Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (52)

 Tuesday, July 25, 2023

SEBUAH PESAN 52


(Tien Kumalasari)




Raya menatap suaminya tak percaya. Bukankah ia tak harus menghamburkan uang atau tak ingin memamerkan hartanya? Dengan membuat sebuah salon, akan tampak bahwa Damian punya uang untuk usaha.


“Mengapa kamu menatap aku seperti itu? Karena aku ganteng kan?” canda Damian.


“Dam, ini serius. Dengan keinginan kamu ini, kamu akan menunjukkan bahwa kamu punya harta yang semula tak ingin kamu pamerkan, bukan?”


“Tidak sesederhana itu Ray. Bukannya aku akan terus menerus menyembunyikan diri dari kepemilikan harta itu. Aku hanya tak ingin memamerkannya saat banyak orang mencemoohkan aku. Tak ingin membantah bahwa dugaan mereka salah. Aku tetap akan melakukan apa yang aku bisa, biarlah waktu yang akan bicara, siapa aku dan kamu sebenarnya. Keinginanku ini adalah sebuah usaha. Usaha yang bisa membuat uang kita tidak harus berjalan di tempat, juga usaha untuk membuat kamu memiliki kesibukan. Semakin ke sini aku semakin merasa, bahwa kamu pastilah kesepian saat aku tidak di rumah. Ini untuk kamu, dan aku tak peduli apa kata orang tentang usaha kita nanti. Kamu mengerti? Tadi kamu bilang ingin bekerja, tapi aku tidak suka itu. Kamu tidak boleh terbelenggu oleh pekerjaan kamu, sehingga kamu meninggalkan rumah dan terkadang harus mengesampingkan kebutuhan kamu dan kesibukan kamu untuk mengurus rumah. Tapi kalau usaha itu milik kita sendiri, kamu bisa mengurus rumah, mengurus usaha kamu, lalu kamu juga akan banyak teman, sehingga kamu tidak kesepian.”


“Dam, kamu sungguh baik, dan itulah sebabnya aku sangat mencintai kamu. Tapi kamu harus tahu, bahwa aku tidak punya basis kecantikan, atau buta dalam pengelolaan salon kecantikan. Bagaimana kalau aku mengecewakan kamu?”


“Kamu bisa kursus sebentar, sementara aku akan membantu mencarikan orang yang ahli dalam hal itu. Kamu suka? Atau, kamu tidak suka karena salon kecantikan adalah bukan bidang kamu?”


“Tidak begitu. Aku kan kuliah di jurusan management, dan itu bisa untuk bekal aku mengendalikan sebuah usaha.”


“Kamu betul. Aku suka akhirnya kamu mau mendukung usaha ini. Usaha yang sesungguhnya untuk kamu, milik kamu.”


Raya terharu, ia merebahkan kepalanya di dada suaminya, dan tanpa terasa air matanya merebak.


“Besok kita akan mulai. Kamu bisa belajar sekilas di sekolah kecantikan, aku akan mencari orang yang tepat untuk membantu kamu melakukannya.”


Malam yang mulai membayang, kehangatan saat meneteskan segala cinta, melupakan perut mereka yang semula kelaparan.


***


Waktu terus berjalan. Damian berhasil menemukan sebuah tempat yang tidak begitu jauh dari rumah, yang kemudian disulapnya menjadi salon kecantikan sesuai kebutuhannya nanti. Ada yang dipercaya mengelolanya, menjalankan usahanya, dan Raya akhirnya menyukainya. Damian membuat papan nama dengan nama SALON RAYA.


Raya tersenyum lucu.


“Mengapa salon Raya?”


“Ya iya lah, masa salon Damian?”


Raya terkekeh senang. Nama itu dianggapnya bagus, dan dia menyetujuinya.


Mulai hari itu salon itu dibuka. Baru satu dua pelanggan yang datang, dan Raya selalu menyambutnya dengan ramah. Ada dua karyawan lain selain satu orang yang lebih ahli di bidangnya. Raya juga mulai sedikit demi sedikit mempelajari semuanya. Memotong rambut, bukan hal yang susah. Mencuci muka, merawat wajah? Semuanya Raya bisa melakoninya. Ia bahkan mencukur rambut suaminya sendiri saat sudah kelihatan panjang.



“Hebat kamu Ray, aku kelihatan lebih muda dan ganteng bukan?” kata Damian sambil menatap wajahnya di cermin.


“Hm, muda dan ganteng. Pasti lebih banyak cewek yang suka mendekat nih. Apalagi Hanna. Masih sering ketemu kan?” ejak Raya.


“Yah, masalah potong rambut, kenapa sampai menyebut nama itu juga?”


Raya tersenyum.


“Boleh dong, menduga-duga.”


“Suami kamu ini, biarpun ganteng, tapi tidak suka mendekati cewek. Teman kuliah aku ceweknya cuma tiga. Itupun bukan cewek-cewek genit yang suka menggoda. Mereka gadis-gadis pintar yang menekuni kuliahnya dengan sungguh-sungguh. Apa lagi mereka tahu kalau aku sudah punya istri. Oh ya, aku juga menawarkan mereka untuk mengunjungi salon kamu lhoh. Belum ada ya, yang ke sana?”


“Siapa dia? Aku kan nggak kenal teman-teman kamu.”


“Nanti kalau mereka ke sana, aku suruh mereka mengatakan bahwa mereka adalah teman aku kuliah. Mereka gadis-gadis baik.”


“Benarkah? Bagaimana dengan Hanna?”


“Ah, dia kan lain jurusan, sangat mudah untuk menjauhi dia. Lagi pula dia sudah tahu kalau aku suami sahabat dia, kan?”


“Sahabat, dulu, waktu sekolah. Nggak tahu apa sekarang dia masih menganggap aku sahabat, atau tidak.”



“Ray, apa kamu cemburu sama dia? Kamu jauh di atas dia, kamu adalah segalanya untuk aku. Biar ada seribu Hanna aku tetap ingat akan kamu.”


“Cemburu itu karena cinta kan?”


“Baiklah, terima kasih atas cintanya. Tapi yang penting adalah bahwa kamu harus percaya sama aku.”


“Ya, tentu, aku percaya sama kamu kok.”


“Terima kasih, sayang.”


***


Tapi dugaan Damian meleset, ketika hari itu tiba-tiba Hanna mendekatinya. Biasa, tiba-tiba datang dari belakang dan bergayut di lengannya, membuat Damian kesal.


“Hallo, Dam. Kangen, berbulan-bulan tidak bertemu kamu.”


Damian melepaskan pegangan tangan Hanna.


“Jangan begini, aku tidak suka,” sergah Damian sambil terus melangkah. Ia sedang ingin makan di kantin, karena tadi tidak sempat pulang ke rumah. Lagi pula Raya mengatakan bahwa salonnya sedang ramai.


“Dam, kamu sombong sekali sih. Padahal aku selalu baik sama kamu. Kamu mau ke kantin ya?”


“Hm,” jawabnya tak acuh.


“Bareng dong, aku juga mau makan di kantin.”


Damian ingin mengurungkan niatnya, tapi sudah terlanjur. Jadi ia terpaksa terus melangkah lalu duduk di sebuah bangku.


Ia memesan makan dan minum tanpa menawarkannya pada Hanna yang ikut duduk di depannya.


Hanna tak peduli, ia juga memesan makan dan minumnya sendiri.


Wajah Damian gelap seperti mendung.


“Dam, sebenarnya aku tahu tentang kamu, dan rumah tangga kamu,” Hanna mulai mengoceh.


Damian menatapnya sambil mengerutkan kening. Apa maksud gadis itu dengan kata-katanya?



“Kamu mencintai Raya, itu wajar, karena Raya sangat cantik dan lembut. Dulu di sekolahnya juga banyak yang suka sama Raya.”


Damian berpikir, Hanna sedang memanas-manasinya. Tapi ternyata bukan.


“Dam, aku tahu kamu tidak disukai oleh keluarga Raya.”


Damian tersentak.


“Aku yakin pasti hidup kamu tertekan. Berkeluarga, tapi tidak disukai mertua, itu sangat tidak enak bukan? Aku bisa merasakannya.”


Wajah Damian semakin gelap.


“Dam, mengapa kamu tidak memilih keluarga yang tenang dan jauh dari rasa tidak disukai mertua?”


“Apa maksudmu?” sentak Damian.


“Dengar, keluarga aku adalah orang-orang baik. Mereka tidak pernah membedakan yang kaya dan miskin, jadi kalau kamu menjadi suami aku, hidup kamu akan sangat tenang.”


Damian ingin menyiramkan es jeruk yang dipesannya ke wajah Hanna, tapi ia masih bisa mengendalikan kemarahannya. Kata-kata Hanna dirasanya sangat tidak pantas, dan tidak tahu malu.


Ia meneguk es jeruknya, lalu menyantap makanannya dengan tergesa-gesa.


“Dam, pelan-pelan dong makannya.”


Damian membiarkannya. Sedikitpun ia tak memandang ke arah gadis di depannya, yang bukannya segera melahap makanan yang dipesannya, tapi justru menatapnya dengan pandangan yang mengerikan menurut Damian. Ada iblis di dalamnya.


“Aku bicara benar, dan aku bersungguh-sungguh. Sudah lama aku mencintai kamu, dan aku sudah berusaha melupakannya, ternyata aku tidak bisa. Aku kasihan sama kamu dan hidupmu yang tidak nyaman,” ocehan itu masih terdengar.


Tinggal dua tiga suap lagi makanan itu dilahapnya, hampir tanpa dikunyah oleh Damian..


“Dam, aku peduli sama kamu, dan aku menawarkan sesuatu yang akan _”


“Enyahlah dari hadapanku!” hardiknya kemudian berdiri, menuju kasir dan membayar makanannya, lalu hengkang dari dalam kantin.


Hanna merengut. Makanan dan minuman yang dipesannya, belum disentuhnya. Ia meneguk es buah yang dipesannya, kemudian berdiri. Ia melambai ke arah pelayan.


“Makanan dan minuman aku sudah dibayar oleh dia?” tanyanya. Hanna memang tak tahu malu, masih berharap Damian mau mentraktirnya.


“Belum Mbak, tadi dia membayar pesanannya sendiri.”



Hanna mengumpat pelan, kemudian meletakkan selembar uang di meja tanpa menyentuh lagi minuman dan makanannya, kemudian berlalu dengan perasaan kesal.


***


 Damian sedang berpikir, bagaimana Hanna bisa punya pikiran bahwa dia tidak disukai keluarga Raya. Menurut Damian, yang tidak suka sama dirinya hanyalah bu Rahman. Lagi pula dari mana Hanna bisa mengatakan hal itu? Ataukah bu Rahman yang mengatakannya? Atau entah bu Rahman bicara apa, lalu diterima Hanna bahwa dirinya tak disukai keluarga mertuanya?


Tapi Damian tak ingin ambil pusing tentang ocehan Hanna, ia harus kembali ke kelas. Ditengah pintu sebelum dia masuk, salah seorang dari teman perempuannya mencegatnya.


"Dam, ini buku yang aku pinjam kemarin,” katanya. Tapi karena Damian masuk dengan tergesa-gesa, maka ia hampir menubruk Ani, temannya tersebut.


Ani hampir terjatuh, tapi untunglah Damian segera menangkapnya. Adegan itu sekilas seperti kelihatan Damian sedang memeluk Ani, dan tanpa sadar seseorang menangkap dengan ponselnya.


“Eh, maaf Ani, aku tidak sengaja,” kata Damian sambil melepaskan pegangannya.



“Tidak apa-apa, untung kamu memegangi aku sehingga aku tidak terjatuh.”


“Bukunya yang terjatuh,” kata Damian sambil tersenyum, lalu memungut bukunya yang terjatuh.


“Kamu mau ke mana? Kelas akan dimulai, kok kamu malah keluar.”


“Aku mau pulang dulu, barusan ditelpon kalau ibuku sakit. Aku mencari-cari kamu untuk mengembalikan buku ini.”


“Oh, aku lagi makan di kantin. Jadi kamu mau pulang?”


“Iya, terima kasih ya Dam,” kata Ani sambil berlalu.


Damian melambaikan tangannya, kemudian masuk ke dalam.


***


Bik Sarti menyerahkan catatan barang-barang kebutuhan dapur yang harus dibeli kepada nyonya majikannya.


“Sarti, kita belanja saja sama-sama. Ini sangat banyak.”


“Atau, biar saya sendiri saja yang belanja, Nyonya.”


“Tidak, ada beberapa yang harus dibeli di supermarket. Ganti bajumu, ayo temani aku belanja.”



“Baik Nyonya,” kata bik Sarti sambil beranjak ke belakang. Ia harus berganti baju karena tidak mengira sebelumnya bahwa sang nyonya ingin mengajaknya belanja.


Akhir-akhir ini bu Rahman memang kelihatan sangat murung. Pernikahan Raya yang mengecewakannya, terus menerus mengganggunya dan membuatnya selalu menyesalinya.


Ketika di dalam mobil, bu Rahman juga mengeluhkan kekecewaannya pada bik Sarti. Hal itu membuat bik Sarti heran, karena sudah hampir setahun Raya menikah, tetap saja bu Rahman belum bisa luluh untuk merestuinya.


“Kamu tahu Sarti, aku sebenarnya selalu memendam rasa kecewa di dalam hati aku.”


“Memangnya kenapa, Nyonya?”


“Harusnya kamu tidak usah bertanya. Pernikahan Raya membuat aku tak bisa menghilangkan rasa kekecewaanku. Bahkan sampai sekarang.”


“Sebebarnya Nyonya harus bisa melupakannya. Non Raya itu kan putri Nyonya, harusnya Nyonya mendoakan kebahagiaannya, bukan menyesalinya.”


“Bagaimana sih Sar, setiap hari aku membayangkan kehidupannya yang palsu.”


“Palsu bagaimana sih Nyonya?”


“Damian itu kuliah, biayanya kan mahal. Duit dari mana? Lalu datang ke Jakarta menengok Kamila yang baru melahirkan, naik pesawat pulang pergi.”


“Memangnya kenapa, Nyonya?”


“Dia itu kan hanya gagah-gagahan saja. Biar dikira orang kaya, memamerkannya pada orang tua Raya.”


“Masa gagah-gagahan sih Nyonya.”


"Kamu seperti tidak tahu saja, bagaimana kehidupan Raya. Kamu kan pernah ke rumahnya? Bagaimana keadaannya kan bisa dilihat dari seperti apa rumah yang ditinggalinya. Bagaimana kesehariannya. Terus kalau tiba-tiba bepergian naik pesawat, itu kan seperti orang memamerkan sesuatu yang semu. Aku khawatir, Damian berhutang sana, berhutang sini, untuk menunjukkan sama aku bahwa dia bisa. Tapi kan kelihatannya saja Sar, coba jawab aku, dari mana dia mendapatkan uangnya? Raya itu hanya dibuat bahagia bohong-bohongan saja. Kasihan aku Sar.”


“Itu kan hanya perasaan Nyonya saja. Bagaimana kalau memang tuan Damian itu punya uang.”


“Kamu selalu saja menyebut dia tuan … tuan … Tuan dari mana?”


“Dia sudah menjadi suami non Raya, masa saya menyebut namanya begitu saja.”


“Nyonya, itu ada salon, namanya salon Raya,” tiba-tiba sopir berteriak dan melambatkan laju mobilnya.


“Apa? Salon Raya?”


“Non Raya membuka salon kecantikan, Nyonya.”


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment