Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (41)

SEBUAH PESAN  41


(Tien Kumalasari)


 


Tamu itu menatap Raya tak berkedip, membuat Raya tersipu. Kemudian senyuman sang tamu melebar. Tamu itu sudah setengah tua, ganteng dan gagah. Ia bukan orang Indonesia. Tiba-tiba Raya melihat raut wajah yang mirip dengan tamu itu, wajah Damian. Dan Raya bertanya-tanya, siapa gerangan dia?


Raya hampir membuka mulutnya ketika tamu itu berkata dengan bahasa Indonesia yang sedikit cedal.


“Apakah kamu Raya?”


Raya terkejut, bagaimana sang tamu bisa menebak namanya?”


“Kamu pasti Raya, istri Damian, bukan?”


Raya mengangguk pelan.


“Kamu bingung ya? Damian sudah mengatakan pada saya kalau dia sudah menikah dengan seorang gadis cantik bernama Raya. Kamu, bukan?”


Raya kembali mengangguk, dan tiba-tiba laki-laki gagah itu memeluknya.


“Raya … Raya … “


Raya gelagapan.


“Damian memanggil aku om Alex,” katanya sambil melepaskan pelukannya.


“Om Alex? Mengapa tidak kamu persilakan om Alex masuk, Raya?” tiba-tiba Damian keluar dari dalam dan segera merangkul pundak Raya.


“Silakan masuk Om, mengapa tidak bilang kalau Om mau datang?”


Alex, sang tamu, melangkah masuk, dan memilih duduk di kursi teras.


Damian masih memeluk isterinya, lalu mengajaknya duduk di depan tamunya. Raya masih tampak bingung.


“Raya, banyak yang belum aku ceritakan sama kamu. Dia itu om Alex, kakak dari almarhumah ibu aku.”


Raya menatap Alex yang tersenyum lebar melihat kebingungan istri keponakannya.


“Jadi ….”


“Jadi dia adalah kerabat aku, dari Amerika.”


Raya memelototi suaminya. Banyak yang belum dia ceritakan. Ternyata ibunya orang bule. Pantesan suaminya begitu ganteng. Yang namanya Alex ini sebenarnya mirip Damian, hanya mata Alex berwarna biru, dan Damian kecoklatan.


“Mengapa kamu tidak pernah cerita?” kata Raya sambil menatap suaminya dengan wajah cemberut.


Damian tertawa. Dielusnya pipi istrinya sambil tersenyum.


“Masih banyak yang belum aku ceritakan sama kamu.”


“Damian, mengapa kamu merahasiakan hidup kamu sama istri sendiri?” tegur Alex.


Damian tertawa.


“Kami masih tenggelam dalam keindahan berpengantin baru, Om, belum sempat cerita semuaya,” kata Damian seenaknya.


Alex terbahak mendengar jawaban keponakannya.


Raya kemudian berdiri.


“Saya buatkan minum dulu,: katanya sambil berlalu.


“Kapan Om datang?”


“Baru pagi tadi. Ada sebuah urusan yang sekarang sudah aku selesaikan, lalu menemui kamu. Ada salam dari keluarga kamu di sana, dan ucapan selamat dari mereka. Mereka juga menitipkan hadiah untuk istri kamu,” kata Alex sambil mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tasnya.


“Nanti Om berikan sendiri saja sama dia," kata Damian.


“Baiklah. Lalu kamu sudah mengurus kuliah kamu?”


“Besok saya mulai, tapi saya juga masih merahasiakannya sama Raya,” kata Damian pelan, sambil menutupkan jari telunjuknya di bibir.


Alex tertawa.


“Kamu aneh, Damian.”


“Ada ceritanya, nanti saya bilang sama Om.”


Raya keluar membawa dua gelas teh hangat.


“Silakan diminum, Om.”


“Terima kasih, cantik,” kata Alex ramah sambil menghirup tehnya.


Damian menarik tangan istrinya agar duduk lagi di dekatnya.


“Enak minumannya. Oh ya, Raya … aku membawa sesuatu untuk kamu,” kata Alex sambil mengulurkan kotak berselimut beludru merah, kehadapan Raya.


“Ini apa?” tanya Raya bingung.


“Hadiah perkawinan dari keluarga suami kamu di sana. Terimalah.”


“Oh ….”


“Buka lah, Ray,” kata Damian.


Raya membukanya dengan tangan gemetar. Banyak pertanyaan di benaknya yang belum terjawab. Tentang keluarganya yang ada di luar negeri, mungkin masih banyak hal yang disembunyikan suaminya, entahlah. Ia membuka kotak cantik itu hati-hati, lalu terbelalak melihat isinya. Satu setel perhiasan emas bertahtakan mutiara asli, yang berkilat-kilat menakjubkan.


“Ini … ini … untuk saya?”


“Tentu saja Raya, kalung, cincin dan bros. Istri aku yang memilihkannya, tapi entahlah ukuran cincinnya, kalau kebesaran bisa dikecilkan di sini kan? Cobalah.”


Damian membantu mengenakan cincin di jari Raya, lalu berteriak.


“Pas sekali, Om. Lihat, cantiknya.”


“Kalungnya juga dong,” perintah om Alex.


 Damian mengambil kalung mutiara itu dan dikalungkannya pada sang istri.


“Waauuww, aku sudah bilang, istri kamu cantik sekali.”


“Raya, karena aku tidak bisa memberikan perhiasan untuk kamu, maka om Alex memberikannya, aku harus berterima kasih pada Om, bukan?” kata Damian kemudian pada Alex.


“Itu bukan dari aku, tapi dari keluarga di sana. Nanti aku sampaikan ucapan terima kasih kamu pada mereka.”


“Baiklah Om.”


“Pada suatu hari nanti, kamu harus mengajak istri kamu ini menemui mereka. Mereka pasti akan senang.”


Damian menatap Raya.


“Maukah?”


Raya hanya tersenyum. Ia tak ingin bermimpi tentang pergi ke luar negeri dengan keadaan suaminya sekarang ini, tapi ia tak ingin mengecewakan om Alex yang mengundang dengan sangat manis.


“Kalau Allah mengijinkan,” jawab Raya sambil tersenyum.


“Dam, kamu benar-benar tidak ingin merenovasi rumah kamu?”


Damian mengedipkan sebelah matanya pada om Alex yang kemudian dimengerti maksudnya.


“Iya Om, pelan-pelan, Damian akan mengumpulkan uang terlebih dulu.”


“Menurut Raya, rumah ini sudah bagus Om. Saya tidak ingin lebih. Nanti Damian akan bekerja keras untuk itu, sementara saya tidak mau dia kecapekan,” kata Raya lugas.


Alex tertawa.


“Suami kamu seorang pekerja keras, dia pasti bisa mewujudkannya.”


Raya menatap Damian, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak ingin suaminya bekerja keras hanya untuk menyenangkannya.


***


Malam itu pak Rahman melihat istrinya tampak murung. Pernikahan putri bungsu yang tak dikehendakinya membuatnya merasa kecewa di sepanjang hari-harinya. Pak Rahman yang sabar selalu mengingatkan bahwa kehidupan manusia itu sudah diatur oleh Sang Pencipta, tak ada yang bisa melampaui garis yang menentukannya.


Keluhatannya bu Rahman selalu mendengarkan petuah itu, tapi sangat sulit rasanya menerima nasib yang menimpa putri bungsunya.


“Bu, daripada melamun, ayo kita jalan-jalan. Sudah lama kita tidak pergi berduaan. Mau ya?” ajak pak Rahman.


“Ke mana?”


“Pokoknya jalan-jalan. Biasanya kamu suka ke mall, makan-makan di restoran langganan. Bagaimana?”


“Terserah Bapak saja.”


“Jangan terserah aku dong Bu, aku itu ingin menyenangkan kamu. Kalau orang itu suka melamun, nanti pikirannya akan lari ke mana-mana. Tidak peduli sekitar, dan asyik dengan lamunannya. Kalau sudah begitu, nanti didekati setan lhoh Bu.”


“Aku masih selalu memikirkan Raya.”


“Lha kenapa Ibu terus memikirkannya? Dia bahagia kok. Bukankah itu yang diinginkan setiap orang tua? Dan bahagia itu letaknya bukan dari harta yang dimiliki, tapi dengan rasa syukur dan ikhlas yang tulus.


“Bapak sudah sering mengatakannya,” kesal bu Rahman.


“Ibu kalau mendengar sekali juga belum tentu bisa mengerti sih. Ya sudah, ayo bersiap, kita jalan-jalan saja.”


Karena desakan sang suami, bu Rahman terpaksa berangkat.


“Nanti kalau Ibu melihat keramaian, lalu melihat barang-barang bagus, pasti terhibur deh.”


“Iya, aku ganti pakaian dulu,” kata bu Rahman yang kemudian beranjak pergi ke kamar. Pak Rahman tersenyum. Ia berharap sang istri bisa terhibur.


***


 Ketika berjalan-jalan di mall itu, bu Rahman berhenti di sebuah gerai toko emas. Ia memilih-milih dan tampak sibuk.


“Bu, Ibu mau beli apa lagi? Perhiasan di rumah sudah banyak, lebih bagus.”


“Bukan untuk ibu Pak, mau ibu berikan pada Raya,” kata bu Rahman yang terus memilih-milih. Pelayan toko sampai sibuk mengeluarkan mana yang dipilih, kemudian memasukkannya lagi karena tidak cocok. Itu terjadi berkali-kali. 


"Bu, sudahlah, jangan dilanjutkan.”


“Bapak ini gimana sih, aku tidak tega melihat Raya memakai perhiasan imitasi.


“Raya kan juga sudah punya perhiasan sendiri sebelum dia menikah.”


“Benar, tapi setelah menikah suaminya tidak memberikan sesuatu yang pantas. Ibu ingin memberikannya, supaya suaminya malu.”


“Jangan Bu, hentikan. Damian selalu menolak semua pemberian, dan aku sudah menyanggupinya untuk tidak memberikan apapun.”


“Tapi ini untuk anakku, masa tidak boleh?”


“Raya sudah menjadi istri Damian. Semua yang kita berikan, Damian sudah pasti tahu, dan dia tidak akan mau menerimanya. Ayo kita pergi, perutku lapar sekali, kita makan di restoran terdekat ya,” kata pak Rahman sambil menarik lengan istrinya. Penjaga toko memasukkan kembali barang-barang sudah berjejer di atas meja etalase.


Wajah bu Rahman muram. Kesal suaminya melarang dia memberikan perhiasan bagus untuk Raya.


Ketika duduk di rumah makan pun wajah muram itu belum juga hilang.


“Sekali lagi aku bilang Bu, jangan lagi memikirkan Raya. Biarkan saja dia. Bukankah ini adalah jalan yang sudah dipilihnya?”


“Mana ada orang tua yang tega melihat anaknya sengsara?”


“Kita lihat saja nanti. Bahagia itu bukan harta. Ayo kita biarkan mereka menata hidupnya. Kita justru karus mendoakan agar mereka hidup bahagia.


Bu Rahman menghela napas panjang, susah untuk mengikhlaskannya.


“Ayo pesan makanan, aku kan bilang bahwa sudah lapar?”


“Ya sudah, Bapak saja yang pesan, aku ngikut saja. Tapi aku mau es beras kencur.”


“Baiklah, makannya terserah bapak ya?”


Tiba-tiba mata bu Rahman melihat ke arah pintu masuk. Ada yang membuatnya terkejut. Ia melihat Raya dan Damian. Raya bergayut manja di lengan suaminya. Bu Rahman mencibir.


“Anak bodoh. Lihat Pak, untuk menyenangkan istrinya, Damian membuat manik-manik yang biasanya untuk tasbih, lalu dikalungkannya pada istrinya,” katanya ketika melihat Raya mengenakan kalung  mutiara yang berkilat-kilat.


Pak Rahman ikut memandang ke arah depan.


“Masa sih, itu manik-manik tasbih?”


“Kalau tidak, lalu apa? Butiran-butiran putih seperti mutiara itu, bukankah dibuat dari manik-manik supaya bisa menyerupai mutiara? Bapak sih, tadi melarang ibu membeli perhiasan yang bagus,” gerutu bu Rahman.


“Siapa tahu mutiara beneran.”


“Ya ampun Pak, apa mutiara itu murah? Lagian itu bukan hanya mutiara, ada butiran-butiran kuning diantaranya.”


“Itu bukannya emas?” pak Rahman masih berusaha membantah istrinya.


“Omong kosong apa, Bapak ini.”


Tapi kemudian bu Rahman heran, melihat seorang laki-laki bule mengikuti keduanya, kemudian duduk di meja yang sama.


“Kok mereka bertiga, siapa laki-laki asing itu?”


“Mari kita dekati mereka,” ajak pak Rahman.


“Nggak mau. Mengapa harus kita yang mendekati mereka? Apalagi ada orang aneh yang bersama mereka.”


“Itu bukan orang aneh. Dia itu bule, yang mungkin saja bos nya Damian. Aku ke sana ya?”


“Jangan, kalau Bapak nekat, aku mau pulang.”


“Huhh, Ibu lah sebenarnya orang aneh itu,” kesal pak Rahman yang kemudian memilih duduk diam sambil menunggu pesanan,


Sayangnya Raya dan Damian tak melihat ada pak Rahman serta istrinya, dan yang melihat lebih dulu juga tidak menyapa atau memanggil. Rumah makan itu lumayan ramai, pelanggan berjubel, jadi tidak aneh kalau sampai pak Rahman dan bu Rahman pulang tidak saling bertemu.


***


Pagi hari itu Alex menemui Damian di bengkel. Ia mengobrol sambil melihat Damian bekerja. Sebenarnya Agus meminta agar Damian menemuinya di depan, tapi Alex memaksa duduk di kursi pendek di dekat Damian, sambil melihat Damian bekerja.


“Aku sore nanti pulang, aku kan sudah bilang, Dam?”


“Ya Om, tapi siang ini nanti saya harus ke kampus. Ini hari pertama saya kuliah.”


“Iya, aku tahu, itu sebabnya aku menemui kamu di sini. Mengapa kamu merahasiakan semuanya dari istri kamu?”


“Itu berawal dari orang tua Raya, terutama ibunya, yang tidak suka Raya menyukai Damian. Dia menganggap Damian tidak pantas karena Damian hanya bekas tukang kebun.”


“Wah, sombong sekali dia. Padahal kamu kan banyak uang?”


“Damian tidak ingin memperlihatkannya. Damian harus tetap menjadi bekas tukang kebun yang miskin dan tidak berharga bagi orang tuanya, terutama Ibunya. Karena itu sampai sekarang Damian belum mau berterus terang tentang uang itu, bahkan saat Damian kuliah pun Raya juga belum tahu.”


“Apa kamu ingin menguji kesetiaan istri kamu? Kalau kamu orang miskin, apakah Raya akan tetap cinta sama kamu, begitu?”


Damian menggelengkan kepalanya.


“Tapi aku yakin Raya wanita yang baik, keadaan kamu yang sesungguhnya nanti, aku yakin justru akan membuat dia marah.”


Damian tampak diam. Kemungkinan itu ada. Tapi ia sedang menunggu waktu yang tepat untuk menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.


Ia yakin akan bisa mengatasinya.


***


Sebulan berlalu, Damian tetap bisa menyembunyikan saat dia bekerja sambil kuliah. Hanya Agus yang tahu, karena Damian wanti-wanti agar dia tak mengatakannya dulu pada Raya.


Hari itu Raya di wisuda. Sibuk belajar menjadi istri, Raya melupakan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Beberapa bulan yang lalu dia sudah lulus, dan hari ini saatnya wisuda,


Kecuali akan dihadiri Damian, suaminya, pak Rahman dan bu Rahman juga ingin menghadirinya. Sebelum berangkat, bu Rahman menelpon Raya.


“Raya, kamu kan harus dandan cantik. Apa kamu punya baju yang pantas?”


“Ada Bu, ibu tidak usah khawatir.”


“Kamu juga harus memakai perhiasan yang bagus. Kamu kan sudah punya yang dulu pernah ibu belikan?”


“Iya Bu.”


“Jangan kamu pakai kalung dari manik-manik putih itu, memalukan.”


“Manik-manik putih apa Bu?”


“Ibu melihat waktu kamu mau makan malam di sebuah rumah makan. Waktu itu bapak sama ibu juga sedang makan di sana.”


“Betulkah? Mengapa Ibu tidak memanggil Raya?”


“Bukan masalah itu. Ibu kaget ketika melihat kalung yang kamu pakai. Ibu yakin itu manik-manik yang menyerupai mutiara. Jangan lagi dipakai. Kalau kamu merasa perhiasan yang kamu sudah punya itu kurang bagus, akan ibu kirimkan punya ibu. Ibu masih punya beberapa.”


“Bu, yang ibu kira manik-manik itu mutiara asli, diseling dengan emas murni.”


“Jangan membuat ibu tertawa. Mana mungkin Damian mampu membelikan kamu perhiasan semahal itu?”


“Itu pemberian kerabat mas Damian yang ada di Amerika.”


“Apa?”


Bu Rahman terpana. Wajah seorang laki-laki bule yang makan bersama Raya dan Damian waktu itu, terbayang kembali di benaknya. Kerabat Damian?


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment