Thursday, January 25, 2024

Meneroka Jiwa (08)

 *_MENEROKA JIWA_*


*Bab 08. Perjuangan Hidup*


oleh KaiaKarnika



Wangi berjalan gontai memasuki halaman parkir tempat usaha milik Banyu. Dilihatnya beberapa pekerja Benresik Car Wash mulai merapikan peralatan dan membersihkan area cuci mobil. Restoran dan kedai kopi Bentuman masih dipenuhi beberapa pengunjung, begitu pula dengan Benkuwat Fitness Center yang masih ramai oleh para pecinta olahraga.

Ia melirik ke jam dinding di ruang tunggu cuci mobil, pukul 8 malam. Berangkat pukul 6 pagi dan pulang jam 8 malam, dengan waktu yang dihabiskan untuk perjalanan hampir 5 jam. Sungguh bukan perjuangan mudah hidup di kota metropolitan. Tidak mengherankan tubuhnya terasa letih, ditambah lagi perlakuan Shinta yang membuat mentalnya ciut.

"Hai, Wangi," sapa Saras yang baru saja keluar dari kedai kopi yang berada di bawah supervisinya. Ia menghampiri Wangi yang terlihat lesu. "Capek, ya, hari pertama kerja?"

Wangi tersenyum lebar. "Lumayan, Mbak."

"Pasti belum makan malam, 'kan?"

"Belum, Mbak."

"Makan, yuk!" ajak Saras. "Tadi Mbok Yam pesan untuk mengajakmu makan di sini."

Wangi bimbang. Tidak enak bila diberikan cuma-cuma, tapi juga takut jika harus bayar mahal.

Saras membaca kegalauan Wangi. "Tidak usah khawatir, Banyu dan Mbok Yam juga biasanya makan malam dari resto, kok." Ia menggandeng tangan Wangi.

"Tidak merepotkan Mbak Saras?"

"Sama sekali tidak. Pengunjung sudah mulai sedikit kalau jam segini, kebanyakan yang pulang dari tempat fitness saja." Saras mengajak Wangi duduk di area teras. Sebuah meja segiempat dengan empat kursi mengelilingi.

Wangi mengikuti ajakan Saras. Perutnya sudah keroncongan.

"Salah satu andalan kami adalah nasi goreng kecombrang. Sudah pernah makan itu, Ngi?" tanya Saras seraya menunjukkan gambar di buku menu.

Wangi menggeleng.

"Aku buatkan itu, ya?"

Wangi mengangguk, makan apa pun tidak ditolaknya saat ini.

Saras meninggalkan Wangi sejenak untuk menginformasikan pesanan Wangi kepada krunya. Wangi menuju wastafel untuk membasuh tangan dan mukanya.

Entakan musik lagu berjudul "Limbo" dari Daddy Yankee terdengar dari pusat kebugaran di lantai 2.

Tak lama Saras kembali dengan bergoyang mengikuti irama lagu Latin tersebut, sambil membawa es teh manis.

"Iwan pasti lagi zumba tuh," ujar Saras sembari menyodorkan gelas yang dipegangnya. "Nih diminum, kayaknya kamu lelah sekali."

"Terima kasih, Mbak. Lumayan juga perjalanan pulang lebih dari dua jam," sahut Wangi.

Saras tersenyum, bisa memahami kekagetan Wangi dengan kondisi lalu-lintas Jakarta. "Kata orang, kerja di Jakarta itu tua di jalan."

"Artinya apa, Mbak?"

"Waktu yang dihabiskan di jalan banyak, sehingga umur kita pun seolah habis terpakai hanya untuk perjalanan," jelas Saras. Ia menoleh ke arah parkiran karena mendengar deru knalpot motor 200cc yang dikenalnya. "Tuh, Banyu baru pulang juga."

Mata Wangi mengikuti arah yang ditunjuk Saras. Dilihatnya Banyu sedang memarkir motor Benneli Motobi hitamnya. Setelah mematikan mesin motor, pria itu mencopot helm open face-nya lalu menyisir rambut ikalnya dengan jemari. Tunggangan motor besar klasik elegan, balutan jaket kulit, dan pembawaan yang gagah menghadirkan kesan maskulin pada pria berpostur tinggi besar itu.

"Mbak Saras sudah lama kenal Mas Banyu?" Wangi mengalihkan pandangan ke arah Saras yang duduk di seberangnya.

"Almarhumah ibunya Banyu itu adik sepupu ibuku," sahut Saras sembari melambaikan tangan ke arah Banyu.


"Oh, masih saudara. Senang ya, Mbak, sama saudara bisa akrab." Wangi meneguk es teh manisnya.

Saras tertawa. "Terpaksa, Ngi. Almarhumah ibu Banyu kan anak tunggal, Banyu juga anak satu-satunya, jadi saudaranya cuma keluarga ibuku. Tidak semua saudaraku bisa akrab sama Banyu, soalnya tuh anak nyebelin banget tingkahnya."

Wangi punya pendapat lain, menurutnya Banyu tidak menyebalkan, tapi galak.

"Dia sebenarnya baik, kok. Cuma gayanya songong," tambah Saras masih dengan tawa.

"Songong?" Wangi baru mendengar kosa kata ini.

"Tidak tahu adat."

Wangi manggut-manggut. Dilihatnya Banyu menghampiri Jay di salon mobil. "Kalau mas Jay juga saudara?"

"Bukan. Orang tua Jay itu dulu yang punya lahan ini. Mereka butuh uang karena terlilit utang dan Jay mantan pecandu narkoba, sehingga sulit mendapat pekerjaan untuk bantu orang tuanya."

"Lalu lahan ini dibeli sama Mas Banyu?" tebak Wangi.

Saras menganggukkan kepala. "Banyu itu kuliah cuma karena diancam oleh ayahnya akan dicoret dari kartu keluarga. Oleh sebab unsur keterpaksaan ya akhirnya keseringan cari objekan daripada kuliah. Nah, karena dia kenal banyak preman, banyak dapat info tanah-tanah yang mau dijual, maka jadilah dia makelar tanah. Dia sering dapat komisi besar banget, sampai-sampai bisa beli lahan ini dan membangun usaha."

"Oh... jadi bukan piara tuyul dan babi ngepet, Mbak?" Wangi lega. Almarhum Mbah Tarno bisa beristirahat dengan tenang di alam kubur karena cucunya tidak pakai pesugihan.

Tawa Saras meledak. "Ya ampun, kamu masih percaya omongan dia? Itu makanya kubilang dia songong. Omongan ngaco, kelakuan nyebelin."

Wangi cengar-cengir.

"Pokoknya, tidak usah terlalu dipikirkan omongan Banyu yang kadang nyelekit. Sering kali maksudnya tidak seperti itu. Dia sebenarnya orangnya tidak tegaan dan peduli. Buktinya, dia mengajak Jay mengelola cuci mobil, padahal taruhannya besar."

"Taruhan besar?" Wangi mengernyitkan dahi, tidak paham maksud Saras.

"Banyak mantan pecandu narkoba yang kambuh. Mereka kalau sedang sakau¹ bisa nekat melakukan apa pun demi mendapatkan uang untuk beli narkoba. Itu sebabnya jarang yang mau mempekerjakan mantan pecandu narkoba. Namun, Banyu masih nekat mengajak Jay, bahkan memercayakannya mengelola tempat cuci dan salon mobil. Aku pun di awal sempat sangsi dan memperingatkannya, tapi dia keras kepala. Itu yang dimaksud taruhan besar. Hanya demi Jay yang mantan pecandu dan baru dikenalnya, dia berani mempertaruhkan usaha yang waktu itu baru dirintis," jelas Saras.

"Tidak pernah ada kejadian buruk?"

Saras menggeleng. "Tidak pernah. Bahkan, usaha cuci dan salon mobil berkembang pesat. Jay suka otomotif seperti Banyu, dan dia pun cukup luwes dalam menjalin relasi dengan pelanggan. Itu sebabnya, Banyu bisa memperbesar usaha resto dan merambah ke pusat kebugaran. Tadinya, ini cuma kedai kecil buat pelanggan yang menunggu mobilnya dicuci. Jay juga bersih, tidak pernah lagi menyentuh narkoba. Sebagian besar para pekerja di Benresik adalah mantan pecandu narkoba. Mereka sulit kembali ke masyarakat dan mencari pekerjaan setelah keluar dari rehabilitasi. Banyu dan Jay mau menampung mereka, tapi sekali saja ketahuan kembali pakai, langsung dipecat tanpa pesangon. Itu sudah perjanjiannya."

Wangi mendengarkan dengan saksama. Ada sudut pandang baru tentang Banyu yang didapatnya dari cerita Saras. Persepsi baru yang mengurangi rasa takutnya terhadap lelaki itu.

Seorang pelayan mengantarkan pesanan Wangi dan Saras. Nasi goreng kecombrang dengan aroma seperti serai menggoda saliva.

