Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (05)

SEBUAH PESAN  05


(Tien Kumalasari)


 


 


Sari memegangi setang sepeda Damian, sambil berlenggak lenggok kemayu. Damian memalingkan wajahnya.


“Aku minta maaf Sari, hari Minggu itu aku punya tugas.”


“Tugas apa sih Mas?”


“Mengapa tidak pergi sama ibu kamu saja?”


“Ibu kan jualan sih Mas, dan kalau Minggu itu pasar pasti rame.


“Mengapa harus cari teman? Pergi ke kondangan sendirian itu kan tidak apa-aa. Lagian aku kan bukan keluarga?”


“Tapi itu di luar kota Mas, ibuku nggak ngebolehin aku berangkat sendiri. Tolong ya Mas, sungguh aku tidak berani.”


“Wah, maaf Sari, aku tidak bisa.”


“Tapi Mas, aku tadi sudah bilang sama pak Timan, katanya boleh kok aku mengajak mas Damian.”


“Ini bukan masalah bapak aku, aku sedang ada tugas dari majikan aku, jadi aku nggak berani.”


Tugas apa sih Mas.”


Damian agak merasa kesal, karena Sari mendesak terus. Sebenarnya bukan masalah kalau hanya dimintai pertolongan mengantar, tapi kan dia sudah berjanji akan menemani Raya sepedaan di hari Minggu itu? Bukan karena sangat ingin bersepeda bersama Raya, tapi dia tidak berani menolak permintaan anak majikan.


“Bagaimana Mas, bisa kan?”


Damian ingin segera mengayuh sepedanya, tapi Saru terus memegangi stangnya.


“Maaf Sari, aku tidak bisa. Kalau memang tidak berani datang sendiri, ya nggak usah datang. Atau kalau mau memberi kado, dititipkan orang lain kan bisa?”


“Ya ampun Mas, sama saudara sendiri, masa nggak akan datang, sungkan dong.”


“Maaf Sari, sungguh aku tidak bisa,” katanya sambil melepaskan tangan Sari, lalu dia mengayuh sepedanya. Sari membanting-banting kakinya, menatap Damian yang sudah masuk ke halaman rumahnya,


Tapi sesampainya di rumah, ayahnya mengatakan tentang permintaan Sari tadi.


“Sari tidak berani berangkat sendiri, karena luar kota.”


“Kalau tidak berani, lebih baik tidak usah datang, gitu saja kok repot.”


Damian langsung masuk ke belakang rumah, melalui pintu samping. Pak Timan yang merasa kesal atas jawaban anaknya, mengikutinya masuk, lalu mereka bertemu di ruang belakang.


“Jadi kamu sudah ketemu Sari?”


:Sudah, dan sudah Damian jawab bahwa Damian tidak bisa.”


“Damian, dia sudah begitu baik sama kita. Masa sih, cuma menolong mengantarkan ke kondangan saja tidak mau?” tegur pak Timan.


“Bukannya Damian  tidak mau, tapi Damian ada acara di hari Minggu itu.”


“Acara apa sih? Bukannya Minggu kamu harusnya libur?”


“Non Raya minta agar saya menemani dia. Damian sungkan dong pak, menolak, karena dia anak majikan Damian.”


“Menemani ke kondangan juga?”


“Bukan, hanya jalan-jalan bersepeda.”


“Itu kan tidak penting, hanya jalan-jalan.”


“Sebenarnya semuanya tidak penting bagi Damian, apalagi di saat Damian harus beristirahat, tapi harus ada bedanya, permintaan dari anak tetangga, dan permintaan dari anak majikan.”


Damian tak pernah berani membantah kata ayahnya, tapi kali ini Damian agak kesal, karena ayahnya kelihatan sekali terlalu ingin mendekatkan dirinya dengan Sari, dan itu sama sekali tidak Damian inginkan.


Akhirnya pak Timan kembali ke ruang tengah, duduk sambil menikmati kopi pahit yang dibuatnya sendiri. Ia tak mengira Damian begitu kesal, hanya karena Sari memintanya agar mengantarkannya ke kondangan.


“Damian …”


Damian mendekati ayahnya, setelah membersihkan diri dan berganti pakaian.


“Damian minta maaf. Bukan maksud Damian membantah apa yang Bapak katakan.”


“Iya, bapak tahu. Maafkan bapak juga ya,” kata pak Timan sambil meneguk kopi pahitnya.


“Tidak apa-apa kok Pak. Saya hanya minta pengertian Bapak, kalau disuruh memilih, mana yang harus Damian jalani, Bapak pasti mengerti ke mana Damian harus memilih.”


“Bapak terlalu bernafsu ingin menjodohkan kamu dengan Sari,” akhirnya pak Timan mengakuinya.


“Jangan lagi meminta agar Damian berjodoh sama dia ya Pak. Pertama, Damian belum memikirkannya, ke dua Damian tidak tertarik sama dia.”


Pak Timan menghabiskan sisa kopinya.


“Apa kamu sudah memiliki pacar?”


Kalo ini Damian tertawa.


“Bapak ada-ada saja. Damian belum berani memikirkannya. Damian belum merasa mampu menghidupi seorang istri.


“Ada wanita yang ingin memiliki suami yang sudah berkecukupan, tapi ada wanita sederhana yang bisa menerima keadaan suaminya, kaya ataupun miskin.”


“Baiklah, itu benar.”


“Bapak kira, Sari lah wanita yang bapak sebutkan terakhir itu.”


“Kok kembali ke Sari lagi sih Pak?”


“Hanya sebagai contoh saja.”


Damian tersenyum. Hanya sebagai contoh, kata ayahnya, tapi menjurusnya kan kepada keinginan yang sebenarnya?


“Damian mandi dulu ya Pak,” kata Damian sambil berdiri.


“Mau cari yang seperti apa dia? Jarang ada gadis yang mau diperistri laki-laki miskin,” gumam pak Timan setelah Damian masuk ke kamar mandi.


***


Sari masuk ke dalam rumahnya dengan wajah keruh. Ibunya yang baru pulang dari pasar tampak duduk beristirahat, heran melihat tampang anaknya yang seperti tak bersemangat.


“Ada apa? Tidak ketemu Damian? Belum pulang barangkali,” kata bu Mijan, ibu Sari.


“Ketemu.”


“Lalu … ?”


“Dia tidak mau.”


“Tidak mau? Hanya diajak pergi, makan-makan, apa itu berat?”


“Dia sudah punya acara.”


“Acara apa?”


“Katanya begitu, pertanyaan Sari tidak dijawabnya. Kenapa sih kalau sama ibu?”


“Kamu kan tahu, ibu harus berjualan? Lagi pula yang menikah kan teman kamu, sebenarnya bukan kerabat kita. Kalau memang tidak bisa datang ya tidak apa-apa kan? Titipkan saja kadonya sama teman kamu yang lain.”


“Bukankah Ibu yang menyuruh Sari datang,  supaya cepat ketularan menikah?”


Bu Mijan tertawa.


“Kan hanya bercanda. Memangnya benar, kalau menghadiri pernikahan, lalu bisa ketularan? Lha kalau ibu datang juga, terus ibu ketularan menikah, bagaimana?”


Sekarang Sari tersenyum. Tak bisa membayangkan, ibunya yang sudah tua menikah lagi.


“Ya sudah, nitip saja sama teman kamu, nanti kalau dia sudah kembali ke sini, kamu temui dia dan minta maaf.”


Sari diam, tapi sebenarnya bukan datang ke kondagan itu yang penting. Tadinya dia berharap bisa pergi berdua bersama Damian, laki-laki ganteng yang sangat disukainya. Suka? Barangkali tidak sekedar suka. Sari mencintainya. Tapi kok Damian begitu dingin terhadapnya ya? Bukankah dirinya cantik?


Sari lupa bahwa bukan hanya kecantikan yang membuat orang jatuh cinta. Masih ada hal lain disamping wajah cantik itu, dan selera setiap orang kan tidak sama?


