paham maksud Endah. "Saya anak tunggal, Mbak. Tidak punya saudara."

Endah terkikik. "Maksud saya, siapa di kantor ini yang saudaranya Mbak Wangi? Kebanyakan karyawan baru punya saudara yang sudah terlebih dahulu bekerja di sini," jelasnya.

Wangi teringat pembahasan bersama almarhumah bu Damayanti, bahwa unsur kekerabatan menjadi salah satu faktor dalam merekrut karyawan di perusahaan keluarga. "Tidak ada saudara di sini, Mbak. Saya ditawari kerja oleh bu Rani, tapi tidak ada hubungan apa pun."

"Berarti Mbak kelompok minoritas, harus hati-hati. Di sini, orang-orang yang masih ada hubungan saudara dengan keluarga Utama, kelakuannya semena-mena, gayanya selangit."

"Masa, sih, Mbak? Tampaknya direksi bersikap baik pada semua karyawan." Wangi sangsi dengan pendapat Endah.

"Kalau direksi pada baik semua, Mbak. Yang banyak tingkah justru anak dan saudara-saudaranya, merasa punya perusahaan. Mereka suka menindas dan bersikap semena-mena. Kalau sesama mereka salah, tidak ada hukuman, paling banter ditegur. Sementara, yang bukan keluarga, sudah kerja keras bagai kuda, kalau salah pasti didamprat habis-habisan," ungkap Endah bersemangat. Semangat makan, sekaligus semangat bergosip.

"Oh, gitu, ya, Mbak?" Wangi menyeruput tehnya.

Endah mengangguk yakin, lalu berbisik, "Terutama keluarganya pak Mahendra."


"Keluarganya pak Mahendra itu... " Wangi ingin memastikan.

Endah menyela, "Pak Aghas, kedua adiknya–bu Astri dan bu Adisty–beserta saudara lainnya."

"Bu Astri itu yang rambutnya dicat pirang? Di divisi yang sama dengan pak Aghas, 'kan?" Wangi teringat sosok perempuan yang tak kalah pongah saat rapat minggu lalu.

"Betul. Dia manajer penjualan divisi produk durable. Kalau bu Adisty ada di divisi keuangan."

"Oh, itu adiknya pak Aghas," gumam Wangi, tak menampik perkataan Endah tentang kepongahan Aghastyan dan Astri.

Endah terus mencerocos, "Di sini ada dua kubu, Mbak. Kubu pak Aghas dan pak Samudra. Mereka berdua tidak akur. Aneh, ya, sepupu tapi musuhan."

Endah jeda sejenak, menelan makanan di mulut, lalu kembali melanjutkan," Walaupun pak Sam kelihatan lebih serius dan galak daripada pak Aghas, tapi aslinya dia lebih baik. Pak Aghas kelihatan saja suka senyum-senyum, padahal kalau ngomong suka nyakitin. Sayangnya, pak Sam kalah pendukung karena adiknya–pak Dirgantara–tidak mau lagi bekerja di sini, memilih untuk keluar gara-gara konflik dengan pak Aghas."

Meski masih ingin menggali tentang hal semacam ini, tapi teringat pesan Banyu untuk menghindari bergosip. Wangi menghabiskan tehnya, lalu bersiap kembali ke ruangan.

"Mbak Endah, saya balik ke ruangan dulu, ya," ucap Wangi sembari berjalan ke tempat cuci piring dan mencuci cangkirnya.

"Oke. Ini nanti kotak makannya saya bersihkan terlebih dahulu, ya. Sekali lagi, terima kasih, loh," ucap Endah seraya terus menikmati makan siang gratisnya.

"Sama-sama. Biasanya pulang jam berapa, Mbak?"

"Kalau shift pagi, jam tiga sudah pulang. Kalau shift siang, jam 8 malam. Untung saya selalu dapat shift pagi."

"Memangnya kenapa, Mbak?" tanya Wangi sambil mengembalikan cangkir teh yang sudah dicucinya ke rak.

"Saya takut ketemu setan kalau kerja sampai malam," sahut Endah tergelak. "Makanya jangan mau kalau disuruh lembur, Mbak!"

Wangi tertawa, berjalan ke arah pintu. "Memang ada setan di gedung ini?"

"Setan mah di mana-mana juga ada, Mbak," jawab Endah sambil sengaja tertawa melengking seperti kuntilanak.

Wangi terkikik campur ketakutan, otaknya dengan cepat membayangkan dedemit di gedung bertingkat ini. Ia bergidik sembari membuka pintu ruang servis.

Saat yang sama, pintu toilet pria yang berada persis di seberang ruang servis terbuka. Aghastyan berjalan ke luar dari kamar kecil. Lelaki itu menyeringai begitu melihat sasaran empuk perisakan muncul di hadapannya.

Wangi kaget bukan kepalang. Tak menduga berpapasan dengan Aghastyan. Bayangan dedemit di kepalanya, seolah menjelma menjadi wujud dengan seringai lebar di hadapannya. Spontan ia menjerit, "Setaaan!"

"Heh!" bentak Aghastyan melotot, menghampiri Wangi yang berdiri kaku di depan ruang servis.

Endah yang mendengar teriakan Wangi, bergegas ke luar. Ia pun tak kalah terkejut begitu melihat Aghastyan berang.

Wangi kelimpungan, menyadari telah melakukan kesalahan fatal. "Eh, ma-maaf, Pak." Wangi memegangi dadanya, napasnya tersengal.

"Kamu benar-benar kurang ajar! Minggu lalu mengatai saya asu, sekarang setan. Ini tidak bisa dimaafkan, saya akan lapor ke HR!" ancam Aghastyan lalu pergi meninggalkan Wangi yang masih sibuk menormalkan detak jantungnya.

Endah mengusap pundak Wangi, memastikan kejadian barusan. "Kamu barusan teriak 'setan', ya, Mbak? Pas melihat pak Aghas?"

Wangi mengangguk lemah.


Endah tak dapat menahan tawa. Betapa ia sangat ingin punya kesempatan melakukan hal tersebut, memaki Aghastyan.

"Duh... Pak Aghas pasti mengadu ke bu Shinta atau bu Rani, nih." Wangi tak dapat menutupi kecemasannya. Ia memaki dirinya yang sering tidak mampu mengendalikan reaksi menghadapi situasi tak terduga.

"Kamu yang bawa ke sini bu Rani, 'kan?" Endah memastikan cerita Wangi tadi.

Wangi mengangguk.

"Tenang saja, tidak bakal dipecat kalau bawaan bu Rani. Kamu cuma perlu tahan kuping dimaki bu Shinta saja." Endah menepuk pundak Wangi memberi semangat.

Wangi menarik napas panjang, pasrah dimaki dengan umpatan terkasar sekalipun. Ia berjalan gontai menuju ruang kerjanya.

Belum lama Wangi berada di meja kerjanya, Shinta membuka pintu ruangan, lalu berteriak, "Wangi! Dipanggil bu Rani ke ruangannya. Sekarang!"

Wangi kian terkulai lemas, kian intens pula menggigiti jemari. Ancaman Aghastyan barusan bukan gertak sambal. Lelaki itu pasti mengadu kepada tantenya.

"Kenapa? Kamu berbuat salah?" tanya Eko melihat ekspresi Wangi.

Wangi mengangguk, tapi tidak punya energi dan waktu menjelaskan.

"Tenang, Ngi. Bu Rani tidak sesadis bu Shinta, kok. Dia baik," ujar Eko membesarkan hati Wangi.

Wangi memaksa dirinya tersenyum. Justru karena kebaikan Rani yang membuatnya kian merasa bersalah. Perempuan itu pasti kecewa pada kekurangajarannya.

Sepanjang lorong menuju ruang Rani, mulut Wangi sibuk merapal doa dan merangkai ucapan permintaan maaf beserta penjelasan atas insiden yang terjadi.

"Siang, Bu," sapa Wangi begitu memasuki ruangan Rani.

"Siang," sahut Rani sambil mengambil tas dan ponselnya. Ia mengamati Wangi sejenak, lalu memberikan perintah, "Ambil tasmu, lalu ikut saya ke gudang!"

Wangi menurut, bergegas mengambil tas, kendati bertanya-tanya mengapa harus membawa tas dan diajak ke gudang. Otaknya sibuk membayangkan skenario buruk, mulai dari kemungkinan dimarahi habis-habisan di gudang sepi lalu dipecat sampai yang paling mengerikan yaitu disiksa hingga mati kemudian mayatnya dibuang beserta semua identitas.

"Kita punya gudang di daerah Serpong. Saya rutin berkunjung ke sana, minimal sebulan sekali," ujar Rani saat keduanya berjalan menuju lift.

Wangi berusaha fokus dengan perkataan Rani sembari mengusir kekhawatiran. "Kontrol, ya, Bu?"

"Betul. Meskipun manajer HR dan manajer GA sudah rutin mengontrol kondisi di sana dua minggu sekali, saya selalu usahakan datang minimal sebulan sekali. Menurutmu, mengapa saya melakukan itu?"

Rani memberikan kesempatan Wangi berpikir. Wangi yang masih dirundung kecemasan, butuh waktu lama untuk memikirkan alasan Rani melakukan hal tersebut.

"Untuk menunjukkan perhatian kepada karyawan di sana, ya, Bu?" Wangi akhirnya mencoba menjawab saat mereka berdua telah keluar dari lift menuju lobi.

"Tepat sekali. Pada dasarnya, manusia senang diperhatikan, dianggap penting. Semua orang dalam organisasi, apa pun pekerjaan mereka, memiliki peran penting. Tidak boleh dianggap remeh, bahkan seorang pramukantor sekalipun." Rani memberi nasihat.

"Kalau pramukantor tidak masuk, keadaan di kantor akan berantakan, ya, Bu," sahut Wangi.

"Pasti! Itu sebabnya, semua karyawan pun harus meyakini bahwa mereka berkontribusi, punya andil bagi keberlangsungan perusahaan, termasuk kamu," ujar Rani dengan senyumnya yang menenangkan.


Wangi tersenyum. Berharap perkataan Rani barusan bukan merupakan sindiran atas kelakuan buruknya.

Sebuah mobil Audi A4 berwarna argus brown metallic berhenti di depan lobi. Rani mengajak Wangi memasuki mobil, duduk bersebelahan dengannya di kursi belakang.

Wangi melongo begitu memasuki mobil mewah Rani yang harganya lebih dari 1 milyar itu. Interior hitam elegan mengilap, aroma vanila menyegarkan, jok kulit mewah. Wangi merasa dirinya paling kumal, bahkan dibanding pelek mobil.

Sepanjang perjalanan, Rani menceritakan tentang beberapa filosofi kepemimpinan yang diajarkan ayahnya, Mahdi Utama, sang pendiri perusahaan.

Wangi asik mendengarkan dan menanggapi, antusias dengan semua pembelajaran yang dibagi Rani. Lupa dengan kecemasannya akan insiden Aghastyan, lupa juga berada dalam kendaraan tertutup dengan penyejuk udara yang seringkali membuatnya mabuk perjalanan.

Setelah menempuh perjalanan hampir 1 jam, mereka sampai di gudang milik PT Utama Media yang terletak di daerah Serpong. Pada areal seluas hampir 5.000 m² itu terdapat bangunan berwarna biru abu-abu dengan pepohonan rindang di sepanjang pagar, sehingga tidak terkesan gersang. Beberapa ruangan yang berfungsi sebagai kantor administrasi dan ruang rapat berada di sisi depan bangunan. Sementara selebihnya merupakan tempat penyimpanan produk alat kesehatan sebelum disalurkan kepada konsumen.

Rani memperkenalkan Wangi kepada para staf gudang, meluangkan waktu untuk menanyakan kabar para karyawannya dan masalah dalam bekerja. Setelah cukup lama berbincang, ia mengajak Wangi berkeliling, mengecek sarana dan prasarana gudang. Terlihat beberapa karyawan sedang memasukkan barang-barang ke sebuah kontainer di bagian belakang gudang. Seorang lelaki bertubuh tegap berdiri mengawasi, sesekali ia berbicara dengan karyawan lain yang memegang beberapa lembar dokumen di atas papan clipboard.

"Hai, Sam!" sapa Rani.

Lelaki bertubuh tegap itu menoleh. "Hai, Tan. Sudah lama datang?"

Rani melirik arloji Chopard di pergelangan tangan kirinya. Pukul 15.00. "Sekitar satu jam. Mau dikirim ke mana ini?" Dagunya digerakkan ke arah kontainer.

"Makassar," sahut Samudra.

Wangi memerhatikan Samudra. Dari data karyawan yang baru saja diperbaruinya, lelaki ini berumur 31 tahun. Namun, wajahnya yang terkesan serius dan jarang tersenyum membuatnya terlihat jauh lebih matang  dibanding Aghastyan yang hanya selisih beberapa bulan. 

Saat yang bersamaan, ponsel Rani berdering. Ia mengambil telepon selulernya, sambil berkata, "Sam, ada yang mau kubicarakan, tapi sebentar, ya, ini Aghas telepon."

Wangi tertunduk lemas mendengar nama Aghastyan disebut. Ia bak terdakwa menunggu eksekusi. Dipasangnya kuping dengan tajam, mencoba mencuri dengar pembicaraan Rani dengan Aghastyan.

"Pertama kali ke sini?" tanya Samudra.

Wangi gelagapan, tak menduga Samudra bertanya kepadanya. "I-iya, Pak. Kalau Bapak?" tanyanya spontan. Tidak sampai sedetik, ia langsung mengumpat kebodohannya. Untuk apa mengajukan pertanyaan macam itu, sudah pasti bukan pertama kali Samudra datang ke gudang. Ini gudang milik kakeknya!

Dahi Samudra berkerut, kemudian menarik sedikit ujung bibirnya saat menyadari kecanggungan yang mungkin menghinggapi Wangi. "Saya sudah beberapa kali ke sini."

Wangi cengar-cengir, salah tingkah.

Samudra lantas bercerita mengenai produk yang ditangani oleh divisinya, mengisi waktu menunggu Rani selesai bicara dengan sepupunya.

Wangi mengeluarkan buku catatannya, menuliskan beberapa informasi penting yang dipaparkan Samudra. Sesekali ia mengajukan pertanyaan mengenai produsen, konsumen, dan strategi pemasaran alat kesehatan disposable yang dikelola Samudra.


Samudra tersenyum dalam hati. Perempuan ini punya rasa ingin tahu yang besar, perhatian terhadap hal-hal sepele, dan juga cara berpikir yang cukup logis. Tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi dan berasal dari desa kecil bukanlah hambatan untuk berprestasi selama mampu membangkitkan motivasi. Ia mengakui bahwa tantenya memang cukup jeli mendeteksi potensi.

"Sorry," ucap Rani begitu sambungan teleponnya dengan Aghastyan usai.

"Ada masalah?" tanya Samudra.

"Sedikit," jawab Rani.

Wangi menarik napas panjang, pasti masalah yang dimaksud bu Rani adalah antara Aghastyan dengan dirinya. Ia merasa harus meminta maaf dan menjelaskan duduk permasalahan dari sudut pandangnya.

"Saya minta maaf, Bu. Saya benar-benar tidak bermaksud mengatai pak Aghas," ucap Wangi pelan dengan kepala tertunduk, tak sanggup memandang wajah Rani.

Samudra mengernyitkan kening, memandang Wangi dan tantenya dengan bingung. "Ada apa?"

Rani tersenyum. "Kita ke ruangan, yuk!" ajak Rani sambil merangkul Wangi. Ia memberi kode pada Samudra untuk mengikutinya.

Senyuman dan rangkulan Rani menurunkan ketegangan Wangi.

Sesampainya di dalam ruangan yang diperuntukkan bagi para pimpinan puncak perusahaan apabila mereka berkunjung ke gudang, Rani mempersilakan Wangi duduk di sofa. Ia lalu mengambil segelas air putih dan menyodorkannya kepada Wangi.

"Apabila kamu sedang takut atau cemas, cara untuk menenangkan diri adalah mengambil jeda sejenak dari aktivitas. Rileks, atur napas, dan minum. Itu langkah awal yang efektif menurunkan ketegangan," ujar Rani dengan nada lembut. Ia kemudian duduk berdampingan dengan Wangi.

Samudra memilih duduk di meja kerja, tak jauh dari sofa, kemudian mengaktifkan laptopnya.

"Te-terima kasih, Bu." Wangi teramat sungkan dengan perlakuan Rani yang sangat baik, seolah tidak marah keponakannya dikatai asu dan setan. Ia mengikuti saran Rani, mengatur napas lalu meminum air putih.

"Aghas memang sudah cerita kepada saya, tetapi saya juga ingin dengar dari sudut pandangmu. Kalau kamu sudah tenang, silakan bercerita," pinta Rani dengan senyum terus mengembang di bibirnya.

Wangi memandangi Rani. Seumur hidup, baru kali ini ia bertemu perempuan dari kalangan atas berhati besar seperti Rani. Perasaan bersalah menyelimuti, matanya memanas seketika.

"Sebelumnya, saya berterima kasih Ibu memberikan saya kesempatan bicara. Saya minta maaf kalau tindakan saya mengecewakan Ibu," ujar Wangi dengan suara serak. Setengah mati ia menahan diri agar tidak menangis, bukan karena takut dipecat, tapi lebih disebabkan perasaan bersalah kepada Rani.

Rani mengangguk disertai senyuman.

Samudra menatap layar laptop, tetapi memasang telinga terhadap perbincangan dua wanita di seberangnya.

Wangi pun menceritakan insiden "asu" dan "setan", tentunya menutupi bagian gosip tentang keluarga Utama dari Endah untuk menyelamatkan perempuan itu.

Rani tergelak usai Wangi bicara. Tak bisa membayangkan ekspresi kesal Aghas ketika diteriaki "setan" oleh Wangi.

Samudra mengatupkan bibir, berusaha menahan tawa. Matanya melirik ke arah Wangi, mencoba memberikan penilaian kepada perempuan itu.

Rani berusaha mengendalikan tawanya, lalu berkata pada Wangi, "It's okay, Wangi. Hal semacam ini adalah kesalahpahaman biasa di kantor. Saya tahu betul kelakuan Aghas seperti apa, jadi kamu tidak usah khawatir."

Wangi terperanjat. "Sa-saya tidak dipecat, Bu?"

Senyum lebar terulas di bibir Rani. "Atas dasar apa? Menyingkat nama GM dan berteriak kaget? Sama sekali bukan alasan pemecatan, bahkan tidak cukup untuk sebuah teguran lisan."

Wangi mengembuskan napas lega,  tidak dapat berkata-kata saking girangnya. Kekagumannya pada Rani kian besar. Perempuan ini punya cara pandang yang bijaksana.

"Tidak usah khawatir, nanti saya yang akan bicara pada Aghas," ujar Rani sambil mengusap pundak Wangi.

Ponsel Rani kembali berdering. Ia meminta izin untuk mengangkat. Usai sambungan telepon ditutup, ia mendiskusikan beberapa hal penting terkait pekerjaan bersama Samudra dan Wangi.

"Sam, kapan kamu pulang?" tanya Rani di akhir diskusi mereka.

"Sekarang," sahut Samudra.

"Dari sini mau ke mana? Balik kantor?" tanya Rani lagi.

Samudra menggeleng. "Langsung pulang. Mau ke gimnasium."

"Boleh aku titip Wangi? Tadi kakaknya mas Firman telepon, ingin bertemu di rumahnya daerah Alam Sutra," pinta Rani yang harus menemui kakak suaminya di arah berlawanan dengan lokasi rumah Wangi.

Rani menambahkan, "Wangi tinggal di daerah Bintaro. Tadi sudah kuminta membawa tas, jadi tidak perlu kembali ke kantor." Ia memperkirakan jarak dari gudang ke rumah Wangi tidak sejauh ke kantor.

"Oke," sahut Samudra. Ia mematikan laptop dan bersiap pulang.

Wangi terkejut, tak menduga permintaan Rani dan persetujuan Samudra. "Saya bisa naik kendaraan umum dari sini, Bu... Pak." Ia nekat, walaupun tidak tahu angkutan apa yang harus dinaikinya.

"Memangnya kamu sudah pernah ke daerah Serpong?" tanya Rani sangsi.

Wangi terdiam. Dua minggu hidup di ibu kota, ia hanya tahu rute rumah Banyu ke kantor.

Rani dengan mudah mengartikan respons Wangi. "Kamu itu belum lama di sini. Bisa nyasar, tahu!" Rani menjinjing tasnya, lalu mengajak semua keluar bersama.

Samudra berjalan bersisian dengan tantenya, sedangkan Wangi mengekor di belakang mereka.

"Pasti cerita versi Aghas berbeda, ya," tebak Samudra dengan suara pelan agar tak terdengar oleh Wangi.

Rani tersenyum, tak ingin menjelek-jelekkan Aghas di depan Samudra. "Kamu sudah tahu seperti apa sepupumu, bukan?"

Jawaban tak langsung Rani, membenarkan dugaan Samudra.

"Oke, sampai besok, ya, Ngi," ucap Rani begitu mereka tiba di depan lobi. Ia mengusap pundak Wangi, seolah berusaha menyakinkan bahwa semua baik-baik saja setelah berbagai insiden dengan Aghastyan.

Wangi mengangguk dan tersenyum. "Hati-hati, Bu," sahutnya.

"Terima kasih," sahut Rani. Ia kemudian beralih kepada keponakannya. "Sampai besok, Sam. Terima kasih sudah mau mengantarkan Wangi, ya."

Samudra menganggukkan kepala. Ia kemudian menoleh ke arah Wangi, sembari tangan kanannya menunjuk ke Jeep Wrangler Rubicon abu-abu tua yang terparkir di seberang pintu masuk, mengisyaratkan kendaraan yang akan mereka naiki.

Wangi menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang, seolah mau meloncat keluar. Tangannya pun mendadak dingin. Ia tidak bisa membayangkan kekikukan yang akan terjadi kala nanti hanya berdua dengan Samudra di dalam mobil itu. Entah kejadian tak terduga apalagi yang akan dialaminya.


*****


Bersambung....

No comments:

Post a Comment