*_MENEROKA JIWA_*
*Bab 07. Hari Pertama*
oleh KaiaKarnika
Aroma petrichor–bau tanah setelah diguyur hujan–menguar di udara, menghadirkan sensasi teduh di hati Wangi yang teramat gelisah pagi itu. Hujan di musim kemarau memang merupakan anomali cuaca yang tak jauh berbeda dengan penyimpangan dalam hidupnya. Gadis desa yang mulai mengadu nasib di ibu kota, yang terbiasa dengan irama santai kini harus menyesuaikan dengan ritme cepat kehidupan urban.
"Mbok, saya berangkat," pamit Wangi sambil mencium tangan ART tua itu.
Iyam tersenyum. "Hati-hati, jangan lupa bawa payung. Ini bekal makan siang, jaga-jaga kalau sulit cari di sana." Ia menyodorkan kotak makan untuk Wangi.
Wangi semringah menerima pemberian Iyam, lumayan menekan pengeluaran. "Terima kasih, Mbok. Maaf jadi merepotkan."
"Tidak sama sekali. Sudah sana pergi, nanti terlambat." Iyam mengusap-usap pundak Wangi. Sikap Wangi yang santun dan sigap membantu membuatnya dengan cepat jatuh hati.
Wangi mengangguk, lalu beranjak pergi.
Saat hendak berbelok ke jalan kecil di samping salon mobil, ia nyaris bertabrakan dengan seseorang yang berlari.
"Eh, Mas Be!" Wangi kaget, tak menyangka lelaki itu sudah bangun. Seingatnya, ia belum mendengar dentuman musik deathcore saat membantu Mbok Iyam menyapu dan mengepel rumah tadi. Dilihatnya peluh membasahi kaus Banyu. Pria ini sepertinya baru selesai lari pagi.
Banyu mendengkus kesal. Tampaknya bukan hal mudah mengubah kebiasaan perempuan ini dalam memanggil namanya.
"Kamu mau kerja apa upacara?" komentarnya begitu melihat pakain yang dikenakan Wangi. Blus putih dan rok putih, persis anak sekolah mau upacara bendera.
Wangi cengengesan. "Ya kerja dong, Mas."
Banyu melirik jam di pergelangan tangannya. Jam 6. "Kamu masuk jam berapa?"
"Setengah sembilan."
"Lain kali, kalau hujan atau habis hujan harus lebih pagi."
"Oh, kenapa begitu, Mas?" Kemarin saat mencoba rute angkot dan bis bersama Iwan, membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam di hari Minggu untuk sampai ke tempat kerjanya. Menurut Iwan, di hari kerja kemungkinan bisa memakan waktu sekitar 2 jam. Ia pun berangkat 2,5 jam sebelumnya sebagai antisipasi. Namun, peringatan dari Banyu seolah antisipasinya masih kurang.
"Macet! Sudah sana berangkat!" Banyu malas menjelaskan panjang lebar.
"Ya, Mas. Pamit." Wangi bergegas, mulai cemas.
"Ngik!" panggil Banyu setelah Wangi berjalan beberapa langkah.
Wangi menghentikan langkah, menoleh ke arah lelaki itu, memastikan itu panggilan untuknya. Lelaki itu memandang ke arahnya.
"Saya, Mas?" Wangi mengarahkan telunjuk ke dadanya.
"Memang ada orang lain di sini?"
Wangi tersenyum malu, menyadari hanya ada dia dan Banyu di halaman. "Ada apa, Mas?"
"Topi sama dasi tidak ketinggalan?" tanya Banyu dengan wajah serius.
Wangi mengernyitkan dahi. "Buat apa, Mas?"
"Upacara!" Banyu melengos, meninggalkan Wangi yang terbengong-bengong.
Wangi menggaruk-garuk kepala. Seingatnya Bu Rani tidak menginformasikan ada upacara di kantornya pada hari Senin. Ia kian khawatir. Bagaimana jika memang ada upacara dan dia tidak membawa dasi topi. Namun, tak ada waktu lagi, ia harus segera berangkat, jangan sampai hari pertama bekerja terlambat.
Untuk sampai di kantornya, Wangi harus berganti tiga rute kendaraan umum. Bukan perjuangan yang mudah, jauh berbeda saat bekerja di Solo. Namun, Wangi tak gentar. Untuk kehidupan yang lebih baik, ia meyakini butuh pengorbanan lebih besar.
Perkataan Banyu benar adanya, kondisi jalanan yang dipenuhi genangan paska hujan menyebabkan kemacetan dan berdampak pada waktu tempuh yang lebih lama. Butuh waktu lebih dari dua jam untuk dapat sampai ke daerah T.B Simatupang.
Rintik hujan menyambut Wangi yang baru turun dari angkutan umum. Ia memilih untuk berlari agar lebih cepat sampai. Saat sedang berlari di trotoar tak jauh dari gedung kantornya, sebuah mobil sedan berkecepatan tinggi menerjang genangan air, seolah tak peduli dengan para pejalan kaki yang menyusuri tepi jalan. Tak ayal, semburan air mengenai Wangi. Ia setengah basah kuyup. Noda coklat bekas cipratan air bercampur tanah pun mengotori baju dan roknya.
Wangi terbelalak. Di tengah rasa panik, kekesalannya memuncak.
"Asu¹!" umpat Wangi. Spontan dilemparnya payung lipat yang sejak tadi sengaja tak digunakannya agar bebas berlari.
Tak diduga, mobil sedan merah tersebut memelankan lajunya karena hendak berbelok ke gedung perkantoran. Lemparan Wangi pun dengan tepat mengenai kaca samping kiri mobil.
Wangi tersentak, tak menduga lemparannya jitu.
Mobil itu berhenti. Pintu terbuka, pengemudi mobil turun, mengecek ke bagian bagian samping kiri mobilnya. Tak ada retak atau lecet akibat lemparan tadi.
Pengemudi mobil, seorang lelaki berusia sekitar 30-an memandang ke arah Wangi. Ia yakin perempuan inilah yang barusan menimpuk kaca mobilnya.
"Kenapa timpuk mobil saya?" tanya lelaki itu ketus. Tak merasa bersalah telah menyebabkan orang lain basah.
Wangi tergugu. Masih belum pulih dari rasa kaget. Kaget terkena cipratan, kaget melihat bajunya yang kotor, kaget karena lemparannya mengenai sasaran, dan kaget ditegur si pengendara.
"Heh! Ditanya diam saja! Kenapa kamu timpuk mobil saya?" Lelaki itu mengulangi pertanyaannya.
Wangi berusaha mengumpulkan keberaniannya. "Si-situ nyiprati sa-saya!" Ia menunjuk ke bajunya yang kotor.
Mobil lain di belakang mobil merah itu mengklakson, meminta mobil tersebut maju karena menghalangi jalan.
Lelaki itu tersenyum sinis. "Salah sendiri jalannya tidak minggir!" Ia lalu kembali masuk dan menjalankan mobilnya.
"Dasar asu!" maki Wangi pelan sambil mengambil payungnya. Ia berharap tak lagi bertemu dengan si lelaki sombong tadi yang masuk ke gedung sama dengan tujuannya.
Pukul 8.20 menit, akhirnya Wangi sampai di resepsionis gedung perkantoran berlantai 22. Setelah menyebutkan tujuan, ia mendapatkan kartu akses masuk.
Ini adalah kali pertama Wangi menginjakkan kaki di gedung perkantoran dengan akses canggih. Diamatinya bagaimana orang-orang melewati flap barrier gate, palang otomatis pembatas area yang hanya dapat dimasuki oleh orang-orang pemilik akses.
Setelah yakin cara memasuki area tersebut, ia mendekat, menempelkan kartu dari resepsionis ke area seperti layar kecil berwarna hitam. Jantungnya berdegup, tangannya gemetar, khawatir kartunya tidak bekerja. Kekhawatirannya terbukti. Setelah kartu ditempelkan, flap akrilik di hadapannya tidak juga terbuka. Ia menempelkan lagi, tidak juga bekerja. Panik mulai melanda.
"Tempelkan lebih lama," ujar seseorang di belakangnya.
Wangi mematuhi, dan berhasil. Flap akrilik terbuka, ia bergegas melewati palang, lalu menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang lelaki berpenampilan rapi dan karismatik. Wangi tersenyum dan menganggukkan kepala, mengisyaratkan ungkapan terima kasih.
Lelaki itu balas menganggukkan kepala, tanpa senyum.
Wangi segera menuju lift dengan antrian cukup panjang. Setelah menunggu beberapa saat, ia akhirnya mendapat giliran masuk meski belakangan.
"Lantai berapa?" tanya seorang pria yang berdiri dekat floor buttons, tombol bertuliskan angka penunjuk lantai yang ingin dituju.
Wangi menoleh ke sumber suara, memastikan pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Lelaki yang tadi membantunya memasuki flap barrier gate sedang menatap padanya, menunggu jawaban darinya.
"Oh ... lima belas, Pak." Wangi menyadari belum memencet tombol.
Lelaki itu memencet tombol bertuliskan angka 15.
"Terima kasih," ucap Wangi.
Lelaki itu hanya berespons dengan anggukan kepala.
Wangi melirik ke sekelilingnya yang berisi sekitar 15 orang. Rasa minder langsung menghinggapi. Di antara semua yang berpenampilan rapi dan beraroma harum, dirinya setengah basah kuyup dengan baju bercampur noda, plus bau keringat setelah berlari.
Pintu lift terbuka di lantai 15, Wangi segera keluar. Dua orang perempuan bergaya trendi ikut ke luar dari lift bersamanya menuju ke arah sama, PT Utama Medika.
Kedua perempuan itu melirik ke arah Wangi, saling berbisik sambil menempelkan tanda pengenalnya ke card reader untuk membuka pintu.
Wangi mengekor di belakang mereka seraya menelan ludah, tahu dirinya sedang diperbincangkan.
"Mau bertemu siapa?" tanya resepsionis begitu melihat kedatangan tamu dengan penampilan mirip kucing tersiram air.
"Bu Rani," sahut Wangi.
"Ada perlu apa?"
"Ini hari pertama saya kerja di sini."
"Sebagai apa? Office girl?"
Wangi menggeleng. "Staf HR."
Resepsionis berwajah cantik itu mengerutkan dahi. Sepanjang bekerja, baru kali ini ada karyawan PT Utama Medika seberantakan ini.
Wangi memahami kesangsian resepsionis. "Tadi kecipratan genangan air, Mbak," jelasnya tanpa diminta.
"Oh ... tunggu dulu di situ," ujar resepsionis itu menunjuk ke arah kursi tunggu."Bu Rani belum datang."
"Boleh saya ke kamar kecil?" Wangi ingin memanfaatkan waktu menunggu untuk membersihkan diri. Ia tidak mau Rani melihatnya dalam keadaan sekotor ini.
"Boleh, tapi jangan lama-lama. Bu Rani paling tidak suka menunggu." Resepsionis itu lalu menunjukkan arah toilet.
"Terima kasih," ucap Wangi. Ia ingin beranjak, tapi teringat sesuatu. "Mbak, apa ada upacara setiap Senin di sini?"
"Hah?" Resepsionis itu nyaris tak memercayai pendengarannya. "Upacara?"
"Iya."
"Anak sekolah kali, pakai upacara hari Senin!" Resepsionis itu tertawa.
"Oh, tidak ada, ya, Mbak?" Wangi mengembuskan napas lega. Ternyata peringatan Banyu kali ini tidak tepat. Ia pun segera membalikkan badan hendak ke kamar kecil.
Saat yang bersamaan, pintu masuk di depan resepsionis terbuka. Rani masuk bersama seorang lelaki.
"Hai, Wangi!" sapa Rani begitu melihat Wangi.
"Eh, Ibu ...." Wangi segera menyalami perempuan yang telah berbaik hati memberinya pekerjaan.
"Lo, kenapa bajumu kotor?" Rani melihat baju dan rok putih Wangi dipenuhi noda.
"Tadi terkena cipratan mobil saat jalan di depan, Bu," sahut Wangi sambil menggerakkan bola matanya ke arah lelaki yang masuk bersama Rani. Ia terperangah. Lah ... si asu! gerunyamnya. Ia masih ingat betul muka orang yang menyebabkan dirinya setengah basah kuyup tanpa rasa bersalah, malah balik marah-marah.
Saat yang bersamaan lelaki itu melotot kaget, tak menduga perempuan yang tadi menimpuk mobilnya kenal dengan Rani.
"Wah, kurang ajar sekali mobil itu! Sudah tahu habis hujan banyak genangan, bukannya hati-hati!" omel Rani. Ia mengusap pundak Wangi, berusaha menghiburnya. "Di Jakarta banyak orang egoistis, semoga kamu tidak kaget."
Wangi tersenyum penuh kemenangan sambil kembali melirik ke arah "si asu". Ia tidak perlu melontarkan makian, sudah terwakilkan oleh kata-kata Rani.
Lelaki itu mengecimus. "Tidak selamanya yang naik kendaraan salah, Tante. Bisa juga yang jalan meleng," belanya.
"Tapi lebih sering yang naik kendaraan tidak hati-hati," sanggah Rani. "Oh, Wangi ... kenalkan ini Aghas, keponakan saya," ujar Rani sembari menggerakkan tangan ke arah lelaki yang dijuluki asu oleh Wangi. Ia lalu menoleh ke arah keponakannya. "Ini Wangi, tante rekrut dia sebagai staf HR."
Wangi menganggukkan kepala, begitu pula dengan Aghas. Keduanya sama-sama tersenyum masam, tak menyukai kenyataan harus bekerja satu kantor.
"Yuk, Ngi, kita ke ruangan saya," ajak Rani.
"Bo-boleh saya ke toilet dahulu, Bu?" Wangi memberanikan diri izin sejenak.
"Tentu," jawab Rani. Ia kemudian memberi petunjuk arah ke ruangannya.
Wangi bergegas ke toilet setelah mendapat izin dari Rani. Dengan sedikit sabun, ia mencoba membersihkan percikan tanah yang menempel di baju dan roknya. Tidak sepenuhnya hilang, tapi lebih bersih dibanding sebelumnya. Rambutnya yang basah dikeringkan menggunakan hand dryer atau pengering tangan di dekat wastafel. Lumayan, tidak lagi seperti kucing tersiram air.
Setelah beberapa menit, ia segera menuju ruang kerja Rani. Sebuah ruangan berukuran sekitar 20m² dengan desain elegan yang didominasi warna cokelat putih.
"Masuk, Ngi," ajak Rani setelah mendengar ketukan di pintu yang terbuat dari kaca sandblast, sehingga dapat cukup jelas melihat sosok orang yang akan memasuki ruangannya.
"Sini, duduk." Rani mengarahkan tangannya ke kursi yang berseberangan di meja kerjanya begitu Wangi memasuki ruangan.
"Ya, Bu." Wangi mematuhi perintah Rani. Baru kali ini ia memasuki ruang kerja seorang direktur yang di matanya teramat mewah.
"Jadi di mana kamu tinggal sekarang?"
"Di Bintaro, Bu. Kebetulan ada orang dari desa saya yang punya tempat di sana. Saya tinggal di sana sementara sambil mencari indekos dekat sini."
"Lumayan jauh, ya."
"Lumayan, Bu, tapi bersyukur karena dia bersedia menampung."
"Kan saya sudah tawarkan tinggal sementara di tempat saya. Rumah saya tidak jauh dari sini."
Wangi tersenyum. "Terima kasih banyak, Bu, tapi saya tidak mau merepotkan ibu."
Rani tersenyum, tidak mau memaksa yang mungkin malah membuat Wangi tidak merasa nyaman.
Seorang perempuan mengetuk pintu ruang kerja Rani lalu masuk setelah mendapat persetujuan. Perempuan berusia 35 tahun, berparas cantik, tapi rautnya tak ramah.
"Wangi, kenalkan ini adalah Shinta. Dia Manager HR, atasanmu langsung." Rani memperkenalkan perempuan itu kepada Wangi.
Shinta memandangi Wangi dari ujung rambut hingga kaki, tak percaya direkturnya merekrut orang berpenampilan lusuh dengan ijazah hanya SMA untuk menjadi anggota timnya.
Wangi mengulurkan tangan sambil memasang senyum, sudah biasa mendapat perlakuan seperti yang dilakukan Shinta saat pertama berjumpa.
Shinta terpaksa membalas uluran tangan Wangi. Ia lalu menyerahkan dokumen kepada Rani. "Ini data yang Ibu minta." Ia kemudian menarik kursi di samping Wangi.
"Thanks, Shin!" sahut Rani. Ia menoleh kepada Wangi, lalu berkata, "Untuk kontrak kerja, nanti Shinta akan memberikannya kepadamu. Ia juga akan menjelaskan semua hak dan kewajibanmu."
Wangi mengangguk, tersenyum kepada Rani dan Shinta.
"Perusahaan ini didirikan oleh ayah saya empat puluh lima tahun lalu. Ia merintis mulai dari bawah, sebagai penyalur plester, kain kasa, dan berbagai alat kesehatan habis pakai ke rumah sakit. Lama-lama berkembang hingga seperti saat ini, dan sekarang dikelola oleh saya dan kedua kakak saya." Rani memulai penjelasannya.
Wangi mengeluarkan buku kecilnya, membuat catatan agar tidak melupakan informasi penting.
Rani tersenyum melihat inisiatif Wangi. Ia lalu memperlihatkan struktur organisasi yang dibawa oleh Shinta, menunjuk ke bagan yang tertera pada kertas tersebut. "Kakak pertama saya, menjabat sebagai Direktur Utama. Kakak kedua saya sebagai Direktur Pemasaran dan Pengembangan Bisnis. Saya, anak bungsu, memegang HR & GA. Sementara Keuangan diserahkan kepada sepupu kami."
Wangi menganggukkan kepala sambil sibuk mencatat.
"Produk alat kesehatan yang kita jual ada dua jenis, durable dan disposable." Rani kembali meneruskan penjelasannya.
"Tahu bedanya?" tanya Shinta kepada Wangi. Ia yakin perempuan ini tidak tahu hal semacam ini.
"Disposable yang sekali pakai, seperti jarum suntik, sarung tangan medis, plester, kain kasa, penutup kepala, penampung urine. Durable yang tahan lama dan bisa dipakai berulang kali, seperti tempat tidur, alat-alat di ruang praktik dokter, operasi, radiologi," jawab Wangi.
"Nah, itu sudah tahu," sahut Rani semringah. "Tahu dari mana?"
"Kemarin sempat lihat di website Utama Medika, Bu."
"Bagus! Kalau mau kerja atau melamar pekerjaan, harus tahu medan yang mau ditempuh. Banyak yang tanpa persiapan sama sekali." Rani mengacungkan ibu jarinya. Dalam hati senang bukan kepalang karena jeli melihat potensi Wangi.
Shinta tersenyum masam, tak menduga perempuan dekil ini memiliki persiapan yang cukup baik.
Rani kemudian kembali menunjuk ke bagan struktur organisasi. "Kedua produk itu berada di divisi berbeda, masing-masing dikepalai oleh general manager. Aghastyan, yang tadi sempat bertemu denganmu adalah anak dari kakak kedua saya. Dia sebagai GM untuk produk durable, sedangkan GM produk disposable dipegang oleh Samudra, anak dari kakak tertua saya."
Wangi menghela napas. Pantas saja Aghas tadi bersikap pongah, ternyata dia memiliki jabatan cukup tinggi di perusahaan keluarganya ini. Ia mengira-ngira apakah GM satunya lagi juga memiliki sifat yang sama. Lahir sebagai anak orang kaya dan menjadi jajaran pemimpin puncak organisasi di usia muda sering membuat mereka kurang menghargai orang lain.
"Ini nama-nama lengkap para pemangku jabatan," ujar Rani sambil menyodorkan lembar kertas lainnya. "Nanti kamu bisa menghafalnya. Orang HR harus kenal semua karyawan."
Pintu ruangan kembali diketuk begitu Rani menyelesaikan kalimatnya. Seorang lelaki masuk ke ruangan.
"Pagi," sapa lelaki yang baru masuk itu.
"Hai, Sam!" sapa Rani.
"Pagi, Pak Sam," sahut Shinta dengan nada super ramah.
Wangi menoleh ke belakang, dan terkejut begitu melihat sosok lelaki yang baru saja masuk. Lelaki yang menyarankan untuk menempel kartu lebih lama di pintu masuk, lelaki yang menanyakan lantai tujuannya.
"Wah, maaf mengganggu rapat, ya?" Lelaki yang dipanggil Sam itu menghentikan langkah.
"Tidak, kok, Sam" sahut Rani. "Perkenalkan ini staf HR yang baru, namanya Wangi. Tante bertemu dengannya waktu ke Solo bulan lalu." Ia lalu berkata pada Wangi, "Ini Samudra, keponakan saya, GM produk disposable."
Samudra mengulurkan tangan. "Sam," ucapnya tegas dan datar. Meski tanpa senyum, tapi tidak terkesan pongah seperti sepupunya.
"Wangi," sahut Wangi. Ia yakin Samudra pasti tidak mengingatnya, sedangkan dirinya sudah pasti mengingat sosok penolong nan karismatik ini. Posturnya setinggi Banyu, tapi penampilannya lebih rapi. Rambut lurus disisir ke arah belakang dengan sepasang alis mata tebal dan hidung mancung menghiasi wajah lonjongnya. Rambut-rambut halus di sepanjang garis rahangnya mulai bermunculan, terkesan seperti titik-titik halus yang menghadirkan kesan maskulin.
"Shinta, tolong kamu ajak Wangi ke meja kerjanya. Jangan lupa orientasi ke bagian lain," instruksi Rani.
"Baik, Bu," sahut Shinta sambil menghela napas panjang.
Wangi berdiri, berpamitan kepada Rani dan juga Sam, lalu membuntuti Shinta ke luar ruangan.
"Itu anak yang pernah Tante ceritakan menunggu lima jam untuk mengembalikan syal?" tanya Samudra begitu Wangi dan Shinta tak lagi di ruangan.
"Betul."
"Yakin taruh di bawah Shinta? Apa tidak habis ditindas?" Samudra seolah sangsi dengan keputusan tantenya.
Tampaknya Shinta punya reputasi sebagai atasan yang kurang menyenangkan.
Rani tersenyum lebar. "Aku melihat potensi besar pada anak itu. Ia hanya perlu didikan di kawah candradimuka untuk bisa menempanya menjadi seseorang yang kuproyeksikan. Dan Shinta adalah orang yang cukup tepat untuk menggembleng mentalnya."
"Semoga saja kuat, bukan malah mundur."
"Aku yakin dia tahan banting," jawab Rani optimistis.
Di meja kerjanya, sambil menunggu Shinta mempersiapkan kontrak kerjanya, Wangi mengamati nama-nama pejabat yang tertera. Ia membuat bagan di buku kecilnya untuk memudahkan informasi tersimpan di memori otaknya.
Direktur utama dijabat oleh Mahesa Utama, sang anak sulung. Direktur Pemasaran dan Pengembangan Bisnis, Mahendra Utama. Direktur HR & GA, Maharani Utama. Direktur Keuangan, sepupu dari ketiga direktur lain, Rahardian Putra.
Matanya beralih ke barisan berikutnya. GM produk disposable, Samudra Yudhistira Utama. Wangi berdecak kagum. Namanya sebagus perilaku dan parasnya. Ia menuliskan di bukunya, terdiri dari nama dan tak ketinggalan singkatan inisial yang dibuatnya sendiri: SYU.
Ia melanjutkan mencatat. GM produk durable - si pongah - Aghastyan Shankara Utama. Ia terkikik geli saat menuliskan inisial nama di bukunya: ASU. Ternyata "si asu" memang bernama ASU.
-----
Note:
¹Asu: anjing (Bahasa Jawa)
*****
Bersambung....
No comments:
Post a Comment