Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (01)

 SEBUAH PESAN  01


(Tien Kumalasari)


 


Kebun bunga itu terletak di samping sebuah rumah mewah, mengelilingi kolam ikan dengan ikan koi yang berlarian ke sana kemari, Pasti bukan ikan yang murah, karena dipelihara oleh pemilik rumah mewah.


Damian, anak muda yang menjadi tukang kebun di rumah itu, sedang membersihkan daun-daun kering yang berserakan, karena angin di siang harinya memang sangat kencang.


Lalu ia memasang selang plastik yang dihubungkannya dengan ledeng yang ada ditaman itu, kemudian mengucurkan airnya ke arah pohon bunga-bunga cantik kesayangan dua orang putri majikannya.


Mawar-mawar yang beraneka warna, bunga lily dan aster, tersebar di taman itu. Ada pula serumpun pohon melati yang hampir mekar, tapi sudah menebarkan wangi yang menyegarkan.


“Dam …” sebuah panggilan nyaring dan merdu terdengar.


Damian berhenti menyiram, ia menoleh tiba-tiba, dan lupa kalau sedang memegang selang yang sedang mengucurkan air dengan deras. Tak pelak maka guyuran air yang memancar itu menyiram wajah cantik yang sedang mendekat.


“Aauuuffh!” pekiknya.


“Aduh … aduh … maaf non Raya, maafkan saya … saya tidak sengaja,” kata Damian sambil melemparkan selang airnya begitu saja, dan terbungkuk-bungkuk dihadapan Raya, putri bungsu keluarga Rahman. Ia tak tahu harus berbuat apa.


Ia mengira sang nona akan marah, ternyata tidak. Raya, gadis itu  justru terkekeh geli sambil mengibas-ngibaskan bajunya.


“Kamu tahu ya, kalau aku belum mandi, lalu kamu mengguyur tubuh aku dengan air selang itu?” katanya sambil masih terkekeh.


Damian mengangkat wajahnya, melihat sang nona yang basah kuyup. Dan karena basah itu, bajunya seperti mencetak tubuh rampung sang nona, dengan lekuk liku yang mempesona. Damian memalingkan wajahnya. Sungguh tidak sopan melihat nona majikan dengan keadaan seperti itu.


“Maaf Nona, saya tidak sengaja,” katanya sambil mengambil kembali selang yang tergeletak ditanah, serta masih mengucurkan air yang kemudian membuat genangan di sekitar tempat itu. Damian berlari untuk mematikan kerannya.


“Tidak apa-apa, aku tahu kamu tidak sengaja. Masa sih sengaja mengguyur aku? Oh ya, aku tadi mau bilang, adakah mawar yang bisa aku taruh di kamar?”


“Ada Non, nanti saya ambilkan, ada beberapa tangkai. Non Raya mandi dulu, saya selesaikan menyiram seluruh taman, kemudian memetik mawar untuk Non Raya.”


“Baiklah, terima kasih, Damian,” kata Raya sambil melenggang pergi. Damian tak berani walau melirikpun, ke arah perginya sang Nona, karena keadaannya yang basah kuyup mencetak tubuh ramping semampai dan membuatnya sedikit berdebar.


Damian mengabdi di keluarga Rahman sudah setahun ini. Selepas SMA, keinginannya untuk melanjutkan kuliah kandas, karena ayahnya tak mampu membiayainya lagi. Ketika masih kuat bekerja, ayahnya menjadi tukang kebun di sebuah rumah keluarga asing. Ibunya meninggal saat dia melahirkan, lalu majikan ayahnya memberinya nama Damian.


Damian kecil dibesarkan oleh sang ayah, sambil bekerja. Majikannya yang baik hati, membantu memberikannya susu dan makanan bayi, dan ikut merawatnya karena ayahnya tentunya tak bisa bekerja sambil merawat bayi. Ketika Damian sudah masuk sekolah, keluarga asing itu kembali ke negaranya, karena kata ayahnya, kontrak kerjanya di sini sudah berakhir. Untunglah ayahnya segera mendapat pekerjaan lain, sepelrti sebelumnya, menjadi tukang kebun di keluarga Rahman.


Damian yang cerdas bisa mengerti, bahwa ayahnya harus bekerja, sehingga dia tidak begitu rewel ketika harus sendirian di rumah, mengambil makan dan minum sendiri, yang pastinya sudah disediakan oleh ayahnya.


Menjelang Damian lulus dari SMA, ayahnya jatuh sakit, sehingga tak mampu lagi bekerja. Keinginan untuk melanjutkan kuliah, dipendamnya, dan dia memilih bekerja menggantikan ayahnya. Dialah yang sekarang menghidupi ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan.


“Maafkan bapak ya Dam, karena keadaan bapak ini, kamu tidak bisa melanjutkan kuliah,” kata ayahnya pada suatu haru.


“Mengapa Bapak harus meminta maaf? Bapak sudah bersusah payah menyekolahkan Damian hingga lulus SMA, dan ini sudah membuat Damian senang. Damian harus berterima kasih karena Bapak bersusah payah bekerja demi Damian.”


“Membesarkan dan memberikan pendidikan yang baik bagi anaknya, adalah kewajiban orang tua.”


“Dan yang Bapak lakukan itu sudah lebih dari cukup. Bapak sudah tua, saatnya beristirahat. Biarlah Damian yang mencari nafkah buat kita.”


Pak Timan, ayah Damian, hanya bisa mengangguk dan berlinang air mata, atas pengertian anak semata wayangnya.


***


Damian, mana bungaku?”  


Damian terkejut, ia melamun setelah selesai menyiram tanaman, sehingga lupa untuk memetikkan mawar untuk nona majikannya. Dilihatnya Raya sudah berganti pakaian, dan sudah rapi, serta wangi. Aroma wangi itu mengalahkan mekarnya melati saat itu. Damian menarik napasnya dalam-dalam.


“Oh, iya Non, ini … saya baru selesai. Sebentar, akan saya ambilkan. Ada beberapa bunga yang sudah mekar.


“Yang merah marun, tuh lihat … bagus sekali, sama yang orange, dan merah berbintik putih, wwouww.. cantiknya.”


Damian mengambil gunting tanaman, mengikuti nona majikannya yang berlarian lincah seperti kupu-kupu diantara bunga-bunga.


Ada empat atau lima tangkai yang dipotong oleh Damian. Ia membersihkannya dari duri yang ada pada tangkai bunga-bunga itu, lalu menyerahkannya pada Raya.


Wajah Raya berseri-seri. Damian terpesona. Entah mana yang lebih indah, wajah Raya, ataukah mawar-mawar yang digenggamnya.


“Terima kasih, Damian,” kata Raya gembira, kemudian dengan lincah ia pergi ke arah dapur.


“Bibiiiik mana vas bunga yang aku minta,” teriakan itu terdengar di telinga Damian, seperti kidung yang dinyanyikan bidadari sorga.


Damian menampar pipinya keras sekali.


“Jangan gila. Kamu mengagumi putri majikan kamu? Apa kamu mencari mati? Apa kamu ingin kehilangan mata pencaharian kamu? Lalu ayahmu kamu beri makan apa? Lalu aku belikan baju ganti yang sudah lusuh, memakai uang apa?” gumamnya sambil berkali-kali memarahi rasa batinnya.


Damian menggulung selang karet yang sudah selesai dipakainya, menggantungkannya di tempat biasa, kemudian mencuci kaki tangannya di kran air yang ada di sana.


“Damian …” kali ini suara itu berbeda. Suara bik Sarti yang datang sambil membawa tas keresek.


“Ya bik?”


“Sudah mau pulang ya?”


“Iya, apa ada pekerjaan lain yang harus saya kerjakan?”


“Tidak. Bu Rahman menyuruh aku membawakan nasi sama lauk untuk pak Timan.”


“Oh, baiklah, terima kasih Bik.”


Damian menerima bungsusan tas keresek yang diberikan bik Sarti.


“Bapak pasti senang bisa merasakan enaknya masakan bik Sarti,” kata Damian sebelum pergi.


