Saturday, July 15, 2023
SEBUAH PESAN 44
(Tien Kumalasari)
Raya memiringkan tubuhnya, memunggungi Damian. Damian segera membuka bajunya, mengeluarkan beberapa buku yang dibawa dibaliknya, lalu diletakkannya di atas nakas. Kemudian dia melepas sepatunya dan naik ke atas pembaringan.
“Non Raya marah ya?” katanya sambil memeluknya dari belakang. Tak ada reaksi. Raya seperti batu, diam tak bergerak.
Damian memainkan rambutnya, menggulung-gulungnya, menciumnya bertubi-tubi.
“Kenapa ya, wanita cantik rambutnya selalu wangi?”
Raya membalikkan tubuhnya sehingga berhadapan dengan sang suami, tapi kedua tangannya mendorong tubuhnya hingga hampir terjatuh. Maklum, ranjang itu tidak terlalu besar.
“Ya ampuun, kecintaanku kok tega ya? Kalau aku jatuh bagaimana? Sakit dong. Kalau aku nangis bagaimana?” kata Damian sambil memperlihatkan wajah setengah mewek. Tak urung Raya ingin tertawa melihatnya, tapi ia membalikkan lagi tubuhnya, untuk menyembunyikan tawanya.
“Hei, tertawa nggak boleh ditahan, nanti keluar lewat jalan lain lhoh,” kata Damian sambil menggelitik pinggangnya.
Raya membalikkan tubuhnya lalu memukul-mukul dada suaminya.
“Aduh, kok kejam ya istriku, cintaku, sayangku ….” lalu ia merengkuh tubuhnya sehingga Raya tak mampu bergerak.
“Ayo pukul lagi, pukul lagi … “ tantang Damian.
“Kamu bau!!” tiba-tiba Raya berteriak.
Damian mencium ketiaknya sendiri, lalu nyengir kuda.
“Bau ya?”
Damian melepas bajunya, celananya, lalu mengambil handuk, dan berlari ke kamar mandi. Ia tak ingin istrinya terganggu dengan bau tubuhnya yang menyengat. Maklum, ia berangkat dari pagi, ke bengkel, lalu berangkat kuliah. Udara sangat panas menyengat, tak heran kalau dia mandi keringat.
Raya bangkit, duduk sambil memeluk kedua lututnya. Matanya melirik ke arah nakas, dan melihat buku-buku yang pastinya baru saja diletakkan Damian setelah ketahuan menyimpannya di balik baju.
Raya menghela napas. Sesungguhnya dia tak ingin marah, tapi ia tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Ada banyak rahasia disimpan Damian dan dia seperti bodoh, tak tahu apa-apa.
Tadi dia bilang, kalau sudah lama mulai kuliah. Hanya sekilas, tapi membuatnya merasa tak dianggap. Bukankah dia istrinya? Bukankah sudah selayaknya kalau dia berbagi dalam setiap hal yang terjadi ataupun dilakukannya?
Ada rasa syukur yang tertutup oleh rasa kesal. Tapi dari mana dia punya uang untuk membiayai kuliahnya? Ia tahu berapa banyak gaji suaminya, karena sudah beberapa bulan ini suaminya selalu memberikannya.
Raya masih memeluk lututnya ketika Damian masuk ke dalam kamar dengan melilitkan handuk di tubuhnya.
Aroma wangi sabun mandi segera menyeruak ke sekitar kamar, dan Raya menyerap kesegaran yang ditebarkannya. Tapi ia masih bergeming. Ia harus tahu, mengapa Damian menutupi sesuatu darinya.
“Ray, ambilkkan baju gantiku dong, seperti biasanya.”
Raya tak menggubrisnya. Masih saja memeluk lutut dan sekarang ia menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya.
“Ray, kalau aku masuk angin bagaimana?” Damian merengek manja, sambil mencoba mendekat.
“Ray ….” panggilan itu terdengar menggelitik kupingnya.
Raya masih bergeming, lalu Damian mendekatinya.
“Ray, bajuku mana dong Ray, tega ya membiarkan aku seperti ini?”
Raya mengangkat wajahnya, kemudian berteriak.
“Ya ampuuun, kamu menakutkan,” teriaknya sambil melompat turun menuju almari, mengambil baju ganti suaminya lalu diletakkannya di atas kasur. Ngeri melihat handuk suaminya sudah terburai di lantai.
Damian tersenyum penuh kemenangan, tapi kemudian Raya lari keluar kamar.
“Ray!” teriak Damian sambil tertawa.
Tapi Raya sudah menutup pintunya, lalu berlari kebelakang.
Damian terkekeh geli.
***
Ketika kemudian Damian keluar dari kamar dengan pakaian rumah yang bersih dan wangi, Raya sudah menyiapkan teh hangat di atas meja. Sekesal apapun, menyiapkan minum di sore hari adalah kewajiban yang selalu dilakukannya.
“Terima kasih Raya, kamu baik sekali. Tapi kok masih cemberut begitu sih? Jangan-jangan teh nya terasa masam seperti wajahmu.”
Raya duduk, lalu Damian mengikutinya, duduk di sampingnya.
“Ray, aku minta maaf karena membuat kamu marah.”
Raya masih terdiam.
“Apa saja yang kamu sembunyikan dariku Dam? Aku sakit karena merasa bukan menjadi bagian dari hidupmu. Aku sakit karena ternyata kamu tidak mempercayaiku untuk memikul susah dan senangmu. Kamu mengesampingkan aku Dam, kamu menganggap aku tidak ada,” kata Raya diiringi isak.
Damian merengkuh Raya dengan kuat, mendekap kepalanya di dadanya.
“Ray, kamu adalah belahan jiwa aku. Aku sangat mencintaimu. Mengapa kamu berkata begitu?”
“Itu bohong.”
“Ray….”
“Aku yakin masih ada lagi yang kamu sembunyikan dari aku.”
“Bukan karena aku tidak menganggap kamu bagian dari hidupku. Juga bukan karena aku tidak mempercayai kamu, aku juga tidak pernah mengesampingkan kamu. Kamu ada, kamu adalah hidupku, Ray.”
Raya terisak, masih bersandar di dada suaminya.
“Aku akan menceritakan semuanya. Bukankah tadi aku sudah mengatakannya sama kamu? Sekarang akan aku katakan semuanya, agar tidak menjadi beban pikiran aku karena menyimpan semua ini sendirian.”
Raya mengusap air mata yang membuat baju Damian basah.
“Banyak hal yang mengejutkan dalam hidup aku Ray. Aku tiba-tiba merasa jatuh cinta kepada putri majikanku, lalu aku terpana ketika mengetahui bahwa sang putri itu juga mencintai aku. Lalu aku lari, untuk menghindari huru hara yang terjadi kalau keluarga kamu mengetahuinya. Lalu aku bekerja di bengkel, tapi kemudian bapak meninggalkan aku.”
Damian menghentikan ucapannya. Ia meraih gelas minuman yang disediakan istrinya, lalu meneguknya untuk menutupi isak yang tiba-tiba terasa menyesak. Kehilangan yang sangat membuatnya hidup merasa setelah meninggalnya sang ayah, Damian menata hatinya sebelum melanjutkan ceritanya.
“Lalu tiba-tiba om Alex datang. Seseorang yang belum pernah aku kenal, yang ternyata kakak dari almarhumah ibuku. Dia tidak tahu kalau bapak sudah tak ada, dan tentu saja dia juga berduka. Hal yang membuat aku lebih terkejut ialah, ketika om Alex memberikan aku uang warisan dari kakek aku di Amerika, sebanyak dua milyar.”
Raya mengangkat wajahnya, menatap sang suami yang kemudian mengangguk.
“Aku baru tahu bahwa pak Steward pernah mengirimi bapak surat yang mengatakan tentang uang itu, tapi bapak keburu meninggal sebelum mengatakannya sama aku.”
“Jadi sebenarnya kamu punya banyak uang?”
“Itu benar. Sesungguhnya aku punya banyak uang dari warisan kakek aku. Tapi Ray, aku tidak ingin serta merta menunjukkannya kepada siapapun. Bahkan ketika nyonya Rahman menghina aku, merendahkan aku dengan kata-kata menyakitkan, aku masih menerimanya dengan sabar, dan tak ingin mengatakan bahwa aku punya banyak uang yang pasti akan mengejutkannya.”
Raya merasa dadanya nyeri. Ibunya memang selalu merendahkan Damian, tapi tak pernah sedikitpun Damian membela diri dan mengatakan bagaimana sesungguhnya dia. Damian bahkan tetap menunjukkan ketidak mampuannya saat pernikahan, tanpa memberikan apapun kecuali sebentuk cincin yang diberikan saat melamar. Cincin itu selalu dipakainya, lalu diangkatnya jari manis sebelah kirinya.
“Ini adalah emas asli bukan?”
“Aku dulu mengatakan bahwa itu imitasi, seperti yang dikatakan ibu kamu.”
“Aku tidak percaya, karena aku memang alergi kalau memakai perhiasan yang bukan emas. Jadi ini aku yakini sebagai emas. Dan itu benar kan? Juga cincin yang kamu berikan saat pernikahan?”
“Sudah. Jangan membahas hal itu lagi. Yang penting kamu tahu, bahwa aku tak ingin menunjukkan semuanya kepada keluarga kamu.”
“Tapi aku kan istri kamu? Mengapa kamu tidak mengatakannya sejak awal? O, aku tahu, kamu sedang menguji aku bukan? Apakah aku akan tetap mau menjadi istri kamu walau kamu miskin, begitu kan?” cemberut lagi Raya.
“Tidak, bukan begitu. Sesungguhnya aku hanya ingin membuat kejutan sama kamu, saat aku menyelesaikan kuliah nanti, lalu kamu aku ajak di hari wisuda aku. Tapi semuanya buyar, kamu tahu lebih dulu.”
“Apakah kamu kecewa?”
“Bukan kecewa, hanya merasa kurang seru saja.”
Raya mencubit dada suaminya keras sekali, membuat Damian berteriak kesakitan.
***
Bu Rahman menghampiri bik Sarti di dapur. Dilihatnya pembantu setianya itu sedang bersih-bersih dapur.
“Sarti,” panggilnya.
Bik Sarti segera menghentikan kegiatannya.
“Kamu tadi sudah menemui Raya?”
“Sudah. Maaf Nyonya, belum bilang sama Nyonya, karena waktu saya kembali, Nyonya sedang berada di kamar, takutnya Nyonya sedang tidur.”
“Aku hanya tiduran. Bagaimana rumah itu? Layak dihuni atau tidak?”
“Ya layak sih Nyonya, masa tidak layak. Cuma, memang ya rumah sederhana, beda dengan rumah ini.”
“Ya itulah Raya, tinggal di rumah mewah kemudian berpindah ke rumah yang pastinya kotor dan kumuh. Pasti dia menderita.”
“Kalau kotor dan kumuh sih tidak, Nyonya. Biarpun sederhana tapi bersih. Dan non Raya tidak kelihatan menderita, Nyonya.”
“Menurut kamu begitu?”
“Non Raya sendiri bilang bahwa dia sangat bahagia.”
“Omong kosong, itu kan hanya untuk menutupi rasa malu karena kamu tiba-tiba datang dengan membawa lauk yang enak.”
“Non Raya mengatakan bahwa dia sangat mencintai Damian, eh, tuan Damian.”
“Hei, mengapa diganti pakai tuan segala? Biasanya memanggil Damian ya Damian saja, dari mana asalnya sebutan tuan itu?”
“Dia kan sudah menjadi suami non Raya, masa saya memanggil namanya begitu saja sih Nyonya.”
“Ya tidak apa-apa, biarpun suami wong tidak sejajar kedudukannya. Kamu tahu tidak, waktu Raya di wisuda, kelihatan sekali bahwa dia itu orang yang tidak terpelajar. Masa dia ngobrol dengan seorang dosen, guru besar pula, dan bicara soal bengkel?” katanya nyinyir, sok tahu.
“Barangkali langganan bengkelnya tuan Damian.”
“Hei, kenapa tuan lagi? Ya meskipun langganan, mestinya di forum seperti itu ya bicara sesuatu yang ada hubungannya dengan pendidikan, perkuliahan .. lha kok tentang bengkel. Memalukan.”
“Saya lanjutkan bersih-bersih dulu ya, Nyonya.”
“Tunggu dulu, waktu kamu beri lauk itu, apakah Raya kelihatan senang? Pasti senang karena lama tidak makan makanan enak.”
“Tidak, Nyonya. Non Raya berpesan, kali ini saja mengirim makanan, begitu, Nyonya. Lagi pula non Raya sudah bisa masak sendiri.”
“Sombong sekali Raya, ikut-ikutan suaminya. Apa hari itu dia juga sudah masak? Suaminya pastinya belum pulang.”
“Sudah, Nyonya.”
“Coba katakan, dia masak apa?”
“Masak sayur bayam bening dan goreng tempe Nyonya, juga ada sambal terasi. Tapi_”
“Ya ampun, anakkuuuu ….”
“Tapi saya juga melihat ayam goreng yang masih banyak di atas meja. Kan saya langsung meletakkan rantangnya di atas meja makan.”
“Ayam goreng? Kamu tidak salah lihat?”
“Benar, Nyonya. Tapi saya tidak bilang apa-apa, karena Non Raya hanya bilang masak sayur bening sama menggoreng tempe. Sekarang saya lanjutkan bersih-bersih dulu, Nyonya, sebentar lagi mau masak untuk makan malam.”
“Ya sudah sana, aku mau mandi,” kata bu Rahman sambil keluar dari dapur.
Bik Sarti menggeleng-gelengkan kepalanya, heran melihat kekerasan hati nyonya majikan yang sama sekali tidak mau mengerti tentang kebahagiaan anak.
***
Tapi sebelum mandi, bu Rahman mendengar suara dering bel tamu. Ia langsung bergegas ke arah depan.
Ketika membuka pintu, terdengar teriakan nyaring seorang gadis.
“Tante Rahman, apa kabar?”
“Hanna? Lama sekali kamu tidak kemari?”
“Iya, saya tadinya ikut papa ke Jakarta, tapi nggak kerasan, saya kembali ke sini, lalu kuliah lagi.”
“Ya ampun, Raya sudah lulus dan belum lama di wisuda lhoh.”
“Oh ya? Senangnya. Mana dia sekarang?”
“Raya sudah menikah,” kata bu Rahman yang wajahnya berubah muram.
“Ya ampun, kenapa saya tidak diundang? Kapan menikahnya?”
“Sudah beberapa bulan yang lalu. Tidak ada pesta, kenapa harus mengundang kamu? Bikin malu saja.”
“Memangnya kenapa, Tante?”
“Dia jatuh cinta sama seorang tukang kebun.”
“Apa? Raya cantik, jatuh cinta sama tukang kebun? Tante bercanda kan?”
“Tidak, itu benar. Ayo masuk dulu.”
“Tidak Tante, terima kasih. Saya hanya ingin memberikan undangan untuk Raya. Hanya undangan ulang tahun sih. Tapi tidak apa-apa kalau dia mau datang bersama suaminya.”
“Wah, malu-maluin kalau dia sama suaminya. Biar nanti aku beri tahu dia, mana undangannya?”
“Ini Tante. Nanti kalau Raya datang, akan saya kenalkan dengan pacar saya. Dia gagah dan ganteng. Dia teman kuliah saya. Untung Raya sudah punya suami, kalau enggak saya takut pacar saya jatuh cinta sama Raya.”
Bu Rahman tertawa.
“Bener nih, nggak mau duduk dulu?”
“Terima kasih Tante, saya nitip undangan ini saja. Saya baru pulang dari kuliah nih.”
“Undangan untuk Raya, biar saja, aku mau bilang sama Raya kalau yang diundang hanya perempuan, laki-laki nggak boleh ikut. Memalukan kalau nanti ditanya apa pekerjaan suaminya,” gumam bu Rahman sambil masuk ke dalam rumah.
***
Besok lagi ya.8
at July 15, 2023
Share
No comments:
Post a Comment