Thursday, January 25, 2024

Ada Cinta Dibalik Rasa (01)

Kejora Pagi


Monday, January 22, 2024

ADA CINTA DIBALIK RASA 01



(Tien Kumalasari)


 


Cuaca cerah di sore hari itu. Udara tak lagi panas, karena matahari sudah condong ke arah barat, dan siap berbaring diperaduannya. Bayangan samar sepotong rembulan tampak mengambang.


Masih ingat Nilamsari? Gadis anak angkat bu Suri yang sudah beranjak dewasa, tumbuh menjadi gadis cantik menawan. Ia sudah menjadi sarjana, dan bekerja menjadi sekretaris di perusahaan Raharjo. Walau hidupnya berkecukupan karena sudah memiliki penghasilan sendiri, tapi ia tetap sederhana. Barangkali bercermin dari kehidupan ayah tirinya dan juga kakak tirinya, yang selalu mengajarkan tentang kebaikan dalam menjalani hidup. Mereka kaya raya, tapi tetap rendah hati dan sederhana. Itulah yang juga dijalankan oleh Nilam yang sudah menjadi anak angkat ibu Suri sejak belum lulus SMP. Kekayaan bukan kebanggaan, karena kekayaan hati nurani lebih mulia dan berderajat tinggi.


Nilam, gadis cantik nan rupawan turun dari sepeda motornya, setelah memarkirnya di tempat parkir. Ia lalu menuju ke sebuah toko kue. Ia baru pulang dari kantor, dan memerlukan mampir belanja sebelum pulang ke rumah.


Ia membeli kue kesukaannya, kue lapis sarikaya, dan juga kue coklat kesukaan Nugi, adiknya. Tentu saja kue pisang kesukaan ibunya juga tidak dilupakannya.


Nilam baru saja menerima gaji yang langsung ditransfer ke dalam rekeningnya, dan ingin membuat seisi rumah menjadi senang. Oh ya, Nilam juga suka kue kacang.


Banyak sekali belanja kue di sore hari itu, lalu ia melangkah keluar dari toko dengan riang.


Ia masih memarkir motornya di depan toko kue itu, karena ia ingin membeli sesuatu di sebuah mini market. Tidak usah ke mal atau super market, keburu malam, pikir Nilam. Ia hanya butuh sabun mandi dan perlengkapannya, serta membeli sabun cuci untuk keluarga. Ketika melihat box es krim, ia ingat untuk membelikannya juga untuk Nugi.


Belanjaan Nilam banyak sekali. Tangan kiri dan kanannya menjinjing keresek, yang walaupun tidak begitu berat, tapi cukup membuatnya repot membawanya. Tapi tempat parkir sepeda motornya tidak begitu jauh, jadi Nilam tetap melangkah dengan ringan. Susahnya hanya karena ia memakai sepatu dengan hak yang agak tinggi.


Ketika kira-kira seratus meter dari tempat dia memarkir sepeda motornya, tiba-tiba seseorang menabraknya. Nilam terjatuh, belanjaannya berserakan.


“Maaf … maaf …maaf … “ kata si penabrak yang kemudian sibuk mengumpulkan belanjaan Nilam yang berserak, kemudian membantu Nilam bangun, karena tampaknya Nilam susah untuk bangkit kembali.


“Auugh,” Nilam mengaduh. Rupanya kakinya terkilir. Penabrak itu kemudian memapah Nilam ke arah pinggir, diajaknya duduk di sebuah bangku, di warung susu segar yang mangkal di antara pertokoan.


Nilam masih tampak meringis menahan sakit.


“Maaf ya, maaf … sekali, saya tidak sengaja menabrak. Mana yang sakit?” katanya penuh penyesalan.


Nilam baru menatap penabraknya, yang ternyata seorang laki-laki muda yang sangat tampan. Tapi mata teduh laki-laki itu tidak bisa meredakan kekesalannya karena sekarang pergelangan kakinya terasa sakit.


“Tampaknya pergelangan kakiku terkilir,” katanya sambil cemberut. Laki-laki itu terpana. Mengapa mulut mengerucut dan mata penuh kesal itu membuatnya terpesona?


“Mm … maaf ya.”


“Hei, pergilah, sudah terlalu banyak kamu meminta maaf. Dan kata maaf itu tidak akan menyembuhkkan kakiku yang sakit,” runtuknya.


“Maaf ya … “


“Maaf lagi sih.”


“Aku akan beli minyak gosok, ada apotik di sebelah situ. Oh ya, Mas, pesan susu coklat dua gelas, sama roti bakar ya,” kata laki-laki muda itu sebelum berlalu.


Nilam menghela napas. Ia mengangkat kakinya dan memijit-mijitnya.


“Kakinya diselonjorkan saja Mbak, bangkunya kan panjang,” kata pemilik warung susu segar itu sambil sibuk mengerjakan pesanan.


Belum ada pembeli di sana, karena tampaknya warung itu baru saja buka.


Nilam mengangkat kakinya setelah mengangguk, lalu kembali memijit mijit pergelangan kaki kirinya.


Laki-laki muda itu datang sambil membawa obat gosok.


“Ini, biar aku mengurut kakimu dengan ini, mudah-mudahan berkurang sakitnya,” katanya sambil duduk mendekat.


Nilam memelototkan matanya.


“Apa? Kamu mau memegang-megang kakiku?” katanya sengit sambil meraih obat gosok yang diulurkan laki-laki itu dengan agak kasar.


“Oh, iya … maaf, saya tidak sadar mengatakannya,” katanya penuh penyesalan. Akhirnya dia memalingkan wajahnya, dan tidak berani menatap Nilam yang membuka kaus kakinya.


Nilam merasa lega, laki-laki itu tahu diri dan sedikit santun. Kemudian ia menggosok pergelangan kakinya dengan obat gosok itu, sambil meringis menahan sakit, sementara laki-laki itu menikmati coklat susu yang sudah dihidangkan. Ia menyesal karena ia tidak bisa membantu menggosoknya.


“Sambil minum coklat susunya, nanti kan sakitnya berkurang.”


Nilam melirik ke atas meja, dimana terhidang dua gelas coklat susu, dan sepiring roti bakar lapis coklat.


Ia terus saja menggosok pergelangan kakinya, sampai rasa sakitnya berkurang.


“Sudah mendingan?” tanya laki-laki itu sambil menatap bibir mengerucut itu penuh kagum.


Tapi tiba-tiba laki-laki itu berteriak pelan.


“Kamu, bukankah kamu Anjani?” sambil terpekik itu dia tak berani menatap kaki Nilam.


Nilam menghentikan kesibukannya menggosok pergelangan kakinya. Ia menatap heran pada laki-laki yang duduk agak jauh darinya, sambil memasang kembali kaus kakinya, lalu menurunkannya.


“Kamu Anjani kan?” pekik laki-laki itu lagi.


“Ngawur,” Nilam bertambah merengut.


“Kamu lupa sama aku? Aku Jatmiko.”


“Lupa? Mengenal namamu saja aku tidak pernah,” katanya ketus, sambil meraih gelas coklat susunya. Agak malu sih, tapi sesungguhnya dia memang haus.


“Mas, berapa? Aku bayar sendiri ini ya,” katanya kepada penjual susu segar itu.


“Tunggu, jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu Anjani kan? Dengar, aku Jatmiko. Kita pernah bertukar gelang mote warna hitam waktu itu.”


“Ngelindur!”


“Aku membawanya, lihat.”


Jatmiko tiba-tiba mengambil sesuatu dari saku bajunya, sebuah kantung beludru berwarna biru, lalu membukanya dan mengeluarkan seguah gelang mote yang dirangkai. Gelang mote berwarna hitam itu agak kecil.


“Kalau gelang ini cukup aku pakai pada tanganku, pasti aku tak akan pernah melepaskannya. Jadi kemudian aku menyimpannya ke dalam kantung ini, tapi aku membawanya ke mana-mana, berharap pada suatu hari kita bertemu lagi. Gelang ini adalah pertanda sebuah persahabatan diantara kita. Mana gelang kamu?”


Nilam merasa risih dengan ocehan laki-laki bernama Jatmiko itu. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakannya. Ia mengacuhkannya, lalu meraba dompetnya.


“Mas, berapa harga segelas susu coklat itu?”


“Sudah dibayar oleh masnya ini MBak.”


“Berapa? Biar aku ganti.”


“Kamu itu cantik, mengapa sekarang begitu sombong? Dulu kamu sangat lembut dan baik hati.”


“Dulu … dulu … dulu … berhentilah mengigau, aku bukan Anjani, bukankah Anjani adalah ibu dari tokoh pewayangan berwajah kera putih bernama Anoman?” kata Nilam sambil tersenyum mengejek. Kemudian ia berdiri.


“Kamu sangat berbeda. Bertahun-tahun aku mencari kamu, tapi setelah ketemu kamu sudah berubah menjadi gadis yang sombong,” sesal Jatmiko, sedih.


Sambil beranjak keluar dari warung itu, Nilam menelpon ibunya.


“Ada apa? Kenapa kamu belum pulang, Nilam?” tanya Suri dari seberang.


“Ibu, bisakah minta tolong seseorang untuk mengambil motor Nilam?”


“Memangnya motor kamu di mana?”


“Di depan toko roti langganan Ibu.”


“Kenapa motornya kamu tinggal di situ?”


“Nilam beli roti di situ, lalu Nilam jatuh.”


“Apa? Kenapa bisa jatuh?”


“Ceritanya panjang, Bu, cepat suruhan mengambilnya ya, Nilam ada di depan warung susu segar, dekat apotek yang sederet dengan toko roti itu. Setelah itu Nilam mau naik taksi.”


Nilam menutup ponselnya setelah ibunya mengatakan ‘iya’.


Tapi ketika mendengar pembicaraan di telpon itu, Jatmiko terkejut. Ia baru sadar bahwa gadis itu bernama Nilam.


“Jadi namamu Nilam?”


“Sekarang kamu tahu kan?”


“Maaf, berarti aku salah orang. Kenapa ya, wajahmu mirip? Tapi baiklah, siapapun kamu, aku merasa bersalah. Maukah aku antarkan dengan mobilku, setelah sepeda motormu diambil oleh entah siapa yang kamu suruh mengambilnya?”


“Aku mau naik taksi.”


“Tolong ijinkan aku, sekalian aku juga akan minta maaf kepada ibumu,” kata Jatmiko  bersungguh-sungguh.


“Aku naik taksi saja,” Nilam bersikukuh pada pendiriannya.


“Tolonglah, sebagai permintaan maafku. Lagi pula hari sudah gelap, kalau kamu diculik tukang taksi, bagaimana?” goda Jatmiko.


“Justru aku takut kalau kamu menculik aku,” ketus Nilam.


Jatmiko kehabisan kata-kata. Tampaknya gadis itu susah ditundukkan. Keras kepala, tapi Jatmiko justru tertarik, karena sikap itu menunjukkan bahwa Nilam bukan gadis gampangan.


“Ini, aku ganti bayar coklat susunya,” kata Nilam sambil meletakkan uang duapuhan ribu di depan Jatmiko.


“Gadis sombong,” kata batin Jatmiko sambil membuka dompetnya, lalu mengambil uang sepuluhan ribu, disodorkan ke depan Nilam.


“Terlalu banyak, ini kembaliannya,” katanya dengan wajah masam.


Melihat wajah masam Jatmiko, tiba-tiba timbul rasa sesal dihati Nilam. Ia terlalu galak dan merasa telah keterlaluan karena bagaimanapun Jatmiko sudah berusaha meminta maaf dan berbaik hati membelikan coklat susu dan juga minyak gosok.


“Oh ya, ini minyak gosoknya,” katanya sambil memberikan  botol minyak gosoknya ke hadapan Jatmiko.


“Bawa saja, aku tidak keseleo,” kata Jatmiko, yang kemudian berdiri dan keluar dari warung itu


Nilam tertegun, lalu merasa semakin bersalah. Ia ingin mengejar keluar dan meminta maaf, tapi kakinya masih terasa sakit ketika ia mencoba berjalan. Ia mencobanya lagi dan tertatih keluar, tapi bayangan Jatmiko sudah tak kelihatan.


Nilam menghela napas, sementara Ranto, pegawai warung yang disuruh ibunya untuk mengambil sepeda motor sudah berada di depannya.


“Mbak Nilam, mana kuncinya? Saya disuruh ibu mengambil sepeda motor MBak Nilam. Saya sudah melihatnya di depan toko roti itu.”


“Oh iya, ini To, aku mau memanggil taksi.”


“Saya tungguin?”


“Tidak, segera bawa sepeda motorku pulang,” perintah Nilam.


Ranto mengangguk, kemudian berlalu. Nilam segera memanggil taksi. Walau tertatih ia masih bisa berjalan ke arah taksi, sambil membawa dua bungkusan belanjaannya.


***


Ketika sampai di rumah, Suri terkejut melihat Nilam berjalan tertatih sambil membawa bungkusan. Ia segera mendekat dan mengambil bungkusan itu,  membiarkan Nilam berjalan sambil bergayut di lengannya.


“Apa yang terjadi?” tanya Suri khawatir.


“Mbak Nilam kenapa?” tanya Nugi yang baru saja keluar dari rumah.


“Nggak apa-apa sayang, hanya terjatuh, tadi,” jawab Nilam sambil mengelus kepala Nugi.


“Itu, ibu bawa apa?”


“Ayo masuk dulu, dan lihat apa yang dibawa mbak Nilam,” jawab Suri sambil tersenyum.


Nilam segera duduk di atas sofa, lalu mencopot sepatu dan kaus kakinya.


“Warungnya ramai, Bu?”


“Kamu itu ditanya ‘kenapa’, malah menanyakan warung,” sungut Suri.


“Nilam hanya terjatuh setelah belanja.”


“Bagaimana bisa terjatuh? Kebanyakan belanjanya?” tegur sang ibu.


“Sebetulnya bukan karena belanja kebanyakan, tapi ditabrak orang.”


“Ditabrak orang? Coba ibu lihat. Tuh, kebiruan. Kok sudah bau minyak gosok?”


“Orang itu membelikan minyak gosok.”


“Mana minyak gosoknya?”


“Sudah Nilam kembalikan.”


“Yaaaah, es krimnya sudah cair,” tiba-tiba Nugi berteriak.


“Oh, iya. MBak lupa. Kelamaan di jalan Nug, masukkan ke freezer dulu,” kata Nilam.


Suri masuk ke kamar dan keluar dengan membawa sebotol minyak gosok.


“Mana ibu gosokin sambil diurut-urut.”


Nilam mengangkat kakinya, membiarkan ibunya mengurut pelan pergelangan kakinya.hk


“MBak, ini roti coklat buat siapa?” teriak Nugi lagi. Dia membongkar semua bungkusan roti.


“Itu buat kamu Nugi, ambil yang kamu suka, lainnya tolong ditata di piring ya, anak pintar.”


“Oke,” teriak Nugi dari arah belakang.


Nugi sudah kelas satu SD. Bayi kurus kering yang dilahirkan dari rahim almarhumah Hasti, kakak Nilam, telah tumbuh menjadi laki-laki kecil yang ganteng dan pintar. Ia menjadi kesayangan di dalam keluarga Suri. Ia tak tahu siapa yang melahirkannya. Yang dia tahu adalah bahwa dia anaknya bu Suri, dan punya kakak Nilam yang sangat mengasihinya.


Setiap kali Suri menatapnya, ia melihat bayangan Baskoro di sana. Tapi ia selalu mengibaskannya. Ia sudah melupakan laki-laki yang mengkhianatinya itu. Dalam setiap doanya, ia berharap jangan sampai kelakuan buruk laki-laki yang meneteskan benihnya, menurun kepadanya. Suri akan menjadikannya anak yang baik dan pintar, serta memiliki hati yang bersih dan mulia. Nugi harus menjadi kebanggaan keluarga.


“Bagaimana tadi ceritanya, sehingga kamu bisa tertabrak olehnya?” tanya Suri sambil membebat pergelangan kaki Nilam dengan pembalut yang elastis.


“Orangnya nggak lihat jalan.”


“Nanti akan berkurang sakitnya. Besok jangan ke kantor dengan sepeda motor, naik taksi saja. Sakitnya biar pulih dulu.”


“Iya Bu. Sekarang Nilam mau mandi dan ganti baju dulu, gerah. Nanti akan Nilam ceritakan bagaimana laki-laki itu membuat Nilam bertambah kesal.”


“ Baiklah, sekarang Ibu ambilkan kursi dulu, kamu mandi sambil duduk, kakimu jangan kena air dulu, nanti kedinginan dan semakin terasa nyeri. Jadi kakimu yang sakit itu ditumpangkan di kursi yang satunya. Ibu ambilkan dua kursi, supaya enak kamu mandinya.”


“Terima kasih ya Bu.”


Ketika Nilam mandi, Suri segera membuatkan minuman hangat untuk Nilam. Tapi belum selesai ia membuatnya, tiba-tiba Nugi berteriak.


“Ibu, ada tamu.”


***


Besok lagi ya.


at January 22, 2024

No comments:

Post a Comment