“Hati-hati dijalan, naik sepeda jangan meleng,” pesan bik Sarti.


“Siap, Bik.”


Damian menuntun sepedanya sampai keluar dari halaman, bik Sarti menatapnya dengan terharu.


“Anak baik, anak ganteng, kasihan, harus bekerja sambil merawat ayahnya yang sudah tua.” gumam bik Sarti sambil melangkah kembali ke dapur.


***


Damian sudah sampai di rumah, meletakkan keresek berisi makanan itu di meja, kemudian bersiap untuk mandi.


“Sudah pulang Dam?”


“Iya Pak. Itu, tadi dibawain bik Sarti makanan. Ada nasi, ada lauk, tapi Damian mandi dulu ya Pak.”


“Iya, mandilah sana. Tadi bapak sudah membersihkan rumah juga, dan menyapu halaman.”


“Bapak, sebetulnya Bapak tidak usah melakukannya, biar nanti Damian saja.”


“Kalau bapak disuruh hanya duduk saja, bapak nggak betah Dam. Biar saja bapak melakukan apa yang bapak bisa.”


Damian tersenyum. Barangkali membosankan juga kalau hanya duduk dan tiduran saja di rumah.


“Baiklah, tapi janji ya, Bapak tidak boleh kecapekan.”


“Tentu saja. Kalau merasa capek, bapak mesti tiduran. Itu, bapak juga sudah membuatkan teh untuk kamu. Masih panas, bapak pikir kamu belum mau pulang.”


“Tidak apa-apa, akan Damian minum sekarang ya Pak, lalu mau mandi. Setelah itu Damian siapkan untuk makan malam kita.”


“Baiklah. Bapak juga masih kenyang, tadi makan siang agak kesorean.”


“Kok bisa Pak?”


“Bapak ketiduran.”


“Oh, ketiduran ya. Harusnya makan dulu baru tidur.”


“Nggak apa-apa, waktu tidur belum lapar. Ya sudah, sana mandi.”


***


Pagi buta itu, di rumah pak Tarman sudah ada yang ketuk-ketuk pintu. Pemilik rumah pastinya sudah pada bangun, karena setelah subuh lalu tidak bisa tidur lagi. Damian sibuk di dapur, membuat kopi pahit untuk ayahnya, dan teh untuk dirinya sendiri. Ia bergegas ke depan ketika mendengar ketukan pintu.


Ia membukanya, terkejut melihat siapa yang datang.


“Sari?”


“Iya Mas, aku. Aku dari pasar, ini ada nasi liwet untuk pak Timan dan Mas Damian.”


“Lhah kok repot-repot sih Sari,” kata Damian, sungkan.


“Kebetulan saja aku yang ke pasar, soalnya ibu lagi masuk angin. Tadi pesen suruh beliin nasi liwet, lalu sekalian beli untuk pak Timan.”


“Ah, ya … baiklah, terima kasih Sari. Ibu sakit apa?”


“Cuma masuk angin kok, nggak sakit yang benar-benar sakit.”


“Ya sudah kalau nggak apa-apa.”


Sari, tetangga sebelah rumah yang sudah akrab dengan keluarga pak Timan. Ibunya berjualan di pasar. Ada nasi dan lauk-pauk dijual di sana.


“Siapa tamunya, Dam?”


“Ini Pak, Sari membawakan nasi liwet untuk Bapak.”


“Anak itu selalu memperhatikan kita. Sering kali dia membawa makanan untuk bapak, saat ibunya pulang dari pasar.”


”Tadinya Damian mau beli nasi untuk sarapan kita, nggak jadi karena sudah ada nasi liwet.”


“Namanya rejeki, Dam.”


“Iya benar. Ini kopinya diminum dulu Pak.”


Pak Timan menyeruput kopinya.


“Sari itu cantik, rajin.”


“Iya, benar.”


“Bagaimana kalau kamu jadikan dia istri kamu?”


“Bapak ada-ada saja.”


“Ini benar, kamu kan sudah dewasa, punya istri juga sudah pantas. Dan Sari itu istri yang pas untuk kamu.”


“Nggak Pak, Damian masih merasa sangat muda, belum berpikir untuk mencari istri. Bekerja saja belum bener. Mau dikasih makan apa istri Damian nanti?”


“Bapak kira, kalau Sari itu nggak terlalu muluk-muluk. Lagian bapak lihat dia itu suka sama kamu.”


“Nggak ah Pak, sungguh, Damian belum ingin punya istri.”


“Apakah menurutmu, Sari itu tidak menarik? Katakanlah dia kurang cantik, tapi dia itu pintar, sangat berbakti kepada orang tua, seperti kamu ini. Nah, pasangan yang pas bukan?”


“Sudah agak siang nih Pak, ayo makan, lalu Damian akan berangkat bekerja.”


Pak Timan menurut. Ia duduk menghadapi meja, kemudian membuka bungkusan nasi liwet yang sudah disiapkan anaknya. Mereka berdua makan, dengan tanpa banyak bicara.”


“Bapak secara iseng pernah bertanya sama dia. Apakah mau menjadi menantuku? Kamu tahu, apa reaksinya? Dia tersipu malu. Itu artinya dia suka sama kamu.”


“Bapak kok masih mengulang soal itu lagi sih Pak. Oh ya, Damian sudah menanak nasi, tapi lauk yang diberikan bik Sarti kemarin masih banyak dan sudah Damian panasin. Jadi Damian tidak perlu beli untuk makan siang Bapak ya? Nanti semua akan Damian siapkan di meja.”


“Iya … gampang.”


“Damian akan bersiap-siap, tapi sekali lagi Damian minta, Bapak tidak membicarakan soal Sari lagi. Ya pak?” kata Damian sambil membawa piring kotor ke belakang.


Pak Timan menatapnya sambil geleng-geleng kepala.


“Sudah dua tahun lulus SMA, kok masih merasa muda saja. Menikah juga sudah pantas. Hm, anak sekarang memang berbeda dengan anak jaman dulu,” gumam pak Timan sambil masih menggeleng-gelengkan kepalanya.


***


Pagi itu Kamila memasuki kamar Raya, adiknya dan berteriak kesal ketika melihat vas bunga penuh mawar terletak di mejanya.


“Ya ampun, pantesan aku mencari mawar di kebun sudah tinggal yang hampir layu. Ternyata kamu sudah mengambil semuanya?”


Raya terkekeh geli melihat kakaknya marah.


“Damian yang memetik buat aku,” Raya membela diri.


“Damian … Damian … Kalau kamu tidak menyuruhnya, mana mungkin dia berani memetikny


“Lha iya, kan daripada layu dipohon, lebih baik aku ambil untuk hiasan kamar aku.”


”Ya sudah, tapi awas ya, besok-besok kalau ada yang mekar lagi, itu bagian aku.”


“Mengapa harus mawar sih? Kan ada aster, ada bunga kertas, ada .. apa lagi tuh.”

”Aku lagi pengin mawar. Nanti calon suami aku datang, ruang tamu harus dihias bunga mawar.”


“O, mas Abi yang datang? Duh senangnya ,,, dua tahun tidak ketemu. Kapan dia balik dari luar negri?”


“Baru kemarin. Nanti mau ke sini.”


“Ya sudah, Mbak Mila boleh pinjam mawarku ini untuk dipasang di ruang tamu. Tapi kalau dia sudah pulang, kembalikan ya?”


“Benar?  Baiklah, aku ambil sekarang yah?” kata Kamila sambil langsung mengambil vas bunga dan mawarnya itu, dibawanya keluar.


“Iih semangat bangat sih.”


Raya tersenyum melihat kakaknya begitu gembira menyambut pacarnya yang akan datang.


“Seneng ya, pacaran? Aku nggak akan pacaran dulu ah, kecuali kalau ketemu cowok ganteng yang baik, seperti Damian.”


Lalu Raya memukul mulutnya sendiri dengan telapak tangannya, karena mengucapkan kata-kata yang seperti bukan keinginannya.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment