Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (34)

SEBUAH PESAN  34


T(Tien Kumalasari)


 


Damian mengambil ponselnya, lalu menelpon Raya. Tapi ponsel itu mati. Damian heran, belum lama dia menelpon, mengapa tiba-tiba mati?


Tiba-tiba perasaan gelisah memenuhi hati Damian. Raya membawa mobil, yang pastinya sendirian, soalnya dia bilang mau menemuinya. Mengapa lama sekali dari waktu yang dijanjikan? Damian melangkah keluar, menunggu, tapi bayangan yang ditunggunya tak juga tampak. Apa Raya pulang terlebih dulu untuk mengembalikan mobil, lalu dia akan naik motor seperti biasanya?


Damian melangkah pelan, dan tanpa terasa sudah sampai di rumah keluarga Rahman.  Ia tak melihat mobil Raya di halaman. Melalui pintu samping, ia melongok ke arah garasi, tapi ia juga tak melihat mobil Raya ada di dalamnya. Damian terus beranjak ke belakang, maksudnya mau bertemu bik Sarti dan menanyakan keberadaan Raya. Tapi sebelum sampai di pintu dapur, bu Rahman melihatnya. Damian mengangguk hormat. Ia membungkukkan badannya seperti menghormati seorang pembesar. Tapi bu Rahman menatapnya acuh.


“Mau apa kamu?”


“Saya … mencari … Non Raya,” jawabnya agak gugup.


“Sudah kuduga. Tapi dia tidak ada di rumah. Sedang mengantarkan kakaknya ke bandara,” jawabnya dingin, lalu membalikkan badannya, langsung masuk ke dalam rumah.


Damian  ingin membalikkan tubuhnya untuk pergi tapi tiba-tiba bik Sarti memanggilnya.


“Dam.”


Damian menghentikan langkahnya.


“Memang benar, non Raya sedang mengantarkan non Mila dan tuan Abi ke bandara. Sampai sekarang belum pulang.”


“Tadi non Raya menelpon, katanga mau ke rumah, dan setengah jam lagi pasti sampai, tapi sudah sejam lebih, bahkan hampir dua jam dia belum sampai juga.”


“Sekarang jalanan sering macet.”


“Saya menelpon, ponselnya mati. Itulah sebabnya saya cemas, lalu datang kemari.”


“Gitu ya? Mampir ke mana non Raya?”


“Ya sudah bik, saya pulang dulu, barangkali non Raya sudah sampai di rumah saya.”


Damian bergegas pulang. Tak dirasakannya lagi kata-kata pedas bekas nyonya majikannya, karena dia merasa sangat cemas.Tapi sebelum sampai di rumahnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Dari nomor tak dikenal. Damian segera mengangkatnya, barangkali ada berita tentang non cantik kekasihnya, tapi Damian merasa lega, karena itu suara Raya.


“Dam, ini aku.”


“Non di mana, ini nomor siapa?”


“Ponselku hilang entah ke mana, aku ada di kantor polisi.”


“Apa? Mengapa Non ada di kantor polisi?”


“Aku menabrak pohon di pinggir jalan, tapi aku juga menyerempet seorang pengendara motor.”


“Ya ampun Non, bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana keadaan Non, dan bagaimana orang yang Non tabrak?”


"Aku hanya luka sedikit, tapi pengendara motor itu harus dibawa ke rumah sakit. Aku harus membiayai semuanya.”


“Aku akan segera ke sana. Non di kantor polisi mana?”


"Sudah dekat dengan rumah.”


“Aku akan segera ke sana.”


***


Damian sudah bertemu Raya di kantor polisi itu. Trenyuh melihat wajah pucat Raya, ada luka memar di dahi, Damian memegang tangannya untuk menguatkan.


“Apa yang kamu tabrak itu luka parah?”


“Tampaknya tangannya patah dan harus dioperasi. Aku sudah menelpon bapak tapi ponsel bapak mati, lalu aku menelpon kamu. Aku sudah bilang pada polisi bahwa akan membayar biaya pengobatan sampai sembuh. Dia seorang gadis."


“Seorang gadis?”


“Aku menyesal nekat mengendarai mobil, sudah lama aku tidak membawa mobil aku.”


“Mobilnya di mana?”


“Di bengkel. Polisi menahan aku,” kata Raya sedih.


“Apa Non terluka?”


“Ini, hanya memar di dahi, tapi dadaku terasa agak sesak.”


“Non harus dibawa ke rumah sakit juga.”


“Tidak, aku tidak mau.”


Damian meninggalkan Raya, dan minta ijin agar berbicara di dalam dengan pimpinan yang ada saat itu.


Raya bersyukur. Damian segera datang. Ia menunggu Damian yang tampaknya berbicara di dalam, entah apa yang dibicarakan. Kepalanya terasa pusing. Ia menyandarkannya di sandaran kursi, sambil memejamkan matanya.


***


Pak Rahman melihat sang istri masuk dari pintu belakang dengan wajah masam.


“Ada apa sih? Tadi ibu bicara sama siapa?”


“Tadi ada Damian kemari.”


“Ibu suruh masuk?”


“Tidak, kan dia kemari hanya mencari Raya, sedangkan Raya tidak ada di rumah,” kata bu Rahman sambil bersungut-sungut.


“Ibu itu kalau nggak suka sama orang pasti ngomongnya nggak enak.”


“Nggak, biasa saja kok. Ibu hanya bilang kalau Raya pergi, lalu diapun pergi.”


“Tapi Raya kok lama ya perginya, padahal pastinya Abi dan Kamila sudah take off dari tadi.”


“Mampir-mampir barangkali.”


“Biar bapak telpon saja dia. Oh iya, ponselku ada di kamar, tadi ngecas baattery, bisa tolong ambilkan Bu?”


Bu Rahman beranjak ke kamar, lalu keluar dengan membawa ponsel suaminya. Betapa terkejutnya pak Rahman, ketika ada banyak panggilan tak terjawab dari sebuah nomor asing.


“Nomor kontak siapa ini?”


“Apa nggak ada namanya?”


“Nggak ada namanya, tunggu, ini dia juga mengirim pesan,


“Bapak, Raya ada di kantor polisi, karena menabrak seorang pengendara sepeda motor. Tolong Raya Pak.”


“Lho, ini dari Raya? Dia ada di kantor polisi??” pekik pak Rahman.


“Apa? Raya ada di kantor polisi? Kenapa dia?”


“Dikirim sudah satu jam lebih, aku harus ke sana.”


“Aku ikut Pak.”


“Cepat bersiap, jangan kelamaan,” perintah pak Rahman yang kemudian buru-buru mengeluarkan mobil. Sopir tidak masuk hari ini, sehingga pak Rahman harus membawa mobilnya sendiri.


Tapi ketika sampai di kantor polisi, mereka melihat Raya keluar dari sana, bersama Damian.


“Itu Raya!” pekik bu Rahman.


“Jadi dia ditangkap polisi saat bersama Damian? Apa yang dilakukan anak itu. Sehingga membawa-bawa anakku?” kata bu Rahman gemas.


Pak Rahman bergegas mendekati. Raya segera menghambur ke pelukan ayahnya.


“Apa? Bagaimana bisa terjadi?”


Mobil Raya menabrak pohon. Pohonnya sih kecil, sehingga rusak mobilnya tidak parah, tapi Raya menyerempet seorang pengendara sepeda motor.”


“Bagaimana pengendara sepeda motor itu?”


“Luka, tangannya patah. Sekarang di rumah sakit dan segera dioperasi.”


“Jadi kamu pergi bersama dia ini?” kata bu Rahman tak senang sambil menuding ke arah Damian.


“Tidak Bu. Damian datang setelah Raya menelpon. Tadinya Raya mau ditahan, tapi Damian bicara sama polisi, lalu Raya dibebaskan,” terang Raya.


Pak Rahman menatap Damian.


“Kamu yang mintakan Raya bebas? Kamu harus bayar dong, berapa?”


“Saya bebaskan dengan jaminan …”


“Pasti harus dengan membayar dong,” kata pak Rahman.


Damian agak ragu untuk menjawab, tapi kemudian dia menggelengkan kepalanya.


“Tidak, semuanya sudah selesai. Kami mau ke rumah sakit untuk melihat korban itu.”


“Baiklah, kalau begitu kita ke sana sekarang. Kamu ikut Dam,” perintah pak Rahman.


“Dia kan membawa sepeda,” sela bu Rahman.


“Damian membawa sepeda motor, tadinya aku mau membonceng dia.”


“Non ikut tuan Rahman saja, biar saya mengikuti dengan sepeda motor saya,” kata Damian.


“Lagi pula Non Raya merasa agak pusing," lanjut Damian.


“Kalau begitu ayo kita cepat berangkat. Pastinya kita menanggung biaya pengobatan korbannya kan?”


Akhirnya Damian mengikuti mobil pak Rahman dengan sepeda motornya.


***


 Korban itu adalah seorang gadis muda bernama Asti. Ia tergolek di ranjang dengan tangan sudah dibalut perban. Wajahnya pucat, dia ditunggui oleh kedua orang tuanya.


Pak Rahman menyalami tangan ayah  Asti dengan permintaan maaf yang bertubi-tubi, tapi tidak tampak gusar pada wajah sang ayah.


“Iya Pak, saya mengerti, namanya juga kecelakaan. Barangkali Asti juga kurang berhati-hati.”


Raya juga mendekati Asti, dan meminta maaf atas semua yang terjadi..


“Tidak apa-apa, saya juga kurang berhati-hati,” katanya sambil tersenyum, walau wajahnya masih tampak pucat.


“Mengenai semua biaya operasi nanti, sampai Asti sembuh, saya yang akan membayarnya. Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir.”


“Iya, tadi sudah ada yang bilang begitu.”


“Siapa?”


“Seorang laki-laki, katanya kerabat dari penabrak anak saya, namanya Damian.”


“Huh, dia bilang begitu? Lancang amat, memangnya dia punya uang?” sela bu Rahman, yang kemudian kakinya diinjak oleh pak Rahman, untuk menyuruhnya diam.


“Aduh, Bapak menginjak kaki ibu,” keluhnya kesakitan.


“Diamlah, biar aku yang bicara," kata pak Rahman tandas.


“Katanya, seharusnya anak saya dioperasi, tapi tadi kelihatannya hanya retak, jadi cukup di gips saja,” kata ayah Asti kemudian.


“Apapun, nanti saya yang akan menanggung biayanya, sampai anak Bapak sembuh. Saya sudah meninggalkan sejumlah uang di rumah sakit ini, kalau ada kekurangan, mereka akan menghubungi saya.”


“Baiklah, terima kasih banyak.”


Pembicaraan itu akhirnya selesai dengan baik. Damian sejak tadi diam saja, memendam rasa ngilu di hati mendengar sindiran-sindiran bu Rahman yang sangat menyakitkan. Tapi Damian menahannya dengan segala kesabaran yang dimilikinya. Baginya, Raya sudah akan menjadi miliknya, dan dia merasa bahagia atas semua yang dianggapnya sebuah karunia.


“Tuan, sebaiknya Non Raya juga diperiksa, karena tadi dia bilang agak pusing dan dadanya terasa sedikit sesak.”


“Iya, aku sampai melupakannya."


“Tidak, aku tidak apa-apa. Hanya terantuk sedikit, nanti juga pasti sembuh,” kata Raya yang kemudian menjauh, dari yang semula berdiri di dekat Asti.


Dan karena Raya menolak, maka pak Rahman kemudian tidak bisa memaksa.


“Non, apapun hasilnya, sebaiknya Non diperiksa juga.”


“Tidak, aku yang merasakannya, aku bilang tidak apa-apa. Sekarang aku ingin pulang. Ayo Dam, antarkan aku pulang, katanya sambil menarik Damian untuk menjauh.


“Anak bandel, mau kemana dia?”


“Biarkan saja Bu, dia bersama calon suaminya,” kata pak Rahman sambil menarik istrinya untuk kembali mendekati orang tua Asti. Pak Rahman juga memberikan sejumlah uang, sebagai oermintaan maaf, dan pastinya juga berharap agar kasus itu tidak akan berlanjut ke jalur hukum.


***


Damian mengomeli Raya setelah mengantarkannya sampai di rumah, karena Raya menolak diperiksa dokter.


“Non, bagaimanapun Non harus ke dokter.”


“Kan aku sudah bilang bahwa aku tidak apa-apa? Sekarang kamu pulanglah, aku akan beristirahat,” kata Raya yang sesungguhnya juga merasa badannya tidak enak. Raya memang paling tidak suka berurusan dengan dokter. Ketika di rumah sakit beberapa hari yang lalu, juga karena dipaksa dan dalam keadaan lemas tak berdaya.


Damian berpamit, dan berpesan wanti-wanti agar kalau merasa sakit segera mengabarinya atau segera minta diantar ke dokter.


“Iya, kamu tidak usah khawatir Dam.”


Damian pun pulang dengan perasaan kesal terhadap kekasihnya.


***


 Hari-hari terus berlalu, kasus kecelakaan itu sudah terselesaikan dengan baik, karena Asti hanya beberapa hari saja dirawat di rumah sakit.


Damian sedang sibuk mempersiapkan rumahnya, karena ia tak ingin saat membawa pulang istrinya, lalu rumahnya terlihat kumuh. Rumahnya sudah tampak bersih, atap yang bolong sudah disempurnakan, kamar sudah rapi. Dan semuanya sudah dirasa tidak mengecewakan, menurut ukuran Damian yang tak ingin memperlihatkan keadaan hidup yang sebenarnya.


***


Hari yang ditunggu itupun akhirnya tiba. Walau  tanpa pesta, tapi keluarga pak Rahman tetap berdandan rapi demi mengantarkan Raya ke KUA, sedangkan Damian yang diantarkan oleh Agus dan keluarganya juga berdandan rapi lebih dari biasanya. Damian bahkan memakai jas yang tampak sangat bagus dan tampak menawan.


“Dam, jas kamu bagus sekali. Beli baru? Ini mahal, tahu,” puji Agus dalam perjalanan ke KUA.


“Ah, bukan, aku pinjam dari tetangga,” jawabnya santai.


“Syukurlah, Sungguh baik tetangga kamu, mau meminjamkan setelan jas mahal untuk kamu.”


“Iya, kami tetanggaan sudah lama, dia memang baik.”


Ketika mereka sampai di Kantor Urusan Agama itu, Damian melihat Raya berdandan dengan adat Jawa yang sangat anggun dan cantik Tak bosan dia menatap gadis yang sudah duduk menunggu itu, sehingga dia ampir terjatuh karena tak melihat tangga di depannya. Untunglah Agus dan ayahnya berjalan mengiringi di kiri dan kanannya, sehingga Damian selamat dari kejatuhan itu. Raya yang melihat calon suaminya hampir terjatuh, dari yang semula terkejut, kemudian tersenyum geli. Mereka pun kembali bertatapan. Ada rona bahagia tersirat dalam wajah-wajah mereka.


Kedua calon penganin sudah didudukkan berdampingan. Kamila membawa selendang sutera putih yang dikerudungkan di kepala keduanya. Semuanya berdebar-debar, dengan debaran yang berbeda-beda. Sang pengantin berdebar karena belum pernah mengalaminya, ayah pengantin putri berdebar karena  akan melepaskan anak gadisnya dari masa lajang, tapi ibu pengantin berwajah keruh. Ada senyuman yang dibuat-buat, tapi matanya tampak suram menyimpan sejuta rasa kecewa.


Penghulu memeriksa surat-surat beberapa saat lamanya, dan degup jantung kedua mempelai berpacu keras. Mereka mendengar ketika pak Rahman mengucapkan keikhlasan untuk menikahkan anaknya dengan bahagia membuncah.


“Saya nikahkan, ananda Damian bin Sutiman, dengan Raya Arimurti binti Rahman Adijaya, dengan mas kawin seperangkat alat shalat.”


Lalu Damian menyalami sang calon ayah mertua dengan mengucapkan kabul.


“Saya terima nikah dan kawinnya,  Raya Arimurti binti Rahman Adijaya dengan mas kawin yang sudah disebutkan.”


Raya terhenyak ketika yang hadir dengan serentak mengucapkan kata ‘sah’ dengan gempita.


Pernikahan itu usai, Damian dan Raya sudah sah menjadi suami istri. Mereka bergandengan tangan dengan bahagia yang sempurna.


Bu Rahman yang berjalan di samping Raya, masih berucap dengan pelan, namun jelas.


“Aku ingatkan kamu, kulit kamu itu sensitif. Cincin itu jangan terus-terusan kamu pakai. Sejak dulu, kamu akan merasa gatal-gatal kalau memakai perhiasan yang bukan emas.”


Raya menoleh ke arah ibunya dengan sedih. Ternyata restu dari ibunya, belum seutuhnya diberikan.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment