Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (59)

 Kejora Pagi

Wednesday, August 2, 2023

SEBUAH PESAN 59


(Tien Kumalasari)

 

Damian sangat gelisah, karena Raya kemudian tampak lemas dan tak bertenaga. Dia memesan segelas kopi panas, yang kemudian diberikannya kepada sang istri. Raya tampak lebih segar, tapi dia kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Damian.

Seorang ibu yang duduk di sebelah mereka, nyeletuk.

“Apa istri Anda hamil?”

Damian dan Raya terkejut.

“Hamil? Seperti dulu ketika jatuh sakit, Abi mengira dirinya hamil, ternyata tidak,. Karena itulah Damian hanya menerimanya dengan senyuman ringan.

“Tidak. Belum kok Bu, dia hanya mabuk,” jawab Damian.

“Selalu begitu setiap naik pesawat?”

“Tidak sih, baru kali ini,” jawab Raya sambil tersenyum.

“Siapa tahu ini gejala awal kehamilan,” jawab si ibu.

“Mohon doanya ya Bu,” kata Damian sambil merangkul istrinya. Raya hanya diam. Setelah muntah memang rasanya lebih ringan.

“Kita sampai sebentar lagi. Kamu pasti kecapekan.”

“Mungkin.”

“Sesampai di rumah langsung tidur ya.”

“Makan dulu, perutku lapar,” keluhnya.

“Iya lah, isi perutmu habis terbuang," kata Damian sambil tertawa.

Tetapi ketika mereka menaiki taksi, Raya kembali merasa mual. Untunglah Raya masih bisa bertahan, dan kembali muntah sesampai di rumah.

Damian menuntunnya ke kamar, membantunya membersihkan diri di kamar mandi dan menggantikannya dengan baju rumahan yang lebih longgar.

“Berbaringlah dulu, aku buatkan kamu minuman hangat.


Damian begitu sibuk merawat istrinya. Ia juga membawakan roti yang diharapkan bisa mengganjal perut Raya yang mengeluh lapar.

"Dam, aku kan tidak apa-apa. Sudah enteng rasanya setelah muntah."

"Tapi dari kita berada di pesawat kamu terus-terusan muntah. Nanti sore kita ke dokter. Ya.”

“Kamu nih, sedikit-sedikit dokter,” gerutu Raya sambil membalikkan tubuhnya memunggungi sang suami.

“Kamu tidak boleh begitu. Biarpun hanya kecapekan atau masuk angin, tetap harus periksa ke dokter, apalagi kamu pernah sakit, dulu itu.”

“Tapi kalau hanya masuk angin atau kecapekan, kan bisa minum obat masuk angin di toko obat.”

“Siapa yang tahu kamu masuk angin atau kecapekan, atau entah kenapa, kalau tidak konsultasi dengan dokter? Pokoknya nurut, nanti sore kita ke dokter. Mumpung aku masih libur sehari ini. Besok aku sudah mulai kerja dan kuliah.”

Raya diam. Kata-kata Damian kali ini sangat tegas dan tandas, Raya tak berani membantahnya.

***

Ketika menunggu pemeriksaan, dua kali Raya muntah-muntah. Pasien dokter lumayan banyak, dan mereka harus menunggu dua pasien lagi, setelah muntah yang ke dua kalinya.

“Sabar ya Ray, hanya tinggal dua pasien lagi.”

“Sepertinya aku sakit lambung.”

“Semuanya harus dipastikan setelah dokter memeriksanya nanti.”

“Habisnya aku muntah terus nih.”

“Sabar, tuh tinggal satu lagi.”

Damian lega ketika akhirnya dipanggil masuk ke ruang periksa. Dokter wanita yang sangat ramah, segera memeriksanya.

“Sudah lama sakitnya?”

“Rasanya tidak sakit, hanya mual dan muntah-muntah terus,” jawab Raya lirih.

Dokter itu tersenyum, lalu menyudahi pemeriksaannya atas diri Raya.

“Sepertinya, Bapak harus periksa ke laborat, kemudian memeriksakan hasil laborat itu ke dokter kandungan,” katanya sambil tersenyum.

Kali ini Raya dan Damian benar-benar berteriak.

“Kandungan?”

“Mengandung?”

“Kemungkinannya ibu Raya mengandung. Tapi untuk memastikannya, besok periksa ke laborat dulu, baru ke dokter kandungan. Tapi terserah Bapak saja. Ke dokter kandungan dulu juga tidak apa-apa. Dia punya alatnya untuk melihat apakah pasiennya mengandung atau tidak.”

Raya sudah kembali duduk di samping Damian. Berdebar rasanya mendengar apa yang dikatakan dokter.

Damian yang tidak sabaran, langsung mengajaknya ke seorang dokter kandungan.

“Ini sudah malam, apa masih buka?”

“Kita lihat saja nanti, daripada menunggu besok,” kata Damian setelah browsing di ponselnya, untuk mencari dokter kandungan terdekat.

“Nah, ketemu. Ini saja, dokter Diana Anastasia Spesialis Opgyn.”

***

Damian segera meminta agar taksi yang disewanya sejak dari rumah, segera meluncur ke tempat dokter tersebut, yang kebetulan tempat prakteknya tidak jauh dari tempat dokter sebelumnya.

“Syukurlah, masih buka. Kamu tidak kedinginan?”

“Aku ingin muntah lagi,” kata Raya begitu turun dari taksi.

Damian segera memapahnya, langsung ke toilet di dekat ruang tunggu dokter.

Luar biasa perasaan Damian. Ia berharap, semoga Raya memang benar-benar hamil. Tapi kali ini sangat berbeda dengan yang pernah diceritakan Kamila saat awal kehamilan. Dia tidak muntah, hanya lemas dan pusing, serta sedikit mual. Jangan-jangan Raya tidak mengandung. Rasa was-was menunggu masuk ke ruang dokter menyelimuti perasaan Damian. Ia merangkul bahu istrinya yang setelah muntah selalu merasa lemas, tapi perutnya lebih terasa lega.

Debar hati Damian bertambah keras, ketika Raya sudah mulai diperiksa. Setelah melihat gambaran yang ada di alat USG, dokter Diana segera kembali duduk, lalu tiba-tiba mengulurkan tangannya pada Damian.

“Selamat, Anda akan menjadi seorang ayah.”

Senyum Damian melebar. Tanpa malu ia merengkuh istrinya yang sudah duduk di sampingnya.

“Ray, kita akan punya bayi.”

Dokter tersenyum melihat tingkah keduanya. Ia segera meresepkan obat yang harus diminum, dan memberi petunjuk cara minumnya, disertai banyak pesan yang pastinya biasa diucapkan kepada setiap ibu muda pada awal kehamilannya.

Damian terus merangkul istrinya, sejak keluar dari ruang praktek dokter, sampai kemudian menaiki taksi. Ada bahagia menyertai setiap langkah mereka.

“Kita langsung pulang saja, obatnya biar aku beli sendiri saja, tidak usah mampir apotek sekarang, takut kamu kelamaan dan muntah-muntah lagi."

***

Pagi hari itu Damian sendiri mengantarkan oleh-oleh untuk keluarga Rahman. Pak Rahman menyambut gembira atas kepulangan mereka, tapi bu Rahman hanya menerimanya dengan datar. Bik Sarti yang juga mendapat oleh-oleh sangat gembira. Ia menerimanya sambil melongok-longok.

“Non Raya mana?”

“Tidak ikut Bik.”

“Memangnya Raya kenapa, kok tidak ikut?” tanya pak Rahman.

“Raya di rumah Pak, sedang sakit.”

“Sakit apa?” pak Rahman berteriak, tapi bu Rahman teriakannya lebih keras lagi. Barangkali sudah bersiap akan menyemprot menantunya yang dianggap membuat anak bungsunya sakit.

Tapi sebelum semprotan itu dikeluarkan, bu Rahman terkejut mendengar apa yang dikatakan menantunya.

“Tapi sakitnya sakit yang menyenangkan. Raya hamil.”

“Hamil?” bukan hanya pak Rahman dan bu Rahman yang berteriak, tapi juga bik Sarti.

“Aduuh, ada tambahan oleh-oleh yang lebih indah. Berita kehamilan non Raya ini, ya Tuan?” kata bik Sarti.

Pak Rahman tak mampu berkata-kata. Ia memeluk menantunya dengan hangat.

“Selamat ya,” hanya itu yang diucapkan diantara pelukan hangatnya.


Sementara itu, karena sibuk menatap Damian, tak seorangpun tahu saat bu Rahman mengusap air matanya.

***

Dengan keadaan istrinya yang hamil ini, Damian memutuskan untuk berhenti bekerja. Hal itu dikatakan Damian ketika memberikan oleh-oleh untuk Agus, sahabatnya.

Agus, tentu saja tak bisa mencegahnya, karena Damian tampak harus lebih banyak memperhatikan istrinya.

Raya senang, Damian lebih sering menungguinya di rumah, menemaninya saat muntah-muntah, walau tidak sesering sebelumnya, karena dokter telah memberinya obat. Damian hanya meninggalkannya saat kuliah.

Bu Rahman yang pagi itu pergi ke pasar sendiri, ketika pulang ia membawa banyak jenis buah-buahan.

“Sarti, tinggalkan dapur sejenak. Pergilah ke rumah Raya, bawakan buah-buahan ini. Orang ngidam pasti lebih suka makan buah.”


“Wah, buah-buah segar Nyonya. Ini rasanya agak asem, gitu, pasti non Raya suka.”

“Ya sudah, cepat ganti bajumu, tidak usah memberikan banyak komentar.”

“Baik Nyonya, saya ganti baju sebentar.”

“Cepatlah, sopir sudah menunggu, dan kamu tidak boleh lama-lama, karena tuan sudah berpesan sopir harus segera kembali ke kantor.”

“Iya Nyonya, segera.”

Seperti kijang, bik Sarti melangkah dengan lincah sambil membawa sekeranjang buah-buahan untuk non cantiknya.

Bu Rahman menatapnya dengan perasaan tak menentu. Kehamilan Raya sedikit menurunkan rasa tidak sukanya kepada sang menantu. Walau sangat susah menghilangkan egonya.

***

 Damian terkejut ketika melihat bik Sarti datang dengan diantar sopir. Ia membawa keranjang berisi penuh buah-buahan.

Damian menunggunya di teras, dan bik Sarti tergopoh mendekati.

“Dari mana bik?” tanya Damian.

“Dari rumah, Tuan, ini, membawa buah-buahan untuk non Raya.”

“Bik, kenapa memanggilnya jadi tuan? Aku masih Damian yang dulu, mengapa berubah sih Bik?” tanya Damian sambil tersenyum.


“Jangan begitu, Tuan. Sekarang sudah berbeda. Sudah, jangan protes, ini, mohon diterima saja. Mana non Raya?”

“Tiduran di kamar Bik.”

“Kasihan non cantikku,” kata bik Sarti sambil mengikuti Damian masuk ke dalam, lalu membawa keranjang buah itu ke dalam kamar. Dilihatnya Raya sedang tiduran. Bau minyak angin menyergap, begitu bik Sarti memasuki kamar.

“Bibik?” sapa Raya dengan gembira.

“Ya ampun Non, sampai begitunya ngidam Non. Muntah terus?”

“Masih terkadang muntah, tapi sudah banyak berkurang, hanya belum suka makan.”

“Non tetap harus makan, nanti bayi Non ikut lapar dong.”

“Masa sih Bik?”

”Iya dong Non. Bayi di dalam perut itu, makannya ikut ibunya. Kalau ibunya lapar, dia juga lapar.”

“Habisnya, takut muntah.”

“Tidak apa-apa walau muntah, memang itu bawaan dari jabang-bayi. Sedikit-sedikit tidak apa-apa.”

“Aku sudah bilang, kalau nggak mau makan juga, akan aku bawa ke rumah sakit, biar di infus,” kata Damian.

“Nggak mau aku, aku mau makan kok. Cuma jangan dipaksa. Itu Bibik bawa apa?”

“Ini buah-buahan Non, ada apel, mangga, jambu, belimbing, pear, pokoknya bermacam buah, Nyonya sendiri yang beli pagi tadi.”

“Ibu ?”

“Iya Non. Non tahu tidak, Nyonya kelihatan senang sekali mendengar non Raya hamil.”

“Benarkah? Kata mas Damian, ketika mendengar hal itu, ibu seperti tidak bereaksi. Tampaknya ibu juga membenci aku,” kata Raya sedih,.

“Tidak ada, orang tua membenci anaknya. Cuma saja, curahan kasih sayang itu bentuknya berbeda-beda. Ada yang kelihatan acuh, tapi dalam hati sangat bahagia. Ketika tuan Damian datang pagi kemarin, lalu mengabarkan tentang kehamilan Non, bibik melihat Nyonya mengusap air mata lhoh. Nyonya menangis. Pasti saking bahagianya,” terang bik Sarti.

“Masa sih Bik?” tanya Raya dan Damian hampir bersamaan.


“Saya tidak bohong Non. Sebenarnya, Nyonya sangat bahagia. Buktinya, tadi pagi-pagi sekali sudah ke pasar untuk membeli buah-buah ini. Non mau yang mana?”

“Aku ingin mangga nya, semoga masih agak masam-masam begitu,” kata Raya.

“Pilih yang masih agak keras, kalau ingin yang masam. Sebenarnya bibik ingin mengupaskan mangganya untuk Non, tapi tadi Nyonya wanti-wanti agar bibik tidak terlalu lama. Sopirnya ditunggu Tuan Rahman di kantor.”

“O, begitu ya Bik. Nggak apa-apa, biar nanti aku yang mengupas untuk Raya, bibik tenang saja.”

“Baiklah, Tuan. Sekarang saya mohon pamit, takut nyonya marah, soalnya tuan Rahman kelihatan sangat sibuk, akhir-akhir ini, bahkan jarang makan siang di rumah. Kata nyonya, di kantor sedang ada masalah.”


“Kasihan bapak ya Dam, kelihatannya orang yang dipercaya bapak telah menyalah gunakan banyak uang perusahaan.”

“Apakah aku bisa membantu ya?”

“Kalau kamu mau, temuilah bapak.”

“Kalau kamu sudah kelihatan sehat dan mau makan banyak, aku akan menemui bapak. Di kantor saja.”

“Aku baik-baik saja. Pergilah kalau mau pergi.”

“Baiklah Non, saya pergi dulu ya, nanti nyonya marah.”

“Iya Bik, bilang sama ibu, kami senang menerima kiriman buahnya. Raya pasti akan melahapnya sampai habis,” kata Damian sambil mengantarkan bik Sarti sampai ke depan.

***

Damian mempergunakan waktu pagi dan siangnya bersama sang istri yang sangat diperhatikannya, sambil belajar demi keinginannya agar segera bisa menyelesaikan kuliahnya. Ia melarang sang istri melakukan apapun, termasuk belanja, memasak dan bersih-bersih rumah. Semuanya Damian yang melakukannya.

Setiap pagi, bik Sarti mengirimkan sayur bening yang berisi sayuran sehat, termasuk sayur daun katuk yang segar. Kata bik Sarti, daun katuk bisa memperbanyak ASI setelah menyusukan anaknya nanti.

“Damian sudah memperingatkannya, tapi bik Sarti mengatakan bahwa semua itu nyonya besar yang memerintahkannya. Raya merasa senang. Barangkali kemarahan dan kebencian ibunya pada Damian sudah berkurang. Raya mengatakannya berkurang, karena sang ibu masih belum mau datang menjenguknya, kecuali hanya mengirimkan buah-buah dan sayur segar demi kesehatan Raya dan bayinya. Karena  itu Damian hanya membelikan lauk matang, berupa ikan, daging dan telur, untuk pelengkap makan sehat bagi istri dan anaknya.

***

Tiga bulan telah berlalu, Raya sudah semakin sehat. Dia sudah doyan makan agak banyak, dan tidak muntah-muntah lagi.

Pagi hari itu Damian dengan motor bututnya, pergi ke kantor pak Rahman. Semua karyawan menatapnya heran, karena laki-laki yang mengaku sebagai menantu pak Rahman itu belum pernah mereka lihat sebelumnya. Namun ketika mendapat perintah dari pak Rahman agar Damian dipersilakan masuk, maka mereka pun mengantarkan Damian ke ruang pak Rahman.

Ketika Damian masuk, dilihatnya pak Rahman sedang bertelpon dengan wajah tegang. Ada hal yang membuatnya terkejut ketika mendengar teriakan pak Rahman.

“Apa? Perusahaan sudah kolaps dan masih punya hutang delapan ratus juta?”

***

Besok lagi ya,

No comments:

Post a Comment