Thursday, January 25, 2024

Meneroka Jiwa (06)

 *_MENEROKA JIWA_*


*Bab 06. Energi Pagi*


oleh KaiaKarnika



Suara pintu terbuka membangunkan Wangi yang tertidur di sofa ruang tamu rumah Banyu. Seorang wanita mengenakan daster berusia lebih dari separuh abad masuk ke dalam rumah. Ia terkejut melihat kehadiran Wangi.

"Siapa kamu?" tanya perempuan itu dengan nada curiga.

Wangi bangun dari sofa terempuk yang pernah ditidurinya. "Sa-saya Wangi, Bu." Ia berdiri ketakutan, khawatir disangka pencuri.

"Kok, bisa masuk sini?" Wanita dengan rambut beruban digelung itu memandangi Wangi dari ujung rambut hingga kaki. Jawaban Wangi tidak memuaskannya.

"Tadi disuruh istirahat di sini sama Mas Be."

Dahi wanita tua itu berkerut. "Mas Be?"

"Eh ... anu ... anu ..." Wangi menggaruk kepalanya, mengapa sulit sekali menghilangkan kebiasaan menyebut nama itu, "Mas Banyu." 

"Kamu siapanya Banyu?" Wanita itu terus memandangi Wangi. Seumur-umur belum pernah dilihatnya perempuan kurus di hadapannya ini. Banyu pun sangat jarang membawa orang asing ke rumah.

"Saya tetangganya Mbah Tarno, simbahnya Mas Banyu, di desa Gelem," jelas Wangi.

"Oh, dari Gelem," sahut perempuan itu manggut-manggut. Ia melanjutkan interogasinya, "Datang bareng dengan Banyu?"

"Ya, Bu."

Perempuan itu lalu beranjak ke meja makan yang terletak menyatu dengan ruang tengah. "Kamu sudah sarapan?" tanyanya. Kali ini nada suaranya lebih lembut.

"Be-belum, Bu," jawab Wangi jujur. Cacing di perutnya tiba-tiba bereaksi. Ia terakhir mengisi perut sebelum naik kereta.

"Ini ada nasi uduk buat sarapan." Perempuan itu meletakkan rantang besar yang dibawanya di meja makan.

Wangi merapikan sofa, mengendus sejenak bekasnya tidur, khawatir ada iler yang menetes. Setelah yakin tidak meninggalkan bekas, ia berjalan ke meja makan sambil mengamati sekeliling rumah Banyu. Rumah ini berukuran mungil memanjang ke samping, berdesain modern minimalis dengan dominasi warna monokrom. Ruang tamu, ruang makan, dan dapur berjajar menyatu tanpa sekat, sehingga memberikan efek luas.

Ruang tamu terkesan lapang karena adanya void atau plafon ganda di atasnya yang menghadirkan pencahayaan alami dan sirkulasi udara lebih baik. Terdapat televisi dan perangkat audio di ruangan ini yang tampaknya lebih berfungsi sebagai ruang santai. Tangga ke lantai dua dapat diakses dari ruang ini dengan sebuah toilet kecil yang memanfaatkan area di bawah tangga. Tidak ada kamar tidur di lantai bawah ini.

"Yuk, makan!" ajak perempuan itu sambil mengambil piring dari kabinet atas dapur.

"Saya makannya tunggu Mas Be ... Banyu saja, Bu." Wangi tidak mau dianggap lancang mendahului tuan rumah.

Wangi beralih mengamati area dapur. Baru kali ini dilihatnya dapur sebersih dan serapi ini, letaknya pun berdampingan dengan ruang tamu. Kabinet atas dan bawah kitchen set berwarna putih, sedangkan konter dapur terbuat dari batu granit hitam. Bentuk dapur ini seperti huruf L. Tempat cuci piring menempel ke jendela dengan pemandangan halaman depan yang dipenuhi rumput hijau, sedangkan area memasak memanjang dengan backsplash keramik hitam putih.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Wangi menawarkan bantuan menyiapkan sarapan.

"Tidak perlu. Kamu duduk saja," sahut perempuan itu.

"Ibu ... ibunya Mas Banyu?" Wangi menurut, menarik kursi makan yang menghadap ke arah jendela. Di seberangnya terlihat halaman depan berumput yang luas dengan pohon mangga rindang.

"Bukan, saya pembantunya. Banyu biasa panggil saya Mbok Yam. Kamu juga boleh panggil saya begitu. Saya merawat Banyu sejak dia baru masuk TK."

Wangi terperanjat. "Wah ... lama sekali. Sudah seperti anak sendiri, ya, Mbok Yam?"


"Iya. Hampir dua puluh lima tahun saya mengasuhnya. Waktu dia dipaksa pindah ke Gelem, saya sampai nangis berhari-hari." Wanita bernama Iyam itu tergelak mengingat kekonyolannya.

Wangi tersenyum, membayangkan betapa senangnya dirindukan oleh seseorang, seperti Banyu yang dirindukan Mbok Yam. "Mbok Yam pernah ke Gelem?"

"Pernah sekali. Kamu tinggal dekat rumah Mbah Tarno?"

Wangi menggeleng. "Tidak terlalu dekat. Satu desa, beda dusun."

"Oh," sahut Iyam singkat sembari sibuk menyeduh teh.

"Rumah ini hanya ditinggali oleh Mas Be eh ... Mas Banyu sendirian?" Rasa penasaran Wangi menyeruak.

"Iya, hanya Banyu di sini." Iyam menyodorkan teh hangat untuk Wangi.

Mata Wangi berbinar menerima teh hangat dari Iyam. "Terima kasih." Ia menghirup aroma teh yang menguar, lalu menyeruputnya. 

"Keluarganya Mas Banyu tidak ada yang tinggal di sini?" Wangi masih punya berjuta penasaran.

Iyam menarik kursi di ujung meja makan yang membelakangi konter dapur, bersebelahan dengan Wangi. "Ayahnya Banyu meninggal empat tahun lalu. Banyu anak tunggal."

"Ibunya?"

"Ibu kandung Banyu sudah meninggal saat dia kelas tiga SMP."

Wangi terkejut, baru tahu informasi ini. "Oh ... berarti perempuan yang pernah datang menjenguk Mas Banyu bukan ibunya?" Ia pernah melihat sepasang suami istri di rumah Mbah Tarno saat Banyu tinggal di sana. Sang suami adalah anak sulung sesepuh desa yang cukup dihormati di Gelem itu.

"Itu pasti Bu Mirna, ibu tiri Banyu. Pak Pramono, ayah Banyu, menikah lagi saat Banyu kelas satu SMA. Bu Mirna punya dua anak, laki-laki dan perempuan, lebih muda dari Banyu. Semenjak bapak menikah lagi, Banyu jadi nakal banget. Kerjaannya bolos dan berkelahi. Tidak mempan dinasihati." Mbok Yam mencerocos.

Wangi mendengarkan dengan saksama, seolah menemukan alasan kenakalan Banyu. Belum pulih kesedihan ditinggal ibu, lalu merasa tersisihkan oleh kehadiran ibu dan saudara tiri.

"Ibu dan saudara tirinya sering berkunjung ke sini?"

Iyam menggeleng. "Mereka hanya bertemu saat hari raya."

"Lalu yang punya tempat usaha ini siapanya Mas Banyu, Mbok?" Wangi ingat Banyu mengiakan bahwa dirinya bekerja di tempat ini.

Belum sempat Iyam menjawab, pintu depan kembali terbuka, kali ini muncul tiga orang sambil mengucapkan salam bersamaan.

"Masuk ... masuk!" sahut Iyam. Ia berdiri dari duduk, berjalan mengambil teh yang sudah disiapkan. Sepertinya ia sudah menduga akan hadirnya tamu lain di pagi itu.

Wangi mengamati ketiga orang yang datang, dua lelaki dan satu perempuan. Ia memperkirakan ketiganya berumur sepantar Banyu. Rasa minder menggelayuti begitu melihat penampilan ketiga orang tersebut, rapi meski berpakaian kasual dan juga harum semerbak.

"Bos sudah pulang, Mbok?" tanya si perempuan dengan rambut berkucir satu sambil berjalan menuju meja makan. Tubuhnya langsing dan berkulit cerah. Pembawaannya pun ramah.

"Sudah, tapi masih tidur sepertinya," sahut Iyam sambil menyuguhkan tiga cangkir teh.

"Eh ... ada tamu?" sapa seorang lelaki bertubuh kekar ketika melihat Wangi.

"Kenalkan ini tetangga simbahnya Banyu." Iyam berinisiatif memperkenalkan Wangi kepada tiga orang tersebut.

"Iwan," sahut si lelaki bertubuh kekar sambil mengulurkan tangan. Kaos ketatnya memperlihatkan otot tubuh yang terbentuk.


Wangi takut-takut mengulurkan tangan, khawatir tulangnya remuk saat bersalaman. Tubuh pria ini lebih kekar dan berotot daripada Banyu, persis atlet angkat besi yang pernah dilihatnya di televisi.

"Tenang, dia jinak, kok," kelakar si perempuan begitu melihat air muka Wangi. Ia memilih duduk persis di hadapan Wangi.

"Sudah suntik rabies juga," tambah lelaki satu lagi yang berkepala plontos dan tubuh tinggi kurus.

"Ih ... sembarangan! Memangnya aku bulldog!" umpat Iwan dengan gaya kemayu.

Wangi terkekeh melihat gaya Iwan yang ternyata tidak sesangar tubuhnya yang kekar.

"Wangi," sahutnya. Ia mengamati Iwan yang menurutnya tidak jauh berbeda dengan Ivan Gunawan, selebritas tanah air bertubuh besar yang sering bergaya kemayu.

"Kalau yang di televisi namanya Ivan Gunawan. Kalau ini namanya Iwan Guedoyanbakwan," seloroh si lelaki plotos yang sepertinya sudah paham reaksi orang saat berkenalan dengan Iwan.

Wangi berpikir sejenak, mencerna perkataan barusan, lalu tertawa setelah memahami maksud lelaki itu.

"Yaaah, dia telat ketawanya," gurau Iwan, "kamu bukan Lola, 'kan?"

Wangi menggeleng cepat. "Bukan, Mas. Nama saya Wangi."

Tawa ketiga orang itu pecah.

"Lola itu singkatan loading lama, bukan nama," jelas si lelaki plontos, tidak tega melihat kepolosan gadis di depannya. Ia kemudian mengulurkan tangan. "Jay."

"Si pentol korek ini nama panjangnya, Jijay Bajay Siomay Puyunghay Anjay," ujar Iwan dengan wajah serius.

Wangi mengulurkan tangan sambil terbelalak. "Sungguh?" Baru kali ini dia mendengar nama seperti itu.

Tawa keempat orang - termasuk Iyam - kembali meledak melihat reaksi Wangi.

"Wah ... yang kayak begini sasaran empuknya si Banyu, nih," ujar si perempuan sambil berusaha menghentikan tawanya lalu menyodorkan tangan. "Aku Saras."

Iwan dan Jay langsung berdiri tegak dengan kaki terbuka selebar bahu. Kedua tangan direntangkan lurus ke samping lalu digerakkan ke atas kepala. Kaki kemudian ditekuk bersamaan dengan kedua telapak tangan bertemu dan digeser ke depan dada. Mereka lalu setengah meloncat kembali berdiri tegak, tangan lurus ke atas, direntangkan lurus ke samping, sambil berteriak, "Saras 008!"

Keduanya melanjutkan kembali serangkaian gerakan ala Saras 008, pahlawan perempuan di sebuah sinetron yang tayang pada akhir tahun 90-an dan awal 2000-an. Kali ini sambil bernyanyi.

"Ceritanya sebuah zaman baru

Telah melahirkan jagoan baru

Bertekad menegakkan (Tegakkan kebenaran)

Bekerja membasmi (Membasmi kejahatan)

Dialah... Saras 008... Saras 008

Si Pahlawan Kebajikan"

Mereka berdua menyilang kaki ke belakang, memutar tubuh beberapa kali, lalu duduk bersila dengan kedua tangan seolah mencakar seperti kucing.

"Saras!" teriak mereka berdua dengan napas terengah dan setengah mati menahan tawa.

"Dasar sinting!" Saras tergelak melihat aksi kedua temannya. Ia sudah terbiasa diperolok seperti itu oleh Iwan dan Jay.

Walau sudah beberapa kali melihat polah konyol dua orang lelaki ini, tapi Iyam tetap tak kuasa menahan tawa.

Wangi ikut terbahak. Ternyata kelakuan kedua orang ini lebih gila daripada para ODGJ di panti.

"Bajay, bantuin berdiri, dong!" pinta Iwan yang tampak kesulitan bangun dari duduk bersilanya. Ia berusaha menggapai-gapai Jay yang sudah berpindah duduk di kursi makan tak jauh darinya.


"Jangan, Jay! Biarin saja, biar tahu rasa. Kecentilan, sih!" larang Saras dengan tawa yang kian membahana.

Iwan cemberut, kesulitan bangun.

Saras, Jay, dan Iyam tak mau membantu, terus tertawa menikmati penderitaan Iwan.

"Masa bisa angkat barbel, tapi loyo angkat badan," ledek Iyam.

"Itu karena ada anggota badannya yang selalu loyo, Mbok!" gurau Saras.

"Ih, kok kamu tahu? Ayo dari mana tahunya?" Jay ganti menggoda Saras yang duduk di sebelah kanannya.

"Heh! Tolongin aku dulu, dong! Malah sibuk bercanda!" omel Iwan yang masih kesulitan bangkit.

Wangi tidak tega, bergegas membantu Iwan sambil tergelak. Tubuh kurusnya hampir terbanting saat membantu lelaki bertubuh besar itu berdiri.

"Terima kasih, Wangi. Mereka memang penjahat semua!" Iwan melengos dengan gaya kenes lalu duduk di samping Wangi, berhadapan dengan Jay.

Wangi membalas dengan senyum lebar, senang dengan keramahan orang-orang yang baru ditemuinya ini.

"Sarapan apa kita, Mbok Yam?" Jay melongok ke tengah meja makan.

"Nasi uduk," sahut Iyam sambil mendorong tempat nasi ke arah Jay.

Jay dengan cepat mengambil nasi uduk beserta lauk ke piringnya.

"Mas Jay ini yang bertanggung jawab di tempat cuci dan salon mobil. Mbak Saras di restoran dan kedai kopi. Kalau Mas Iwan di fitness center," jelas Iyam saat ketiga orang itu mengambil sarapan. "Biasanya mereka sarapan bersama Banyu sambil bahas urusan kerjaan."

Wangi manggut-manggut.

"Apa istilahnya, Mbok?" pancing Iwan.

"Brekpes," sahut Iyam percaya diri.

Semua tergelak.

"Briefing, Mbok. Kalau brekpes tuh penyakit," sahut Jay.

"Itu tipes, Bajay! Kualat ngerjain orang tua, lo!" Iwan memelototi Jay sambil menahan tawa. Ia lalu berkata pada Iyam, "Besok tehnya si Bajay dikasih sianida saja, Mbok!"

"Bila kumati, kau juga mati. Walau tak ada cinta sehidup semati." Jay menyahuti dengan menyenandungkan potongan lagu berjudul "Posesif" dari Naif.

"Iiih, jijay bajay!" Iwan mengecimus sambil mengibaskan tangan.

Saras dan Iyam tergelak melihat gaya genit Iwan.

Wangi merasa pipinya sakit, sejak tadi tertawa tidak berhenti.

"Dalam rangka apa datang ke Jakarta?" tanya Saras sambil menyuap sesendok nasi uduk ke mulutnya.

"Kerja, Mbak."

"Di sini?" tebak Jay.

Wangi menggeleng. "Di daerah T.B Simatupang. Mas Be menawarkan tinggal di sini sampai saya dapat indekos dekat kantor."

"Be?" tanya ketiga orang itu kompak.

"Eh ... Banyu, maksud saya," ralat Wangi.

"Kenapa panggil Be? Baru dengar." Iwan penasaran.

Wangi terpaksa menjelaskan asal-usul panggilan Be Dua.

Keempat orang yang duduk di meja makan terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.

"Kok kamu tidak makan?" tanya Saras begitu menyadari Wangi tidak mengambil nasi uduk.

"Pasti nunggu Mas Be, ya?" terka Iwan dengan nada genit.


Tawa keempat orang itu kembali meledak, membayangkan air muka Banyu mendengar panggilan tersebut.

Tawa mereka terhenti oleh bunyi gemerincing. Hitler turun dari tangga.

Jay dan Iwan langsung sigap berdiri, memberi salam dengan gaya persis seperti yang dilakukan Banyu tadi subuh. Berdiri tegak, tangan lurus ke depan 45⁰.

"Heil, Hitler!" sapa mereka dengan suara dibuat serius dan berat.

Meooong. Hitler seolah menyapa balik.

Saras mencondongkan tubuh mendekati Wangi. "Betul, 'kan, kataku tadi. Mereka berdua sinting." Ia menduga Wangi pasti bingung melihat gerakan kedua lelaki itu.

Wangi tersenyum lebar. Jika tidak melihat kelakuan Banyu tadi saat datang, ia pasti akan berpendapat sama seperti kata Saras.

"Cepat ke sini, Hitler." Iyam mengajak Hitler ke pangkuannya yang dipatuhi oleh kucing persia itu.

Iyam kemudian menutup telinga dengan kedua telapak, sedangkan sikunya seolah menutup kuping Hitler yang telah berada di pangkuannya.

Ketiga orang lainnya pun melakukan hal sama, menutup telinga.

"Tutup telingamu, Ngi!" perintah Saras.

Wangi kebingungan, tapi tak punya pilihan selain patuh. Begitu tangannya menempel di telinga, terdengar distorsi gitar dan ketukan blasting drum memekakkan telinga dari pelantang suara di lantai dua, diikuti lantunan lirik lagu yang dibawakan oleh vokalis bersuara berat. Cara sang vokalis bernyanyi lebih mirip orang marah sambil kumur-kumur dibanding bersenandung merdu.

Wangi merasa jantungnya berdebar kencang selama lagu tersebut dimainkan. Dentuman bas pelantang suara menimbulkan getaran di dinding dan meja. Baru kali ini ia mendengar jenis musik seperti ini dan tidak habis pikir mengapa ada orang yang bisa menikmatinya.

Setelah lagu selesai diputar, keempat orang di meja makan mengembuskan napas lega, melepaskan tangan dari telinga, lalu kembali meneruskan aktivitas seolah tak terjadi apa-apa. Semuanya tampak sudah hapal urutan rutinitas yang terjadi tiap pagi. Hitler turun dari lantai dua pertanda Banyu sudah bangun dan tak lama berselang lagu beraliran deathcore akan berkumandang untuk menyemangati pagi lelaki itu.

"Paaagiii, Mas Be," sapa Iwan, Jay, dan Saras kompak begitu melihat sosok Banyu turun dari tangga.

Iyam yang sedang menyeduh teh untuk majikannya, berusaha menahan tawa, membayangkan Banyu dipanggil Babi.

Wangi cengar-cengir, ada geli campur takut dimarahi Banyu karena membocorkan aib.

Banyu melotot. Pasti si bocah tengik itu sudah menceritakan perihal Be Dua.

"Sekali lagi panggil kayak gitu, potong gaji!" ancam Banyu sambil menarik kursi yang berada di ujung meja makan, membelakangi ruang tamu. Iwan di sebelah kiri dan Jay di sebelah kanannya.

"Ih, padahal keren, lo!" goda Iwan, "apalagi ditambahin satu huruf b lagi di belakangnya."

"Mas Beb, aaah ... mesra banget!" ledek Jay.

"Kunyuk kalian!" maki Banyu.

"Kamu segera makan, Wangi. Banyu kan sudah di sini," ujar Iyam kepada Wangi. Ia lalu menyodorkan secangkir teh untuk Banyu dan berkata padanya, "Dari tadi dia tidak mau makan, menunggumu, tidak enak sepertinya makan sebelum yang punya rumah turun."


"Terima kasih, Mbok," sahut Banyu menerima cangkir teh dari ART-nya. Ia lalu memandang ke arah Wangi, menggerakkan kepala sebagai isyarat agar perempuan itu mengambil sarapan.

Wangi segera mematuhi. Perutnya sudah teramat keroncongan.

"Sopan banget kamu, Wangi," sanjung Iwan.

"Memangnya kamu, Wan, tidak tahu sopan santun!" umpat Jay.

"Lah, Anda yang tadi duluan ambil makanan, Pak!" protes Iwan sambil melempar serbet ke arah Jay.

"Jangan kaget sama tingkah mereka, Wangi. Mirip anak TK," ujar Saras.

Wangi tertawa. Selain terhibur, ia pun senang karena dilibatkan dalam percakapan, walau baru saling mengenal.

"Mbok Yam, nanti kamar di sebelahmu tolong dibersihkan, ya," pinta Banyu sesudah menyeruput teh hangatnya.

"Oke," sahut Iyam sambil menuangkan makanan untuk Hitler.

"Maaf jadi merepotkan. Terima kasih banyak, Mas Be," sahut Wangi, "eh ... Mas Banyu." Dalam hati memaki dirinya yang sulit mengubah kebiasaan.

Banyu mendelik. Dasar bocah tengik!

"Ya, Ngik," ucap Banyu.

"Nama saya Wangi, bukan Wangik, Mas," protes Wangi takut-takut.

"Nama saya Banyu, bukan Be, apalagi Be Dua!" balas Banyu ketus.

Wangi cengengesan. "Maaf, Mas, sudah kebiasaan."

"Eh, tapi binatang be dua itu memang bunyinya 'ngik ngik' loh ... cucoook!" ledek Iwan sambil mencubit genit lengan Banyu.

"Babi bengek?!" Banyu memelototi Iwan.

Bukannya takut, yang dipelototi malah terbahak.

Saras berusaha menghentikan tawanya. "Sudah, jangan kelamaan ledekin Bos, nanti kita benar-benar dipotong gaji."

"Tadi Wangi tanya 'yang punya tempat usaha ini siapanya Mas Banyu'. Belum saya jawab, keburu kalian datang," lapor Iyam.

"Lo ... ya ini bosnya, Wangi!" Jay menunjuk ke arah Banyu, "makanya dia bisa ngancam motong gaji."

Wangi melongo. Usia Banyu hanya berjarak 5 tahun darinya, tapi sudah mampu memiliki tempat usaha yang pastinya membutuhkan modal besar.

"Mikirin apa, Ngi?" tanya Saras melihat ekspresi Wangi.

"Mo-modalnya pasti besar untuk bikin usaha seperti ini, ya? Kata orang di desa saya, Jakarta itu tempat mudah dapat uang. Berarti itu betul, ya?" Wangi berusaha mencari pembuktian atas omongan orang selama ini.

"Nah, tanya deh sama Pak Bos, bagaimana dapat modal besar untuk bikin usaha seperti ini," sahut Saras.

"Gampang! Tinggal piara tuyul sama babi ngepet saja!" jawab Banyu asal-asalan.

Wangi terperangah, "Mas Be pelihara makhluk halus?"

"Iya," sahut Iwan cepat. "Ini tuyulnya, bentuknya sama 'kan, cuma ini versi dewasa jadi ambil duitnya bisa lebih banyak," ia menunjuk ke arah Jay, lalu menunjuk ke arah Saras, "dia yang jagain lilinnya."

"Babinya?" pancing Saras cekikikan.

"Jelas yang ini!" jawab Iwan dan Jay berbarengan sambil menoleh ke arah Banyu, lalu terbahak-bahak diikuti oleh derai tawa Saras dan Iyam.

Banyu mendengkus kesal.

Wangi masih terbelalak, tak percaya Banyu–cucu almarhum sesepuh desa yang dihormati itu–ternyata memelihara makhluk halus.

"Ya ampun, Wangi! Kamu jangan percaya! Di sini pada ngawur kalau bicara!" Saras tak tega melihat air muka Wangi yang tidak menyadari dirinya sedang dikerjai.

"Sudah puas ketawanya?" Banyu memelototi Iwan dan Jay.

Iwan berusaha menghentikan tawanya. "Sebenarnya sih belum, Bos, tapi takut potong gaji."

"Besok Minggu kamu ajari dia naik bus dan angkot ke T.B Simatupang, biar tidak bingung pas hari Senin berangkat kerja. Kasih tahu juga bagaimana supaya tidak dicopet!" perintah Banyu kepada Iwan.

"Bah! Iwan saja beberapa kali dicopet!" ejek Jay.

"Dia ditodong saja pernah," timpal Saras.

"Sungguh?" Wangi terkejut, ternyata ibu kota memang kejam. Orang sekekar Iwan saja ada yang berani menodong, apalagi dirinya yang kurus kering.

"Sungguhan, padahal itu orang awalnya cuma mau minta rokok. Iwan kira orang itu mau nodong. Langsung dia kasih ponsel sama dompetnya secara sukarela," ungkap Jay geli.

Iwan cemberut. "Ih, orangnya seram tahu! Jadi kupikir mau nodong. Kan daripada aku terluka, lebih baik serahkan harta."

"Tapi badanmu segede itu, Wan! Malu sama barbel!" ledek Saras.

"Yah, maklum, Sar. Iwan kan bukan anak bela diri, tapi anak band," ujar Banyu.

Jay dan Saras saling berpandangan dan berkata berbarengan, "Anak band ... bencong!" Tawa mereka berdua kembali meledak.

Iwan pun ikut mengakak, tak keberatan dirinya jadi bulan-bulanan.

"Jangan-jangan besok malahan si Wangi yang jagain Iwan." Iyam tak mau ketinggalan mengolok-olok Iwan yang makin membuat tawa di ruangan itu menggema.

Tawa yang laksana energi pagi bagi Wangi. Ia yang semula diselimuti kelelahan dan kegelisahan perlahan dipenuhi keriangan. Ia melirik ke arah Banyu. Seumur-umur, baru kali ini dilihatnya lelaki itu tertawa, meski tanpa suara. Seumur-umur juga, baru kali ini ia menikmati sarapan di tengah canda tawa dan merasa diterima.


*****


Bersambung....

No comments:

Post a Comment