SEBUAH PESAN 37
(Tien Kumalasari)
Bu Rahman tertegun. Tentu saja dia tidak percaya bahwa Damian memiliki banyak uang sehingga bisa membayar biaya rumah sakit istrinya, di kamar VVIP pula. Orang biasa saja tak akan mampu, apa lagi Damian yang hanya orang miskin.
“Pak, mengapa Bapak tidak menyuruh petugas itu untuk mengembalikan saja uang yang sudah dibayarkan Damian, lalu pakai uang Bapak sendiri,” geram bu Rahman karena merasa kalah duluan.
“Mana bisa begitu Bu, seperti pembayaran antar orang saja. Uang yang sudah masuk di sini tidak bisa keluar lagi. Yang bisa kita lakukan adalah menukar uang Damian yang sudah dibayarkan, supaya Damian tidak terbebani.”
“Ya sudah, segera saja Bapak kembalikan, nanti kalau dia banyak hutang, anak kita juga akan ikut susah dan malu. Bisa-bisanya ngutang untuk gaya-gayaan, biar dikira mampu membiayai istrinya yang sedang sakit," omel bu Rahman.
Raya yang semula diam saja, terpaksa membuka mulut karena kesal kepada ucapan-ucapan ibunya.
“Pak, Bu, tadi Damian bilang, dia punya tabungan. Jadi dia tidak meminjam uang dari siapapun,” kata Raya.
“Huh, omong kosong apa itu? Mana bisa uang tabungan dia cukup untuk membayar biaya rumah sakit. Coba Pak, berapa uang yang dititipkan Damian di rumah sakit ini.”
“Katanya lima puluh juta, dan biaya pemeriksaan sebelumnya juga sudah lunas.”
“Dia punya tabungan sebanyak itu? Omong kosong. Kamu itu cuma dibohongi sama suami kamu Raya. Nanti kalau tiba-tiba di rumah kamu ada orang menagih hutang, baru kamu merasa malu.”
“Ya sudah Bu, tidak usah dipermasalahkan. Nanti aku akan ketemu Damian dan menanyakannya. Kalau itu uang dari meminjam, aku akan minta agar dia membayarnya dengan uangku.”
“Ya sudah, secepatnya Bapak berikan uangnya. Dasar tak tahu malu.”
Raya diam-diam menitikkan air mata. Sedih sekali hatinya mendengar ibunya terus menerus menjelek-jelekkan suaminya.
“Raya, kenapa kamu menangis? Tidak usah sedih, nanti ayah kamu yang akan membayarya, kamu tidak akan susah dan malu karena ditagih utang," kata sang ibu yang mengira anaknya sedih kalau sampai ditagih utang.
“Raya sedih karena Ibu selalu menjelek-jelekkan Damian. Dia suami aku Bu, kalau dia sakit, aku juga merasa sakit. Kalau ibu mengumpat dia, aku juga merasa terluka,” isaknya
“Raya, kamu itu salah terima. Ibu hanya menjaga supaya kamu hidup tenang. Suamimu yang sombong itu, kalau dibiarkan nanti hanya akan membuat kamu susah. Percayalah sama ibu.”
“Sudah Bu, hentikan. Sudah jelas Raya terluka dan menangis. Nanti kalau dia sedih lalu sakitnya bertambah parah, bagaimana?”
Bu Rahman terdiam, ia mengusap air mata Raya, tapi dikibaskan oleh Raya.
“Kamu kok begitu sih, ibu melakukan ini, karena sayang sama kamu. Tahu begini, aku carikan kamu suami yang baik. Dulu ada anak pengusaha teman ayahmu yang ingin mengambil kamu sebagai menantunya. Keburu kamu tergila-gila sama tukang kebun itu.”
“Sudah Bu, diam. Ibu hanya menambah sedih hati anak kita saja. Sekarang ayo kita pulang saja,” kata pak Rahman gusar. Ia mengelus kepala Raya dan mencium keningnya.
“Kamu harus sehat. Sekarang bapak sama ibu mau pulang ya, sebentar lagi suami kamu pasti datang menemani kamu. Jangan memikirkan apa yang dikatakan ibumu.”
Raya mengangguk. Memang lebih baik kalau ibunya pulang saja, karena kalau dia mendengar omelan-omelan yang isinya hanya merendahkan Damian, Raya akan semakin terluka. Baginya, Damian adalah laki-laki baik yang tak ada cacat celanya. Ia merasa tak salah pilih, dan dia berjanji akan menjaga pernikahannya agar selalu merasa tenang dalam hidupnya.
***
Abi baru pulang kerja di sore hari itu, ketika mendapati Kamila sedang tertidur di ruang tengah. Abi heran karena biasanya Kamila selalu menunggu di teras saat kepulangan suaminya. Ia mendekat, dan meraba kening sang istri, barangkali dia sakit. Karena sentuhan itu, Kamila terbangun.
“Eh, sudah pulang?”
“Iya, aku berharao ada yang menunggu aku di teras seperti biasanya, ternyata tidak.” kata Abi sambil mencium kening istrinya, sambil duduk di sampingnya.
“Badanku agak kurang enak, ditambah ada berita yang kurang enak pula dari rumah.”
“Berita apa?”
“Raya dirawat di rumah sakit. Ibu yang menelpon.”
“Sakit apa, dia?”
”Katanya dadanya sesak. Ibu kesal karena mungkin rumahnya kurang memadai, sehingga membuat Raya sakit napas.”
“Masa karena rumah sih. Aku lihat rumahnya baik-baik saja. Bersih dan rapi, walaupun sangat sederhana.”
“Iya sih. Nggak tahu, kenapa ibu tadi bilang begitu.”
“Ibu tidak suka pada Damian, sehingga mencari-cari kesalahannya. Padahal Raya tampak sangat bahagia. Lagi pula kalau karena udara tidak bersih, mengapa Damian yang tinggal di sana selama bertahun-tahun masih baik-baik saja?”
“Iya juga sih. Tadi ibu sedang menunggu bapak, yang katanya sedang menemui dokternya. Setelah itu belum mengabari lagi. Aku ingin menelpon, dan sebenarnya juga ingin pulang untuk melihat keadaan Raya, tapi badanku rasanya nggak enak.”
“Tuh, kamu kecapekan barangkali. Kamu mengerjakan semuanya sendiri sih. Masalah Raya kita tunggu saja berita selanjutnya, kalau hanya sakit ringan saja ya tidak usah pulang, kalau kamu sedang tidak enak badan. Cari pembantu saja ya.”
“Tidak, mengapa mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak begitu berat harus mencari pembantu? Barangkali memang aku sedang tidak enak badan saja.”
“Rasanya bagaimana?”
“Lemas, malas ngapa-ngapain. Bekas makan siang juga belum aku bersihkan. Oh ya, aku juga belum membuatkan minum untuk kamu.”
“Nggak usah, biar aku buat sendiri saja. Biasanya juga buat sendiri kok, itupun kalau lagi pengin minum-minum.”
“Jangan, itu kan sekarang menjadi pekerjaan aku. Setelah punya istri, kamu harus makan dan minum dengan lebih teratur. Kalau tidak, nanti aku dikatain istri yang tidak perhatian sama suami,” kata Kamila sambil berdiri.
“Katanya kamu sakit.”
“Tidak apa-apa kalau hanya membuat minum saja. Mungkin benar, aku hanya kecapekan.”
“Baiklah, aku ganti baju dulu kalau begitu.”
Kamila mengangguk, lalu melangkah ke belakang.
Abi masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan belum ingin mandi karena sebenarnya sedang mengkhawatirkan keadaan istrinya. Ia menganti baju dan beranjak keluar. Tapi sudah sekian lama, Kamila belum juga muncul dari dapur. Abi melangkah menuju dapur, dan terkejut melihat istrinya duduk di kursi dapur dan menelungkupkan kepalanya di meja.
“Mila, ada apa?”
“Kepalaku pusing sekali.”
“Kita ke dokter saja.”
“Aku coba minum obat pusing dulu, barangkali reda.”
“Jangan sembarangan minum obat, kalau belum jelas apa sakitnya. Pokoknya kita ke dokter.”
“Sekarang Mas?”
“Ya sekarang dong, aku nggak mau ketika aku bekerja lalu kepikiran kamu terus. Semuanya harus jelas, sakit benaran atau hanya kecapekan.”
Kamila mengangkat kepalanya yang terasa berat. Abi menuntunnya ke arah kamar, dan membantunya berganti baju yang pantas untuk pergi ke dokter.
***
Abi menuntun istrinya memasuki ruang tunggu dokter. Dokter yang satu ini pasiennya lumayan banyak. Abi mendapat nomor lima. Dan walaupun hanya lima, tapi memeriksa satu pasien saja bisa hampir setengah jam. Apa lagi kalau pasiennya banyak bertanya, atau ada masalah yang harus di bicarakan dengan dokternya. Disebelah ruang praktek dokter itu juga ada dokter lain yang praktek. Seorang wanita, spesialis kandungan. Ada beberapa pasien yang menunggu di sana. Menurut salah seorang yang duduk di dekatnya, mereka adalah suami istri.
Kamila tampak tak sabar. Dia menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.
“Lama sekali sih,” keluhnya.
“Sabar, kurang dua pasien lagi. Pusing sekali ya?” tanya Abi sambil memijit-mijit kepala istrinya.
“Tak tahan, lama-lama jadi mual nih.”
“Membawa minyak angin nggak?”
Kamila menggeleng.
“Aku beli dulu di warung ya, kamu tunggu di sini.”
“Jauh nggak warungnya?”
“Nggak, aku tadi melihat ada warung dua rumah dari sini. Tak akan lama,” kata Abi sambil berdiri, kemudian melangkah menjauh.
Abi bergegas memasuki warung dan mengatakan apa yang ingin dibelinya. Ia segera membalikkan badan agar bisa segera memberikan minyak angin itu kepada istrinya. Tapi ketika ia memasuki ruang tunggu dokter itu lagi, ia melihat seseorang keluar dari ruangan dokter kandungan. Ia heran karena wanita itu adalah Juwita. Tapi Juwita tampak berjalan dengan lesu.
“Itu kan Juwita,” kata Kamila yang lebih dulu melihatnya.
Mendengar orang menyebut namanya, Juwita menoleh. Ia terkejut ketika melihat Abi dan istrinya. Bukannya sungkan, Juwita malah mendekat.
“Aku ingin menggugurkan kandungan ini, tapi semua dokter menolaknya,” katanya tanpa basa basi.
“Apa? Mengapa digugurkan?” kata Kamila yang sejenak melupakan pusing di kepalanya karena terkejut mendengar orang mau menggugurkan kandungan.
“Keadaan aku yang seperti ini sangat mengganggu. Kehamilan menghambat aku mencari uang.”
“Bayi itu kan tidak berdosa? Dosa kamu akan berlipat-lipat kalau menggugurkannya,” kata Abi.
“Persetan dengan dosa itu. Pokoknya aku merasa sangat terganggu. Kalau dokter tidak mau melakukannya, aku akan mencari jalan lain.”
“Apa kamu sudah gila?”
Juwita menjawab lagi, entah apa jawabnya, tapi keduanya segera berdiri karena nama Kamila sudah dipanggil. Mereka segera memasuki ruang praktek dokter itu.
Dokter yang sangat ramah itu kemudian memeriksa Kamila dengan teliti, tapi kemudian sang dokter tersenyum.
“Ini bukan sakit, kalau menurut saya.
“Apa maksud dokter?”
“Kemungkinannya adalah, bahwa istri Anda ini hamil.”
“Hamil?” pekik Abi dan Kamila bersamaan.
“Baru pertama kali ini ya?”
“Iya, baru beberapa bulan kami menikah.”
“Baiklah, tapi saya bukan ahlinya. Sebaiknya Anda memeriksakan ke dokter kandungan, agar benar-benar yakin kalau Anda memang hamil.”
“Baiklah, saya akan langsung. Bukankah di sebelah itu dokter kandungan?”
“Benar, silakan kalau mau periksa ke situ, dia istri saya,” kata sang dokter yang lagi-lagi tersenyum.
Abi dan Kamila segera keluar dan mendaftar ke dokter kandungan yang prakteknya bersebelahan dengan suaminya.
Ketika menunggu itu mereka kemudian teringat kepada Juwita.
“Mana dia?”
“Sudah pergi lah, kan sudah selesai dia konsultasi ke dokter kandungan itu?”
“Bukan begitu, aku ingin membujuknya agar dia tidak menggugurkan kandungannya. Itu sudah besar lho. Perutnya sudah kelihatan membuncit.”
“Benar, sudah gila dia. Semoga ada orang lain yang mengingatkannya. Padahal kehamilan itu kan membahagiakan? Kamu tahu Mila, aku bahagia sekali mendengar kata dokter tadi.”
“Kan harus dibuktikan kebenarannya. Harus menunggu sebentar lagi.”
“Iya, tak sabar menunggu.”
“Tapi ngomong-ngomong mana minyak angin yang tadi Mas beli? Sampai lupa aku, gara-gara ketemu Juwita, lalu mendengar dari dokter bahwa kemungkinan aku hamil,” katanya yang kemudian menerima minyak angin yang diberikan suaminya, lalu menggosokkan minyak angin itu ke pelipisnya, karena rasa pusingnya kembali terasa.
“Masih pusing ya?”
“Tadi lupa rasa pusingnya, sekarang terasa lagi.”
Tapi mereka benar-benar bahagia ketika dokter kandungan juga mengatakan bahwa Kamila benar-benar hamil.
Sepanjang perjalanan Abi berpesan kepada istrinya dengan kata-kata yang dipenuhi kata ‘tidak’, Tidak boleh terlalu capek, tidak boleh memasak, tidak boleh lupa minum obatnya, dan banyak lagi kata tidak yang diucapkannya.
“Aku akan segera mengabarkannya pada ibu tentang kehamilan ini,” kata Kamila sambil tetap menyandarkan kepalanya di bahu sang suami.
***
Damian sudah kembali ke rumah sakit, setelah ke bengkel untuk minta ijin, dan pulang mandi untuk berganti pakaian rapi.
Raya tampak senang ada Damian di sampingnya.
“Aku menyusahkan kamu, bukan?”
“Mengapa kamu berkata begitu?”
“Kamu harus membayar biaya rumah sakit yang pastinya tidak sedikit, karena kamu memilihkan kamar yang mahal untuk aku.”
“Jangan dipikirkan. Apa yang terjadi pada istri, sepenuhnya menjadi tanggung jawab suami, dan itu bukanlah beban yang berat.”
“Ibu mengira kamu mendapatkan uang dari meminjam, benarkah?”
“Bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku punya tabungan?”
“Sebanyak itu?”
"Kamu tidak usah berbicara tentang itu semua. Kamu harus yakin kalau suami kamu mampu melakukannya dan tidak akan memberatkan kehidupan kita. Yang penting sekarang kamu harus cepat sembuh."
“Iya, kata dokter aku tidak apa-apa dan akan segera pulih.”
“Kamu tahu apa yang aku inginkan setelah kamu pulih?”
“Apa? Memasak buat kamu, menyiapkan semua kebutuhan kamu …”
‘Tidak …”
“Lalu apa? Jangan yang susah-susah dong.”
“Aku ingin kita segera memiliki seorang anak.”
“Haaa?”
Lalu senyuman mereka merekah. Raya tersipu malu.
***
Besok lagi ya.
No comments:
Post a Comment