Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (15)

Kejora Pagi


Thursday, June 8, 2023


SEBUAH PESAN 15


 SEBUAH PESAN 15

(Tien Kumalasari)

 

Begitu melihat ada tamu, kemudian Agus berpamit pulang, sementara Damian segera berdiri menyambut tamunya. Seseorang yang selalu membuat jantungnya berdegup lebih kencang.

“Non Raya ….”

“Maaf, aku mengganggu, ternyata tadi ada tamu.”

“Iya, nggak apa-apa kok. Sudah dari tadi datangnya. Silakan duduk Non.”

Raya duduk, hatinya pun bergetar. Ia menatap Damian yang masih tampak pucat, dan lesu.

“Aku ikut prihatin.”

“Terima kasih.”

Lalu keduanya terdiam, tak tahu harus bicara apa. Raya juga bingung akan mengatakan apa, karena tiba-tiba saja ia ingin bertemu Damian.

“Non ….”

Raya mengangkat wajahnya.

“Apakah … kedatangan Non kemari, ada sesuatu yang ingin disampaikan? Apakah Nyonya marah karena saya tiga hari ini tidak masuk bekerja?”

“Tidak. Tak ada yang marah.”

“Sebenarnya saya sudah ingin bekerja lagi. Hanya beberapa hari lagi, kita tak akan pernah bertemu lagi.”

Wajah Raya mendadak muram, bagai langit tertutup awan.

“Kamu bersungguh-sungguh?”

“Maafkan saya.”

“Dulu alasan kamu kan merawat ayah kamu.”

Damian terdiam. Alasan yang pernah dikemukakan memang berhenti bekerja untuk merawat ayahnya. Tapi setelah ayahnya tiada, apakah alasan itu masih akan berlaku? Damian bingung menjawabnya.

“Kamu hanya mencari-cari alasan, bukan?”

Damian menatap wajah cantik itu lekat-lekat. Melihat matanya yang redup, tatapannya yang tampak memelas, Damian merasakan dadanya seperti diremas-remas. Ingin ia memeluknya, membalut luka yang dirasakannya, setelah mengucapkan suka, dan dia tak berani membalasnya secara lisan. Biarlah cinta itun dipendamnya dalam-dalam di dasar lubuk hatinya.

“Non, mengapa Non bersikap seperti itu? Non harus tahu, Non harus mengerti, bahwa apa yang akan saya lakukan adalah yang terbaik untuk Non Raya.”

“Terbaik yang seperti apa Dam?”

“Non tidak pantas menyukai seorang tukang kebun seperti saya.”

“Apakah rasa suka tidak boleh memilih?”

“Memang harus memilih. Pilihlah yang terbaik, untuk menjatuhkan rasa suka atau cinta itu. Jangan menjatuhkannya sembarangan.”

“Aku tidak menjatuhkannya sembarangan.”

“Non salah dalam melangkah. Non akan menyesal.”

“Damian, aku tidak salah. Dan juga tidak salah menilai perasaan kamu. Bukankah kamu juga mencintai aku?”

Damian menghela napas panjang, ada resah dalam napas itu.

“Jawab Dam, jangan ingkar pada perasaan kamu sendiri.”

“Saya tidak berani mengatakannya.”

“Walaupun itu benar?”

“Saya tahu dimana saya harus berdiri, dimana saya harus duduk.”

“Jangan pernah merasa rendah diri. Bagi aku, kamu adalah seseorang yang pantas aku cintai. Jangan bilang tidak pantas, jangan bilang ada perbedaan diantara kita.”

“Saya tidak usah bilang, bukankah itu nyata?”

“Kamu jangan berputar-putar. Katakan apa yang ada di dalam hati kamu.”

“Non, ini sudah sore, Non pasti ditunggu oleh keluarga Non.”

“Aku tidak akan pulang,” kata Raya yang matanya mulai membasah.

“Jangan membuat saya susah Non.”

“Aku tidak akan pulang, sebelum kamu mengatakan bahwa kamu juga mencintai aku. Itu benar kan? Katakanlah biar aku merasa lega.”

Damian lagi-lagi menghela napas panjang. Sangat berat mengatakannya, karena ia merasa lebih baik menyimpan cinta itu di dalam hati.

“Kalau begitu aku tidak akan pulang.”

“Non, jangan begitu. Kasihanilah saya. Kalau Non tidak pulang, nanti saya yang akan disalahkan. Tuan Rahman pasti akan sangat marah pada saya.”

“Katakanlah Damian. Atau kalau kamu ingin mengatakan tidak, aku akan tegar mendengarnya kok. Bicaralah seperti apa yang ada di dalam hati kamu.”

Damian melihat air mata mulai meleleh di pipi Raya. Rasa iba menyergapnya.

“Baiklah Non, saya akan mengatakannya.”

Raya mengusap air matanya, menatap Damian lekat, menunggu apa yang akan dikatakannya.

“Saya sangat menghormati Non Raya, saya tidak berani mengatakan cinta. Siapakah saya ini, dan siapa pula Non Raya.”

“Aku kan sudah mengatakan, jangan bicara tentang perbedaan status dan kedudukan. Bicaralah seperti seorang laki-laki kepada perempuan.”

“Bukankah apa yang saya katakan tadi sudah menjadi jawaban? Saya yakin, Non seorang yang pintar dan cerdas. Non pasti mengerti arah kata-kata saya.”

Raya menatap Damian, lalu berdiri.

Tapi sebelum ia menginjakkan kaki keluar dari rumah, terdengar guntur menggelegar.”

“Cepatlah Non, mau hujan,” kata Damian sambil berdiri mengikuti Raya.

Tapi hujan tak pernah berkata, berapa lama lagi akan turun. Guntur yang bersahutan segera mengiringi hujan yang bagai ditumpahkan dari langit. Begitu deras. Tapi Raya tidak berhenti. Ia terus mendekati motornya yang diparkir dipelataran rumah kecil itu.

“Non, berhenti dulu Non, teriak Damian.

Raya sudah naik ke atas motornya. Badannya basah kuyup seketika. Damian memburunya. Tubuhnyapun basah kuyup.

“Jangan nekat Non, hujan sangat deras.”

Raya menstater sepeda motornya, tapi seperti apa yang dirasakan Raya, motor itu ngadat, tak mau menyala.

“Tolong turunlah dulu.”

Raya justru turun dari sepeda motor itu, lalu menuntun sepeda motornya.

“Jangan nekat Non.”

Damian memegangi motor itu, memaksa Raya untuk berhenti. Seperti berebut menguasai motor ngadat itu, tiba-tiba Raya jatuh terpeleset karena tanah mulai basah berlumpur.

“Aaaghh!” Raya menjerit. Melupakan rasa pantas atau tidak, Damian membantu membangunkannya, lalu menarik Raya masuk ke dalam rumah. Walau alot, akhirnya Raya masuk juga ke dalam rumah, lalu Damian mendudukkannya di atas kursi. Basah kuyup, membuat tubuh Raya menggigil. Damian kebingungan. Ia berlari ke belakang, menuang air panas dalam termos ke dalam gelas yang sudah diberinya gula dan teh celup. Setelah diaduknya sebentar, ia membawanya ke depan.


“Non, minumlah, biar hangat. Aduh, bagaimana ini? Maukah Non mengganti baju dengan baju saya? Kalau mau, masuklah ke kamar untuk menggantinya. Tak ada pakaian untuk wanita di rumah ini.”

Raya memegang gelas dengan kedua tangannya, menempelkan telapak tangannya yang kedinginan pada gelas yang terasa panas.

“Minumlah dulu.”

Raya meneguknya. Agak terasa hangat. Di luar, hujan masih turun dengan sangat deras.

“Non, maukah berganti baju saya yang kering, saya khawatir Non masuk angin.”

Raya menggeleng. Ia melihat ke arah luar, hujan masih mengguyur.”

Tapi Raya segera berdiri, setelah menghabiskan segelas teh yang disajikan Damian.

“Non, mau ke mana? Hujan masih deras.”

Raya sudah berdiri di tangga teras, ia harus pulang. Damian mendekatinya.

“Jangan nekat Non, biar hujan berhenti dulu.”

“Mengapa kamu peduli sama aku?” tanya Raya sengit.

“Karena saya menyayangi Non Raya," bisik Damian lirih dan gemetar. Bukan hanya karena kedinginan, tapi juga karena terbawa oleh perasaan yang tiba-tiba dengan berani diungkapkannya.

Raya tertegun. Kata yang sangat diharapkannya, tiba-tiba terdengar oleh telinganya. Semuanya terasa begitu manis. Apa pedulinya tentang hujan? Apa pedulinya tentang baju yang basah kuyup?

Raya membalikkan tubuhnya, mereka berhadapan begitu dekat. Damian mundur dengan gemetar.


Mata mereka bertatapan. Ada percikan api yang menghangatkan.

“Dam, terima kasih.”

“Tapi Non harus tahu, cinta tak harus memiliki.”

Wajah Raya menjadi muram.

“Ya sudah, duduk dulu menunggu hujan. Mau memakai pakaian saya? Nanti Non masuk angin, bagaimana?”

“Aku mau naik taksi. Nitip motorku ya.”

Raya terkejut, ponselnya ada di dalam tas kecil yang dibawanya, tergantung di motor.

“Ponselku di sana.”

“Biar saya ambil,” kata Damian sambil ber;ari menerobos hujan. Mendirikan motor Raya yang tadi terjatuh, lalu mengambil tas yang pastinya juga basah kuyup.

“Biar saya yang memesankan taksi.”

Raya menurut, ia kembali duduk aambil memangku tasnya yang basah kuyup.

“Besok akan saya bawa motor Non ke bengkel. Non jangan khawatir.”

“Terima kasih, Dam,” kata Raya sambil tersenyum. Tapi Damian khawatir , wajah Raya tampak pucat. Pasti masih kedinginan. Ia merasa lega ketika taksi sudah membawa Raya pulang ke rumahnya.

Damian turun ke halaman, mengambil motor, dimasukkannya ke dalam rumah.

***

 Sementara itu bu Rahman mondar mandir keluar masuk rumah, gelisah karena hujan sangat deras dan Raya belum kembali.

“Kemana anak itu, tiba-tiba pergi dan sudah berjam-jam belum juga kembali.”

”Mungkin ke rumah temannya Bu, dari tadi Mila menelpon juga tidak diangkat.”

“Coba kamu telpon ke rumah temannya, apa dia ada di sana?”

“Lha teman siapa Bu, Mila tidak tahu nomor kontak teman-temannya Raya. Ada satu, Ani, sudah Mila telpon tapi Raya tidak ke sana.”

“Bagaimana ini, hujan sangat deras, dan ini sudah malam. Ayahmu juga jam segini belum pulang juga.”

“Ya sudah, sabar Bu, ibu duduk saja di sini, dekat Mila.”

Kemudian ponsel bu Rahman berdering.

“Nah, dia menelpon nih, oh dari ayahmu.”

“Bu … “ sapa pak Rahman ketika bu Rahman membukanya.

“Ya Pak.”

“Aku belum bisa pulang, menjamu tamu makan malam di restoran.”

“Iya, gak apa-apa, ini ibu sedang menunggu Raya, hujan begini belum juga pulang.”

“Memangnya ke mana dia?”

“Nggak tahu, pergi begitu saja, pamit juga enggak.”

“Ya sudah, tungguin saja. Ini kan hujan, mungkin dia sedang berteduh.”

Bu Rahman menutup ponselnya dengan kesal.

Tapi kemudian sebuah taksi berhenti di halaman.

“Tuh, siapa naik taksi? Raya?” teriak Kamila sambil berdiri menyambut.

“Ya ampun Ray, kamu basah kuyup begini?”

“Mana motor kamu?”

Banyak pertanyaan bergantian keluar dari ibu dan kakaknya. Raya tidak menjawab. Dia berlari masuk ke kamar. Bu Rahman dan Kamila mengejarnya.

“Biar aku mandi dulu. Kehujanan nih,” kata Raya sambil mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.


Kamila membuka almari Raya, mengambilkan baju ganti adiknya.

“Kok bisa basah kuyup begitu?” kata bu Rahman sambil duduk di sofa yang ada di kamar itu, ditemani Kamila. Keduanya menunggu Raya keluar dari kamar mandi.

“Sudah basah kuyup begitu, baru naik taksi,” gerutu ibunya.

“Kamila minta minuman hangat dulu ke belakang,” kata Kamila sambil beranjak keluar dari kamar.

Ketika Kamila masuk kembali dengan membawa segelas coklat susu, Raya sudah keluar dari kamar mandi.


“Ini, kakakmu sudah menyiapkan baju ganti,” kata bu Rahman.


“Ada minyak kayu putih, sini aku gosok badan kamu, biar hangat,” sambung Kamila yang segera menggosok tubuh Raya dengan minyak yang sudah disiapkannya.

“Sebenarnya kamu dari mana?” tanya sang ibu.

“Dari rumah teman,” katanya, tentu saja berbohong.

“Kalau hujan kenapa nekat? Sekarang mana sepeda motor kamu?”

“Mogok.”

“Lalu kamu tinggal di mana?”

“Di … di bengkel.”

“Ya sudah, minum dulu ini, biar anget. Setelah itu makan, terus tidur. Wajahmu pucat begitu,”omel kakaknya.

“Kamu juga baru sembuh dari sakit. Hujan-hujanan lagi.”

Raya tak banyak menjawab, karena semakin banyak menjawab, akan semakin banyak kebohongan yang diucapkannya. Mana berani dia mengatakan bahwa dia dari rumah Damian?

“Aku mau segera tidur saja,” kata Raya sambil meminum coklat susunya.

“Makan dulu, dan minum obat,” ibunya memaksa.

“Baiklah, sedikit saja. Kepalaku pusing.”

“Tuh, kan. Ayo makan dan minum obatnya.

***

Pagi hari itu Damian membawa sepeda motor Raya ke bengkel, karena setelah dicobanya juga, sepeda motor itu masih tetap ngadat.

Setelah dari bengkel, Damian segera berangkat ke rumah keluarga Rahman. Dia harus menghabiskan bulan itu demi memenuhi keinginannya, keluar dari pekerjaannya. Lagipula kalau dia tidak punya kesibukan, ia hanya akan merasa sedih karena kesepian di rumah sendirian.

Pak Rahman yang sedang berada di teras menyapanya.

“Dam, kok jalan kaki?”

“Iya Tuan, tadi juga sambil jalan-jalan.”

“Kamu sudah siap bekerja kembali?”

“Iya.”

“Apa kamu benar-benar mau keluar? Kalau kamu berubah pikiran, kamu boleh tetap bekerja. Masalah gaji nanti pasti aku pikirkan. Kamu tidak akan kecewa.”

“Mohon maaf Pak, saya tetap mohon diri.”

“Sudah mendapat pekerjaan lain rupanya,” pancing pak Rahman.

Damian ragu menjawab, tapi ia berpikir untuk lebih baik berterus terang.

“Sesungguhnya … iya Pak, ikut teman saya, di bengkel.”

“O, ya sudah, terserah kamu saja, kalau kamu berpikir bahwa itu lebih baik.”

“Saya permisi ke belakang,” kata Damian yang tak ingin berlama-lama berbincang dengan majikannya.

Ketika melewati kamar Raya, Damian melirik ke arah jendela. Agak khawatir karena hari sudah siang, dan jendela itu masih tertutup.


“Jangan-jangan dia sakit,” pikirnya sambil mengambil peralatan kebun ke gudang. Kebun itu tampak kotor, daun-daun kering berserakan, pohon-pohon kembang banyak yang kering. Damian agak merasa sayang melihatnya. Tak tega melihatnya, tapi ia mengeraskan hatinya.

Kamila memasuki kamar adiknya.

“Masih pusing?”

“Sedikit.”

“Ibu bertanya, sepeda motor kamu, kamu tinggalkan di bengkel mana?”

“Coba Mbak tanya sama Damian,” kata Raya yang meluncur begitu saja, tapi membuat Kamila bertanya-tanya.

“Damian?”

***

Besok lagi ya,

No comments:

Post a Comment