“Apa kamu suka sama Damian?” tiba-tiba kata ibunya.


Wajah Sari berubah merah karena malu.


“Damian itu hanya seorang tukang kebun, seperti juga ayahnya. Kalau hanya sahabatan saja, boleh lah, kan kita juga sudah lama bertetangga. Tapi kalau kamu memimpikannya untuk menjadi suami, pikirkanlah lagi. Kalau memang kamu menikah, jangan sampai masih menjadi beban orang tua lagi, dan itu berarti suami kamu haruslah orang yang bisa membuat hidup kamu berkecukupan.”


Sari diam. Memang sih, Damian hanya seorang tukang kebun. Tapi gantengnya itu lhoh. Bahkan dia sama sekali tak mirip sama ayahnya. Apakah ibunya yang sudah meninggal itu canti


Akhirnya Sari memutuskan untuk tidak usah datang ke kondangan temannya yang menikah. Tadinya kan dia sebenarnya ingin datang bersama Damian, agar temannya tahu bahwa dirinya bisa menggaet laki-laki ganteng.


***


 Pagi hari itu setelah Subuh, Damian sudah membuat kopi pahit untuk ayahnya,  dan teh untuk dirinya sendiri. Diseberang jalan ada penjual bubur ayam. Damian membelinya untuk sarapan, sebelum dia berangkat bersepeda bersama Raya. Damian berdebar-debar, rasanya seperti janjian dengan pacar. Pacar? Damian terkejut memiliki ungkapan itu. Mana berani dia pacaran sama anak juragan? Rupanya dia hanya bisa berhenti pada tahap mengagumi saja. Jangan sampai menjadi terlalu jauh. Itu saja sudah cukup membahagiakan. Bertemu setiap hari, mendapatkan canda dan senyuman, dan membawa senyuman itu ke dalam mimpi.


“Apa kamu akan pergi seharian?” tanya pak Timan sambil menikmati bubur ayamnya.


“Tidak, paling nanti siang sudah kembali.”


“Ya sudah, hati-hati,” pesan ayahnya sambil menghabiskan buburnya.


“Nanti siang Damian akan membawa makan siang buat Bapak.”


“Tidak usah tergesa-gesa, buburnya masih ada, bisa untuk makan siang nanti. Tadi bapak hanya mengambil sedikit. Kalau pagi tidak bisa makan banyak.”


“Apa masih enak sih Pak, kalau dimakan siang?”


“Setelah ini bapak panasi, pasti masih enak dimakan nanti siang.”


“Ya sudah, terserah Bapak saja. Tapi nanti Damian tetap akan membawakan makan siang untuk kita.”


“Baiklah.”


Damian meninggalkan rumahnya, saat pagi masih remang. Cahaya kemerahan di ufuk timur menampakkan udara yang bakal cerah hari itu. Ada dendang pelan meluncur dari mulut Damian. Dendang tentang cinta, yang tak akan mampu diraihnya. Semilir angin pagi yang sejuk, tak mampu mengucurkan keringatnya walau ia mengayuh sepedanya begitu cepat. Ia takut datang ketika non Raya sudah lama menunggu. Gadis cantik itu selalu bangun pagi-pagi, dan tak pernah lupa waktu di mana dia harus bersujud.


Dan itu benar, begitu sampai di depan pagar, Raya sudah menanti sambil memegangi sepedanya. Ia memakai celana olah raga berwarna biru bersetrip putih, dan kaos lengan panjang berwarna pink muda. Kerudungnya yang senada tampak berkibar terhembus angin pagi yang nakal. Ia sudah memegangi sepedanya, yang pastilah dari merk terkenal. Tapi Damian tak merasa risih dengan sepedanya sendiri yang butut. Baginya, sepedanya adalah sahabat sejati yang selalu menemani kemanapun dia pergi.


“Damian, kamu bangun kesiangan?”


“Tidak Non. Tadi harus menyiapkan sarapan untuk bapak.”


“Oh iya. Saya senang kamu begitu memperhatikan orang tua.”


“Saya hanya punya bapak, dan bapak juga hanya punya saya.”


Raya tersenyum.


“Siap berangkat sekarang?”


“Siap Non.”


Tapi sebelum mereka berangkat, terdengar teriakan Kamila dari teras rumah.


“Aku ikuuut !”


“Yaaah, kenapa nggak tadi-tadi sih,” gerutu Raya.


Keduanya tampak menunggu. Tapi Kamila bersiap begitu cepat.. Ia hanya mengganti celananya dengan celana sport karena kaos putih bersih berlengan panjang sudah dikenakannya dari tadi. Ia mengayuh sepedanya dari samping rumah, langsung keluar, mengikuti Raya yang sudah lebih dulu mengayuh sepedanya. Sepeda yang sama bagusnya dengan milik adiknya.


Hari itu hari Minggu, banyak pesepeda lalu lalang di jalanan. Tapi Damian memilih melewati jalan kecil yang halus beraspal, supaya tidak terganggu oleh pesepeda-pesepeda yang terkadang berpacu dengan temannya.


“Ke mana kita?” tanya Kamila.


“Ini sudah hampir sampai di luar kota,” jawab Damian.


“Bagus, ayo melihat sawah,” teriak Raya yang kemudian mendahului memacu sepedanya. Kamila mengikutinya.


Mereka mulai berkeringat, karena matahari mulai memancar panas.


“Ayo berhenti dulu, aku lelah,” kata Raya yang kemudian menghentikan sepedanya dibawah sebuah pohon besar.


Kamila dan Damian mengikutinya. Raya menyandarkan sepedanya, lalu mengelesot begitu saja di atas rumput. Kamila mengikutinya, demikian juga Damian.


“Segar ya, disini?”


“Karena kita berteduh di bawah pohon,” kata Raya yang kemudian berbaring, dan meletakkan kepalanya di pangkuan kakaknya.


“Iih enaknya ,,, “ omel Kamila sambil mengacak kepala adiknya.


“Aku haus, kenapa tadi tidak membawa minum?”


“Iya, tadi kamu tergesa-gesa sih.”


“Biar saya beli air di sana Non,” kata Damian yang segera berdiri, lalu mengambil sepedanya.


“Eh, ini uangnya,” kata Kamila.


“Saya membawa Non, pakai ini dulu,” kata Damian sambil naik ke atas sepedanya, lalu mengayuhnya pergi.


“Untung kamu mengajak Damian,” kata Kamila.


“Sekali-sekali kita ajak dia jalan, bukan hanya disuruh-suruh.”


“Nanti ajak dia makan juga, pasti dia juga lapar.”


“Aku sekarang juga sudah lapar nih,” keluh Raya.


“Tadi bilang haus, kenapa sekarang jadi lapar? Bukankah tadi kamu sudah sarapan?”


“Hanya sepotong roti, lalu berangkat.”


“Setelah hilang capeknya, kita cari warung makan.”


“Ngomong-ngomong, apa kabar mas Abi?”


“Belum ada berita apapun, pasti dia langsung sibuk,” kata Kamila dengan wajah muram.


“Baru pacaran, sudah merasa tak punya waktu. Besok kalau sudah jadi suami istri, bisa kangen setiap hari,” kata Raya, lagi-lagi seenaknya.


“Nggak apa-apa, yang penting dia setia.”


“Lalu bagaimana kemarin itu, katanya cari pekerjaan.”


“Sudah, di perusahaan milik teman aku. Jadi sekretaris ayahnya, lumayan. Bulan depan aku masuk kerja.”


“Mbak sudah bilang bapak kalau mau kerja?”


“Nanti saja aku bilang, kemarin belum sempat, bapak pulangnya malam sih.”


“Hm, orang-orang sibuk,” gumam Raya.


“Damian kok lama ya?”


“Iya, katanya dekat.”


“Ayuk kita susul dia,” kata Raya yang kemudian sudah mengambil sepedanya, lalu keduanya memacunya ke arah di mana Damian pergi.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment