Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (10)

 SEBUAH PESAN  10


(Tien Kumalasari)


 


Pak Timan membawa surat itu masuk, dari Amerika.


“Tuan Steward?”


Pak Timan merasa heran. Bertahun-tahun tidak bertemu tuan Steward, bahkan sejak Damian masih belum sekolah. Mengaoa tiba-tiba berkirim surat?


Pelan dan hati-hati pak Timan membukanya. Dibacanya berulang kali, lalu meneteslah air matanya. Bayangan wajah istrinya yang cantik, melintas di depan matanya. Tak disangkanya, ia meninggal secepat itu. Meninggalkan bayi yang baru dilahirkannya.


Ia ingat, saat itu dia menjadi tukang kebun di keluarga Steward, dan diperlakukan seperti keluarga. Pak Steward memiliki seorang keponakan yang cantik, Amelia namanya. Ia sangat baik, dan bersikap manis pada Timan yang saat itu masih perjaka. Kedekatan keduanya kemudian membuat keduanya saling jatuh cinta. Pak Timan yang ketakutan karena berani mencintai keponakan majikan, kemudian berniat pergi dari keluarga itu, Tapi Amelia dengan berani mengatakan kepada pamannya, bahwa dia sangat mencintai Timan. Diluar dugaan, tuan Steward yang bijak mengijinkan keduanya menikah. Tapi sayang, saat melahirkan anak pertamanya, Amelia meninggal dunia karena perdarahan. Amelia itullah ibunya Damian. Pantaslah Damian sangat ganteng karena sesungguhnya ada campuran darah bule pada tubuhnya, Dan itu pula sebabnya, bayi Damian sangat dicintai keluarga Steward. Sayang, dia harus meninggalkan Indonesia ketika Damian masih kecil. Mereka juga meninggalkan sejumlah uang untuk beaya Damian sekolah. Tapi setelah itu tak ada lagi kabar berita dari keluarga itu.


Dan ternyata, orang tua Amelia juga sudah meninggal dua-duanya. Mertua Timan yang belum pernah sekalipun bertemu muka dengannya.


Tapi tiba-tiba tuan Steward memberikan sejumlah uang warisan mereka untuk Damian. Mengucur air mata pak Timan. Wajah cantik istrinya terus saja terbayang. Gadis cantik bermata biru, berambut kecoklatan, yang sangat dicintai dan mencintainya. Hanya saja mata Damian tidaklah biru, karena mewarisi mata ayahnya.


Timan menutup surat itu, melipatnya dengan rapi, dan menyimpannya. Tuan Steward memintanya agar dia membuka rekening di sebuah bank, kemudian dia akan menstransfer sejumlah uang untuknya.


Timan berdebar. Apakah dengan uang itu Damian akan bisa melanjutkan kuliah?  Itu adalah harapannya, yang tentunya juga menjadi impian Damian. Tapi Timan belum ingin mengabarkan tentang surat itu kepada Damian. Ia menyimpannya rapi di dalam almari.


***


Damian sedang duduk beristirahat di depan gudang sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan kipas yang dipinjamnya dari bik Sarti. Lalu tiba-tiba bik Sarti datang mendekat, sambil memberikan jus jeruk kepadanya.


“Ini, minumlah. Udara panas sangat panas. Minuman ini akan menyejukkan kamu.”


“Terima kasih Bik.”


“Kamu pasti capek. Kenapa wajahmu tampak gelisah?”


“Masa sih? Bagaimana Bik Sarti bisa bilang begitu?”


“Kan kelihatan?”


“Bibik bisa saja.”


“Kamu memikirkan sesuatu?” rupanya bik Sarti sedang memancing-mancing.


“Tidak Bik. Biasa saja.”


“Kamu sedang jatuh cinta?”


“Bik Sarti kok pertanyaannya hari ini aneh-aneh begitu sih?”


“Kamu kan sudah dewasa, tapi bibik lihat kok kamu masih tenang-tenang saja.”


“Maksudnya tenang tuh apa?”


“Tidak mencari pacar, atau calon istri.”


Damian tertawa.


“Belum terpikirkan Bik. Kalau punya istri mau dikasih makan apa?”


“Rejeki itu, Allah yang memberikan. Jangan takut menjadi orang tak punya, karena Allah pasti mencukupi semua kebutuhan kita.”


“Iya Bik.”


“Bagaimana kalau ada yang suka sama kamu?”


“Maksudnya suka ….”


“Kamu itu kok seperti anak kecil saja, semua harus dijelaskan sejelas-jelasnya. Maksudnya suka yang bibik katakan itu, cinta. Bukan sekedar suka.”


“Oh ….”


Damian tertawa, lalu menghirup jus jeruknya, karena pertanyaan bik Sarti membuat tubuhnya terasa lebih gerah.


“Bagaimana? Apa jawabmu?”


“Bagaimana apanya sih Bik? Bibik ada-ada saja."


“Bagaimana kalau ada yang jatuh cinta sama kamu?”


“Siapa yang jatuh cinta sama seorang tukang kebun seperti saya Bik?”


Namanya cinta yang suka-suka yang jatuh cinta dong. Mau tukang kebun, mau tukang kayu, mau tukang apa juga, kalau orang jatuh cinta yang nggak ada yang salah. Cinta itu kan bisa datang kapan saja, oleh siapa saja?”


“Bibik nih rupanya sudah faham benar tentang cinta ya?”


“Ya mengerti lah, bibik kan pernah muda, dan pernah jatuh cinta juga. Sayangnya kami tidak ditakdirkan untuk bersama-sama, karena kemudian Allah memanggilnya, saat masih pengantin baru,” kata bibik sedih.


“Menyedihkan sekali sih Bik, saya ikut prihatin. Tapi apakah bibik tidak menikah lagi, setelah dia pergi?”


“Bibik sangat mencintai suami bibik, biarpun dia sudah tiada, bibik tidak akan menikah lagi. Bibik melahirkan anak bibik, dan merawatnya sampai dewasa, kemudian menikah, dan sudah tinggal diluar kota, mengikuti suaminya.”


“Jadi Bibik punya anak juga?”


“Suami bibik meninggal saat bibik hamil muda.Tapi sudahlah, jangan mengungkit masa lalu bibik, sekarang bibik sudah menikmati hidup dengan tenang dan suka cita dengan apa yang bibik jalani. Sekarang apa jawabmu atas pertanyaan bibik tadi?”


“Cinta itu, kata bibik bisa datang kapan saja, dan oleh siapa saja. Ya kan? Tapi cinta yang murni adalah cinta yang tidak disertai keinginan yang muluk-muluk. Maksudnya  kalau laki-laki seperti Damian ini, ya harus tahu diri. Kalaupun jatuh cinta, harus bisa menempatkan. Kalau mencintai orang yang tidak pas ya buat apa. Cinta itu kan sebenarnya bisa diatur. Cinta adalah melihat yang dicintai hidup bahagia, bukan nafsu memiliki yang dikedepankan.”


“Jadi kamu pasti sadar dong, bahwa ada yang suka sama kamu?”


Damian tertawa keras.


Saat itulah, bu Rahman muncul.


“Ada apa ini, bibik sama Damian kok seperti sedang asyik bercanda?”


Keduanya menoleh ke arah majikan mereka. Bik Sarti segera berdiri dan bermaksud kembali ke dapur.


“Ini Nyonya, bibik baru bertanya, apakah Damian sudah punya pacar?”


“Memangnya kalau belum punya, mau bibik ambil sebagai menantu?”


“Ya tidak Nyonya, bibik sudah tidak punya anak gadis lagi. Kalau diambil menantu, mau dinikahkan sama siapa?” kata bibik sambil berlalu.


“Oh ya, Damian, mengenai taman ini, aku pikir alangkah bagusnya kalau diperluas ya? Aku kok suka melihat bunga-bunga semarak seperti ini, membuat hati menjadi adem. Ya kan? Aku puas cara kerja kamu.”


“Terima kasih, Nyonya.”


“Maksudku, besok bulan depan itu, akan membangun taman baru, di sebelah timur rumah ini. Itu kan kebun yang kosong, alangkah bagusnya kalau dibuat taman seperti ini, yang banyak bunga-bunganya, yang berwarna warni, dan satu kolam ikan lagi yang berbeda. Besok kalau mulai, aku minta kamu ikut mengatur tata letaknya, ya.”


Damian terkejut. Ia sungguh-sungguh ingin pergi, tak tahan rasanya menanggung derita cinta yang tak mungkin bisa berbalas, dan tak mungkin bisa kesampaian. Jadi sebenarnya dia sudah memutuskan ingin pamit, sambil mencari pekerjaan yang lain. Bu Rahman heran melihat Damian termangu, dan tidak segera menyambut ungkapan tentang taman baru yang akan dibangunnya.


“Bagaimana menurut kamu?”


Damian menghela napas resah. Tapi menurutnya, daripada nanti mengecewakan setelah membangun taman, karena dia kemudian pergi, lebih baik berterus terang dari sekarang.


“Maaf Nyonya, sebenarnya ….”


“Sebenarnya ada apa? Kamu punya ide yang lain?”


“Tidak. Sebenarnya saya, bulan depan sudah mau pamit.”


“Pamit bagaimana maksudmu?”


“Saya ingin berhenti dari pekerjaan saya.”


“Berhenti? Mengapa? Apa gaji kamu kurang? Kalau memang kurang, nanti aku usulkan pada bapak, agar menyetujui aku menambah bayaran kamu.”


“Bukan, Nyonya. Bukan soal gaji. Tapi … bapak sudah semakin tua, dan butuh perhatian lebih. Jadi saya ingin lebih sering berada di rumah.”


“Apa ayahmu sakit?”


 “Tidak, tapi kan memang sering sakit, mengingat usianya yang semakin tua.”


“Tapi kan kamu bisa bekerja dulu setengah hari, lalu pulang melihat ayah kamu, setelahnya bisa kembali lagi kemari sampai sore.,” bu Rahman masih menawar.


“Saya mohon maaf Nyonya, sungguh saya tidak bisa.”


“Artinya, kamu sudah tidak mau lagi bekerja di sini, begitu?”


“Saya mohon maaf, Nyonya.”


“Jadi kamu benar-benar mau keluar?”


“Maafkan saya, Nyonya.”


Bu Rahman tampak gusar. Ia meninggalkan Damian begitu saja, tanpa mengucap apapun lagi. Damian termenung, ada sesal yang dirasakannya ketika dia harus berpamitan sebelum dia siap melakukannya. Tapi bu Rahman memberi sebuah tanggung jawab dengan akan dibangunnya taman baru itu, dan Damian sungguh merasa takut karena masih harus selalu bertemu dengan gadis yang selalu hadir dalam mimpi dan jaganya.


***


Ketika bik Sarti menghidangkan minuman sore hari di depan bu Rahkan, dilihatnya wajah sang nyonya tampak muram. Bik Sarti tentu saja tak berani menanyakan apa sebabnya, tapi bu Rahman justru mengatakannya.


“Damian akan keluar bulan depan,” katanya.


Bik Sarti urung melangkah pergi.


“Damian? Keluar bagaimana, Nyonya?”


“Ketika bersama kamu tadi, apa dia tidak mengucapkan apa-apa?”


“Tidak, Nyonya. Kami hanya bercanda.”


“Tadi ketika aku bicara tentang keinginan untuk membangun taman di kebun sebelah timur itu, dia bilang bahwa dia mau keluar.”


“Maksudnya, keluar dari pekerjaannya di sini?”


“Iya. Kalau keluar itu ya keluar dari pekerjaan, bukan keluar dari gerbang, lalu masuk lagi.”


“Memangnya kenapa Nyonya? Apa gajinya kurang banyak ya ?”


“Tadi sudah aku tawarkan, kalau gajinya kurang, akan aku tambahin. Dia bilang bukan masalah uang.”


“Lalu karena apa?”


“Katanya ingin lebih merawat ayahnya. Apa dia pikir uang bisa begitu saja jatuh dari langit, kalau dia tidak bekerja?”


“Mungkin sudah mendapat pekerjaan lain.”


“Ya, mungkin saja. Adakah pekerja dengan lulusan seperti Damian bisa mendapatkan gaji sebesar yang aku berikan?”


“Terkadang masalah uang bukan yang nomor satu, Nyonya.”


“Apa maksudmu? Dia tidak suka sesuatu? Tidak menyukai apa? Makan kurang enak? Kurang cukup? Kurang perhatian apa aku sama dia?”


Bik Sarti ketakutan, melihat nyonya besar tampak sangat marah.


“Aku tidak suka memperkerjakan orang seperti dia. Kelihatan banget sombongnya.”


Karena kesal akan ditinggalkan, bu Rahman jadi menilai buruk Damian. Kesombongan apa yang pernah diperlihatkan Damian? Ia begitu santun, begitu tekun dalam mengerjakan semua tugasnya. Bahkan di awal pembicaraan, bu Rahman justru memuji pekerjaan Damian.


"Ya sudah Nyonya, banyak orang mencari pekerjaan. Nyonya bisa dengan gampang mencari penggantinya bukan?” hibur bik Sarti.


Bu Rahman menyeruput coklat susunya, tapi kemudian berteriak.


“Apa kamu tidak memberi gula pada minuman ini?” hardiknya.


Bik Sarti terkejut. Nyonya majikannya tak pernah berkata sekasar itu.


“Baiklah, mungkin saya kurang banyak memberikan gulanya. Biar saya tambah lagi saja, Nyonya. Maafkan saya,” kata bik Sarti takut-takut.


"Tidak usah,” kata bu Rahman sambil menjauh. Tapi ketika bik Sarti mau mengambil cangkir berisi coklat susu itu, isinya telah habis tak bersisa. Bik Sarti membawa kebelakang cangkir kosong itu, sambil menahan senyumnya.


“Kurang manis katanya, tapi habis. Bagaimana Nyonya ini,” gumamnya sambil mencuci cangkirnya.


Tiba-tiba Raya muncul dibelakang bik Sarti, sambil membawa gelas yang kemudian diisinya dengan air dingin.


“Bik, aku dengar ibu berteriak, ada apa?”


“Marah, bik Sarti kurang manis membuat minumannya.”


“Masa karena itu. Seperti banyak sekali ibu bicara.”


“Nona tidak mendengar jelas, apa yang membuat nyonya marah?”


“Hanya sayup-sayup, tapi tidak jelas. Pintu kamarku hanya terbuka sedikit. Tadi.”


“Damian mau keluar minggu depan.”


“Apa?”


Dan tiba-tiba gelas yang dibawa Raya jatuh terbanting ka lantai. Isinya terburai dan gelasnya pecah bering-keping. Bik Sarti terkejut.


“Non Raya, aduh, menjauhlah, biar bibik bersihkan dulu pecahan gelasnya,” kata bik Sarti.


Bukannya pergi, Raya duduk di sebuah kursi di dapur itu.


“Bibik bilang apa?”


“Damian mau keluar bulan depan. Itukah yang mengejutkan Non Raya?”


Raya gugup mendengar pertanyaan bik Sarti.


“Buk .. bukan itu, aku hanya terkejut, kenapa tiba-tiba dia mau keluar?”


“Katanya mau merawat ayahnya.”


“Apa ayahnya sakit?”


“Hanya sakit-sakitan, tapi Damian ingin selalu menunggui ayahnya.”


“Lalu dia mau bekerja apa?”


“Bibik tidak tahu Non. Non saja nanti tanya sendiri sama dia,” kata bik Sarti sambil membersihkan pecahan gelas, kemudian mengepel lantainya.


Raya meninggalkan dapur, langsung masuk ke dalam kamarnya.


Dari jendela kamar itu, ia melihat Damian menuntun sepedanya, menuju keluar. Saat melewati kamar itu, Damian menoleh. Sebenarnya tidak ingin, tapi ternyata ia menoleh juga sehingga mata mereka bertatapan. Hanya sekilas, tapi kemudian Damian mempercepat langkahnya, dan berlalu.


Raya merasa, seperti ada yang hilang dari hatinya. Kemudian ia membalikkan tubuhnya, lalu berlari ke arah depan.


“Damiaaan!!” teriaknya.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment