SEBUAH PESAN 25
(Tien Kumalasari)
.. .....
Kamila sangat terkejut. Tentu saja nama itu sangat dikenalnya. Nama yang setiap diingat selalu terasa sakit bagai diitis ribuan sembilu.
“Kamu tidak percaya? Kenapa memandangi aku seperti itu?” tanya Rosa karena sahabatnya tampak melongo sambil menatapnya aneh.
“Kamu tadi bilang apa? Suami kamu selingkuh dengan perempuan bernama siapa?”
“Juwita. Memangnya kenapa?”
“Kamu bercerita tentang suami yang selingkuh, tapi kamu tampak seperti tidak terluka. Kamu rela suami kamu berbagi cinta?”
“Aku menyadari bagaimana keadaanku. Aku tidak bisa mengandung, dan perempuan itu sudah mengandung.”
“Apa?” Kamila membelalakkan matanya. Juwita mengandung, apakah Juwita selingkuhan suami Rosa sama dengan Juwita istri suaminya?”
“Iya. Suamiku berterus terang kalau dia berhubungan dengan wanita itu, sampai mengandung. Barangkali dia sudah menikahinya secara siri, entahlah, aku tidak mau tahu.”
“Pasti wanita itu cantik.”
“Cantik, aku punya fotonya kok. Sebentar, aku buka ponsel aku dulu,” kata Rosa sambil membuka-buka ponselnya, lalu ia menemukan foto seorang wanita cantik, dengan dandanan menor dan mata yang menatap genit. Kamila bertambah melotot. Juwita yang dimaksud Rosa adalah Juwita yang pernah datang padanya, berterus terang bahwa dia istri Abi dan sedang mengandung. Dan wanita yang sama ini, menurut Rosa, dia juga sedang mengandung anak suaminya.
Kamila menatap foto itu tak berkedip.
“Cantik bukan? Tapi dia kelewat genit. Aku yakin dia merayu suamiku dan suamiku njatuh hati sama dia. Dia berterus terang dengan alasan ingin punya anak, sedangkan aku tidak mungkin bisa memberinya anak. Jadi aku berusaha ikhlas. Bahkan aku akan minta agar dia menikahinya secara resmi.”
“Ya Tuhan,” desis Kamila pelan.
“Kamu heran aku bisa melakukannya? Aku tidak bisa apa-apa, toh suami aku tetap mencintai aku, dan berjanji akan mengadopsi anak untuk aku, entah kapan, sampai sekarang juga belum terealisasi.”
“Rosa, aku ingin bercerita sama kamu, tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan Juwita.”
Tiba-tiba batin Kamila terasa agak lebih ringan, ketika Rosa mengatakan bahwa Juwita mengandung anak suaminya. Kamila berharap itu benar, sehingga Abi bisa segera menceraikannya karena Juwita telah berbohong.
“Kamu ingin bilang apa? Jangan kamu menyalahkan aku karena sikapku itu. Aku hanya bisa pasrah, karena aku memang bukan istri yang sempurna.”
“Bukan tentang kamu, tapi tentang hidup aku sendiri.”
“Tentang hidup kamu, dan itu ada hubungannya dengan Juwita? Kamu mengenalnya?”
“Aku belum lama ini mengenalnya.Ya Tuhan … tolonglah aku,” kata Kamila kembali berkeluh.
“Ada apa sih Mil?”
Lalu Kamila bercerita tentang suaminya dan Juwita, yang terpaksa dinikahinya karena mengaku hamil. Jadi anak siapa yang sebenarnya ada di dalam rahim Juwita?
“Apa? Jadi perempuan itu adalah istri suami kamu?”
“Ia mengaku hamil dan minta agar suami aku menikahinya. Itu terjadi sebelum kami menikah, dan aku baru tahu beberapa hari sebelum ini.”
“Kurangajar perempuan itu. Saat ini mungkin suami aku sudah menikahi dia secara siri. Nanti aku akan mengatakan sama dia tentang hubungannya dengan suami kamu.”
“Aku juga akan bilang sama suami aku, bahwa Juwita adalah istri siri suami kamu.”
“Mas Rama pasti terkejut kalau aku mengatakannya. Menurut aku, harus ada pemeriksaan DNA, biar jelas bayi itu anak siapa.”
“Betul Ros, harus ada pemeriksaan DNA, mana mungkin seorang perempuan mengaku hamil dari dua orang laki-laki.”
“Mas Abi hanya sekali berhubungan, jangan-jangan saat itu dia sudah mengandung anak mas Rama.”
Dan Kamila benar-benar berharap, itulah yang terjadi, sehingga suaminya bisa terlepas dari jeratan palsu Juwita.
***
Abi tentu saja sangat terkejut mendengar penuturan istrinya. Ia hanya ingin bertanggung jawab atas kehamilan Juwita karena dia pernah berhubungan dengannya. Tapi kalau Rama, suami Rosa juga mengakui bahwa itu anaknya, hal ini harus diselesaikan secara medis.
“Besok Minggu aku minta kamu pertemukan aku dengan Rosa. Tepatnya, suami Rosa."
“Namanya Rama. Kita kenal ketika kita menikah, karena waktu Rosa menikah aku tidak bisa datang karena sedang ujian skripsi aku.”
“Baiklah, siapapun dia aku harus ketemu. Ini persoalan penting, karena menentukan siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas bayi itu.”
Kamila merasa semangatnya timbul. Bayi itu milik Abi atau milik Rama, baginya sudah membuat dirinya tenang. Abi atau Rama akan menganggap Juwita wanita tak berharga, karena telah melayani dua laki-laki dengan diam-diam. Ia juga penipu, dan bisa membuatnya masuk penjara.
Ia sangat bersemangat ketika menelpon Rosa, bahwa dirinya dan suami akan datang kerumahnya. Rosa tentu saja menyambutnya dengan baik. Kemarin dia sempat bersitegang dengan suaminya, karena sang suami menuduh Rosa tidak konsisten dengan pernyataannya, bahwa dia akan menerima Rama menikahi Juwita demi mendapatkan anak. Tapi ketika Rosa menceritakan hubungannya dengan Abi, Rama pun berang. Ia merasa bahwa Juwita telah menipunya.
“Kalaupun bayi itu anakku, tetap saja aku enggan berhubungan dengan dia lagi. Dia perempuan murahan yang hanya ingin memoroti uangku, dan tentu saja uang Abi,” geram Rama.
“Sebaiknya aku temui dulu Juwita,” kata Rama kemudian.
“Jangan Mas, wanita seperti itu akan pintar berkelit, pasti ada saja jawaban dia untuk memberi alasan. Kalau Mas setuju, langsung saja Mas ajak dia ke rumah sakit. Nanti kencan sama Abi, tapi jangan berangkat bersama-sama. Mas pura-pura ingin mengajaknya periksa kandungan, atau entah bagaimana caranya, dan pemeriksaan DNA itu jangan sampai diketahui sebelumnya."
Rama tampak terdiam, tapi dia setuju pendapat istrinya. Mereka menunggu hari Minggu, di mana Abi dan Kamila akan datang ke rumah mereka.
Rosa tentu saja bersyukur, karena dengan demikian sang suami akan menjadi miliknya seutuhnya. Tak mungkin Rama akan terus berhubungan dengan Juwita setelah wanita itu menghianatinya.
***
Malam itu Raya tidak keluar kamar. Pak Rahman yang belum lama pulang dari kantor, segera memasuki kamar anak gadisnya. Dilihatnya Raya memejamkan mata, dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Di atas nakas, ia melihat nasi dan lauk pauk tidak disentuh. Pak Rahman memegang kening Raya, dan terkejut mendapati tubuh Raya sangat panas. Raya juga tampak menggigil.
Pak Rahman bergegas keluar dari kamar, menemui istrinya.
“Bu, ternyata Raya sakit?”
“Iya, sejak siang tidak mau makan, katanya masuk angin. Sarti membawa makanan ke kamarnya, katanya hanya makan sesendok. Tadi baru saja Sarti membawakan lagi makanan ke kamar, katanya Raya tidur,” kata bu Rahman.
“Badannya sangat panas, Sudah ibu beri obat?”
“Tadi Sarti sudah memberinya obat.”
“Kenapa Sarti, dan bukan Ibu yang memberikan obatnya. Ibu lihat saja, badannya panas sekali. KIta harus membawanya ke dokter.”
Bu Rahman memang sedikit acuh mendengar Raya yang kata bik Sarti masuk angin, karena ia masih kesal setelah Raya mengatakan cinta pada Damian. Tapi mendengar perkataan suaminya, iapun segera bergegas ke kamar anaknya, sang suami mengikutinya.
Bu Rahman melihat Raya menggigil. Ia terkejut ketika memegang keningnya.
“Pak, kita panggil dokter langganan saja. Dia susah diajak periksa ke dokter,” kata bu Rahman yang segera keluar dan memerintahkan bik Sarti untuk menyiapkan kompres.
Pak Rahman menelpon dokter langganan yang kemudian bersedia segera datang.
Ia duduk di tepi pembaringan sambil memijat-mijat kaki anaknya. Bu Rahman kemudian datang diiringi bik Sarti yang membawa baskom bersisi air untuk mengompres. Bu Rahman membetulkan selimut Raya. BIbir Raya tampak gemetar. Bu Rahman memeluknya.
“Raya, kenapa tidak bilang kalau sakit?”
Raya membuka matanya, melihat ibu dan ayahnya duduk di sampingnya. Ia memejamkan mata lagi ketika bu Rahman meletakkan handuk kecil di dahinya.
“Ke dokter saja ya Ray.”
Raya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Apa yang kamu rasakan?” tanya sang ayah.
Raya menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.
Bik Sarti beranjak ke belakang, bermaksud mengambilkan minuman hangat untuk non cantiknya. Dalam hati bik Sarti menduga, pasti si non cantik sangat tertekan karena dimarahi habis-habisan oleh ibunya kemarin siang.
Ia tahu betul, sejak kecil Raya selalu sakit apabila menginginkan sesuatu dan tidak kesampaian. Lalu sekarang menginginkan apa? Menginginkan Damian? Pasti susah mendapatkannya. Mana mungkin tuan dan nyonya besar mengijinkannya.
Bibik mengaduk coklat susu yang selesai dibuatnya, dengan perasaan gelisah. Kejadian kemarin siang belum akan berakhir, kalau tidak ada salah satu yang mau mengalah. MIsalnya Raya bersedia melupakan Damian, atau sang tuan dan nyonya memberikan restunya.
“Sulit … sulit,” gumam bik Sarti sambil membawa nampan berisi coklat susu. Tapi ketika sampai di kamar Raya, dilihatnya dokter sudah datang dan memeriksa Raya, sedangkan pak Rahman dan bu Rahman duduk di sofa dengan gelisah, tanpa mengucapkan apapun juga.
“Bik, taruh saja di sini, dan buatkan lagi untuk pak dokter ya,” perintah bu Rahman.
“Baik,” kata bik Sarti sambil meletakkan gelas berisi minuman untuk Raya, kemudian beranjak keluar kamar.
Dokter tampak memberikan suntikan untuk meredakan demam. Ia bertanya sesuatu kepada Raya, tapi entah apa yang mereka bicarakan. Hanya sebentar, kemudian sang dokter menutup tas prakteknya, lalu duduk menghampiri pak Rahman di sofa.
“Sakit apa, putriku?” tanya pak Rahman.
“Tidak ada yang menghawatirkan. Saya hanya memberikan suntikan penurun panas. Ini resep yang harus dibeli,” katanya sambil mengulurkan resep yang baru saja ditulisnya.
“Dia tidak sakit apa-apa?”
“Tidak ada sakit. Rupanya dia hanya tertekan, atau barangkali sedang mempunyai masalah berat.”
Pal Rahman saling pandang dengan istrinya.
“Tapi Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir, dia akan baik-baik saja,” kata dokter sambil berdiri, kemudian beranjak keluar kamar. Pak Rahman mengikutinya, sedangkan bu Rahman mendekati lagi ranjang putrinya.
Ketika bik Sarti masuk membawa minuman, bu Rahman memerintahkannya agar membawanya ke ruang tamu.
“Setelah itu ambilkan thermometer di almari obat ya Bik.”
“Baik, Nyonya.”
“Raya, bagaimana rasanya?”
Bu Rahman memegang kening Raya, dan sedikit lega karena suhu badannya sedikit menurun, tidak sepanas tadi.
”Pusing.”
“Kamu jangan terlalu banyak pikiran.”
Raya terdiam. Perasaan tertekan masih menggayutinya.
Ia tidak tahu kenapa dirinya jatuh sakit. Tak ada yang dirasakannya kecuali pusing dan demam. Tadi dokter juga bertanya, tapi dia tak bisa menjawabnya karena dia tidak merasakan sakit apapun. Hanya demam dan pusing, dan sekarang demam itu sudah berkurang.
Bu Rahman mengusap keringat yang mulai membasahi kening anaknya.
“Ini thermometernya, Nyonya.”
Bu Rahman menerima thermomter itu dan memasangnya di ketiak Raya.
Raya mendiamkannya.
“Bik, ambilkan baju ganti untuk Raya, tampaknya badannya mulai berkeringat, bajunya basah nih,” kata bu Rahman kepada bik Sarti yang masih menunggui di kamar itu sambil bersimpuh di lantai.”
Bik Sarti segera berdiri dan mengambil baju bersih di almari Raya.
Berdua mereka menggantikan baju Raya yang basah oleh keringat.
***
Hari itu Damian tampak gelisah. Sudah tiga hari Raya tidak kelihatan menemuinya. Tak urung akhirnya dia mangakui, bahwa ada rindu yang menyesak dadanya saat tiga hari tidak bertemu. Lalu dia memarahi dirinya sendiri, yang seperti tidak tegas dalam menilai perasaannya. Berkali-kali dia minta agar Raya menghentikannya, tapi baru tiga hari tidak ketemu, rindunya sudah setengah mati.
“Heiii, ngelamun saja, kamu. Ayo makan, sudah saatnya makan,” sapa Agus yang bersiap keluar makan sambil menghampirinya.
“Kamu saja, aku tidak lapar.”
“Masa sih, tidak lapar? Dari pagi kita belum makan lho.”
“Aku sudah makan dari rumah. Pergilah, aku menunggu di sini.”
“Bener nih?”
“Iya, pergi saja.”
“Baiklah, nanti aku bawakan saja nasi bungkus ya,” kata Agus sambil berlalu. Damian diam saja. Dia hanya duduk bersandar di tembok. Teman-teman kerjanya sudah keluar semua untuk makan.
Damian meraba ponselnya. Dia tidak pernah berani menelpon lebih dulu, takut kalau ada anggota keluarga yang mengetahuinya, lalu menimbulkan masalah. Mana dia tahu kalau sudah terjadi masalah di rumah keluarga Rahman, dan Raya sedang sakit saat ini.
***
Hari itu Rama tidak masuk bekerja. Ia sudah berjanji bersama Abi untuk membawa Juwita ke rumah sakit, lalu memaksa Juwita agar memeriksakan DNA bayi yang dikandungnya.
“Tumben Mas Rama mengajak Juwita periksa kandungan? Tidak ke kantor?” tanya Juwita ketika Rama nyamperin ke rumahnya.
“Aku sedang libur, dan ingin melihat perkembangan bayi yang kamu kandung.”
Alasan yang masuk akal. Karenanya Juwita berangkat ke rumah sakit bersama Rama, dengan hati gembira. Tak biasanya ia bisa periksa ke dokter dengan diantar Rama.
Tapi betapa terkejutnya Juwita, ketika di rumah sakit itu ia melihat Abi.
“Mas, bagaimana kalau kita pulang saja, perutku tiba-tiba sakit sekali,” kata Juwita yang tiba-tiba berhenti melangkah.
***
Besok lagi ya,
No comments:
Post a Comment