Kejora Pagi
Thursday, January 25, 2024
ADA CINTA DIBALIK RASA 04
(Tien Kumalasari)
Jarak mereka memang tak terlalu jauh, rupanya laki-laki yang dimaksud tidak mendengar. Anjani mendekat, ia juga tak begitu yakin, benarkah dia Jatmiko, atau bukan. Hal itu bisa terbukti, kalau sudah saling mendekat dan berbicara. Sayangnya saat itu di pom itu sedang ramai, berderet mobil mengantri.
“Mikooo !”
Tapi laki-laki itu sudah masuk ke dalam mobil dan memacunya karena mobil dibelakangnya sudah membunyikan klakson.
“Mikooo!”
Anjani menghela napas. Mungkin dia tidak mendengar, atau memang dia bukan Jatmiko. Dulu, sahabat kecilnya itu adalah seorang anak yatim piatu, miskin. Tapi yang dilihatnya tadi mengendarai mobil. Anjani mengeluh. Ia terlalu memikirkan Jatmiko, mengira laki-laki yang dilihatnya adalah Jatmino. Ia masih termangu diantara deretan mobil, ketika tiba-tiba seseorang menarik lengannya.
“Apa yang kamu lakukan?”
Anjani terkejut. Usman menariknya menjauh. Mobilnya sudah keluar dari antrean, mepet diujung jalan.
“Apa yang kamu lakukan?” ulangnya, karena Anjani tak menjawab.
“Saya … seperti melihat teman,” katanya datar. Pikirannya masih ke arah laki-laki tampan itu. Sebagian besar perkiraannya adalah Jatmiko, tapi ada juga perasaan ragu. Tiba-tiba Anjani merasa sedih. Mungkinkah dia bisa ketemu teman masa kecilnya itu? Di mana dia harus mencarinya?
“Apa dia laki-laki?” tanya Usman ketika keduanya sudah masuk ke dalam mobil.
Anjani menatap Usman yang mulai menjalankan mobilnya.
“Memangnya kenapa, kalau laki-laki?” jawab Anjani yang bermaksud membuat Usman kesal.
“Kamu tidak bisa lagi berhubungan dengan laki-laki, karena kamu adalah milikku.”
Anjani tak menjawab. Belum jadi istrinya sudah mengekang. Kelak, apakah dia akan mengeram dirinya di dalam kamar dan tidak boleh melihat dunia luar?
“Apa kamu tahu, aku ini pecemburu. Aku tidak mau orang lain menyukaimu.”
“Teman laki-laki saya banyak. Bekas teman kantor, bekas teman kuliah. Memangnya salah, memiliki banyak teman?”
“Tapi kamu tidak boleh lebih dari berteman. Aku tidak suka itu. Kalau kamu ingin bepergian, kamu harus bersama aku. Atau bersama orang yang aku percaya. Tidak boleh sendirian.”
Anjani tetap membisu. Tak ada gunanya berdebat dengan laki-laki egois yang mengira bahwa harta yang dimilikinya bisa membuat apa yang diinginkannya selalu kesampaian.
Anjani merasa tak berdaya. Dia menjadi alat pembayaran demi ayahnya, dan pasti juga demi ibu tirinya. Bukankah dia juga ikut menikmati uang yang dikucurkan Usman agar maksudnya kesampaian? Anjani sangat cantik. Usman belum pernah terpikat kepada seorang gadis seperti yang dirasakannya sekarang. Walau usia tak lagi muda, ia tak ingin melepaskannya. Ia benar-benar jatuh hati dan ingin menguasainya, dan ia memiliki senjatanya.
“Kamu ingin ke mana?” tanyanya sambil menatap ke arah Anjani, yang diam sambil memandang ke arah samping mobil.
“Saya tidak ingin ke mana-mana,” jawabnya dingin.
“Jangan begitu, katakan apa yang kamu inginkan. Aku akan mewujudkannya untuk kamu.”
Anjani tak menjawab.
“Makan dulu ya?”
“Terserah.”
Meskipun agak kesal, Usman masih berusaha tersenyum. Bagaimanapun Anjani ingin menolaknya, ia tak akan bisa melepaskan diri darinya. Ia sudah menguasainya, dan tahu di mana titik kelemahannya, yaitu pada kesehatan ayahnya.
Lalu Usman memasukkan mobilnya ke halaman sebuah restoran. Malam belum begitu larut. Rumah makan itu tak begitu ramai. Usman berusaha menggandeng tangan Anjani, tapi Anjani mengibaskannya. Usman tidak berusaha memaksanya. Ia harus bersikap baik, agar Anjani mengerti betapa sabarnya dia, sehingga semakin lama ia bisa merebut hatinya.
Usman memilih duduk di sudut ruangan, terpisah dari para pelanggan lainnya.
“Mau makan apa?”
“Terserah.”
“Anjani, tolong bersikap manislah sedikit saja, masa kamu tak ingin menyenangkan hati calon suami kamu ini?” tanyanya sambil menuliskan pesanan. Ia memesan apa yang dia inginkan, dan berharap Anjani menyukainya, karena ia tak mau memesannya sendiri.
Anjani merasa muak. Bersikap manis untuk menyenangkan dia? Sang calon suami? Kalau bisa ia ingin kabur darinya. Tapi selalu saja ada yang menelikung kaki tangannya sehingga ia tak mampu bergerak.
“Aku sudah pesan ini, bagaimana?”
Anjani tak sedikitpun melirik ke arah tulisan pesanan yang dibuat Usman.
“Saya sudah bilang terserah.”
“Ya sudah, ada beberapa macam yang aku pesan, kamu boleh memilihnya nanti.”
Usman menyerahkan pesanannya kepada pelayan yang dipanggilnya.
“Aku harap kamu bisa menerima aku dengan sepenuh hati. Memang, aku agak lebih tua, tapi aku bisa melakukan banyak hal yang dilakukan anak-anak muda. Aku banyak uang dan bisa memanjakan kamu. Dan aku juga perkasa di atas ranjang,” katanya sambil tersenyum. Tapi senyuman itu membuatnya jijik.
Ia merasa perutnya mual. Tapi ia tak ingin mengatakannya. Nanti dia bilang soal hamil seperti tadi siang. Hoeeekk..
“Dan aku ingin secepatnya kita menikah.”
“Apaa?” kali ini Anjani berteriak.
“Kenapa, Jani? Bukankah aku memintamu kepada ibumu untuk aku jadikan istriku? Kalau hanya pergi berduaan, jalan-jalan, mana aku tahan? Kamu harus ingat, beberapa tahun aku puasa lho. Kamu mengerti kan maksudku?”
Tiba-tiba Anjani merasa benar-benar ingin muntah. Ia berdiri dan bergegas mencari toilet.
“Ke mana?”
“Toilet,” jawab Anjani yang terus saja melangkah.
Di dalam kamar mandi, Anjani memuntahkan seluruh isi perutnya. Ia tak bisa membayangkan benar-benar menjadi istri bandot itu, melayaninya dan … tidak, itu tak boleh terjadi.
Anjani terengah-engah setelahnya. Lalu ia terkejut ketika pintu digedor dari luar.
“Anjani. Anjani!”
Anjani mengusap air matanya yang sempat mengalir. Ia mengusapnya dengan tissue yang ada di sana.
“Anjanii!”
“Sebentar,” akhirnya Anjani menjawab karena tak ingin Usman terus menerus menggedor pintu dan menarik perhatian banyak orang.
“Kamu tak apa-apa?”
Anjani membuka pintu, lalu terus saja berjalan ke arah meja dimana tadi mereka duduk, tanpa mempedulikan Usman yang berdiri di luar pintu kamar mandi.
“Kamu kenapa?”
”Tidak apa-apa. Anehkah orang pergi ke kamar mandi?” jawabnya pelan tapi tandas. Menunjukkan bahwa ia tak senang menerima perhatiannya,
“Kamu terlalu lama, aku khawatir.”
Anjani duduk, dan melihat banyak makanan terhidang di atas meja. Rasa mual kembali mengganggunya. Dan untunglah ada jus jeruk diletakkan di dekatnya. Ia meraih gelasnya, dan menyedotnya pelan.
“Ayo kita makan.”
Anjani meraih piring dan mengambil makanan sekenanya. Ia ingin Usman segera membawanya pulang. Kalau dia tidak segera makan, maka akan semakin lama dia akan berada di situ.
“Ini udang asam manis. Enak, cobalah,” Usman langsung saja menyendokkannya dan meletakkannya di piring Anjani
“Makan yang banyak. Nggak bagus pengantin badannya kurus.”
Anjani merinding. Ia menyendok mie yang diambilnya, memasukkannya ke mulut, dan mengunyahnya pelan.
“Saya tidak ingin sekarang.”
“Apa maksudmu?”
“Bagaimana saya bisa melakukannya sementara ayah saya masih sakit? Bulan depan operasi itu dilakukan, jadi nanti saja kalau bapak sudah sehat.”
“Apa tidak terlalu lama?”
“Saya bersedia melakukannya demi bapak, jadi saya maunya kalau bapak sudah selesai operasi dan dinyatakan sembuh.”
Anjani mengatakannya sambil menghabiskan mie di piringnya, lalu meraih tissue dan meneguk jus jeruknya.
Usman mendesah kesal.
“Masih lama ….” keluhnya.
“Saya sudah selesai,” katanya tak peduli Usman menatapnya dengan tatapan kesal.
Tapi Usman tahu, memaksanya akan berakibat buruk, jadi satu-satunya jalan adalah menuruti kemauannya. Anjani gadis yang susah ditundukkan, itu membuatnya semakin penasaran dan semakin menginginkannya. Tapi dia harus bersabar. Nanti kalau saatnya tiba, apa yang bisa dilakukan Anjani kecuali menyerah pasrah?
“Makanan masih begini banyak, kamu tak ingin mencobanya? Masa hanya makan mie saja dan sedikit udang yang tadi aku ambilkan?”
“Saya tidak biasa makan banyak.”
“Baiklah, ini semua bisa dibungkus, nanti untuk oleh-oleh. Ibumu pasti suka,” kata Usman berusaha sabar, sementara hatinya sudah menggebu-gebu.
“Setelah operasi ayahmu berhasil, kamu tidak boleh mencari alasan untuk mundur lagi. Aku turuti keinginan kamu, tapi awas saja kalau kamu ingkar. Aku bisa melakukan apa saja. Ingat itu,” kalimat pelan tapi berisi ancaman itu dilontarkan Usman ketika mereka sudah memasuki mobil.
Anjani tak menjawab.
“Jalan ke mal ya? Aku ingin membelikan sesuatu untuk kamu.”
“Sebaiknya tidak usah. Saya harus ke rumah sakit untuk menemani bapak.”
Usman menarik napas panjang, menekan segala kekesalan karena Anjani sama sekali tak tampak tertarik dengan semua tawarannya.
***
Karena keinginan Anjani, Usman mengantarkan Anjani ke rumah sakit. Ia harus menemani ayahnya. Usman mengantarkannya sampai ke ruang rawat inap sang ‘calon mertua’, dan bersikap sangat hormat padanya.
“Pak, saya mengantarkan Anjani,” katanya sambil mencium tangan pak Marjono dengan penuh hormat.
“Terima kasih, pak Usman. Merepotkan saja."
“Tidak apa-apa Pak, sudah malam, kasihan kalau Anjani berangkat sendiri ke rumah sakit.”
Usman hanya sebentar, kemudian dia berlalu.
Anjani meletakkan bungkusan roti dan buah di atas meja. Pemberian Usman yang tadi sudah ditolaknya, tapi nekat dibelikannya.
“Itu bungkusan apa?”
“Roti, Bapak mau?”
“Nanti saja, bapak sudah kenyang.”
“Bagaimana perasaan Bapak?”
“Sebenarnya baik, hanya kadang-kadang saja terasa sesak. Tapi aku sudah bisa tidur nyenyak.”
“Syukurlah.”
“Mengapa wajahmu kusut?”
Anjani tersenyum lembut. Ia tak ingin ayahnya melihat bahwa dia menjalani semuanya dengan terpaksa. Sang ayah tahu kalau Usman ingin memperistri Anjani. Tapi dia tidak tahu bahwa Anjani bersedia menerima lamarannya demi kesehatan ayahnya, dimana keluarganya tak akan mampu membiayai sampai sejauh itu.
“Jani, benarkah kamu menyukai pak Usman? Apa dia tidak terlalu tua untuk kamu? Bukankah usianya sudah seumur bapak ini?”
Anjani menekan perasaan sedihnya, mencoba tersenyum semanis mungkin, agar ayahnya tidak tertekan kalau tahu bahwa dirinya berkorban demi kesehatannya.
“Jawablah, jangan hanya tersenyum-senyum begitu.”
“Bapak tidak perlu khawatir. Tentu saja Anjani suka. Biarpun dia setua Bapak, tapi hatinya baik, dan sangat perhatian. Bukan hanya kepada Jani, tapi juga kepada Bapak, bukan?”
“Iya aku tahu. Ibumu bilang, kalau aku mendapatkan perawatan terbaik karena dia. Aku merasa lebih sehat.”
“Jani senang mendengarnya,” kata Jani sambil mengelus tangan ayahnya.
“Kapan aku dioperasi?”
“Kata dokter, masih bulan depan, jadi kira-kira tiga mingguan lagi.”
Sambil mengatakan itu, tiba-tiba dia teringat janjinya kepada Usman bahwa dia akan bersedia dinikahi olehnya setelah operasi bapaknya. Dan segera sehat adalah harapannya. Anjani merasa sangat sedih.
“Sudah malam, Bapak tidur ya, Jani akan ganti baju dulu.”
“Kamu sudah makan?”
“Sudah. Bapak sudah kan?
“Sudah. Para perawat melayani bapak dengan baik.”
Anjani mengangguk. Itu juga karena Usman yang berpesan agar ayahnya dilayani dengan baik. Rasa syukur dan sedih bercampur aduk di dalam hatinya. Kemudian ia membetulkan letak selimut ayahnya, dan pergi ke kamar mandi untuk mengganti bajunya yang beberapa diantaranya memang dia bawa ke rumah sakit, karena setiap malam dia tidur di sana.
***
Anjani merebahkan tubuhnya di sofa, menatap langit-langit kamar yang putih bersih. Kamar itu bukan kamar yang murah. Entah sudah berapa ratus juta dikeluarkan oleh Usman ketika ayahnya sering masuk ke rumah sakit, sementara Usman selalu memilihkan kamar yang bagus dan perawatan terbaik untuknya. Tadinya Anjani mengira bahwa Usman adalah seorang pengusaha yang baik hati, karena rela mengeluarkan uang begitu banyak untuk orang yang belum lama dikenalnya. Tapi rupanya Usman berbuat begitu karena sudah ada kesepakatan dengan ibu tirinya. Bukan main sang ibu tiri itu. Dengan suka cita mendapatkan kemudahan dalam perawatan sang suami, dengan diam-diam menjual dirinya. Belum lama dia mengetahuinya, ketika kemudian merasa bahwa sikap Usman berbeda. Ia bahkan memintanya agar berhenti bekerja dengan alasan harus sepenuhnya merawat ayahnya, sedangkan semua kebutuhan, dialah yang akan mencukupinya. Semula ia menolak, tapi sang ibu memaksanya menuruti apa kata Usman karena Usman sudah berjasa besar kepada keluarganya.
“Ya Allah, akhirnya hamba harus rela melakukannya. Demi bapak,” lirihnya dengan linangan air mata.
Tak lama kemudian dia terlelap, dan bermimpi tentang Jatmiko yang diberinya roti saat sedang duduk di bawah pohon sambil memegang setumpuk koran.
***
Hari itu Wijan sedang berada di ruang kerja sang ayah, karena ada pembicaraan penting yang harus dibicarakan. Tapi sang ayah sedang bertelpon dengan asyiknya, bahkan sambil tertawa-tawa.
“Ya ampun, benarkah? Saya senang mendengar bahwa pak Usman akan menikah lagi. Memang tidak baik menduda berlama-lama…. saya? Ah, jangan membandingkannya dengan saya. Saya lebih suka begini saja, karena selalu dekat dengan anak-anak saya…. jadi … kapan pak Usman mau menikah? Pasti saya akan mendapat undangannya juga kan? Baiklah. Oh ya? Masih gadis? Cantik? Alangkah beruntungnya pak Usman, baiklah, semoga lancar nantinya, dan bahagia pastinya. Ya, besok sudah akan disiapkan surat-suratnya. Terima kasih, pak Usman.”
Pembicaraan itu berhenti. Raharjo meletakkan ponselnya sambil masih tersenyum-senyum.
“Ada apa dengan pak Usman?”
“Tadinya dia bicara tentang kerja sama kita, lalu dia bilang bahwa dia akan menikah lagi.”
“Bukankah pak Usman sudah seumur Bapak?”
“Ya, tapi dia beruntung, mendapat calon istri seorang gadis yang katanya sangat cantik.”
***
Besok lagi ya.
at January 25, 2024
No comments:
Post a Comment