"Terima kasih, Sus," ucap Saras kepada pelayan yang merupakan anak buahnya. Ia lalu berkata pada Wangi, "Ayo, makan, Ngi. Pasti sudah lapar, 'kan?"


Wangi tersenyum lebar, segera mengambil sendok dan menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.

"Bagaimana rasanya? Enak, tidak?"

Kepala Wangi mengangguk-angguk, matanya nyaris terpejam, menikmati sensasi kecombrang yang di lidahnya terasa seperti perpaduan antara jeruk lemon dan jahe. "Enak banget, Mbak."

Saras tersenyum lebar.

Bagi Wangi, ini nasi goreng terenak yang pernah dimakannya.

"Bos!" panggil Saras ketika melihat Banyu dan Jay berjalan menuju ke arahnya. "Makan di sini!"

Banyu dan Jay menghampiri. Duduk bersama Wangi dan Saras.

"Pada belum makan, 'kan?" tebak Saras.

Banyu melirik ke piring Saras, tampak belum tersentuh. Tanpa basa-basi, langsung menarik piring Saras dan menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.

"Astaga! Langsung sikat, tidak pakai izin!" omel Saras. "Cuci tangan saja belum!"

"Kamu tuh kerjanya jualan makanan, bukan ngabisin makanan," balas Banyu. "Aku sudah cuci tangan tadi di tempat Jay."

Saras berkata pada Wangi, "Songong tuh begini, Ngi. Tidak tahu sopan santun."

"Aku tahu sopan santun, cuma tidak kenal akrab," sahut Banyu sambil mulutnya sibuk mengunyah.

"Dasar Be Dua!" maki Saras disertai tawa. Ia lalu melambaikan tangan kepada anak buahnya untuk memesan makanan dan minuman tambahan.

Wangi menarik napas, takut Banyu murka karena sekarang "Be Dua" menjadi bahan olokan bagi lelaki itu.

Banyu melirik tajam ke arah Wangi, gara-gara perempuan ini, Saras dan kedua temannya punya bahan olokan baru.

"Kamu kerja di gedung atau di empang?" tanya Banyu begitu melihat baju Wangi yang terkena noda.

"Oh... ini tadi kena cipratan mobil, Mas. Ada yang ngebut padahal banyak genangan."

"Mobil memang banyak yang tidak hati-hati saat ada genangan," ujar Jay.

"Lain kali bawa baju ganti. Berangkatnya pakai daster saja, sampai kantor baru ganti," saran Banyu.

Wangi mengerutkan dahi, mimiknya menunjukkan dia sedang berpikir keras.

"Kenapa? tidak punya daster?" tukas Banyu begitu melihat ekspresi Wangi.

Saras dan Jay mengulum senyum. Keduanya bisa menerka apa yang akan terjadi.

"Bukan, Mas. Daster sih punya, cuma nanti saya tidak boleh masuk gedung kalau pakai daster," sahut Wangi serius.

Saras dan Jay tak bisa menahan tawa. Tebakan mereka tepat, Wangi pasti akan merespons serius banyolan Banyu.

"Betul, Ngi. Gimana sih Mas Be tidak mikir!" ledek Saras.

Banyu tidak berespons, memilih fokus pada nasgor kecombrang di hadapannya.

"Oh ya, Mas, ternyata tidak ada upacara kok. Tadi saya sudah tanya," ujar Wangi yakin.

"Upacara?" Saras dan Jay kebingungan.

"Tadi pagi Mas Be... eh... Mas Banyu mengingatkan saya agar tidak lupa membawa topi dan dasi untuk upacara," jelas Wangi.

Banyu mendengkus, benar-benar sudah frustrasi dengan panggilan dari Wangi.

Saras dan Jay bersamaan mengernyitkan dahi dan menatap Banyu.

Banyu melirik ke arah Wangi, lalu menggerakkan bola matanya ke atas dan bawah, kode bagi kedua orang itu agar paham dan memerhatikan pakaian yang dikenakan Wangi.


Tawa Saras dan Jay pecah begitu menyadari maksud Banyu.

"Ngi, inget ya, semua yang keluar dari mulut Banyu itu jangan diyakini seratus persen." Jay tidak tega melihat Wangi yang selalu terjebak perkataan Banyu.

Wangi cengengesan, bingung bagaimana membedakan mana perkataan Banyu yang nantinya harus dianggap benar dan tidak.

"Tapi kerjaan aman, kan, Ngi?" tanya Saras.

Wangi mengangguk lemah.

Saras membaca air muka Wangi. "Bosmu seperti apa?"

"Atasan saya namanya bu Shinta, cantik, pintar..."

"Tapi...." Saras bisa menduga bahwa sosok Shinta pastilah kurang menyenangkan.

"Dia tidak mau memberikan saya kerjaan," jawab Wangi jujur.

"Enak dong, digaji tapi tidak perlu kerja," komentar Jay. "Andai bosku kayak begitu," sindirnya.

Banyu menyengih, matanya sibuk menatap ponsel.

"Loh, memang bukan dia yang merekrutmu?" tanya Saras bingung.

"Bukan, Mbak. Saya ditawari kerja oleh bu Rani, Direktur HR&GA, atasannya bu Shinta."

"Kamu sudah berinisiatif meminta pekerjaan pada Shinta?" tanya Jay.

"Sudah, Mas. Dia jawab 'yang merekrutmu itu bu Rani, bukan aku. Tanya saja sama dia'. Namun, begitu saya mau ke ruangan bu Rani, dia malah memarahi saya. Katanya saya ingin mempermalukan dia di depan bu Rani. Padahal, saya cuma mengikuti saran dia." Wangi menceritakan kebingungannya terhadap sikap Shinta.

"Ya ampun, Wangiii! Kamu itu harus bisa bedakan mana perkataan yang benar dan mana yang sarkasme." Baru kali ini Saras bertemu perempuan sepolos Wangi. "Dengar nih, Ngi, di kantor itu ada yang namanya office politic. Ini aku alami waktu kerja kantoran dahulu."

Wangi mengerutkan dahi, baru kali ini mendengar istilah tersebut.

Saras melanjutkan perkataannya. "Office politic itu semacam upaya politik tapi dalam lingkup kantor. Bisa disimpulkan semacam tindakan guna mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan, sekaligus memuluskan agenda pribadi dengan cara apa pun. Seringnya dengan jalan yang kurang sportif. Nah, atasanmu si bu Shinta itu mungkin menganggap dirimu adalah ancaman bagi karirnya."

"Saya ancaman buat bu Shinta? Bu Shinta itu manajer, lulusan S2, cantik, pintar, dan sudah lama bekerja di Utama Medika. Kayaknya tidak sebanding dengan saya yang cuma lulusan SMA, tidak berpengalaman, dan ndeso. Kenapa dia menganggap saya ancaman, Mbak?" Wangi merasa dirinya memiliki kualifikasi jauh di bawah Shinta.

"Mungkin karena kamu direkrut oleh bu Rani tanpa melibatkannya. Jadi dia menganggap bu Rani lebih memihakmu dibanding dirinya." Jay berusaha memberikan asumsi.

"Bisa jadi begitu," imbuh Saras. Ia membayangkan apabila Banyu melakukan hal semacam itu di resto yang dipimpinnya, ia pun akan merasa marah.

Wangi mengembuskan napas panjang, pundaknya lunglai. Ia tidak ingin punya musuh, apalagi di tempat baru dengan pekerjaan yang masih belum dikuasainya sama sekali.

"Kamu tahu nama posisi pekerjanmu?" tanya Saras.

"Di kontrak, ditulis saya sebagai Staf Administrasi HR."

"Uraian pekerjaan dikasih?" Saras bertanya kembali.

Wangi menggeleng.

"Wah ya kebangetan sih, cuma tahu nama posisi, tapi tidak dikasih uraian pekerjaannya apa dan tidak diarahkan harus mengerjakan apa, bisa apa coba?" ujar Saras geram.


"Bisa bengong sama bisa dipecat," sahut Jay.

Wangi kian lemas. Tidak mau mengecewakan bu Rani. "Lalu saya harus apa?"

"Duh, harus apa ya?" Saras ikut bingung. "Aku tuh paling sebal sama atasan yang pamer kekuasaan macam bu Shinta itu deh."

"Bu Rani sendiri sempat bilang tugasmu apa?" Jay mencoba mencari jalan keluar.

Wangi mencoba mengingat perkataan Rani. "Dia cuma bilang saya ada di bawah bu Shinta dan sebagai staf HR harus mengenal seluruh karyawan."

"Hmmm... tidak terlalu jelas juga, ya," keluh Jay.

"Bos, bantu mikir, dong! Kasihan si Wangi," ujar Saras kepada Banyu yang sejak tadi makan sambil memandangi ponselnya, seolah tidak mau terlibat dalam perbincangan.

Banyu menarik napas panjang, kesal keasikannya terinterupsi. Ia menoleh memandangi Wangi dengan wajah tanpa senyum.

"Satu," ucap Banyu lalu mengambil jeda, mengambil air minum untuk membantu nasi goreng di mulutnya terdorong ke kerongkongan.

Wangi tak menduga Banyu akan memberikan petuah, segera mengeluarkan buku catatan kecilnya.

Setelah meminum air, Banyu kembali menyendokkan nasi ke mulutnya.

Ketiga orang di hadapannya menunggu kelanjutan perkataan Banyu.

Banyu dengan tenang mengunyah nasi yang ada di mulutnya, menelan, lalu kembali menggerakkan tangan hendak menyendokkan nasi.

"Heh!" Saras menahan gerakan tangan Banyu disertai pelototan. "Ditungguin kelanjutannya. Satu apa? Satu satu aku sayang ibu?"

"Nah itu sudah tahu kelanjutannya," jawab Banyu santai sambil menepis tangan Saras dan kembali menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.

Saras menoyor Banyu kesal. Wangi terkekeh.

Jay tertawa kecil, hafal kelakuan menyebalkan bosnya.

Banyu menelan nasinya, lalu berkata, "Satu. Paham office politic yang tadi sudah dijelaskan Saras. Atasanmu jelas merasa terusik dengan kehadiranmu. Apa pun yang kamu lakukan pasti salah di matanya dan dia akan terus mencari celah kesalahanmu. Orang macam dia senang drama. Apa yang dilakukannya seharian ini jelas mencoba menyeretmu ke dalam drama. Jangan terpancing. Tidak perlu bertanya padanya kenapa dia membencimu atau apa salahmu, itu hanya membuat dia makin mengerjaimu, sama saja menyeretmu ke dalam dramanya." Ia menghentikan kalimatnya, meminum air.

Wangi segera mencatat perkataan Banyu.

"Itu yang pertama. Dua?" desak Saras.

"Ini yang kerja kamu atau dia, sih? Kenapa kamu yang penasaran?" jawab Banyu kesal.

"Bos saya juga ngeselin soalnya, jadi ingin tahu juga," sindir Saras tergelak.

"Kunyuk!" umpat Banyu.

"Sama dong, kamu juga kunyuk, kan kita saudara," sahut Saras girang karena bisa menangkis smes Banyu.

Wangi tersenyum geli melihat interaksi Saras dan Banyu. Hubungan persaudaran akrab yang tidak pernah dimilikinya.

"Mau dijawab tidak?" omel Banyu sambil memelototi Saras yang tertawa kencang.

"Idih ngambek. Lagi PMS, Bos?" olok Jay.

"Itu kan slogannya dia, Jay. Siapa pun yang mens, yang ngambek pasti Banyu." Saras meniru tagline iklan minuman kemasan.

Jay tergelak, Wangi tak berani tertawa.

Banyu mendengkus, meneruskan makannya sambil mengemu², "Ya sudah."

Saras berusaha menghentikan tawanya. "Iya ... iya, diam deh. Terusin dong petuahnya tadi."


"Fokus kerja yang benar, tidak usah bergosip tentang si bu Shinta itu dengan temanmu yang lain. Laporkan semua yang kamu kerjakan pada bu Shinta, tapi harus siap andai kerjamu bagus, maka dia yang akan mengklaim sebagai hasilnya," jelas Banyu.

"Ih, enak di dia dong! Tidak mau jelasin ke anak buah, terus ketika anak buah kerjanya bagus, dia yang diapresiasi," gerutu Saras.

"Kalau hal seperti itu, pasti ketahuan cepat atau lambat. Yang namanya bukan hasil sendiri, pasti sulit untuk menjelaskannya jika ditanya. Selain itu, orang di kantor pasti juga sudah tahu si Shinta itu seperti apa." Jay turut berpendapat.

"Iya juga, sih." Saras menyetujui pendapat Jay.

Banyu kembali bersuara. "Sebenarnya si bu Rani itu tahu sifat Shinta, itu sebabnya dia kasih bocoran apa yang harus kamu lakukan."

"Bocoran apa, Mas?" Wangi bingung, sepertinya Rani sama sekali tidak mengintruksikan apa pun.

"Dia bilang kamu sebagai orang HR harus kenal seluruh karyawan, 'kan?" Banyu bertanya balik.

"Eh, kamu dengerin juga pembicaraan kita tadi. Kirain sibuk balas chat." Saras baru menyadari saat Wangi mengatakan hal tersebut, Banyu terlihat sibuk dengan ponsel dan nasgornya.

"Iya, Mas. Bu Rani bilang begitu," sahut Wangi. Ia pun tidak menduga Banyu ternyata memberi perhatian pada ceritanya.

"Nah, itu tugas dari dia!" sahut Banyu. "Di sana sudah pakai software untuk mendata karyawan, belum?"

Wangi mengangkat bahu. "Tidak tahu." Ia hanya ingat Rani pernah bilang ingin memperbaiki sistem HR di Utama Medika.

"Cari tahu! Kalau mereka belum pakai, itu kesempatanmu. Buat database sederhana dalam Excel. Selain kamu jadi tahu tentang karyawan, dokumentasi jadi rapi," usul Banyu.

Wangi menganggukkan kepala sembari mencatat semua usulan Banyu.

"Intinya, cari keluhan apa yang sering muncul di unitmu, cobalah melakukan langkah sederhana untuk mengatasinya. Di tiap masalah, selalu ada peluang," imbuh Banyu.

"Eh, kamu kok pintar sih, Nyu?" goda Saras.

"Itu efek kuliah lama. Dia itu kuliah lama bukan karena bodoh atau malas, tapi karena ingin belajar berulang kali. Dosennya pun terpaksa meluluskan karena kalau lebih lama lagi, dosennya takut tersaingi," sindir Jay.

Saras terbahak. Ia segera berkata ke Wangi, "Itu guyonan ya, Ngi, bukan betulan."

Wangi tersenyum lebar. "Tahu, Mbak."

"Kamu bisa pakai Excel, 'kan?" Jay memastikan kemampuan Wangi.

"Sedikit, Mas."

"Minta si Leni mengajarinya Excel hari Sabtu!" perintah Banyu kepada Jay begitu mendengar jawaban Wangi.

"Siap, Bos!" sahut Jay.

"Terima kasih, Mas," ucap Wangi pada Jay. Ia dipenuhi rasa syukur. Ada saja orang-orang yang mau membantunya.

"Sama-sama," sahut Jay. "Hidup memang perjuangan, Ngi, tapi percaya deh, hasil tidak akan mengkhianati usaha."

Wangi manggut-manggut, menyerap nasihat Jay.

"Kalau tidak ada Iwan, kamu jadi bijak ya, Jay," seloroh Saras.

"Loh, aku memang aslinya begini. Jelas kan Iwan racunnya," balas Jay.

Saras dan Wangi terkekeh.

Saras beranjak dari duduk karena panggilan dari anak buahnya, Jay izin ke kamar kecil, meninggalkan Banyu dan Wangi berdua.

"Terima kasih banyak, Mas," ucap Wangi tulus. Lelaki ini tidak hanya memberinya tempat bernaung, tapi juga memberi pencerahan mengatasi masalah. Dalam hati membenarkan perkataan Saras, Banyu sebenarnya memiliki kepedulian, walau dibalut dengan sikap ketusnya.

"Hmmm," sahut Banyu datar. Ia lalu membuka tasnya, mengeluarkan kantong plastik kecil, menyodorkannya kepada Wangi.

"Apa ini, Mas?" tanya Wangi bingung. Dibukanya kantong tersebut, terdapat deodoran dan sebotol parfum. "Ini buat saya?"

"Ya, biar namamu tidak cuma slogan," sahut Banyu enteng lalu mengangkat teleponnya yang berdering.

Wangi berusaha mencerna maksud kalimat Banyu. Apakah maksud lelaki itu badannya bau keringat dan tidak wangi, tidak seperti namanya. Ia teringat perkataan Saras dan Jay untuk tidak mudah percaya dengan kalimat Banyu.

Perlahan, digerakkan kepalanya mendekati ketiak, membuktikan perkataan Banyu. Belum sempat mengendus, ada aroma menusuk indra penciumannya. Spontan ia mengedik, kepalanya terlentik ke belakang menjauh dari ketiak, ujung alis dan pangkal hidungnya berkerut. Ternyata ketiaknya memang teramat kecut!

Dari ujung matanya, Banyu yang sedang menerima panggilan telepon menyaksikan gerakan Wangi. Mati-matian ia berusaha menahan tawa melihat tingkah si bocah tengik.

-----


Note:

¹ Sakau: kondisi pemakai narkoba yang ketagihan.

² Mengemu: berkata-kata dengan mulut tertutup.


*****


Bersambung....

No comments:

Post a Comment