Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (50)

SEBUAH PESAN  50  


(Tien Kumalasari)


 


Serta  merta Raya memegangi perutnya. Masih rata tuh. Iya lah, kalau benar hamil, kan baru mulai. Lagi pula Abi bukan dokter. Ia hanya menyamakan apa yang dirasakan Kamila dulu ketika hamil, dan bukan berarti dirinya juga hamil kan?


“Tapi aku nggak mual tuh, nggak pengin muntah,” sergah Raya.


“Kata dokter Kamila, apa yang dirasakan seorang ibu ketika hamil muda, tidak sama antara satu dengan yang lainnya.”


Damian menoleh lagi ke belakang, menatap sang istri sambil mengedipkan sebelah matanya. Raya tak menanggapinya. Semua belum jelas, dan dia tak ingin harapannya kandas. Masa gejala kehamilan datang dengan tiba-tiba? Ia meraba kembali perutnya, tak terasa apapun.


Kita langsung ke dokter saja ya. Dokter kandungan langganan Kamila.


“Ya Mas, itu bagus.”


“Aduh, mengapa ke dokter?” Raya ingin menolak, selamanya dia tidak suka ke dokter.


“Untuk memastikan saja, kenapa sih, kalau ke dokter kamu selalu ketakutan?”


“Iya Ray, supaya jelas, hamil dan tidaknya.”


“Aku sudah nggak apa-apa kok, kita muter-muter saja,” kata Raya sambil menegakkan tubuhnya, tak ingin kelihatan kesakitan.


“Ray, nurut dong Ray,” bujuk Damian seperti kepada anak kecil.


“Iya, ini langsung ke dokter saja. Mudah-mudahan pasiennya tidak banyak, atau sudah hampir habis, karena ini sudah malam,” kata Abi yang langsung memacu mobilnya ke arah dokter langganan.


Raya merengut karena dipaksa, Tapi sebenarnya dia ingin tahu juga sih, apa benar dia mengandung? Kalau benar, alangkah senangnya, dan pasti Damian juga senang.


Abi menghentikan mobilnya di halaman praktek dokternya, dan melihat hanya tinggal satu pasien menunggu.


Damian turun, dan membantu istrinya turun juga.


“Hei, kenapa cemberut? Nanti hilang cantiknya, bagaimana?”


“Nggak mungkin, kamu pernah bilang, bahwa aku ini, walau sedang cemberut masih tetap cantik kok,” kata Raya.


Damian tertawa keras.


“Ada apa nih, kok kayaknya seru?” tanya Abi yang hanya mendengar Damian tertawa, tapi tak mendengar apa yang dibicarakan.


“Ini, Raya tuh selalu susah kalau disuruh ke dokter. Padahal sudah dua kali menginap di rumah sakit,” kata Damian sambil menggandeng tangan istrinya.


“Memangnya kenapa? Dokternya kan nggak pernah menggigit?” canda Abi yang kemudian mendahului mereka untuk mendaftar.


“Mas Abi ada-ada saja. Bagaimana kalau ternyata aku tidak hamil?”


“Ya tidak apa-apa, siapa yang mengharuskan kamu hamil sekarang? Nggak ada kan?”


“Ya sudah, nggak apa-apa ya, padahal sebenarnya aku ingin.”


Tapi kemudian Raya kembali merasa pusing. Ia cepat-cepat duduk di kursi tunggu, sementara pasian yang tinggal satu sudah dipanggil untuk masuk.


“Pusing sekali ya?”


“Kenapa ya, tiba-tiba begini?”


“Karena ini, mungkin,” kata Damian sambil mengelus perut Raya.


“Kamu yakin ada janin di perutku?”


“Kita tunggu saja apa kata dokter nanti.”


Ketika kemudian Raya dipanggil, Abi mempersilakan Damian mengantarnya, sedangkan dia menunggu di luar. Diam-diam Abi berharap, Raya benar-benar hamil. Lalu bisa meluluhkan hati ibu mertuanya. Apa sih sebenarnya kekurangan Damian? Dia baik, ganteng, sekarang malah bisa menduduki bangku kuliah. Entah duit dari mana, tapi Abi tak ingin menanyakannya.


Tiba-tiba ponsel Abi berdering. Dari Kamila.”


“Ya, Mila?”


“Kalian ada di mana? Perginya lama sekali. Jangan bilang kalian makan di luar ya, soalnya bibik sudah masak untuk makan malam kita. Kalau mau makan di luar, besok saja.”


“Ini lagi di dokter kandungan.”


“Apa? Kenapa di dokter kandungan?” tanya Kamila setengah berteriak.


“Raya.”


“Raya hamil?”


“Belum tentu, sedang diperiksa.”


“Kenapa tiba-tiba ke sana?”


“Dia mengeluh pusing dan lemas. Itu kan sama dengan keluhan kamu waktu awal kehamilan? Karena itu, maka aku mengajaknya ke dokter kandungan.”


“Ya ampun Mas, memangnya gejala seperti itu, sudah pasti kalau hamil?”


“Belum pasti, itu sebabnya mereka aku ajak ke dokter untuk memastikannya.”


“Sudah masuk dia?”


“Sudah dari tadi, ini aku menunggu di luar.”


“Duuh, kalau benar Raya mengandung, pasti bapak sama ibu akan senang.”


***


Ketika Kamila meletakkan ponselnya, pak Rahman dan bu Rahman segera mendekat.


“Siapa hamil?”


“Raya, Pak.”


“Raya hamil?”


“Belum tahu, ini lagi di dokter kandungan. Kita tunggu saja sampai dia pulang.”


“Apa karena dia mengeluh pusing sejak di dalam mobil Abi, maka ternyata dia hamil?” tanya bu Rahman.


“Belum tahu Bu, mereka lagi periksa ke dokter untuk memastikannya.”


“Kalau benar hamil, berarti kepergian kita bersama-sama ini membawa berkah. Ibu pasti senang, ya kan Bu?” kata pak Rahman.


“Bu Rahman tersenyum tipis, tapi dia mengangguk. Tampaknya masih berat rasanya untuk menerima Damian sebagai menantunya.


“Baiklah, biar bibik menyiapkan makan malam untuk kita, pasti mereka tak akan lama. Tempat praktek dokter itu tidak jauh dari sini. Pasti mas Abi mengajaknya ke sana.”


“Jangan-jangan mereka sudah  m akan di luar,” kata pak Rahman.”


“Tidak Pak, Mila sudah berpesan untuk tidak makan di luar, karena bibik sudah menyiapkan makan malam untuk kita semua. Masakan bibik tuh enak lho Pak, sama seperti masakan bik Sarti.”


“Syukurlah kamu mendapatkan pembantu yang baik dan tampaknya kamu juga cocok.”


“Mas Abi memaksa mencari pembantu, dan alhamdulillah baik, kami senang jadinya. Kan mas Abi melarang Mila bekerja terlalu berat saat hamil.”


“Suami kamu memang baik, dan ibu senang, dia sangat mencintai keluarganya,” kata bu Rahman.


“Damian itu juga baik lhoh Bu, dia sangat mencintai Raya, selalu menjaganya dan membuat Raya bahagia,” kata Kamila.


Bu Rahman tak menjawab. Ia beranjak ke belakang.


“Lhoh, Bu, mau ke mana?”


“Melihat bibik mengatur makan malam,” katanya sambil menjauh.


“Bibik kan sudah tahu apa yang harus dilakukannya,” gumam Kamila yang tahu bahwa sebenarnya ibunya menghindari percakapan tentang Damian.


***


Ketika bibik selesai menata meja makan, Kamila mendengar suara mobil suaminya memasuki halaman. Kamila menghambur ke arah depan, dan melihat ayahnya sudah berdiri di ujung teras. Berita tentang kehamilan Raya sangat ditunggu oleh mereka. Lama sekali rasanya menunggu pintu mobil itu terbuka, lalu Raya keluar dari sana. Ternyata Abi duduk sendirian di depan, sedangkan Damian duduk di belakang menemani sang istri.


“Bagaimana itu? Masa Abi disuruh sendirian di depan? Memangnya Abi itu sopir?” celetuk bu Rahman yang maksudnya adalah menyalahkan Damian, kenapa tidak menemani Abi di depan, sehingga terkesan Abi adalah sopir.


Tapi ketika Damian keluar, ia tampak membantu istrinya, lalu memapahnya mendekati rumah.


“Damian di belakang karena mendampingi Raya. Tampaknya dia benar-benar lemas,” kata pak Rahman sambil menatap istrinya tak senang, karena belum-belum sudah mencela.


“Raya, kenapa?” tanya Kamila cemas.


“Tidak apa-apa, Mbak,” jawab Damian.


“Itu, nggak bisa jalan sendiri ya?”


“Lemas, karenanya aku belum sempat mampir ke apotek untuk beli obatnya. Kamu telpon saja ke apotek,” kata Abi.


“Benar, Raya hamil?” tanya pak Rahman sambil membantu Damian memapah Raya.


“Tidak apa-apa Pak, ini, mas Damian yang memaksa memapah Raya, padahal Raya bisa berjalan sendiri.


“Kamu hamil?” tanya pak Rahman.


“Biar Raya langsung ke kamar saja,” kata Abi.


“Biar aku berjalan sendiri Dam, tidak apa-apa. Kayak orang sakit berat saja,” kata Raya sambil berusaha melepaskan pegangan Damian.


“Kamu bandel ya,” kata Damian yang tetap menggandeng istrinya, langsung diajaknya masuk.


“Raya hamil?” tanya Kamila, karena pertanyaan pak Rahman tidak segera di jawab.


“Tidak, ternyata Raya tidak hamil.”


“Oh, tidak ya?” gumam pak Rahman yang sebenarnya merasa kecewa.


“Lalu kenapa dia pusing dan lemah?”


“Tekanan darahnya terlalu rendah,” kata Abi lagi.


“Apa? Itu karena dia kurang makan, bukan? Kurang makan dan kecapekan,” kata bu Rahman tiba-tiba, dengan suara mengandung kekesalan yang teramat sangat.


 “Bu, kok Ibu bilang begitu. Jangan suka menyakiti  hati orang Bu, tahan rasa tidak suka itu di dalam hati, jangan semua masalah lalu ada hubungannya dengan kesalahan orang yang Ibu benci.”


“Ibu tidak membenci siapapun.  Ibu mengatakan apa adanya. Bagaimana orang bisa kekurangan darah, kalau tidak karena kurang makan?”


“Ibu salah, Tekanan darah rendah bukan berarti kekurangan darah,” sela Abi.


“Tapi yang mengakibatkannya sama kan?”


“Tidak selalu begitu Bu. Kekurangan cairan juga bisa menjadi penyebabnya.”


“Bapak, Ibu, mari makan dulu, keburu dingin masakan bibik,” kata Kamila dari belakang, yang mendengar kata-kata ibunya, dan merasa kesal.”


“Baiklah, ayo kita makan. Bagaimana obat untuk Raya?”


“Kamila sudah menghubungi apotek dan mengirimkan resepnya. Raya sudah duduk di ruang makan bersama suaminya tuh,” kata Kamila lagi.


“Di ruang makan, bu Rahman ingin mengatakan sesuatu, tapi pak Rahman belum-belum sudah mendahuluinya dengan kata-kata yang intinya melarang sang istri bicara.


“Ayo kita makan. Tentang Raya yang sakit, tidak usah dibicarakan lagi. Dokter sudah memberinya obat dan dia akan segera pulih.”


“Betul, dan namanya sakit, tidak perlu dicari-cari apa penyebabnya dan salah siapa. Penyakit bisa datang kapan saja dia ingin datang, dan itu sebabnya kita harus menjaga kesehatan kita masing-masing,” sambung Abi.


Damian dan Raya diam, tapi Damian melayani Raya makan dengan penuh kasih sayang, membuat Raya menjadi sungkan.


“Dam, aku kan nggak apa-apa. Sudah merasa baik kok. Biar aku mengambil makanan sendiri, dan juga makan sendiri.”


“Baiklah, makan yang banyak ya, dan juga minum yang banyak juga. Bukankah dokter menyarankan kamu harus banyak minum air putih?”


“Iya, aku memang kurang suka minum.”


“Sukanya es krim, ya kan?” sela Kamila.


“Makan yang bergizi dan jangan kecapekan. Lihat tuh, kakakmu Kamila, suaminya menyuruh mencari pembantu karena tak ingin istrinya kecapekan,” ternyata bu Rahman masih juga menemukan kata-kata untuk menjatuhkan menantunya.


“Raya lebih suka melakukannya sendiri,” kata Raya.


Damian diam, tidak perlu meladeni perkataan yang menyakiti perasaannya.


“Sudah, sudah … kapan makannya kalau ngomong terus?” kesal pak Rahman.


***


“Bapak dan Ibu masih lama di sini kan?” tanya Kamila ketika mereka sedang duduk santai di teras. Raya juga ada diantara mereka. Enggan di suruh tiduran, karena masih kangen sama kakaknya.


“Nggak apa-apa, bapak juga sambil istirahat. Sudah tua, tidak harus memforsir tenaga. Sebetulnya kan bapak ini sudah seharusnya istirahat.”


“Iya sih, bapak tidak harus selalu datang ke kantor setiap hari kan?”


“Benar. Sudah ada yang bapak percsya untuk mengurusnya, jadi bapak tidak harus turun tangan sendiri.”


“Asalkan orang itu harus benar-benar bisa dipercaya lhoh Pak,” kata Abi.


“Sejauh ini dia baik. Itu sebabnya bapak percaya.”


“Tapi harus diawasi juga Pak, jangan dilepas begitu saja.”


“Iya. Kalau saja anak bapak laki-laki, pasti sudah bapak suruh ikut mengendalikan perusahaan Bapak.”


“Damian pastinya bisa, dari pada dia bekerja di bengkel. Itu kan milik orang lain, sedangkan punya Bapak kan milik sendiri," kata Abi lagi.


Tiba-tiba entah karena apa, bu Rahman terbatuk-batuk. Raya segera mengambilkan minum untuk ibunya.”


“Kenapa sih Bu?”


“Mengurus perusahaan itu tidak bisa sembarang orang. Harus pintar dan cerdas,” kata bu Rahman kemudian.


“Bapak bukan anak kecil. Pasti sudah tahu mana yang terbaik," sambung Kamila.


“Bapak juga berpikir tentang Damian, barangkali nanti bisa membantu bapak.”


Damian terkejut.


“Jangan Pak, memegang perusahaan harus ditangani oleh orang yang pintar. Saya hanya orang rendahan,” kata Damian buru-buru.


“Damian, ada saatnya orang harus belajar. Aku yakin kamu bisa.”


“Jangan Pak, biarlah saya seperti ini saja.”


“Ya sudah, itu bisa kita pikirkan nanti. Apa kamu jadi akan pulang besok, Dam?” tanya pak Rahman pada akhirnya.


“Iya Pak, besok sore harus kembali.”


“Biar aku pesankan tiketnya,” kata Abi.


“Tidak usah Mas, aku sudah pesan sekalian untuk pulang besok,” jawab Damian sambil tersenyum.


***


Pagi hari itu Raya yang sudah tampak lebih segar, sedang memangku keponakan kecilnya, ditemani Damian. Keduanya tampak sangat bahagia. Sekilas orang melihat, pasti mengira bahwa bayi itu adalah anak mereka.


“Lucu ya, lihat … dia cantik sekali.”


“Bibirnya mirip kamu.”


“Iya lah, aku kan tante nya.”


Tiba-tiba sebuah mobil memasuki halaman. Damian dan Raya tidak tahu siapa mereka. Tapi ketika turun, Raya melihat bahwa tamunya adalah Rosa, sahabat kakaknya.


“Raya! Ternyata kamu ada di sini?” pekik Rosa ketika melihat Raya.


“Iya Mbak, baru kemarin. Tapi besok kami sudah harus kembali.”


“Ini suami kamu? Ya ampun, aku pernah melihatnya dong, waktu Kamila menikah, kamu masih pacaran sama dia kan?” kata Rosa ramah. Damian segera menyalami mereka. Tiba-tiba turun lagi seseorang, yang membuat Damian dan Raya terkejut. Ada Hanna.


Hanna melangkah mendekati mereka, senyum yang tersungging tidak begitu tulus. Kalau dia bilang rela melupakan Damian, setelah melihat Damian sedang berdua bersama Raya, dan tampak begitu mesra, terbakar juga hatinya.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment