Thursday, January 25, 2024

Ada Cinta Dibalik Rasa (02)

 Kejora Pagi


Monday, January 22, 2024


ADA CINTA DIBALIK RASA 02


(Tien Kumalasari)

 

Suri bergegas meninggalkan gelas yang sudah berisi teh hangat tersebut, untuk melangkah ke arah depan.

“Siapa tamunya?”

“Om … siapa tadi … lupa … mencari ibu,” jawab Nugi.

Ketika sampai di teras, dilihatnya seorang laki-laki ganteng berdiri di depannya. Ia mengangguk begitu Suri keluar.

“Selamat malam, Bu.”

“Selamat malam, Nak. Mencari siapa ya?”

“Ibunya Nilam. Ibu ya?”

“Ya, saya. Oh ya, maaf, ibu belum pernah bertemu sih, tapi silakan masuk,” kata Suri ramah, karena laki-laki yang datang itu bersikap sopan.

“Di sini saja Bu, saya hanya sebentar.”

“Oh, baiklah.”

“Nama saya, Jatmiko. Kedatangan saya kemari, untuk meminta maaf pada Ibu.”

“Meminta maaf? Untuk apa Nak, kan kita belum pernah bertemu. Jadi kenapa harus meminta maaf?”

“Tadi saya telah menabrak Nilam sampai dia terjatuh.”


“Ooh, jadi yang menabrak anak saya tadi nak Jatmiko?”

“Iya, Bu. Nilam sepertinya marah pada saya, dan belum memaafkan saya, jadi saya memerlukan datang kemari untuk meminta maaf.”

“Ya ampun, ibu mengerti. Nak Jatmiko tidak sengaja melakukannya. Lupakan saja. Tunggu sebentar, Nilam sedang mandi.”

“Bagaimana keadaan kakinya yang terkilir?”

“Tadi sudah ibu gosok dengan minyak angin, seperti nya sudah lebih baik, walaupun jalannya masih terpincang-pincang.”

“Saya sangat menyesal, tapi sungguh saya tidak sengaja.”

“Tidak apa-apa. Tapi bagaimana nak Jatmiko bisa tahu rumah Nilam di sini?”

“Tadi saya ingin mengantarnya pulang setelah sepeda motornya di bawa pulang, tapi dia menolak, jadi saya mengikutinya, untuk meminta maaf pada Ibu.”

Suri tersenyum. Laki-laki di depannya sungguh santun dan menyenangkan.

“Tunggu sebentar Nak, saya buatkan minuman.

“Tidak usah Bu, saya mau pamit saja.” Tapi Suri sudah terlanjur masuk ke dalam dan tidak mendengarkan perkataan Jatmiko.

Jatmiko menghela napas. Dia tak ingin memperpanjang masalah, apalagi sikap Nilam sangat tidak bersahabat walaupun dia sudah meminta maaf. Jadi menurutnya, kalau dia sudah meminta maaf juga kepada ibunya, maka ia akan melupakan semuanya. Tapi lagi-lagi dia membayangkan bahwa Nilam adalah Anjani. Gadis kecil yang suka menolong, yang bicaranya lembut dan menawan.

Puluhan tahun yang lalu, Jatmiko adalah seorang yatim piatu yang menjadi penjual koran untuk bisa menyambung hidupnya dan membiayai sekolahnya. Waktu itu dia masih kelas lima SD. Pagi-pagi sekali, sambil sudah mengenakan seragam sekolah, dia sudah membawa setumpuk koran untuk dijajakan. Ia akan berhenti saat waktunya masuk sekolah, kemudian menjajakannya sepulang dari sekolah.


Keuntungan dari penjualan itu, dibelikan makanan seadanya, dan sisanya ditabung untuk membayar sekolah.

Siang hari itu dia sudah membawa sebungkus nasi yang dibelinya sepulang sekolah, lalu dia duduk di bawah pohon. Ia meletakkan tas sekolah yang semula digendongnya di punggung, lalu setumpuk koran yang masih tersisa diletakkan di atasnya. Ketika ia hampir membuka bungkusannya, dilihatnya seorang tua yang tampaknya pengemis, melintas di depannya. Pengemis itu duduk tak jauh darinya, dan mengusap wajahnya yang berkeringat. Rasa iba membuat Jatmiko kemudian urung membuka bungkusan nasinya, kemudian diberikannya bungkusan itu kepada pak tua yang duduk tak jauh darinya.

“Pak, ini ada sebungkus nasi. Makanlah.”

Pak tua itu mendongak, menatap wajah Jatmiko dengan matanya yang kuyu, lalu tangannya terulur untuk menerima bungkusan itu. Senyum dari bibir keriput itu mengembang.

“Terima kasih.” lalu tampaklah dua biji gigi yang masih tersisa di dalam mulutnya.

Jatmiko mengangguk.

“Sama-sama Pak.”

Jatmiko kembali ke tempat dia duduk, untuk mengambil tas sekolah dan setumpuk koran sisanya, lalu bersiap untuk kembali menjajakannya. Ia mengabaikan perutnya yang lapar, dan berjanji akan membeli nasi lagi setelah dagangan korannya habis.

Tapi tiba-tiba seorang gadis kecil mengulurkan sebuah bungkusan kepadanya.

“Ini roti, makanlah.”

Jatmiko ragu-ragu menerimanya. Ditatapnya gadis kecil dengan mata bola yang berdiri di depannya. Gadis itu manis, bibirnya tipis, tersenyum tulus ke arahnya.

“Makanlah, bukankah kamu lapar?”

Jatmiko tersipu, sambil mengelus perutnya. Ia heran, bagaimana gadis kecil itu bisa tahu kalau dirinya lapar?

“Nasi bungkusnya kamu berikan kepada bapak itu kan?”

“Oh, kamu melihatnya?”

“Iya, aku masih berjalan dari sana tadi. Ya sudah, makan dulu rotinya, nanti perut kamu sakit,” kata gadis itu sambil berlalu.

Jatmiko menatap punggung gadis yang sudah berlalu itu, sampai menghilang di tikungan. Ia menatap sepotong roti yang aromanya kemudian menyergap ke arah hidungnya, begitu bungkusannya dibuka.

Jatmiko kembali duduk dan melahapnya.

Tapi sejak pertemuan yang pertama itu, Jatmiko selalu bertemu gadis itu di tempat yang sama, dan selalu saja si gadis memberikan sepotong roti untuknya.

“Mengapa kamu selalu memberikan roti kepadaku? Kamu sendiri makan apa?”

“Aku sudah memakannya. Itu bekal sekolahku, selalu sisa sepotong.”


“Terima kasih, kamu sungguh baik. Namamu siapa? Namaku Jatmiko.”

“Aku Anjani.”

Dan kemudian mereka bersahabat. Anjani yang tampaknya anak orang berkecukupan, tidak terlihat sombong. Ia teramat baik karena mau bersahabat dengan seorang miskin seperti dirinya.

Pada suatu hari, Anjani mendekatinya dengan wajah muram.

“Kamu kenapa?” tanya Jatmiko.

“Besok kita tidak akan bertemu lagi.”

Jatmiko terkejut.

“Ayahku dipindah tugaskan ke kota lain, aku harus mengikutinya.”

Jatmiko menatapnya sedih.  Demikian juga Anjani.

“Miko, aku punya sepasang gelang mote berwarna hitam. Aku berikan satu untuk kamu ya,” kata Anjani sambil memberikan sebuah gelang kepada Jatmiko, yang diterimanya dengan perasaan sedih.

“Pakailah terus gelang ini. Kalau pada suatu hari kita bertemu lagi, aku harap kita tidak saling melupakan.”

Jatmiko memasukkan gelang itu pada tangannya. Demikian juga Anjani.

“Sampai ketemu, Miko,” kata Anjani sambil membalikkan tubuhnya, lalu berlari menjauh. Jatmiko menatap punggungnya sampai bayangan gadis itu tak tampak lagi.

“Ini Nak, diminum dulu, hanya teh hangat.

Lamunan Jatmiko buyar, ketika Suri keluar sambil membawa segelas teh hangat.

“Terima kasih Bu.”

“Minumlah Nak. Sebentar, saya lihat dulu Nilam, kalau sudah selesai biar ketemu nak Jatmiko.”

“Tidak usah Bu, dia masih marah sama saya.”

“Tidak apa-apa,” kata Suri sambil menjauh.

Suri memasuki kamar Nilam, melihat gadis itu sedang berganti pakaian.

“Dia datang kemari, temuilah,” kata Suri.

“Siapa Bu?” tanya Nilam heran.

“ Jatmiko, yang menabrak kamu.”

“Dia? Kemari? Kok tahu di mana aku tinggal sih?”

“Dia mengikuti taksi yang kamu tumpangi.”

Wajah Nilam langsung muram.

“Kamu tidak boleh terus-terusan marah. Dia kemari sebenarnya hanya ingin menemui ibu untuk meminta maaf. Tapi kan tidak enak kalau kamu tidak mau keluar? Dia sudah mengakui kesalahannya. Jangan sampai dia menganggap kamu sombong. Yang baik harus dihadapi dengan baik,” kata Suri lembut.

“Baiklah.” katanya sambil mengambil kerudung yang tadi dipakainya. Kelamaan kalau harus membuka almari.

Nilam keluar dengan tertatih. Ia tak berani membantah perkataan sang ibu.

Ketika sampai di teras, dia melihat Jatmiko duduk dengan wajah tertunduk, yang kemudian diangkatnya untuk menatap Nilam yang baru saja keluar.

“Masih sakit?” sapanya.

“Sudah berkurang. Kok bisa sampai ke sini sih?” Nilam tetap saja bertanya, walaupun sang ibu sudah mengatakannya.

“Aku mengikuti taksi yang kamu tumpangi. Bukan apa-apa, karena kamu tidak mau memaafkan aku, maka aku harus meminta maaf pada ibumu,” katanya memberi alasan.

Nilam menatap laki-laki di depannya. Pantas ibunya menanggapinya dengan baik. Laki-laki ini begitu santun dan tampak sangat menyesal. Bukankah tadi dia ingin menemuinya dan meminta maaf karena sikap ketusnya?


“Aku juga minta maaf, tadi terlalu ketus ketika menghadapi kamu.”

“Aku mengerti, pasti kamu sangat marah. Akulah yang salah.”

“Bagaimana kamu bisa mengira bahwa aku adalah sahabat yang kamu cari?”

“Kamu mirip. Terutama mata kamu yang bulat. Aku pikir wajar kalau ada perubahan pada wajah seseorang ketika dia sudah dewasa. Jauh bedanya wajah ketika masih anak-anak dan ketika dia sudah menjadi dewasa. Tapi kemiripan itu pasti ada.”

“Dan nyatanya kamu salah kan?”

“Benar, aku salah. Sudah lama aku mencari dia. Aku pernah mendatangi rumahnya, tapi rumah itu sudah dijual, dan penghuni baru rumah itu tidak tahu ke mana mereka pindah.”

“Dia pasti sangat istimewa bagimu.”

“Dia lembut dan sangat baik. Waktu itu aku hanya seorang laki-laki yatim piatu yang mengais rupiah demi rupiah, untuk membiayai sekolahku. Anjani yang ketemu saat pulang sekolah, selalu memberikan aku sepotong roti. Ia anak orang berada. Barangkali dia tahu kalau aku sering kelaparan.”

Nilam mengerutkan keningnya. Apa yang dikatakan Jatmiko sangat membuatnya trenyuh. Seorang anak yatim piatu, kelaparan, mencari uang untuk hidupnya sendiri dan membiayai sekolahnya juga? Rupanya Jatmiko dulunya hidup sangat sengsara.

“Tapi kamu sudah menjadi orang yang berhasil, sekarang.”

“Aku selalu memohon dalam setiap sujudku, agar aku bisa menemukan kehidupan yang lebih baik, siapa tahu di sana ayah dan ibuku bisa melihatku dan merasa senang ketika anaknya berhasil menjadi orang.”

“Kamu berjuang sendiri? Kamu bekerja apa?”

“Awalnya aku menjajakan koran, setiap pagi sebelum aku sekolah, dan setelah pulang sekolah. Lalu aku berhasil lulus SD dan mendapat nilai bagus. Aku melanjutkan ke SMP dan SMA dengan bea siswa,”

“Bukan main.”

“Aku bisa kuliah, juga dengan bea siswa. Bisa melanjutkan sampai selesai, dengan tetap menjajakan koran dan menjadi penjaja kue dari sebuah pabrik, diwaktu luang kuliah aku. Sekarang aku sudah bekerja selama tiga tahun dan mendapat kepervayaan bisa memakai mobil perusahaan. Jadi itu bukan mobil aku.”

Diam-diam Nilam kagum atas perjuangan Jatmiko yang bisa mencapai kehidupan yang lebih baik, dari seorang penjaja koran menjadi seorang yang pastinya punya jabatan penting di sebuah perusahaan.

Sikap Nilam menjadi berubah terhadap Jatmiko. Dari kesal menjadi kagum, dan kekaguman itu masih terbawa, ketika ia bercerita kepada ibunya, bagaimana awal ketemunya dengan Jatmiko, yang tiba-tiba mengira dia sahabat masa kecilnya.

“Tuh, ibu sudah tahu kalau dia laki-laki yang baik. Laki-laki yang bisa mencapai kehidupan layak dari sebuah perjuangan keras didalam kesengsaraan, adalah pejuang yang hebat. Cari suami yang seperti dia, ibu akan senang.”

Nilam terkejut.

“Kok tiba-tiba ibu bicara tentang suami sih?”

“Nilam, kamu itu sudah dewasa, sudah saatnya berkeluarga.”

“Nggak ah, belum. Nilam masih ingin begini saja,” kata Nilam sambil menjauhi ibunya dan masuk ke dalam kamarnya. Rupanya dalam pertemuannya dengan Jatmiko, sang ibu berharap menjadikannya menantu. Sementara Nilam hanya kagum, dan bukan jatuh cinta. Memangnya gampang, jatuh cinta? Pikir Nilam saat membaringkan tubuhnya di ranjang. Kan baru ketemu sekali. Lagi pula Jatmiko sangat mendambakan Anjani. Untuk apa dia memikirkannya?

***

Pagi itu Wijan melihat Nilam datang ke kantor dengan kaki terpincang-pincang.

“Hei, kamu kenapa?”

“Kakiku sakit, keseleo karena terjatuh tadi malam.”

“Malam-malam kamu ke mana? Apa tidak capek setelah bekerja seharian?”

“Sebenarnya aku hanya mampir belanja sebentar. Beli roti untuk ibu dan Nugi juga, tiba-tiba seseorang menabrak aku. Jatuhlah aku.”


“Kasihan deh. Sudah diobati belum? Perlu dibawa ke rumah sakit?”

“Hiih, cuma keseleo, kenapa harus dibawa ke rumah sakit.”

Nilam duduk di kursi kerjanya.

“Kalau masih sakit harusnya tidak usah masuk kerja. Istirahat dulu.”

“Nggak mau, nanti bapak bilang aku malas deh.”

“Ya nggak mungkin. Sakit kok dibilang malas.”

“Tapi aku masih sanggup bekerja kok. Lagi pula, kalau nggak masuk kerja ya nggak ketemu mas Wijan dong.”

“Memangnya kalau nggak ketemu kenapa? Kayak orang pacaran saja.”

“Memangnya mas Wijan nggak suka, pacaran sama aku?”

Wijan tertawa keras.

“Pagi-pagi sudah membuat lelucon, kamu tuh. Nih, berkas yang harus kamu kerjakan. Besok pagi akan dibawa ke rapat ya, harus selesai.”

“Siap, juragan.”

Wijan lagi-lagi tertawa.

“Eh, Mas, dengar cerita aku dulu. Semalam itu, laki-laki yang menabrak aku_”

“O, laki-laki ya, pasti ganteng, buktinya kamu mau cerita saja sudah senyum-senyum.”

“Dengarkan dulu aku cerita, belum-belum sudah pengin mengejek saja.”

“Baiklah, terus … ?”

“Laki-laki yang menabrak aku itu, namanya Jatmiko.”

“Bagus, sekalian dapat kenalan nih.”

“Tapi dia tuh mengira bahwa aku teman masa kecilnya. Kesel tidak?”

“Karena wajahmu mirip, barangkali.”

“Ya, pastinya begitu, aku terkejut lho Mas, dia nekat sekali. Kamu Anjani kan? Ingat aku nggak? Aku Jatmiko. Gitu, nekat kan?”

“Apa kamu bilang tadi, Anjani? Nama gadisnya itu Anjani?”

“Dia sedang mencari teman masa kecilnya yang bernama Anjani, kok dia ngeyel bahwa akulah Anjani.”


“Sepertinya aku mengenal nama itu,” gumam Wijan seperti kepada dirinya sendiri.

“Apa? Mas Wijan kenal?”

***

Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment