Wednesday, January 31, 2024

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf 


*Kau Tetap Kusayang*

Evie Tamala


Dinyanyikan oleh :

*Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)

 

Bukan aku kejam

Atau pun tak sayang

Bila ku menghilang

Jauh dari pandangan


Bukan karena benci

Sebab aku pergi

Usah disesali

Semua telah terjadi


*

Kau sayangi aku kau manjakan aku

Namun dibalik itu kau dusta padaku


Sering ku menahan sikap menyakitkan

Karena aku sayang ku coba bertahan


Walau demikian kau tetap kusayang

Walau berjauhan kau tetap kukenang


Bukan aku kejam

Atau pun tak sayang

Bila ku menghilang

Jauh dari pandangan


Kembali ke *


Lirik Lagu : *Evie Tamala*

Advertisement

Monday, January 29, 2024

Dirimu



Lagu : Dirimu ~ Ali Assegaf


*DIRIMU*

Keenan Nasution


Dinyanyikan oleh :

*Ali Assegaf*


Di bening malam ini

Resah rintik gerimis datang

Menghanyutkan sinar rembulan


Buram kaca jendela

Semuram waktu yang berlalu

Sedang ku masih menunggu


Ungkapan rasa

Dari keinginan baikku

Untuk bersama

Menempuh jalan hidup


Tak usahlah kau ingat

Bayangan gelap kenyataan

Diri tanpa sutradara


Relakan niat tangan

Menghapus noda kehidupan

Dirimu di hadapanku


Tetaplah putih

Demi keinginan baikku

Untuk bersama

Menempuh jalan hidup


Ku ingin s'lalu dekatmu

Sepanjang hidupku

Membawamu

Ke puncak bahagia


Ku ingin s'lalu dekatmu

Nikmati mentari

Mendekapmu

Di bawah cahaya-Nya


Ku ingin s'lalu dekatmu

Nikmati mentari

Membawamu

Ke puncak bahagia


Ku ingin s'lalu dekatmu

Sepanjang hidupku

Mendekapmu

Di bawah cahaya-Nya


Oh-oh-oh, oh-oh


Bagimu, raihlah kehidupan


Sumber: Musixmatch


Penulis lagu: N.n. / Harry Minggoes

Hujan Duri



Lagu : Hujan Duri ~Ali Assegaf


*Hujan Duri*  

Imam S Arifin

 

Sumpah setiamu yang dulu

Kini masih tersimpan dihati

Terkunci rapat terjaga

Yang tak mudah di curi orang


Tapi setelah kini kau dapat

Orang yang lebih istimewa

Kini kehadiranku kau anggap sebagai

Hujan duri dari lagit


Sakit hatiku ...


Sumpah setiamu yang dulu

Kini masih tersimpan dihati

Terkunci rapat terjaga

Yang tak mudah di curi orang


Kasih jangankan dirimu ku'sakiti

Sehelai rambutmu pun tak pernah ku'lukai


Lebih baik kau cambuk wajahku seribu kali

Daripada sekali kau sakiti hatiku

Ho...ho..ho...


Sumpah setiamu yang dulu

Kini masih tersimpan dihati

Terkunci rapat terjaga

Yang tak mudah di curi orang


Lagu Dangdut

Hilangnya Seorang Gadis



Lagu : Hilangnya Seorang Gadis


*Hilangnya Seorang Gadis*

Lagu Deddy Dores


Dinyanyikan oleh :

*Ali Assegaf*


Aku kenal dia

Dalam suatu masa

Dia nya tersenyum

Melambaikan tangannya


Kusayangi dia

Dalam segalanya

Tapi kini dia pergi

Entah kemana


Inilah kisah sedih yang aku alami

Hilangnya gadis suci yang aku kasihi

Dalam hati


Kusayangi dia

Dalam segalanya

Tapi kini dia pergi

Entah kemana


Inilah kisah sedih yang aku alami

Hilangnya gadis suci yang aku kasihi


Dalam hati

Dalam hati

Dalam hati


Sumber: LyricFind

Dara

Lagu : Dara ~ Ali Assegaf


 *Dara*

Lagu Harvey Malaihollo


Dinyanyikan oleh :

*Ali Assegaf*


Dara aku melihatmu

Hanyut dalam gerakanmu

Gemulai kau menari

Seiring nada syahdu

Aku termangu-mangu

Ooo...


Dara kau sungguh jelita

Anggun dan mempesona

Binar bola matamu

Dan senyum yang menawan

Menggetarkan jiwa

Oh dara


Kau pikat hati yang tak mengerti

Apa arti senyum di sela-sela tarianmu

Namun sinar matamu yang hilang

Ditepis gairah cinta yang begitu dalam


Ku cari kau ke sana

Ku cari kau ke sini

Ke ujung dunia pun tak peduli


Dara kau sungguh jelita

Anggun dan mempesona

Binar bola matamu

Dan senyum yang menawan

Menggetarkan jiwa

Oh dara


Kau pikat hati yang tak mengerti

Apa arti senyum di sela-sela tarianmu

Namun sinar matamu yang hilang

Ditepis gairah cinta yang begitu dalam


Ku cari kau ke sana

Ku cari kau ke sini

Ke ujung dunia pun tak peduli


Ku cari kau ke sana

Ku cari kau ke sini

Ke ujung dunia pun tak peduli


Sumber: LyricFind


Penulis lagu: Cecep As

Jerat


Lagu : Jerat ~ Ali Assegaf


*Jerat*

Harvey Malaiholo


Dinyanyikan oleh :

*Ali Assegaf*


Kala pertama kupandang

Pesona di wajahmu

Saat itu hatiku kan terpana


Tiada ragu lagi

Tiada bimbang lagi

Semuanya ingin kumiliki


Gelisah jiwaku ini

Dilanda bayanganmu

Kau mengoyak dinding keangkuhanku


Kau ciptakan rindu

Kau buat hatiku terjerat tali cinta


Resah ... resah ... pun tiada menentu

Bila semalam pun tiada bertemu


Mimpi ... mimpi ... kan terasa oh sepi

Bila kau tiada tampakkan senyummu


Lirik Lagu : Harvey Malaiholo 🙏👍

Sunday, January 28, 2024

Sri Minggat

Lagu : Sri Minggat ~ Ali Assegaf  


*Sri Minggat*

Didi Kempot


Dinyanyikan oleh :

*Ali Assegaf*


Sri, kapan kowe bali

Kowe lungo ora pamit aku

Jarene neng pasar, pamit tuku trasi

Nganti saiki kowe durung bali


Sri, opo kowe lali

Janjine sehidup semati

Aku ora nyono kowe arep ngono

Loro atiku, atiku loro


Ndang balio ... Sri ...

Ndang balio…o

Aku loro mikir kowe

Ono ning endi ...


Ndang balio ... Sri ...

Ndang balio.. o

Tego temen

Kowe minggat ninggalke aku


Yen pancene Sri

Kowe eling aku

Ndang balio

Aku kangen setengah mati


Lirik Lagu Didi Kempot


Lagu Dangdut

Friday, January 26, 2024

Meneroka Jiwa (12)

 *_MENEROKA JIWA_*

*Bab 12. Aroma Karisma*


oleh KaiaKarnika



"Tolong seat belt-nya." Samudra meminta Wangi mengenakan sabuk pengaman saat mereka telah berada di dalam mobil dan mesin sudah menyala.

Panik melanda Wangi. Ini pertama kali ia duduk di kursi depan mobil pribadi, biasanya hanya angkutan umum yang tak ada sabuk pengaman.

"Sa-saya tidak tahu caranya, Pak." Wangi meringis.

Samudra tersenyum tipis. Perempuan ini tidak gengsi mengakui ketidaktahuannya.

"Maaf," ucap Samudra meminta izin mendekatkan tubuh ke arah Wangi agar dapat menarik tali sabuk dari sisi kiri perempuan itu.

Wangi menahan napas saat wajah Samudra berjarak kurang dari sejengkal dari mukanya. Namun, indra penciumannya terlanjur menghirup aroma rempah khas parfum pria yang menguar dari tubuh lelaki karismatik itu. Bau parfum ini seolah tak asing bagi hidung Wangi.

"Terima kasih, Pak," ucap Wangi setelah terdengar bunyi bertemunya bagian pengait (buckle) dan pengunci (locking retractor) sabuk pengaman.

Samudra merespons dengan anggukan kepala.

Hening, hanya terdengar deru mobil yang mulai meninggalkan bangunan gudang milik Utama Medika.

Wangi bingung, tidak tahu harus berbasa-basi tentang apa. Samudra sendiri tampak fokus dengan jalanan di depannya.

Keheningan dibuyarkan oleh bunyi keroncongan perut Wangi yang cukup nyaring.

Wangi terkesiap, memegangi perutnya. Dalam hati mengomeli cacing di perutnya yang tidak tahu diri.

Sebuah lengkung tipis tercipta di bibir Samudra. "Lapar?" tanyanya sambil melirik ke arah Wangi.

"Ti-tidak, Pak," jawab Wangi dengan kepala mengangguk. Saking laparnya, ia tidak lagi bisa mengoordinasikan kekompakan antara mulut dan kepala.

Lengkungan di bibir Samudra kian memanjang. Sesuatu yang jarang ditampilkannya. Namun, Wangi yang sedang menunduk, sibuk memaki cacing di perutnya, tak sempat melihatnya.

Samudra membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan Padang di sisi jalan yang mereka lalui. "Kita makan dulu, saya juga lapar sekali," ujarnya sambil memarkir mobil.

Wangi serba salah. Ingin menolak, tapi perutnya memang teramat lapar.

Sambil mematikan mesin mobil, Samudra berpikir mungkin Wangi kesulitan membuka sabuk pengaman, seperti halnya tadi tidak tahu cara memakainya. Spontan, tangan kirinya bergerak ke pengunci sabuk pengaman Wangi, memencet tombol merah bertuliskan "Press", sedangkan matanya mengamati spion di sisi kanan.

Wangi yang sedang kebingungan cara membuka sabuk pengaman, menundukkan kepala mendekat ke arah pengunci, mengamati benda tersebut untuk tahu cara membukanya.

Gerakan tangan Samudra memencet tombol pembuka dan gerakan kepala Wangi menunduk terjadi bersamaan dalam tempo cepat. Kepala pengait sabuk pengaman terangkat dan mengenai muka Wangi yang hanya berjarak beberapa senti dari pengunci sabuk pengaman.

"Gustiii!" jerit Wangi kaget, kepalanya mengedik. Logam tebal kepala pengait tepat mengenai gigi depannya, sehingga meski tidak keras, tapi menimbulkan sensasi ngilu.

Samudra terperanjat, menoleh ke arah Wangi, segera menyadari apa yang barusan terjadi. "Astaga! Maaf! Sakit?"

Wangi menggeleng sembari memegangi mulutnya. "Tidak, Pak. Tidak sakit, hanya kaget," jawabnya sedikit berbohong. Ia malu mengakui giginya yang terbentur.

Samudra dihinggapi perasaan bersalah. Spontan, kedua tangannya meraih kepala Wangi, menghadapkan muka perempuan itu ke arahnya, mengamati lekat untuk memeriksa adakah luka akibat benturan barusan.


"Kamu yakin tidak terluka?" tanya Samudra cemas.

Wangi ingin menggeleng, tapi apa daya, Samudra memegangi kepalanya dengan erat. Ia hanya bisa memberi isyarat dengan mengerjapkan mata.

Mata keduanya saling beradu pandang beberapa detik.

Wangi menahan napas, salah tingkah dipandangi salah satu orang penting di perusahaan.

Samudra segera melepas kedua tangannya dari rahang Wangi. "Maaf, saya seharusnya melihat posisimu."

"Tidak apa-apa, Pak. Saya juga salah." Wangi mengakui kenorakannya.

"Mari kita turun," ajak Samudra.

Wangi menuruti ajakan Samudra, lalu berjalan di belakang lelaki berbadan tegap itu memasuki rumah makan Padang yang cukup besar.

Seorang pelayan menghampiri meja yang ditempati Samudra dan Wangi dengan tangan penuh piring lauk bersusun. Setelah menghidangkan lauk, pelayan itu beranjak pergi lalu kembali dengan dua gelas teh tawar dan puding.

Wangi terbelalak, kebingungan. "Pak, pesan lauknya banyak sekali!" Meski lapar, tapi tidak yakin sanggup menghabiskan semua lauk yang disajikan.

Ganti Samudra yang kebingungan, tetapi dengan cepat memahami situasi. "Kalau di rumah makan Padang, memang semua lauk disajikan seperti ini. Namun, tidak berarti kita harus memakan semua. Pilih saja yang kaumau. Nanti kita hanya membayar yang dimakan."

Mulut Wangi membentuk huruf O, lalu tersipu, ketahuan baru pertama kali makan di restoran Padang. Dahulu pernah ke rumah makan Padang di Solo, tapi hanya untuk beli nasi bungkus, sehingga tidak tahu cara mereka menyajikan lauk-pauknya.

Samudra menarik ujung bibirnya, membentuk sebuah senyum tipis saat melihat reaksi Wangi. Ia lalu mengambil rendang dan gulai cumi.

Wangi yang kebingungan dihadapkan banyak pilihan lauk, akhirnya memilih ayam gulai, berharap harganya tidak melampaui uang di dompetnya.

"Dari kejadian dengan Aghas, apa pembelajaran yang kamu dapat?" tanya Samudra sambil menikmati nasi rendangnya.

Wangi berpikir sejenak, sebelum menjawab ragu, "Tidak menyingkat nama orang?"

"Menggunakan inisial adalah hal yang sering dilakukan di beberapa organisasi. Akan tetapi, biasanya akan dihindari singkatan yang memiliki konotasi negatif. Jadi, sah-sah saja membuat akronim untuk memudahkanmu mengingat, hanya pastikan itu tidak menjadi bumerang bagimu." Samudra menyelipkan nasihat bagi perempuan lugu di hadapannya.

Wangi menganggukkan kepala. Sudah cukup rangkaian petaka yang diterimanya akibat akronim, ia memang harus berhati-hati. Berpikir dua kali sebelum bertindak, seperti pesan Banyu. Dunianya sekarang tak lagi sama dengan dahulu.

Samudra menambahkan, "Satu lagi pelajaran yang bisa kaupetik. Manusia itu punya kecenderungan memercayai hal yang pertama kali didengarnya. Tidak banyak yang mau mengecek informasi ke sumber lain. Istilahnya adalah anchoring bias. Oleh sebab itu, sangat penting segera mengomunikasikan setiap kejadian yang berpotensi menjadi konflik. Berdiam diri bisa merugikanmu."

"Oh, jadi seharusnya saya segera memberitahukan insiden 'asu' dan 'setan' itu kepada bu Rani, sebelum beliau mendengar versi pak Aghas. Begitu, ya, Pak?" Wangi memastikan maksud Samudra.

"Exactly! Kamu beruntung tante Rani adalah orang yang sangat objektif. Ia tidak memihak dan selalu mengecek dari berbagai pihak."

"Tidak semua orang bisa begitu, ya, Pak. Kebanyakan langsung percaya pada informasi pertama." Wangi kian kagum pada sosok Rani. "Itu sebabnya manusia mudah diadu domba, ya, Pak."


Samudra mengangguk, menilai Wangi cukup cepat mencerna informasi baru. "Juga mudah terhasut isu," tambahnya.

"Tapi... kalau kita melaporkannya, apakah tidak akan dicap pengadu, Pak?"

"Tentu tidak, asal perhatikan beberapa hal. Pertama, laporkan kepada pihak yang tepat. Misal, kamu berselisih pendapat dengan Eko, maka Shinta adalah orang yang tepat karena dia adalah atasan langsung kalian. Kalau berkonflik dengan Aghas, maka tante Rani lebih tepat karena kalian beda divisi dan beda level jabatan."

"Jadi, kalau saya berselisih dengan pak Eko, lantas melaporkan ke bu Rani, itu lebay, ya, Pak."

Sebuah senyum tipis menghiasi bibir Samudra. "Tentu. Kamu akan dicap pengadu."

Wangi menganggukkan kepala. "Yang kedua apa, Pak?" Ia mulai menikmati berbincang dengan Samudra. Kecanggungannya perlahan menghilang.

"Kedua, jangan emosional. Laporkan dengan tenang, kalau bisa gunakan data atau bukti. Ingat, tujuannya adalah menjelaskan sudut pandangmu, bukan menjatuhkan orang lain."

"Kalau di kasus saya dengan pak Aghas, berarti menunjukkan catatan saya? Bahwa saya membuat akronim inisial tidak hanya untuk beliau, tapi juga yang lain. Begitu, Pak?" Wangi mengaitkan penjelasan Samudra dengan permasalahannya.

Samudra mengangguk.

"Baik, Pak. Terima kasih masukannya." Wangi lantas kembali menyantap nasi Padangnya. Dalam hati, terkagum-kagum dengan sikap Samudra yang bersedia memberinya pelajaran berharga.

"Sama-sama," sahut Samudra sambil mengamati Wangi yang makan dengan lahap. Wajah perempuan berkulit sawo matang ini polos, nyaris tanpa riasan. Sepolos tingkahnya.

Mereka berdua menghabiskan makanan diselingi perbincangan superfisial¹.

"Maaf, Pak, saya harus bayar berapa?" tanya Wangi saat pelayan memberikan tagihan.

Samudra tersenyum.

"Saya traktir," sahut Samudra sambil berjalan ke kasir.

"Duh... saya makannya banyak tadi, Pak." Wangi merasa tak enak hati. Andai tahu akan dibayari makan, pastilah ia membatasi diri.

Samudra lagi-lagi tersenyum sembari menyerahkan kartu debitnya kepada kasir.

Wangi teringat sesuatu, meminta plastik kepada pelayan toko, sebelum menyusul Samudra masuk ke dalam mobil.

"Perlu bantuan?" tanya Samudra saat melihat Wangi berupaya memakai sabuk pengaman.

Wangi tidak menjawab, fokus mengatasi kesulitan memasukkan kepala pengait ke bagian pengunci sabuk pengaman.

"Harus sedikit ditekan," ujar Samudra sambil memegang tangan Wangi, membantu memberi tenaga untuk bisa mengaitkan sabuk pengaman.

Kikuk kembali melanda Wangi, seperti ada sengatan listrik saat Samudra menyentuh kulit tangannya.

"Plastik tadi buat apa?" tanya Samudra ketika mobil yang dikendarainya mulai melaju.

Wangi cengar-cengir. "Saya sering mabuk kalau naik kendaraan ber-AC. Buat jaga-jaga jika akan muntah, Pak."

"Biasanya kalau duduk di depan justru mengurangi mabuk," sahut Samudra.

"Kenapa begitu, Pak?"

"Saat kamu duduk di depan, mata leluasa memandang lurus ke jalan, posisi duduk juga minim guncangan," sahut Samudra.

Wangi berusaha mengingat posisi duduk tiap kali ia muntah saat naik bis. Biasanya memang saat berada di bagian belakang dan selalu melihat ke jendela samping.


Samudra menambahkan penjelasannya, "Mabuk perjalanan itu terjadi karena otak kebingungan menerima berbagai informasi berbeda dari seluruh sensor. Otak mendapat sinyal bahwa tubuh diam tidak bergerak, tapi juga memperoleh informasi kalau benda-benda di sekeliling seolah bergerak. Kebingungan otak ini yang menyebabkan mual hingga muntah."

Wangi takjub dengan penjelasan Samudra. "Berarti bingung itu memang tidak enak, ya, Pak. Bukan cuma buat hati, ternyata buat otak juga."

Samudra tergelak. Beberapa kali tingkah dan komentar perempuan polos ini memaksanya untuk tersenyum, bahkan tertawa.

Wangi terpana, baru kali ini dilihatnya Samudra tertawa. Tawa yang kian mempertegas karisma Samudra di matanya.

"Di mana alamat tempat tinggalmu?" Samudra harus memikirkan jalan yang akan ditempuhnya.

"Bapak tidak perlu mengantar saya sampai rumah. Saya nanti turun di jalan yang Bapak lalui saja."

"Tante Rani sudah pesan untuk mengantarkanmu sampai rumah. Lagi pula kamu masih awam dengan daerah ini, bukan?"

Wangi tidak berani menolak. Ia membuka catatan di bukunya, lalu menyebutkan detail alamat rumah Banyu.

"Oke," sahut Samudra. Otaknya menyusun rute perjalanan ke tempat Wangi. "Lumayan jauh dari kantor, ya."

"Iya, Pak. Biasanya butuh waktu sekitar dua jam, tiga kali ganti angkutan."

"Itu rumah saudaramu?"

Wangi menggeleng. "Bukan. Itu tempatnya mas Banyu. Kakeknya, tetangga saya di desa."

"Kenapa tidak cari indekos dekat kantor? Lumayan menghemat waktu."

"Belum sempat mencari, Pak," dalih Wangi.

Setelah dua puluh menit perjalanan, Rubicon Samudra berhenti di depan tempat usaha Banyu.

"Wah, banyak usahanya, ya," komentar Samudra. Ia memajukan kepala ke atas dashboard agar dapat melihat area usaha Banyu dengan lebih leluasa. Benresik, Bentuman, Benkuwat. Konsep bisnis yang menarik.

"Iya, mas Banyu kreatif. Dia juga punya kepedulian tinggi, tidak semata mencari keuntungan dalam berbisnis," sahut Wangi seraya menyampirkan tali tasnya.

Samudra melirik ke arah Wangi. Perkataan Wangi tentang Banyu menyiratkan kekaguman terhadap sosok pria pemilik bisnis ini.

"Terima kasih banyak, Pak. Sudah mengantar, memberi nasihat, dan mentraktir saya. Semoga kebaikan Bapak dibalas rezeki berlimpah dari Tuhan," ucap Wangi dengan senyum lebar.

"Sama-sama." Samudra mengulas senyum mendengar rangkaian doa Wangi atas sesuatu yang menurutnya bukanlah pengorbanan besar.

Wangi membuka pintu mobil dan melompat turun. "Bapak mau cuci mobil? Gratis buat Bapak." Ia mencoba membalas budi kebaikan Samudra sebelum menutup pintu.

Samudra kembali tersenyum, lalu menggeleng. "Tidak, terima kasih."

Wangi menganggukkan kepala, kemudian menutup pintu mobil. Ia paham mengapa Samudra terlihat berkarisma. Bukan semata karena wajahnya yang rupawan, melainkan disebabkan oleh kesantunan dan wawasannya.

Samudra memencet klakson pelan, pertanda pamit.

Wangi membalikkan tubuh setelah mobil Samudra melaju. Pikirannya mengembara seiring dengan kakinya yang menyusuri area parkir. Setelah ketakutan setengah mati akibat insiden "setan" dengan Aghastyan, hatinya girang setengah mati karena kebaikan Rani dan Samudra.

"Ngik!" panggil Banyu

"Eh, Mas Be." Wangi kaget, tidak melihat Banyu yang sedang mengontrol pekerjaan anak buahnya di salon mobil.


"Sudah pulang jam segini? Sakit?" tanya Banyu. Pukul 17.30 dan Wangi pulang diantar mobil Jeep yang harganya selangit.

"Oh, tidak, Mas. Tadi dari gudang di daerah Serpong, ternyata tidak jauh dari sini."

"Jadi tidak perlu kembali ke kantor, ya, Ngi?" Jay yang berdiri di sebelah Banyu ikut bicara.

"Iya, Mas. Disuruh langsung pulang."

"Wangiii!" panggil Iwan heboh. Ia berlari ke arah Wangi.

Wangi menoleh. Tertawa geli melihat gaya berlari Iwan yang sengaja dibuat seperti slow motion, mengingatkan pada gaya ibunya saat berdelusi menyambut Rhoma Irama.

"Gilingan kamu, Wangi! Bikin aku jadi betaria soneta!" gerutu Iwan kenes.

"Apa lagi itu, Bakwaaan?" Jay kesal tiap kali menemukan kosa kata baru.

"Bete, Bajay!" jawab Iwan ketus. "Capcay, deh, ngomong sama yey!"

"Lah, kenapa juga jadi bete?" tanya Jay bingung. "Lagian harusnya aku yang capek ngomong sama situ, bahasamu aneh banget!" Ia masih ingat arti dari capcay adalah capek.

"Belum dua minggu di Jakarta, Wangi sudah bisa naik Rubicon! Aku dari lahir di sini belum pernah sama sekali!" keluh Iwan.

"Rubicon?" Wangi kebingungan.

"Mobil yang tadi antar kamu." Jay menjelaskan maksud Iwan.

"Oh... itu mobil pak Sam, salah satu GM yang kebetulan tadi juga berada di gudang."

"Waaah, GM antar kamu pulang?" Iwan membelalakkan mata, lalu menoleh ke arah Banyu. "Mas Be, aku sesekali diantar pulang juga, dong! Tidak mau kalah sama Wangi," rengek Iwan manja.

Banyu melemparkan kain lap yang dipegangnya ke muka Iwan. "Ogah!"

Iwan mengentakkan kaki, pura-pura mengambek sambil meremas kain lap yang dilempar Banyu.

"Ya, sudah! Aku yang antar, tapi naik odong-odong, yaaa," goda Jay.

"Maunya naik Rubicon! Bosan naik odong-odong!" Iwan merajuk.

"Kasihan juga odong-odongnya, sih. Kamu naik, langsung amblas," ejek Jay.

"Memangnya kenapa dengan Rubicon, Mas?" Wangi penasaran.

"Mobil mahal, Ngi! Harganya milyaran," jawab Jay.

Wangi melongo. Ia menduga mobil Rani juga berharga milyaran. "Waduh, untung saya tidak muntah tadi," ujarnya lega. Ia tidak bisa membayangkan apabila muntahannya mengotori kedua mobil milyaran itu.

Iwan merapat ke arah Wangi. "Itu GM kamu yang 'asu' itu?"

Wangi menggeleng. "Bukan, 'asu' itu pak Aghas. Tadi pak Sam, sepupunya."

Iwan menepuk pundak Wangi. "Kamu... dipoles saja belum, sudah diantar pulang naik Rubicon. Apalagi kalau nanti dipoles, pasti jadi---"

"Jadi mengilat! Nih, kayak mobil di salon ini. Dipoles jadi berkilau!" potong Jay berguyon.

"Kalau tujuannya cuma buat gaet lelaki bermobil mewah, mending tidak usah dipoles! Jangan didoktrin aneh-aneh, Wan!" tegur Banyu dengan nada serius.

"Ih, Mas Be sirsak², tuh! Tidak punya Rubicon! Mas Be kurang gencar ngepetnya, sih! Jadinya cuma bisa naksir Rubicon doang, tapi tidak mampu beli," ledek Iwan.

"Kamu juga, sih! Jadi tuyul males-malesan!" balas Banyu.

"Tuyul apa segede ini, Bos?" Jay tergelak.

"Tuyul gabut³! Makan doang tidak mau kerja!" sahut Banyu, tanpa senyum apalagi tawa.


Iwan mengerucutkan bibir.

Wangi terkekeh. Percakapan antara Banyu dan anak buahnya selalu mampu mengocok perutnya.

"Balik dulu," ujar Banyu kepada anak buahnya, lalu berjalan menuju jalan kecil ke arah rumahnya.

"Ngi, kok, GM kamu baik banget, sih?" tanya Iwan usil.

"Oh, dia memang baik, Mas." Wangi teringat sejak bertemu pertama kali pun, Samudra sigap menolong.

"Sudah menikah?" Iwan penasaran.

Wangi menggeleng, teringat data pribadi Samudra yang belum lama dieditnya. "Belum."

"Awas naksir, lo, Ngi!" goda Jay.

Wangi tersenyum lebar. "Yah, saya juga tahu diri, Mas. Tidak berani naksir sama dia."

"Kalau nanti dia yang naksir kamu, bagaimana?" Ganti Iwan yang menggoda Wangi.

Wangi tertawa. "Itu lebih tidak mungkin lagi, Mas. Anak Sekdes saja mencampakkan saya, apalagi anak pengusaha sukses." Bayangan Wisnu yang mencampakkan tanpa penjelasan kembali terlintas di benaknya.

Wangi teringat sesuatu, segera berpamitan kepada Jay dan Iwan, lantas mengejar Banyu.

"Mas," panggil Wangi.

"Hmmm," sahut Banyu tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.

Wangi tergopoh-gopoh menyamai langkah Banyu. "Apakah boleh saya tinggal di sini lebih lama? Belum dapat indekos dekat kantor yang murah."

Banyu dengan cepat mengangguk.

"Terima kasih banyak, Mas." Wangi semringah. "Eh, tapi, Mas.... "

"Apa lagi?"

"Saya tidak enak kalau tidak bayar urunan, soalnya kan saya tinggal di sini memakai listrik, air, bahkan dikasih makan."

Banyu menghentikan langkah sebelum masuk ke teras rumah. Ia sebenarnya sama sekali tidak keberatan Wangi menumpang cuma-cuma, apalagi dengan kewajiban perempuan itu membayar utang kepada keluarga Wiryo yang pasti membuatnya harus hidup hemat. Namun, ia punya pertimbangan yang jauh lebih baik. "Oke, bayar saja semampumu," sahutnya singkat sambil mencopot sepatu.

"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Mas." Wangi girang bukan kepalang. Hari ini dia bak ketiban durian runtuh, begitu banyak keberkahan. Selain itu, tinggal di tempat Banyu, ia merasa menemukan keluarga yang selama ini tidak pernah dimilikinya. Semua bersikap baik dan penuh perhatian.

Pintu depan dibuka dari dalam oleh Mbok Yam yang mengetahui majikannya pulang. Bunyi gemerincing kalung Hitler terdengar mendekat.

Banyu berjongkok, menyambut Hitler yang melompat ke pangkuannya. Hitler mendekatkan kepalanya ke arah Banyu, seolah minta dibelai.

Banyu duduk bersila, membelai area kepala, dahi, dan di antara kedua mata kucing Persia itu.

"Hitler lebih bersih, habis dimandikan, ya, Mas?" Wangi ikut duduk di sebelah Banyu, mengelus bulu-bulu lembut Hitler sepanjang punggungnya.

Banyu menjawab dengan anggukan. Di depannya, Hitler merem-melek, menikmati belaian.

"Kenapa kucing bunyinya 'meooong', ya, Mas?" tanya Wangi berusaha basa-basi.

Banyu mengerutkan dahi, tampak kesal dengan pertanyaan aneh Wangi.

Wangi cengengesan, menyadari pertanyaan konyolnya. Ia memang tidak pernah pandai memilih kalimat basa-basi.

Banyu membuka mulut, "Soalnya kucing, jadinya bunyinya 'meooong'. Kalau Iwan, bunyinya 'mencooong'."  Ia menirukan gaya bicara Iwan sambil mengulas senyum jahil.

Wangi terperanjat sejenak, lalu terpingkal-pingkal mendengar jawaban dan melihat ekspresi Banyu yang sama sekali tak diduganya. Baru kali ini Banyu membanyol.

Kekaguman Wangi terhadap Banyu bertambah. Ternyata lelaki ini tidak hanya penuh kepedulian, tapi juga punya selera humor kendati acap kali membalut dengan sikap ketus. Perpaduan sifat yang justru menciptakan karisma tersendiri pada sosok bergaya urakan itu di mata Wangi.

Embusan angin sore bertiup melewati sela dedaunan di pekarangan rumah Banyu, menghadirkan kesejukan menjelang senja. Wangi menikmati silir angin yang turut membawa bau parfum dari tubuh Banyu. Aroma yang sama persis dengan Samudra. Aroma rempah perpaduan cendana dan kayu manis. Aroma dua lelaki berkarisma di mata Wangi.

-----


Note:

¹Superfisial: tidak terlalu berat/berbobot.

²Sirsak: sirik/iri (bahasa binan)

³Gabut: singkatan dari gaji buta, orang yang tidak menjalankan tugas, tapi tetap mendapat imbalan.


*****


Bersambung....

Meneroka Jiwa (11)

 *_MENEROKA JIWA_*

*Bab 11. Ketakterdugaan*


oleh KaiaKarnika



Wangi membasuh muka di wastafel, mengusir penat. Rapat yang baru saja dihadirinya bersama tim HR nyaris menghabiskan waktu istirahat. Ia melirik arloji usangnya, pukul 12.50. Ia punya waktu 10 menit untuk mengisi perutnya yang keroncongan.

Saat keluar dari toilet, matanya menangkap sosok Endah–pramukantor–di ruang servis yang pintunya sedikit terbuka. Ruang servis yang terletak di seberang toilet itu berfungsi sebagai dapur sekaligus tempat para pramukantor atau office boy/girl beristirahat. Dari celah pintu yang terbuka, terlihat Endah menghitung uang, menarik napas panjang, mengelap keringat di dahi, lalu terduduk lemas sambil memegangi perutnya.

Dengan cepat, Wangi dapat memperkirakan apa yang dialami Endah. Tidak punya cukup uang untuk makan siang. Sesuatu yang pernah dialaminya beberapa kali. Segera diambil bekal makan siang pemberian Mbok Yam di ruang kerjanya, lalu menemui Endah.

"Mbak Endah," panggil Wangi sambil mengetuk pintu.

Endah, si pramukantor itu sedang meminum air putih untuk memenuhi perutnya yang kosong.

"Eh, Mbak Wangi. Ada perlu apa, Mbak? Sendok?" terka Endah yang umurnya lebih tua 2 tahun dibanding Wangi.

"Saya kebetulan masih kenyang banget, padahal bawa bekal makan siang. Mbak Endah mau?" Wangi meletakkan kotak makan di meja, kemudian membukanya. "Silakan, Mbak."

Mata Endah berbinar. Nasi, tumis kangkung, dan telor balado di kotak makan Wangi menggoda salivanya.

"Kamu sungguh tidak makan?" Endah memastikan.

"Masih kenyang banget, Mbak," jawabnya berbohong sambil membuat teh manis hangat untuk mengganjal perutnya. Pekerjaannya lebih banyak duduk dibanding tugas Endah yang menuntut kesigapan bergerak, sehingga perempuan itu pasti lebih membutuhkan makanan untuk energi. 

Endah dengan cepat menyambar sendok yang terletak tidak jauh dari posisinya. "Alhamdulillah, rezeki. Terima kasih banyak, ya, Mbak Wangi." Ia tidak menyangka mendapat makanan di saat tak punya cukup uang dari orang yang penampilannya lebih lusuh daripada dirinya.

"Sama-sama, Mbak."

"Mbak Wangi saudaranya siapa?" tanya Endah sambil mulai melahap makan siang pemberian Wangi.

Dahi Wangi berkerut, tidak sepenuhnya paham maksud Endah. "Saya anak tunggal, Mbak. Tidak punya saudara."

Endah terkikik. "Maksud saya, siapa di kantor ini yang saudaranya Mbak Wangi? Kebanyakan karyawan baru punya saudara yang sudah terlebih dahulu bekerja di sini," jelasnya.

Wangi teringat pembahasan bersama almarhumah bu Damayanti, bahwa unsur kekerabatan menjadi salah satu faktor dalam merekrut karyawan di perusahaan keluarga. "Tidak ada saudara di sini, Mbak. Saya ditawari kerja oleh bu Rani, tapi tidak ada hubungan apa pun."

"Berarti Mbak kelompok minoritas, harus hati-hati. Di sini, orang-orang yang masih ada hubungan saudara dengan keluarga Utama, kelakuannya semena-mena, gayanya selangit."

"Masa, sih, Mbak? Tampaknya direksi bersikap baik pada semua karyawan." Wangi sangsi dengan pendapat Endah.

"Kalau direksi pada baik semua, Mbak. Yang banyak tingkah justru anak dan saudara-saudaranya, merasa punya perusahaan. Mereka suka menindas dan bersikap semena-mena. Kalau sesama mereka salah, tidak ada hukuman, paling banter ditegur. Sementara, yang bukan keluarga, sudah kerja keras bagai kuda, kalau salah pasti didamprat habis-habisan," ungkap Endah bersemangat. Semangat makan, sekaligus semangat bergosip.

"Oh, gitu, ya, Mbak?" Wangi menyeruput tehnya.

Endah mengangguk yakin, lalu berbisik, "Terutama keluarganya pak Mahendra."


"Keluarganya pak Mahendra itu... " Wangi ingin memastikan.

Endah menyela, "Pak Aghas, kedua adiknya–bu Astri dan bu Adisty–beserta saudara lainnya."

"Bu Astri itu yang rambutnya dicat pirang? Di divisi yang sama dengan pak Aghas, 'kan?" Wangi teringat sosok perempuan yang tak kalah pongah saat rapat minggu lalu.

"Betul. Dia manajer penjualan divisi produk durable. Kalau bu Adisty ada di divisi keuangan."

"Oh, itu adiknya pak Aghas," gumam Wangi, tak menampik perkataan Endah tentang kepongahan Aghastyan dan Astri.

Endah terus mencerocos, "Di sini ada dua kubu, Mbak. Kubu pak Aghas dan pak Samudra. Mereka berdua tidak akur. Aneh, ya, sepupu tapi musuhan."

Endah jeda sejenak, menelan makanan di mulut, lalu kembali melanjutkan," Walaupun pak Sam kelihatan lebih serius dan galak daripada pak Aghas, tapi aslinya dia lebih baik. Pak Aghas kelihatan saja suka senyum-senyum, padahal kalau ngomong suka nyakitin. Sayangnya, pak Sam kalah pendukung karena adiknya–pak Dirgantara–tidak mau lagi bekerja di sini, memilih untuk keluar gara-gara konflik dengan pak Aghas."

Meski masih ingin menggali tentang hal semacam ini, tapi teringat pesan Banyu untuk menghindari bergosip. Wangi menghabiskan tehnya, lalu bersiap kembali ke ruangan.

"Mbak Endah, saya balik ke ruangan dulu, ya," ucap Wangi sembari berjalan ke tempat cuci piring dan mencuci cangkirnya.

"Oke. Ini nanti kotak makannya saya bersihkan terlebih dahulu, ya. Sekali lagi, terima kasih, loh," ucap Endah seraya terus menikmati makan siang gratisnya.

"Sama-sama. Biasanya pulang jam berapa, Mbak?"

"Kalau shift pagi, jam tiga sudah pulang. Kalau shift siang, jam 8 malam. Untung saya selalu dapat shift pagi."

"Memangnya kenapa, Mbak?" tanya Wangi sambil mengembalikan cangkir teh yang sudah dicucinya ke rak.

"Saya takut ketemu setan kalau kerja sampai malam," sahut Endah tergelak. "Makanya jangan mau kalau disuruh lembur, Mbak!"

Wangi tertawa, berjalan ke arah pintu. "Memang ada setan di gedung ini?"

"Setan mah di mana-mana juga ada, Mbak," jawab Endah sambil sengaja tertawa melengking seperti kuntilanak.

Wangi terkikik campur ketakutan, otaknya dengan cepat membayangkan dedemit di gedung bertingkat ini. Ia bergidik sembari membuka pintu ruang servis.

Saat yang sama, pintu toilet pria yang berada persis di seberang ruang servis terbuka. Aghastyan berjalan ke luar dari kamar kecil. Lelaki itu menyeringai begitu melihat sasaran empuk perisakan muncul di hadapannya.

Wangi kaget bukan kepalang. Tak menduga berpapasan dengan Aghastyan. Bayangan dedemit di kepalanya, seolah menjelma menjadi wujud dengan seringai lebar di hadapannya. Spontan ia menjerit, "Setaaan!"

"Heh!" bentak Aghastyan melotot, menghampiri Wangi yang berdiri kaku di depan ruang servis.

Endah yang mendengar teriakan Wangi, bergegas ke luar. Ia pun tak kalah terkejut begitu melihat Aghastyan berang.

Wangi kelimpungan, menyadari telah melakukan kesalahan fatal. "Eh, ma-maaf, Pak." Wangi memegangi dadanya, napasnya tersengal.

"Kamu benar-benar kurang ajar! Minggu lalu mengatai saya asu, sekarang setan. Ini tidak bisa dimaafkan, saya akan lapor ke HR!" ancam Aghastyan lalu pergi meninggalkan Wangi yang masih sibuk menormalkan detak jantungnya.

Endah mengusap pundak Wangi, memastikan kejadian barusan. "Kamu barusan teriak 'setan', ya, Mbak? Pas melihat pak Aghas?"

Wangi mengangguk lemah.


Endah tak dapat menahan tawa. Betapa ia sangat ingin punya kesempatan melakukan hal tersebut, memaki Aghastyan.

"Duh... Pak Aghas pasti mengadu ke bu Shinta atau bu Rani, nih." Wangi tak dapat menutupi kecemasannya. Ia memaki dirinya yang sering tidak mampu mengendalikan reaksi menghadapi situasi tak terduga.

"Kamu yang bawa ke sini bu Rani, 'kan?" Endah memastikan cerita Wangi tadi.

Wangi mengangguk.

"Tenang saja, tidak bakal dipecat kalau bawaan bu Rani. Kamu cuma perlu tahan kuping dimaki bu Shinta saja." Endah menepuk pundak Wangi memberi semangat.

Wangi menarik napas panjang, pasrah dimaki dengan umpatan terkasar sekalipun. Ia berjalan gontai menuju ruang kerjanya.

Belum lama Wangi berada di meja kerjanya, Shinta membuka pintu ruangan, lalu berteriak, "Wangi! Dipanggil bu Rani ke ruangannya. Sekarang!"

Wangi kian terkulai lemas, kian intens pula menggigiti jemari. Ancaman Aghastyan barusan bukan gertak sambal. Lelaki itu pasti mengadu kepada tantenya.

"Kenapa? Kamu berbuat salah?" tanya Eko melihat ekspresi Wangi.

Wangi mengangguk, tapi tidak punya energi dan waktu menjelaskan.

"Tenang, Ngi. Bu Rani tidak sesadis bu Shinta, kok. Dia baik," ujar Eko membesarkan hati Wangi.

Wangi memaksa dirinya tersenyum. Justru karena kebaikan Rani yang membuatnya kian merasa bersalah. Perempuan itu pasti kecewa pada kekurangajarannya.

Sepanjang lorong menuju ruang Rani, mulut Wangi sibuk merapal doa dan merangkai ucapan permintaan maaf beserta penjelasan atas insiden yang terjadi.

"Siang, Bu," sapa Wangi begitu memasuki ruangan Rani.

"Siang," sahut Rani sambil mengambil tas dan ponselnya. Ia mengamati Wangi sejenak, lalu memberikan perintah, "Ambil tasmu, lalu ikut saya ke gudang!"

Wangi menurut, bergegas mengambil tas, kendati bertanya-tanya mengapa harus membawa tas dan diajak ke gudang. Otaknya sibuk membayangkan skenario buruk, mulai dari kemungkinan dimarahi habis-habisan di gudang sepi lalu dipecat sampai yang paling mengerikan yaitu disiksa hingga mati kemudian mayatnya dibuang beserta semua identitas.

"Kita punya gudang di daerah Serpong. Saya rutin berkunjung ke sana, minimal sebulan sekali," ujar Rani saat keduanya berjalan menuju lift.

Wangi berusaha fokus dengan perkataan Rani sembari mengusir kekhawatiran. "Kontrol, ya, Bu?"

"Betul. Meskipun manajer HR dan manajer GA sudah rutin mengontrol kondisi di sana dua minggu sekali, saya selalu usahakan datang minimal sebulan sekali. Menurutmu, mengapa saya melakukan itu?"

Rani memberikan kesempatan Wangi berpikir. Wangi yang masih dirundung kecemasan, butuh waktu lama untuk memikirkan alasan Rani melakukan hal tersebut.

"Untuk menunjukkan perhatian kepada karyawan di sana, ya, Bu?" Wangi akhirnya mencoba menjawab saat mereka berdua telah keluar dari lift menuju lobi.

"Tepat sekali. Pada dasarnya, manusia senang diperhatikan, dianggap penting. Semua orang dalam organisasi, apa pun pekerjaan mereka, memiliki peran penting. Tidak boleh dianggap remeh, bahkan seorang pramukantor sekalipun." Rani memberi nasihat.

"Kalau pramukantor tidak masuk, keadaan di kantor akan berantakan, ya, Bu," sahut Wangi.

"Pasti! Itu sebabnya, semua karyawan pun harus meyakini bahwa mereka berkontribusi, punya andil bagi keberlangsungan perusahaan, termasuk kamu," ujar Rani dengan senyumnya yang menenangkan.


Wangi tersenyum. Berharap perkataan Rani barusan bukan merupakan sindiran atas kelakuan buruknya.

Sebuah mobil Audi A4 berwarna argus brown metallic berhenti di depan lobi. Rani mengajak Wangi memasuki mobil, duduk bersebelahan dengannya di kursi belakang.

Wangi melongo begitu memasuki mobil mewah Rani yang harganya lebih dari 1 milyar itu. Interior hitam elegan mengilap, aroma vanila menyegarkan, jok kulit mewah. Wangi merasa dirinya paling kumal, bahkan dibanding pelek mobil.

Sepanjang perjalanan, Rani menceritakan tentang beberapa filosofi kepemimpinan yang diajarkan ayahnya, Mahdi Utama, sang pendiri perusahaan.

Wangi asik mendengarkan dan menanggapi, antusias dengan semua pembelajaran yang dibagi Rani. Lupa dengan kecemasannya akan insiden Aghastyan, lupa juga berada dalam kendaraan tertutup dengan penyejuk udara yang seringkali membuatnya mabuk perjalanan.

Setelah menempuh perjalanan hampir 1 jam, mereka sampai di gudang milik PT Utama Media yang terletak di daerah Serpong. Pada areal seluas hampir 5.000 m² itu terdapat bangunan berwarna biru abu-abu dengan pepohonan rindang di sepanjang pagar, sehingga tidak terkesan gersang. Beberapa ruangan yang berfungsi sebagai kantor administrasi dan ruang rapat berada di sisi depan bangunan. Sementara selebihnya merupakan tempat penyimpanan produk alat kesehatan sebelum disalurkan kepada konsumen.

Rani memperkenalkan Wangi kepada para staf gudang, meluangkan waktu untuk menanyakan kabar para karyawannya dan masalah dalam bekerja. Setelah cukup lama berbincang, ia mengajak Wangi berkeliling, mengecek sarana dan prasarana gudang. Terlihat beberapa karyawan sedang memasukkan barang-barang ke sebuah kontainer di bagian belakang gudang. Seorang lelaki bertubuh tegap berdiri mengawasi, sesekali ia berbicara dengan karyawan lain yang memegang beberapa lembar dokumen di atas papan clipboard.

"Hai, Sam!" sapa Rani.

Lelaki bertubuh tegap itu menoleh. "Hai, Tan. Sudah lama datang?"

Rani melirik arloji Chopard di pergelangan tangan kirinya. Pukul 15.00. "Sekitar satu jam. Mau dikirim ke mana ini?" Dagunya digerakkan ke arah kontainer.

"Makassar," sahut Samudra.

Wangi memerhatikan Samudra. Dari data karyawan yang baru saja diperbaruinya, lelaki ini berumur 31 tahun. Namun, wajahnya yang terkesan serius dan jarang tersenyum membuatnya terlihat jauh lebih matang  dibanding Aghastyan yang hanya selisih beberapa bulan. 

Saat yang bersamaan, ponsel Rani berdering. Ia mengambil telepon selulernya, sambil berkata, "Sam, ada yang mau kubicarakan, tapi sebentar, ya, ini Aghas telepon."

Wangi tertunduk lemas mendengar nama Aghastyan disebut. Ia bak terdakwa menunggu eksekusi. Dipasangnya kuping dengan tajam, mencoba mencuri dengar pembicaraan Rani dengan Aghastyan.

"Pertama kali ke sini?" tanya Samudra.

Wangi gelagapan, tak menduga Samudra bertanya kepadanya. "I-iya, Pak. Kalau Bapak?" tanyanya spontan. Tidak sampai sedetik, ia langsung mengumpat kebodohannya. Untuk apa mengajukan pertanyaan macam itu, sudah pasti bukan pertama kali Samudra datang ke gudang. Ini gudang milik kakeknya!

Dahi Samudra berkerut, kemudian menarik sedikit ujung bibirnya saat menyadari kecanggungan yang mungkin menghinggapi Wangi. "Saya sudah beberapa kali ke sini."

Wangi cengar-cengir, salah tingkah.

Samudra lantas bercerita mengenai produk yang ditangani oleh divisinya, mengisi waktu menunggu Rani selesai bicara dengan sepupunya.

Wangi mengeluarkan buku catatannya, menuliskan beberapa informasi penting yang dipaparkan Samudra. Sesekali ia mengajukan pertanyaan mengenai produsen, konsumen, dan strategi pemasaran alat kesehatan disposable yang dikelola Samudra.


Samudra tersenyum dalam hati. Perempuan ini punya rasa ingin tahu yang besar, perhatian terhadap hal-hal sepele, dan juga cara berpikir yang cukup logis. Tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi dan berasal dari desa kecil bukanlah hambatan untuk berprestasi selama mampu membangkitkan motivasi. Ia mengakui bahwa tantenya memang cukup jeli mendeteksi potensi.

"Sorry," ucap Rani begitu sambungan teleponnya dengan Aghastyan usai.

"Ada masalah?" tanya Samudra.

"Sedikit," jawab Rani.

Wangi menarik napas panjang, pasti masalah yang dimaksud bu Rani adalah antara Aghastyan dengan dirinya. Ia merasa harus meminta maaf dan menjelaskan duduk permasalahan dari sudut pandangnya.

"Saya minta maaf, Bu. Saya benar-benar tidak bermaksud mengatai pak Aghas," ucap Wangi pelan dengan kepala tertunduk, tak sanggup memandang wajah Rani.

Samudra mengernyitkan kening, memandang Wangi dan tantenya dengan bingung. "Ada apa?"

Rani tersenyum. "Kita ke ruangan, yuk!" ajak Rani sambil merangkul Wangi. Ia memberi kode pada Samudra untuk mengikutinya.

Senyuman dan rangkulan Rani menurunkan ketegangan Wangi.

Sesampainya di dalam ruangan yang diperuntukkan bagi para pimpinan puncak perusahaan apabila mereka berkunjung ke gudang, Rani mempersilakan Wangi duduk di sofa. Ia lalu mengambil segelas air putih dan menyodorkannya kepada Wangi.

"Apabila kamu sedang takut atau cemas, cara untuk menenangkan diri adalah mengambil jeda sejenak dari aktivitas. Rileks, atur napas, dan minum. Itu langkah awal yang efektif menurunkan ketegangan," ujar Rani dengan nada lembut. Ia kemudian duduk berdampingan dengan Wangi.

Samudra memilih duduk di meja kerja, tak jauh dari sofa, kemudian mengaktifkan laptopnya.

"Te-terima kasih, Bu." Wangi teramat sungkan dengan perlakuan Rani yang sangat baik, seolah tidak marah keponakannya dikatai asu dan setan. Ia mengikuti saran Rani, mengatur napas lalu meminum air putih.

"Aghas memang sudah cerita kepada saya, tetapi saya juga ingin dengar dari sudut pandangmu. Kalau kamu sudah tenang, silakan bercerita," pinta Rani dengan senyum terus mengembang di bibirnya.

Wangi memandangi Rani. Seumur hidup, baru kali ini ia bertemu perempuan dari kalangan atas berhati besar seperti Rani. Perasaan bersalah menyelimuti, matanya memanas seketika.

"Sebelumnya, saya berterima kasih Ibu memberikan saya kesempatan bicara. Saya minta maaf kalau tindakan saya mengecewakan Ibu," ujar Wangi dengan suara serak. Setengah mati ia menahan diri agar tidak menangis, bukan karena takut dipecat, tapi lebih disebabkan perasaan bersalah kepada Rani.

Rani mengangguk disertai senyuman.

Samudra menatap layar laptop, tetapi memasang telinga terhadap perbincangan dua wanita di seberangnya.

Wangi pun menceritakan insiden "asu" dan "setan", tentunya menutupi bagian gosip tentang keluarga Utama dari Endah untuk menyelamatkan perempuan itu.

Rani tergelak usai Wangi bicara. Tak bisa membayangkan ekspresi kesal Aghas ketika diteriaki "setan" oleh Wangi.

Samudra mengatupkan bibir, berusaha menahan tawa. Matanya melirik ke arah Wangi, mencoba memberikan penilaian kepada perempuan itu.

Rani berusaha mengendalikan tawanya, lalu berkata pada Wangi, "It's okay, Wangi. Hal semacam ini adalah kesalahpahaman biasa di kantor. Saya tahu betul kelakuan Aghas seperti apa, jadi kamu tidak usah khawatir."

Wangi terperanjat. "Sa-saya tidak dipecat, Bu?"

Senyum lebar terulas di bibir Rani. "Atas dasar apa? Menyingkat nama GM dan berteriak kaget? Sama sekali bukan alasan pemecatan, bahkan tidak cukup untuk sebuah teguran lisan."

Wangi mengembuskan napas lega,  tidak dapat berkata-kata saking girangnya. Kekagumannya pada Rani kian besar. Perempuan ini punya cara pandang yang bijaksana.

"Tidak usah khawatir, nanti saya yang akan bicara pada Aghas," ujar Rani sambil mengusap pundak Wangi.

Ponsel Rani kembali berdering. Ia meminta izin untuk mengangkat. Usai sambungan telepon ditutup, ia mendiskusikan beberapa hal penting terkait pekerjaan bersama Samudra dan Wangi.

"Sam, kapan kamu pulang?" tanya Rani di akhir diskusi mereka.

"Sekarang," sahut Samudra.

"Dari sini mau ke mana? Balik kantor?" tanya Rani lagi.

Samudra menggeleng. "Langsung pulang. Mau ke gimnasium."

"Boleh aku titip Wangi? Tadi kakaknya mas Firman telepon, ingin bertemu di rumahnya daerah Alam Sutra," pinta Rani yang harus menemui kakak suaminya di arah berlawanan dengan lokasi rumah Wangi.

Rani menambahkan, "Wangi tinggal di daerah Bintaro. Tadi sudah kuminta membawa tas, jadi tidak perlu kembali ke kantor." Ia memperkirakan jarak dari gudang ke rumah Wangi tidak sejauh ke kantor.

"Oke," sahut Samudra. Ia mematikan laptop dan bersiap pulang.

Wangi terkejut, tak menduga permintaan Rani dan persetujuan Samudra. "Saya bisa naik kendaraan umum dari sini, Bu... Pak." Ia nekat, walaupun tidak tahu angkutan apa yang harus dinaikinya.

"Memangnya kamu sudah pernah ke daerah Serpong?" tanya Rani sangsi.

Wangi terdiam. Dua minggu hidup di ibu kota, ia hanya tahu rute rumah Banyu ke kantor.

Rani dengan mudah mengartikan respons Wangi. "Kamu itu belum lama di sini. Bisa nyasar, tahu!" Rani menjinjing tasnya, lalu mengajak semua keluar bersama.

Samudra berjalan bersisian dengan tantenya, sedangkan Wangi mengekor di belakang mereka.

"Pasti cerita versi Aghas berbeda, ya," tebak Samudra dengan suara pelan agar tak terdengar oleh Wangi.

Rani tersenyum, tak ingin menjelek-jelekkan Aghas di depan Samudra. "Kamu sudah tahu seperti apa sepupumu, bukan?"

Jawaban tak langsung Rani, membenarkan dugaan Samudra.

"Oke, sampai besok, ya, Ngi," ucap Rani begitu mereka tiba di depan lobi. Ia mengusap pundak Wangi, seolah berusaha menyakinkan bahwa semua baik-baik saja setelah berbagai insiden dengan Aghastyan.

Wangi mengangguk dan tersenyum. "Hati-hati, Bu," sahutnya.

"Terima kasih," sahut Rani. Ia kemudian beralih kepada keponakannya. "Sampai besok, Sam. Terima kasih sudah mau mengantarkan Wangi, ya."

Samudra menganggukkan kepala. Ia kemudian menoleh ke arah Wangi, sembari tangan kanannya menunjuk ke Jeep Wrangler Rubicon abu-abu tua yang terparkir di seberang pintu masuk, mengisyaratkan kendaraan yang akan mereka naiki.

Wangi menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang, seolah mau meloncat keluar. Tangannya pun mendadak dingin. Ia tidak bisa membayangkan kekikukan yang akan terjadi kala nanti hanya berdua dengan Samudra di dalam mobil itu. Entah kejadian tak terduga apalagi yang akan dialaminya.


*****


Bersambung....

Thursday, January 25, 2024

Meneroka Jiwa (10)

 *_MENEROKA JIWA_*

*Bab 10. Petuah Cinta*


oleh KaiaKarnika



Wangi yang baru saja selesai mengepel rumah Banyu tertegun menyaksikan Mbok Yam yang dengan telaten membersihkan mata Hitler dengan tisu basah di beranda.

"Kenapa Hitler, Mbok? Sakit mata?"

"Tidak. Matanya Hitler ini memang harus dibersihkan setiap hari. Kalau tidak, kotoran matanya menumpuk," jawab Iyam.

"Wah, beda dengan kucing kampung, ya, Mbok." Wangi turut duduk mendeprok di lantai bersama Mbok Yam.

"Beda banget. Ini perawatannya nyaingi bayi manusia," sahut Iyam terkekeh. "Coba saja lihat isi kotak itu!" Ia menggerakkan dagu ke arah sebuah kotak di sebelahnya.

Wangi melongok ke kotak yang dimaksud Iyam. Ada beberapa jenis sisir khusus untuk kucing berbulu panjang, sikat dan pasta gigi, tisu basah, bedak, parfum, sampo beserta sabun. Semuanya khusus untuk kucing. "Wah, lengkap banget! Mas Banyu sangat suka kucing, ya."

"Tidak cocok sama penampilannya, ya, Ngi? Saras suka meledek kalau Banyu itu badannya security, tapi hati hello kitty."

Wangi tertawa membenarkan perkataan Iyam.

"Banyu tuh sebenarnya gampang tersentuh, tapi suka gengsi menunjukkannya. Nonton film India saja dia nangis, kok."

Tawa Wangi meledak, siapa sangka seorang Banyu, sang mantan komandan tawuran, bisa menangis saat menonton film India.

"Film India yang mana, Mbok?" tanya Wangi geli.

"Apa ya judulnya? Lupa. Pemainnya Shahrukh Khan dan Aishwarya Rai. Bintang favoritku."

"Oh, jadi Mbok dan Mas Banyu sama-sama suka India?"

"Sebenarnya Banyu tidak suka. Pas aku lagi nonton, dia baru pulang, ikut duduk di sofa dan nonton. Awalnya komentar pedas terus. Bilang noraklah, tidak masuk akal, dan sebagainya. Eh, kok, lama-lama diam. Aku pikir tidur, pas kutengok, dia sedang mengusap mata. Padahal, aku saja tidak menangis, meski ceritanya memang amat sedih." Iyam kembali tertawa mengingat kejadian itu.

"Mbok tanya kenapa dia menangis?"

"Dia tidak mau mengaku, jawabnya kelilipan."

Wangi tergelak membayangkan Banyu tertangkap basah. "Setelah itu, Mas Banyu masih mau nonton film India?"

"Tidak mau. Setiap aku godain begini, 'Mas, acha acha nehi nehi, yuk'," -Iyam menggerak-gerakkan kepala seperti gaya orang India saat bicara-, "dia pasti langsung ngomel."

Keduanya terpingkal-pingkal.

Suara berdeham seorang lelaki serta-merta menghentikan tawa keduanya.

Wangi menoleh, terlihat Banyu yang bersimbah peluh usai olahraga pagi, berdiri tak jauh dari mereka.

"Eh, habis ngapain, Mas?" tanya Wangi basa-basi.

"Habis karaoke," sahut Banyu enteng.

Wangi cengar-cengir. Dalam hati memaki dirinya yang selalu kikuk berbasa-basi dan  mengajukan pertanyaan bodoh.

Banyu menghampiri ART-nya, meraih Hitler yang baru saja selesai dibedaki dan diberi parfum oleh Iyam. "Wah, ganteng banget, Bos!" pujinya sambil mengangkat Hitler sejajar dengan wajahnya.

Wangi memperhatikan tingkah Banyu. Isi kepalanya spontan menyusun rekaan adegan Banyu berlinang air mata kala menyaksikan Shahrukh Khan dan Aishwarya Rai menangis sambil menari di bawah siraman hujan buatan. Tak sadar, ia terkikik geli.

Banyu mendelik, merasa Wangi menertawakannya. "Kenapa? Ada yang lucu?"

Wangi tersentak. "Nehi!"

"Hah?"


"Hi-hitler lucu, Mas," dalih Wangi cepat.

Iyam tersenyum geli, yakin bahwa Wangi pasti terbayang Banyu menangis saat nonton film India.

"Kenapa diberi nama Hitler, Mas?" tanya Wangi mengalihkan fokus Banyu. Ia menebak kesan cemberut di muka kucing berwajah datar dan berhidung pesek itu adalah alasan pemberian namanya.

"Tadinya mau dikasih nama Nicholas Saputra, tapi kepanjangan," sahut Banyu sambil berjalan masuk ke dalam rumah dengan Hitler di pelukannya.

Wangi terkekeh membayangkan seekor kucing memiliki nama sama dengan seorang aktor tampan. Ia lalu membantu Iyam membereskan perlengkapan Hitler.

"Pagi," sapa suara manja milik Iwan. Jay dan Saras terlihat berada di balik tubuh besar pria kekar nan gemulai itu.

Iyam dan Wangi serempak membalas sapaan. Kelima orang itu lalu berbarengan memasuki rumah. Jay, Saras, dan Iwan segera mengambil posisi duduk masing-masing di meja makan, sedangkan Wangi membantu Iyam menyiapkan sarapan.

"Silakan," ucap Wangi sembari menyajikan teh hangat di meja.

"Terima kasih, Wangi," ucap Iwan kenes.

Baru saja Iwan menyelesaikan kalimatnya, pintu rumah diketuk. Seorang perempuan melongok ke dalam rumah.

"Hai, Lavi! Masuk!" ajak Saras begitu melihat siapa yang mengetuk pintu.

"Pagi, semua!" sapa perempuan bernama Lavi itu. Ia berjalan menuju meja makan dan menarik kursi di tempat yang biasanya diduduki Banyu. Tubuhnya langsing padat berisi dengan lekuk yang sempurna. Wajah cantik memperlengkap pesonanya.

"Bagaimana kabarnya, Vi? Sudah lama tidak kelihatan," sapa Jay.

"Kabar baik. Iya, nih, kerjaan kantor lagi padat banget, jadi jarang bisa main ke sini, deh," sahut Lavi.

"Kenalin, Vi, ini Wangi, tetangga neneknya Banyu," ujar Saras saat Wangi sedang meletakkan sepiring pisang goreng di meja makan.

Lavi mengulas senyum sambil mengulurkan tangan. "Lavi."

"Wangi." Wangi merasakan telapak tangan Lavi sangat halus. Tubuh perempuan ini pun teramat harum.

"Namamu indah sekali," sanjung Lavi.

"Terima kasih, Mbak," ucap Wangi disertai senyum lebar. Tidak banyak orang yang memuji namanya, apalagi orang secantik Lavi.

"Mau ke mana pagi-pagi sudah rapi?" tanya Iwan penasaran. Biasanya di akhir pekan Lavi berolahraga di Benkuwat, tapi pagi ini perempuan cantik itu mengenakan fit and flare dress berwarna cerah.

"Mau ada acara lamaran sepupuku di Bandung."

"Pergi sama Banyu?" tanya Saras.

Lavi mengangguk.

"Mau teh, Non?" tanya Iyam.

"Tidak usah, terima kasih, Mbok," tolak Lavi. "Banyu masih tidur?"

"Sudah bangun, bahkan tadi su—"

"Itu orangnya," sela Jay ketika melihat Banyu turun dari tangga sambil menggendong Hitler.

Lavi menoleh ke tangga yang terletak di belakangnya. Senyum yang tadi menghiasi wajahnya langsung pudar begitu melihat Banyu yang hanya mengenakan kaus oblong dan celana jin. "Kok, kamu belum siap?" Ia bangkit dari duduknya menghampiri Banyu.

"Kan aku sudah bilang tidak mau ikut," sahut Banyu enteng sembari menurunkan Hitler ke lantai.

Terdengar tarikan napas berbarengan dari hidung Jay, Iwan, Saras, dan Iyam. Keempat orang itu seolah bersiap akan adanya adegan menegangkan.


"Siapa, Mbak?" tanya Wangi berbisik sambil perlahan menarik kursi di samping Saras.

"Pacarnya Banyu," jawab Saras lirih.

Wangi akhirnya bisa menemukan jawaban mengapa dahulu Banyu tidak merespons ungkapan cinta dari para gadis di Gelem. Ternyata, selera lelaki itu sangat tinggi. Cantik, seksi, dan ramah.

"Kenapa tidak mau, sih?" tanya Lavi dengan nada kesal.

"Aku sudah bilang alasannya berkali-kali," jawab Banyu ketus.

"Kamu tuh egoistis banget!" umpat Lavi.

"Yak... keributan dimulai!" sindir Jay meledek.

"Kalian berdua tuh mau pacaran apa bikin padepokan silat, sih?" Iwan ikut mengomentari. "Tarung melulu setiap ketemu!"

Banyu menarik tangan Lavi, mengajaknya ke arah teras, menjauh dari lima orang di ruang makan.

Semua yang di ruang makan mengarahkan pandangan mereka ke halaman depan melalui jendela lebar di dapur.

"Kalau keduanya keras kepala seperti itu, sudah pasti berantem terus. Tidak ada yang mau mengalah," komentar Saras.

"Lavi pernah curhat kalau Banyu keras kepala dan kurang romantis," tambah Iwan.

"Mungkin dia mengharapkan Banyu kasih bunga sama kata-kata cinta gitu, ya?" terka Jay.

"Waduh, kalau Banyu sampai begitu justru tanda-tanda dia perlu berobat, dong," seloroh Saras.

Di halaman depan rumah, terlihat Lavi melontarkan rentetan perkataan dengan bahasa tubuh dan air muka penuh kekesalan, sedangkan Banyu tak banyak membalas, hanya melipat tangan di depan dada.

Tak lama kemudian, Lavi mengentakkan kaki, membalikkan tubuh, dan berlari menjauh dari rumah. Banyu memilih kembali ke teras.

"Nah, itu mungkin salah satu kelakuan Banyu yang dianggap Lavi tidak romantis. Bukannya mengejar dan merayu pacar ngambek, dia malah masuk rumah," komentar Saras melihat reaksi Banyu. "Perempuan kan ingin dibujuk kalau kesal, ya, Ngi?" Ia meminta dukungan dari Wangi.

Wangi hanya tersenyum. Seumur hidup, tak ada seorang pun yang bersusah payah membujuknya agar tidak mengambek. Bahkan untuk mengambek pun, ia tidak punya kesempatan.

"Banyu gengsinya gede. Kalau tidak merasa salah, tidak bakal mau repot-repot merayu," sahut Jay.

Banyu mendekati meja makan dengan ekspresi datar, seolah tidak terjadi pertengkaran dengan kekasihnya.

"Minum tehnya mumpung hangat, Nyu," ucap Iyam berusaha menghibur majikannya.

"Mbak Lavi cantik sekali, Mas," puji Wangi.

Banyu melirik tajam ke arah Wangi, tidak paham maksud pemberian pujian tersebut. Apakah murni sanjungan atau justru sindiran. "Lalu?" tanyanya ketus.

"Cantik itu ada dua jenis, Ngi." Jay membelokkan pembicaraan begitu melihat air muka Banyu yang terusik dengan pujian Wangi.

"Apa saja, Mas?"

"Dari sananya atau dari dananya," jawab Jay terkekeh.

"Maksudnya?" Wangi tidak paham.

"Ada yang cantik dari lahir, ada yang karena riasan dan oplasan," jelas Iwan.

Wangi tertawa. "Kalau gitu saya kebagian apesnya. Dari sananya tidak, dari dananya apalagi."

"Eh... tidak boleh bilang gitu, Ngi!" sanggah Saras. "Inner beauty lebih berperan, loh! Banyak yang cantik, tapi tidak enak dilihat lama-lama, apalagi didekati. Ada yang tidak terlalu cantik, tapi enak banget dipandang dan asyik diajak ngobrol."


"Makanan kali ah... enak!" kelakar Jay.

"Ih, memang benar, kok! Cantik tidaknya seseorang, bukan semata karena parasnya, tapi lebih ditentukan oleh perangainya." Saras bersikukuh.

"Setunjang!" sahut Iwan. "Setuju," imbuhnya begitu melihat dahi yang lain berkerut.

"Pokoknya jangan minder, Ngi." Saras memberi motivasi. Ia menyadari sejak pertama bertemu, perempuan kurus ini memiliki perasaan rendah diri yang besar.

Iwan memerhatikan wajah Wangi. "Kamu kalau dipoles dikit saja, juga tidak kalah, kok."

"Beli make up kan juga perlu uang, Mas," sahut Wangi.

"Kan kamu gaji kantoran. Bisalah beli make up lokal yang kondang nan mursidah itu." Iwan memperkirakan minimal gaji Wangi adalah sedikit di atas UMR.

"Apa, sih, mursidah?" Jay selalu kebingungan setiap Iwan menggunakan bahasa binan¹.

"Murah, Bajay!" sahut Iwan.

"Saya harus menyisihkan gaji untuk bayar utang, Mas. Jadi harus hidup sangat hemat," ungkap Wangi jujur

"Utang apa? Banyak?" tanya Saras penasaran.

"Sekitar seratus delapan puluh juta yang harus saya lunasi dalam sembilan bulan ke depan. Itu biaya merawat saya sejak bayi." Wangi kemudian menceritakan tentang latar belakang masalahnya.

Banyu tampak asik menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Iyam, kendati diam-diam menyimak cerita Wangi dengan saksama.

"Astaga! Apa mereka tidak mau mengikhlaskan saja?" komentar Saras setelah Wangi selesai bicara.

"Itu sudah kewajiban saya, Mbak. Tanpa kesediaan mereka mengasuh, mungkin saya sudah tidak ada."

Iwan dan Jay terdiam, tak sanggup mengeluarkan kata untuk mengungkapkan rasa belas kasihan mereka.

Suasana hening sejenak. Semua iba terhadap kondisi Wangi.

"Ayam prestonya sudah saya hangatkan, silakan sarapan!" Iyam memecah keheningan dengan menyajikan sepiring ayam presto pemberian tetangga.

"Astagaaa!" jerit Iwan.

Semua kaget, serempak menoleh ke arah Iwan.

"Kenapa, Wan?" tanya Saras.

Iwan menutup muka dengan kedua telapak tangannya. "Itu... saudara akika²."

"Apa sih?" Jay makin bingung.

Banyu mengambil potongan ayam presto, lalu mematahkan tulangnya dengan mudah.

Tawa Jay dan Saras meledak begitu menyadari maksud Banyu dan Iwan.

"Tulang lunak!" Jay terpingkal-pingkal. "Dasar bencong!"

Wangi melongo, tidak paham apa hubungan antara Iwan dan tulang lunak.

Saras berusaha menerangkan kepada Wangi di tengah tawanya. "Kamu tahu 'kan kalau Iwan itu sangat kemayu," - Ia mengikuti gaya Iwan, melambaikan tangannya dengan gemulai - "Nah, itu sering diistilahkan sebagai cowok tulang lunak."

Mulut Wangi membentuk huruf O tanpa suara.

"Ayo, segera sarapan mumpung hangat!" Iyam kembali bertitah.

Kelima orang di meja makan bergiliran mengambil nasi dan ayam.

"Ih, Mas Iwan kanibal! Saudara sendiri dimakan," celetuk Wangi.

Tawa kembali menggema di ruangan, kecuali Banyu tentunya. Lelaki itu hanya sedikit menarik ujung bibirnya.

"Waaah, sudah mulai bisa membanyol!" Iwan bertepuk tangan. "Lumayan... lumayan!"


"Bagus! Seminggu di Jakarta sudah menunjukkan perkembangan." Jay kembali mengacungkan jempolnya.

"Tiap hari ketemu guru sinting, lama-lama pasti ketularan," ucap Saras.

"Artinya didikan kita tidak sia-sia, ya, 'kan, Bajay?" Iwan mengajak Jay tos.

Jay menepis ajakan Iwan. "Kita? Situ doang yang sinting! Jangan ajak-ajak!"

Iwan mengerucutkan mulut. Tangannya yang sudah terlanjur terangkat, menoyor kepala Jay.

Wangi terkikik melihat tingkah Iwan. Badan kekar, tapi kemayu.

"Bagaimana kerjaan, Ngi? Tips dari Banyu bisa bermanfaat, tidak?" tanya Saras.

Wangi tersenyum lebar. "Bermanfaat banget, Mbak. Ternyata memang banyak data yang tidak diperbarui."

"Kantormu itu perusahaan nasional atau multinasional?" tanya Iwan.

"Nasional, Mas. Milik keluarga Utama."

"Berarti bos-bosnya anggota keluarga semua?" Iwan kembali bertanya.

Wangi mengangguk.

"Biasanya pada resek, terutama yang bos muda," sahut Saras.

"Ya, ada satu yang galak. Dia menjabat sebagai general manager. Cucu dari pendiri perusahaan. Mana saya ketahuan menyingkat namanya menjadi A-S-U," ungkap Wangi.

"Hah? Asu yang artinya anjing?" Jay mengonfirmasi.

Wangi mengangguk yang langsung disambut gelak tawa Jay, Iwan, dan Saras.

Hanya Banyu yang tidak tertawa, melainkan menatap tajam ke arah Wangi. Ia pun korban dari kebiasaan usil perempuan itu.

"Kok bisa ketahuan?" tanya Iwan.

Wangi menceritakan dengan singkat kronologis kejadiannya.

"Ada-ada saja kamu, Ngi. Ada asu, ada be dua." Saras terkekeh.

"Lalu apa yang si asu itu lakukan padamu?" tanya Iwan penasaran.

"Dia cuma mengancam akan membalas perbuatan saya, tapi sejauh ini sih belum melakukan apa pun. Tidak tahu juga ke depannya karena saya ditugaskan membantu perbaikan penilaian kinerja di divisinya." Wangi menghela napas, yakin betul Aghastyan pasti akan menyulitkan dirinya.

"Lain kali pikir dua kali sebelum melakukan sesuatu." Banyu bersuara.

"Ya, Mas. Itu sebenarnya untuk mempermudah saya mengingat, tidak menyangka dia akan membaca catatan saya."

"Pernah tidak dulu-dulu ada kejadian serupa, Ngi? Menyingkat nama orang yang berbuntut apes." Saras penasaran. "Selain be Dua tentunya."

Wangi cengengesan. "Pernah, Mbak. Waktu SMA, ada guru BK namanya Parti Setyo Kuswinarti."

"PSK!" Jay dan Iwan menebak bersamaan sambil tertawa.

"Astaga!" Saras tidak bisa membayangkan kesialan yang menimpa Wangi, menyingkat nama guru BK menjadi PSK.

"Mas tahu orangnya, 'kan?" tanya Wangi kepada Banyu. "Yang galak banget itu."

"Hmmm," sahut Banyu sambil mengangguk. Ia tentu ingat guru yang hobi memanggilnya ke ruang BK seminggu sekali untuk memberi nasihat agar dia tobat.

"Mas Be kan murid kesayangan guru BK," goda Iwan yang tahu sejarah Banyu si anak berandal dan sudah pasti langganan ke ruang BK.

"Ba be ba be! Babemu!" gerutu Banyu.

Iwan tergelak.

"Kejadiannya seperti apa, Ngi?" Saras penasaran.

"Jadi pas ulangan matematika, gurunya tiba-tiba mules, izin meninggalkan kelas sebentar. Kesempatan itu dimanfaatkan teman-teman untuk saling menyontek. Saya ditugasi menjaga pintu memberitahu apabila gurunya kembali. Dari jauh, terlihat guru BK berjalan ke arah kelas kami, tapi semula saya pikir hendak masuk ke kelas sebelah yang gurunya absen, sehingga saya tenang saja. Ternyata dia melewati kelas itu dan menuju kelas kami. Saya panik, segera memberi tahu teman-teman. Saya teriak 'Ada PSK! Ada PSK!' tapi teman-teman tidak juga berhenti menyontek. Saya teriak lebih kencang lagi 'Ada guru BK si PSK!' tanpa sadar kalau ternyata bu Parti sudah berdiri di sebelah saya," ungkap Wangi.


Tawa Jay, Iwan, dan Saras meledak. Banyu hanya menggeleng-gelengkan kepala, meski dalam hati geli membayangkan ekspresi guru killer itu.

"Kamu dihukum apa?" tanya Saras, yakin pasti Wangi mendapat ganjaran dari guru BK yang murka dipanggil PSK.

"Hormat ke tiang bendera di tengah lapangan sampai bubaran sekolah." Wangi terkekeh mengingat kejadian itu.

"Dan itu tidak membuatmu kapok menyingkat nama orang sampai sekarang," celetuk Banyu sambil menggigiti tulang lunak yang gurih.

Wangi cengar-cengir.

"Siap-siap disuruh hormat ke kloset sama si asu nanti!" ledek Jay.

"Si Wangi ini bener-bener perlu kita poles luar dalam, deh, Sar!" usul Iwan kepada Saras.

"Setunjaaang!" sahut Saras mengikuti bahasa Iwan. "Harus di-grooming nih si Wangi. Jangan kalah sama Hitler."

Wangi mengerutkan dahi. "Saya mau diapakan?" tanyanya bingung.

"Kita dandanin biar kamu kinclong, kita tatar kamu biar tidak dikerjain sama orang kantor!" sahut Iwan serius. "Cukup kita saja yang boleh ngerjain kamu."

"Yeee! Sama saja dong, Bakwan!" protes Jay.

Iwan terkekeh. "Pokoknya nanti Wangi bakal cakrabirawa paripurna!" ujarnya dengan gaya kemayu.

"Apaan, sih, tuh?" Jay kembali kesal dengan bahasa Iwan.

"Cakep sempurna, Bajay!" sahut Iwan.

"Susah ya ngobrol sama makhluk presto, bahasanya bikin pusing," ledek Jay tertawa.

"Pokoknya nanti cowok-cowok pasti bakal naksir sama Wangi!" tambah Iwan bersemangat.

"Dandan itu buat diri sendiri, bukan supaya bikin lelaki naksir!" komentar Banyu.

"Maksudnya, Mas?" Wangi tidak paham pernyataan Banyu. "Bukankah wanita berdandan agar tampil menarik?"

"Betul, untuk tampil menarik, tapi buat siapa? Kalau kamu dandan agar mendapat pujian dari orang, kamu jadi tergantung akan sanjungan, kecewa ketika tidak mendapatkannya. Seharusnya berdandan karena ingin menghargai diri sendiri, merawat diri karena mensyukuri pemberian Tuhan. Ada lelaki yang memuji atau naksir, itu hanya bonus, bukan tujuan utama," jelas Banyu, lalu kembali menyuapkan nasi dan ayam ke mulutnya.

"Luar biasa bijaksana sekali, Bos," sanjung Jay sambil bertepuk tangan.

"Ternyata efek berantem sama pacar bikin kamu filosofis, ya, Nyu," sindir Saras.

"Tapi boleh dong, kita berharap Wangi banyak yang naksir, terus punya pacar, deh," ujar Iwan.

"Nah itu yang akan sulit terjadi, Mas," sahut Wangi.

"Loh, kenapa?" tanya Saras dan Iwan berbarengan.

"Tidak akan ada lelaki yang mau jadi pacar saya. Kalaupun pacaran, begitu keluarganya tahu siapa saya, pasti disuruh putus." Wangi tersenyum masam.

"Alasannya?" tanya Jay.

"Tidak ada orang tua yang mau besanan sama orang gila, Mas. Tidak ada yang mau punya keturunan gila," jawab Wangi getir. Terngiang semua perkataan Yati, ibu Wisnu, saat menyuruhnya mundur.

Jay, Iwan, dan Saras terdiam. Iyam yang sibuk di dapur pun menghentikan aktivitasnya. Semua baru menyadari adanya kebenaran di balik perkataan Wangi, meski memilukan.

Banyu menghentikan kunyahannya, melirik ke arah Wangi. Sosok Wangi kecil - si kurir surat cinta yang menjadi bahan olok-olok desa Gelem - menyeruak dari memori. Memori yang membawanya teringat sosok dekil yang dahulu memicu ibanya, sehingga membiarkan gadis kecil itu setiap hari menyetorkan puluhan kiriman surat cinta demi mendapatkan uang yang tak seberapa. Sosok bocah tengik yang dahulu tanpa rasa bersalah memanggilnya 'Be Dua' tetapi kegigihan anak terlantar itu menghadapi hidup justru membuatnya yakin bahwa dirinya pun bisa bertahan meski dibuang ke desa oleh ayahnya demi keutuhan keluarga baru.

Banyu menarik napas panjang, lalu berkata, "Kalau benar-benar cinta, alasan semacam itu bukan hambatan berarti. Cinta sejati itu tentang penerimaan dan ketulusan. Cinta sejati itu tidak mementingkan diri sendiri, tapi justru kesediaan berkorban tanpa pamrih."

Iwan, Saras, dan Jay, bahkan Iyam melongo. Seumur-umur mengenal Banyu baru kali ini mereka mendengar hal tentang cinta keluar dari mulutnya.

"Waduh, kesambet nih bocah!" Jay komat-kamit, meniup air putih di gelasnya, lalu menyodorkan pada Banyu. "Minum dulu, Bos, biar jinnya kabur."

"Gilingan... sekong³ nih manusia!" ujar Iwan sambil menempelkan punggung tangannya ke dahi Banyu, seolah mengecek suhu tubuh bosnya.

"Apaan, sih?" Banyu menepis tangan Iwan.

Iwan cengengesan.

"Kalau begitu, kamu sering berantem sama Lavi itu artinya karena ada hambatan besar dalam hubungan kalian yang sulit diatasi atau karena dia bukan cinta sejatimu?" tanya Saras tanpa tedeng aling-aling.

Banyu tak mau menjawab, hanya menarik ujung bibirnya. Dalam hati pun bertanya-tanya akankah dia menemukan cinta sejatinya.

Wangi terdiam, mencerna perkataan Banyu. Walau membenarkan perkataan Banyu, tapi ia tak yakin ada cinta sejati untuknya.

-----


Note:

¹Binan: banci

²Akika: aku

³Sekong: sakit


*****


Bersambung....

Meneroka Jiwa (09)

_*MENEROKA JIWA*_


*Bab 09. Petaka Mnemonik*


oleh KaiaKarnika



Wangi baru saja menempelkan pantat di kursi kerjanya, ketika Shinta membuka pintu ruangan dengan kasar. Amarah terpancar jelas dari wajahnya. Lima orang staf HR di ruangan itu langsung menahan napas, menunggu detik-detik menegangkan, menebak siapa yang akan menjadi sasaran caci maki sang atasan.

Shinta menghampiri meja Eko, satu-satunya staf lelaki di Divisi HR. Lelaki berumur 50-an yang baru saja menyelesaikan sarapan itu mendadak pucat pasi. Kenikmatan bubur ayam yang baru disantapnya lenyap seketika.

"Yang lain kerja, tidak usah menguping!" Shinta memperingatkan anak buahnya yang lain.

Tiga staf HR lain, Erni, Vita, dan Indri bernapas lega karena luput sebagai objek amukan Shinta. Mereka segera memakai penyuara jemala atau headphone. Pura-pura mendengarkan musik, padahal menguping omelan Shinta.

Wangi kebingungan, ia tidak punya apa pun untuk menyumbat kupingnya. Ditambah posisi duduk Eko bersebelahan dengannya. Pilihannya cuma menutup lubang telinga dengan jari telunjuk. Akan tetapi, makian Shinta yang sanggup menembus partisi kaca pembatas ruangan Divisi HR dengan Divisi GA, masih dapat terdengar jelas olehnya. Ia pun komat-kamit membaca ayat kursi untuk mengalihkan fokus.

Eko tertunduk. Kendati tahu salah, dimaki di depan rekan kerja yang jauh lebih muda jelas mempermalukan dirinya.

"Heh!" Bentakan kencang di telinganya mengagetkan Wangi.

Wangi menoleh, dilihatnya Shinta yang melotot ke arahnya. Sepertinya Shinta telah selesai memarahi Eko. Segera dilepasnya telunjuk yang menyumbat telinga.

"Ngapain kamu?" tanya Shinta.

Wangi gelagapan. "Ba-baca ayat kursi, Bu."

"Hah? Kamu pikir saya setan?" Shinta murka.

Ekspresi menyeramkan dan rambut hitam lurus Shinta, plus kemeja putih yang dikenakan perempuan itu mengingatkan Wangi pada sosok ratu horor Suzanna. Spontan ia bergidik. "Iya, Bu," sahutnya cepat.

"Apa?" bentak Shinta.

Ketiga perempuan staf HR yang duduk berhadapan dengannya menahan tawa.

Wangi panik, menyadari salah menjawab. "Eh ... maaf, Bu. Maksud sa—"

"Kurang ajar! Awas kamu!" ancam Shinta sebelum Wangi menyelesaikan kalimatnya. Ia mengentakkan kaki sebelum berjalan ke ruang kerjanya yang terletak di pojok. Dinding dan pintu kaca menjadi pembatas antara ruangan kerja mungilnya dengan deretan meja kelima stafnya.

Wangi mengetuk dahinya, mengumpat diri karena selalu salah bicara jika panik.

"Kok bisa orang sudah tidak menjabat masih dikasih tunjangan jabatan, sih, Pak? Bapak pasti tidak memperbarui data, ya!" komentar Erni, perempuan berkulit kuning langsat yang mejanya terletak persis berhadapan dengan meja Wangi, begitu pintu ruangan Shinta tertutup.

Eko tidak menjawab. Ia masih terlihat pucat pasi, tangannya memegangi dada, napasnya tak beraturan.

"Jangan diulang dong, Pak! Kalau bu Shinta udah bad mood pagi hari, bakal seharian ini kita semua kena imbasnya!" Vita yang duduk di samping Erni dan persis berhadapan dengan meja Eko turut berkomentar. Ia kesal karena di antara mereka, selama ini selalu Eko yang paling sering melakukan kesalahan.

"Tetapi menurutku, bu Maya juga serakah, sih. Jelas-jelas bukan hak dia, kok tidak mau mengembalikan," sahut Indri, perempuan bergaya tomboi yang duduk di sebelah Vita.

Wangi tidak berkomentar. Selain tahu diri untuk tidak memberikan pendapat tentang kejadian barusan, nasihat Banyu agar tidak bergosip pun terngiang. Ia memilih pergi menuju pantri yang terletak di luar ruangan, hendak mengambil segelas air putih sambil menenangkan diri.


Sekembalinya ke ruangan terlihat Eko masih tertunduk lemas. Lelaki bertubuh gempal itu tampaknya tidak menyangka mendapat omelan di pagi hari.

"Pak, silakan diminum." Wangi menyodorkan gelas yang dipegangnya. Ia mengamati Eko belum sempat minum setelah sarapan, keburu kena semprot Shinta.

Eko memaksa diri tersenyum. "Terima kasih," sahutnya lalu menenggak habis minuman pemberian Wangi.

"Tampaknya beban kerja Bapak berat, ya. Ada kerjaan Bapak yang bisa saya bantu?" Wangi berupaya menunjukkan simpati.

Eko menjawab cepat, "Iya, saya keteteran, nih."

"Banyak data belum diperbarui, ya, Pak?"

"Iya, betul. Memang banyak sekali data yang belum update, tidak terpegang oleh saya."

Wangi tersenyum. Betul kata Banyu, ada peluang di tiap masalah. "Boleh saya bantu perbarui datanya?"

"Memangnya kamu tidak ada kerjaan?"

Wangi menggeleng.

"Oke," sahut Eko dengan senyum lebar. Ia kemudian mengalihkan beberapa dokumen kepada Wangi dan memberikan penjelasan

Wangi pun tenggelam dalam kesibukan barunya. Tidak terasa satu jam lebih dirinya berkutat di depan komputer, memperbarui data sekaligus mempelajari berbagai fungsi di aplikasi.

"Wangi!" panggil Shinta.

Wangi mendongak, dilihatnya Shinta sedang menutup pintu ruangan kerjanya. "Ya, Bu."

"Ikut saya sekarang!" perintah Shinta. Ia lalu bergegas ke luar ruangan HR tanpa memberi penjelasan kepada Wangi.

Wangi menyambar buku catatan kecilnya, lalu segera mengekor di belakang Shinta yang berjalan cepat menuju lift. Ia tidak berani bertanya tujuan mereka.

Shinta memencet tombol 16 begitu mereka berdua berada di dalam lift. Selain terdapat di lantai 15, PT Utama Medika juga menempati unit di lantai 16, di mana aktivitas bisnis inti perusahaan berlangsung.

"Apa yang kamu kerjakan tadi?" tanya Shinta.

"Membantu pak Eko memperbarui data karyawan, Bu," jawab Wangi takut-takut.

"Siapa yang suruh?"

Wangi menelan ludah, siap didamprat. Belum sempat menjawab, pintu lift telah terbuka dan Shinta bergegas ke luar lift. Perempuan itu berjalan cepat menuju sebuah ruangan rapat.

"Duh, OB ke mana, sih? Ruangan mau dipakai rapat masih berantakan!" omel Shinta begitu melihat ruangan rapat belum dirapikan.

"Biar saya bantu merapikan, Bu," ujar Wangi sambil memunguti beberapa sampah bekas bungkus kudapan yang tergeletak di meja.

"Oh iya, saya lupa kalau kamu bekas cleaning service," ejek Shinta sambil berjalan ke luar ruangan.

Selang beberapa menit, dua orang wanita masuk sambil bersenda gurau.

"Mana tim HR, nih?" tanya perempuan yang rambutnya dicat warna pirang.

"Bu Shinta sudah datang, Bu, tetapi sedang keluar sebentar," sahut Wangi.

Perempuan berambut pirang tadi mengamati Wangi dari ujung rambut hingga kaki. Ia merasa tidak mengenal perempuan kurus dan lusuh ini.

"Kamu OB baru, ya?" tanya perempuan satu lagi, berambut pendek dengan highlight violet.

"Bu-bukan, Bu. Saya staf admin baru di HR. Nama saya Wangi." Wangi memperkenalkan diri.

Kedua perempuan itu saling bertatapan penuh makna.


"Memang sih nama itu doa, tapi realistis juga dong," cibir si rambut pirang pelan.

Si rambut pendek tak mau kalah, berkata lirih, "Yah, namanya juga doa, bisa dikabulkan, bisa tidak. Yang ini kebetulan tidak."

Keduanya tertawa.

Meski kedua perempuan itu berbicara pelan, tapi tetap dapat tertangkap oleh telinga Wangi. Ia mendekatkan kepala ke arah ketiaknya dan mengendus bau tubuhnya. Tadi pagi ia sudah memakai deodoran dan parfum pemberian Banyu. Apakah masih kurang wangi?

Tak lama, Shinta masuk berbarengan dengan seorang lelaki berpenampilan klimis, bergaya pongah, Aghastyan.

"Tante Rani belum datang?" tanya Aghastyan kepada Shinta. Ia lalu duduk berdampingan dengan dua perempuan yang sudah hadir sebelumnya.

Wangi menebak, kedua perempuan itu pastilah anak buah Aghastyan.

Baru saja Shinta membuka mulut hendak menjawab, pintu kembali terbuka. Kali ini Samudra bersama dua orang anggota timnya masuk ke dalam ruangan. Aura karismatik terpancar kuat dari sosok bertubuh tegap itu.

"Pagi," sapa Samudra dengan suara berat. "Belum mulai rapatnya?" Ia menarik kursi, duduk berdampingan dengan bawahannya di sisi yang berseberangan dengan tim Aghastyan.

"Bu Rani masih rapat direksi, seharusnya sudah selesai lima belas menit lalu," jawab Shinta.

Aghastyan memerhatikan Wangi yang baru saja selesai merapikan ruangan.

"Kamu lulusan mana?" tanya Aghastyan.

Wangi memastikan pertanyaan tersebut diajukan kepadanya sebelum menjawab, "Gelem, Pak."

Dahi Aghastyan berkerut. "University of Gelem? Saya baru dengar. Di mana itu?"

"SMA, Pak. Bukan universitas," jawab Wangi.

"Oooh, cuma lulusan SMA," sahut kedua perempuan bawahan Aghastyan berbarengan.

"Memangnya kenapa kalau lulusan SMA?" Samudra angkat bicara.

"Kita kan jarang rekrut lulusan SMA, Mas. Minimal D3. Biasanya yang lulusan SMA hanya untuk OB, pengemudi, sama cleaning service." Si rambut pendek membela diri.

"Yang pernah kuliah saja belum tentu kerjanya becus. Apalagi yang lulusan SMA," timpal Aghastyan membela pendapat bawahannya.

"Saya yakin Tante Rani punya pertimbangan tersendiri saat merekrutnya," sahut Samudra datar. "Lagi pula yang sarjana belum tentu kerjanya lebih baik dibanding lulusan SMA."

"Tapi pengetahuannya jelas lebih luas yang sarjana, dong," debat Aghastyan. Di matanya, Samudra selalu ingin tampil heroik dengan membela kaum lemah.

"Seharusnya begitu, tapi tidak menjamin. Banyak lulusan SMA yang wawasannya juga luas. Belajar kan tidak melulu lewat jalur pendidikan formal." Samudra tak mau kalah berargumentasi.

Wangi perlahan mengangkat kepala, melirik ke arah Samudra. Perkataan lelaki itu barusan terdengar seperti pembelaan untuknya.

"Okay, let's see," sahut Aghastyan dengan senyum sinis. "Kita cek level pengetahuan kalau begitu." Ia beranjak dari kursinya, berjalan menuju meja pimpinan rapat, menempelkan separuh pantatnya ke meja. Ia memandang tajam ke arah Wangi, berusaha mengintimidasi.

Wangi merasa jantungnya berdebar kencang. Ia menggetar-getarkan kakinya, kecemasan melanda.

"Berhubung Utama Medika ini perusahaan keluarga, coba sebutkan perusahaan keluarga besar di Indonesia!" Aghastyan menoleh ke perempuan berambut pirang. "Mulai dari kamu, Tri!"


"Gampang! Bakrie Group." Astri, perempuan berambut pirang menjawab cepat.

"Sampoerna!" Ganti Dinda, si rambut pendek yang duduk di sebelah Astri turut menjawab sebelum diminta.

"Betul," ujar Aghastyan sembari mengacungkan jempol kepada kedua bawahannya, "tapi wajar, kalian kan sarjana, jadi pasti punya pengetahuan tentang itu."

Aghastyan lalu memandang ke arah Shinta. "Kamu lulusan S2, 'kan? Pasti bisa jawab dong."

"Indofood, Djarum, dan Ciputra," jawab Shinta. Ia tak mau kalah, sekaligus menyebutkan tiga nama perusahaan keluarga besar.

Wangi gelisah, yakin sebentar lagi gilirannya. Ia mulai menggigiti ujung jemarinya, sembari berusaha mengingat pembahasan mengenai perusahaan keluarga bersama almarhumah bu Damayanti. Semua perusahaan keluarga yang diketahuinya telah disebut oleh tiga perempuan itu.

"Sekarang giliranmu!" Aghastyan beralih kepada Wangi.

Asu tenan wong iki!¹ maki Wangi dalam hati.

Ah... asu! AHA! Wangi menemukan jawaban.

Wangi menarik napas, lalu menjawab, "Taman Safari." Ia menyebut tempat wisata keluarga terkenal di mana binatang berkeliaran dengan bebas.

Tawa Astri, Dinda, dan Shinta meledak.

"Sejak kapan deh Taman Safari jadi perusahaan keluarga?" pertanyaan Astri lebih berupa cemooh.

"Taman Safari itu bukan perusahaan keluarga, itu milik asing!" Shinta menjelaskan dengan nada menghina.

"Siapa bilang itu milik asing?" tanya Samudra kepada Shinta. Nada suaranya tetap datar, tidak terdengar seperti sebuah kesangsian. "Coba kamu cari di internet, pasti langsung keluar informasi kalau itu memang perusahaan keluarga. Pemiliknya, keluarga Manansang."

Tawa di wajah Shinta, Astri, dan Dinda serta-merta memudar.

Wangi semringah. Samudra memang penolongnya.

Samudra beralih memandang ke arah Aghastyan. "Jangan-jangan kamu juga baru tahu? Wah... masa lulusan kampus ternama di Amerika kalah wawasan sama lulusan SMA Gelem," sindirnya datar, tanpa senyum melecehkan.

Aghastyan mencebik. Pertanyaannya untuk membungkam Wangi menjadi bumerang.

Dua anak buah Samudra tersenyum simpul. Ini bukan kali pertama Samudra mampu meruntuhkan kepongahan sepupunya. Aghastyan yang reaktif memang bukan tandingan Samudra yang tenang.

"Cuma betul satu, bukan berarti tahu lebih banyak," sanggah Aghastyan. Ia memutar otak mencari pertanyaan yang bisa memperlihatkan kelemahan Wangi sekaligus membuat Samudra tak bisa mempertahankan pendapatnya.

Tak lama, Aghastyan menjentikkan jari, lalu mengarahkan telunjuk pada Wangi. "Menurutmu, apa yang menjadi tantangan besar perusahaan keluarga?"

Wangi terperanjat, tak menyangka masih diberikan pertanyaan.

Astri, Dinda, dan Shinta tersenyum sinis. Kali ini pasti Wangi tak bisa menjawab.

Samudra mendengkus, sepupunya ini benar-benar kurang kerjaan. "Shinta, kalau tante Rani masih lama, aku kembali ke ruangan. Kabari kalau dia sudah selesai radir." Ia berdiri, malas menyaksikan sepupunya pamer kekuasaan.

Kedua anak buah Samudra ikut berdiri. Bersamaan dengan itu, pintu terbuka. Rani masuk dengan senyum lebar.

Wangi mengembuskan napas lega, berharap penderitaannya berakhir dengan kedatangan Rani.

"Wah, sudah komplet. Maaf terpaksa menunggu, ya, rapat direksinya molor dari waktu yang seharusnya," ucap Rani.

"Ah... tidak apa-apa, Tan. Kami sedang lomba cerdas cermat buat isi waktu," sahut Aghastyan. Ia kembali ke kursinya.


"Oh ya? Tumben isi waktunya bermanfaat," sahut Rani tertawa sembari mengambil posisi duduk sebagai pemimpin rapat.

"Iya, dong, masak gosip melulu. Kami lagi menunggu Wangi menjawab pertanyaan nih, Tan." Aghastyan masih belum rela kehilangan momen mempermalukan Wangi sekaligus Samudra.

"Tan, aku ada rapat dengan calon klien potensial sejam lagi. Mungkin kita bisa langsung bahas isi rapat." Samudra berupaya mengembalikan agenda semula.

Rani yang sudah paham adanya perang dingin antara kedua keponakannya itu dengan cepat membaca situasi. "Kita tidak akan lama, kok, Sam. Paling setengah jam saja," ujar Rani. Ia lalu memandang ke arah Aghastyan. "Pertanyaan apa yang kamu ajukan ke Wangi?"

"Pertanyaan sederhana, ingin tahu pendapatnya tentang tantangan terbesar perusahaan keluarga," jawab Aghastyan.

Rani tersenyum. Ia lalu menoleh ke arah Wangi yang sedang menggigit ujung jemarinya.

Wangi memandangi Rani, memohon agar diselamatkan dari pertanyaan Aghastyan. Namun, perempuan itu hanya mengulas senyum dan malah menganggukkan kepala.

"Saya ingin mendengar pendapatmu, Ngi," ujar Rani dengan senyum yang terus menghiasi bibirnya.

Samudra menggeleng-gelengkan kepala, tak menyangka tantenya memakan umpan Aghastyan. Dari sudut mata terlihat sepupunya itu tersenyum penuh kemenangan.

Wangi berupaya mengingat diskusi dengan almarhumah bu Damayanti.

"Tidak belajar tentang ini waktu di SMA Gelem, ya?" sindir Aghastyan begitu melihat Wangi kebingungan.

Wangi mengumpulkan segenap keberaniannya, menarik napas, lalu mengeluarkan suara, "A-anu... anu..., Pak."

"Heh? Kenapa anu saya?" serang Aghastyan begitu melihat peluang mempermalukan.

Wangi terbata, "Bu-bukan, Pak. Bukan anu Bapak."

Terdengar suara cekikikan dari beberapa yang hadir.

"Wah parah, nih, Tan! Pelecehan seksual!" Aghastyan kian memojokkan Wangi.

Wangi panik. "Ma-maaf, Pak As."

"Apa? Pak As? Memangnya siapa nama saya?" Aghastyan menggebrak meja.

Gebrakan kencang yang mengagetkan semua yang hadir di ruangan, terutama Wangi.

Tiga huruf sudah nyaris terlontar dari mulut Wangi, untung sempat ditahannya. "Ma-maaf, Pak, maksud saya, Pak Aghas." Ia perlahan mengembuskan napas lega, lolos dari keceplosan menyebut si "asu" dengan inisialnya.

"Maaf maaf melulu!" gerutu Aghastyan. "Oke, jadi apa jawabannya? Mikir lama keluarnya cuma anu!"

Wangi menarik napas, lalu menjawab, "Tantangan terbesar adalah pada pengelolaan perusahaan, terutama bila sudah berganti generasi yang memimpin."

"Maksudnya gimana, ya?" pancing Aghastyan. "Saya tidak paham. Jelaskan lebih rinci!"

"Seriously, Tan? Mau diteruskan pembahasan ini?" protes Samudra.

"Nanggung," sahut Aghastyan ketus.

Rani tersenyum, sudah menduga Wangi pasti bisa menjawab. Ia mengangguk-anggukkan kepala memberi dukungan. "Jawaban yang bagus, Wangi. Silakan diperjelas."

Wangi merasa kepercayaan dirinya naik begitu melihat respons Rani. Berbagai referensi yang pernah dibaca saat diskusi dengan Damayanti menyeruak dari memorinya. "Kalau dari buku yang pernah saya baca, di dalam perusahaan keluarga itu kecenderungannya adalah generasi pertama membangun bisnis, generasi kedua mengembangkan bisnis, dan generasi ketiga menghancurkan bisnis. Jadi ba—"


Aghastyan lagi-lagi menggebrak meja, menyela penjelasan Wangi, "Jadi maksudmu, aku yang akan menghancurkan bisnis ini?" tanyanya dengan nada tinggi.

Wangi terkesiap, sadar sudah salah bicara. "Bu-bukan begitu, Pak As."

"Apa? As lagi? Sebenarnya kamu tahu siapa nama saya tidak, sih?" Aghastyan memandang tajam ke arah Wangi seolah ingin melumatnya.

Wangi memaki dirinya yang lagi-lagi tidak terkendali.

Samudra menyela, "Lo, tadi kan kamu yang minta dijelaskan. Kok malah marah?" sindirnya.

Aghastyan mendelik pada sepupunya. "Memangnya kamu tidak tersinggung? Kita sama-sama generasi ketiga di perusahaan ini. Pernyataan anak ini barusan menuduh kitalah yang akan membuat bisnis ini hancur!"

"Dia tidak menuduh, hanya mengutip dari referensi yang pernah dibacanya, dan setahuku memang begitu. Apabila kita tidak hati-hati, maka generasi kitalah yang akan membuat bisnis yang sudah dibangun susah payah oleh eyang ini bangkrut. Memangnya kamu belum pernah membaca buku tentang bisnis keluarga?" balas Samudra santai, tak terpancing oleh ulah sepupunya. Ia memandang ke arah Wangi sejenak, tak menduga perempuan yang berpenampilan lusuh dan lulusan SMA ini punya wawasan cukup luas.

"Tadi katanya cerdas cermat, kenapa sekarang jadi adu debat, ya? Kalau begitu, kita masuk ke agenda rapat saja, sebelum saya harus jadi wasit tinju." Rani menengahi pertikaian antara dua keponakannya dengan tenang. Ia lalu mulai membahas tujuan pertemuan.

Samudra menyetujui keputusan tantenya, sedangkan Aghastyan cemberut merasa dirinya belum bisa menyamai skor melawan sepupunya.

Wangi mengembuskan napas lega, terlepas dari perisakan. Sambil membuat notula rapat, ia mencuri pandang ke arah Samudra dan Aghastyan. Kedua lelaki itu memiliki postur tubuh dan penampilan yang serupa, wajah mereka pun memiliki beberapa kemiripan. Bedanya jelas pada karakter. Aghastyan mudah tersulut emosi, sedangkan Samudra mampu mengendalikan emosi.

Sesuai perkataan Rani, rapat selesai dalam waktu setengah jam.

"Kamu sekarang sedang mengerjakan apa, Ngi?" tanya Rani begitu para peserta rapat telah meninggalkan ruangan.

"Saya sedang memintanya memperbarui data karyawan, supaya tidak terjadi kesalahan seperti kasus bu Maya," jawab Shinta walau bukan dirinya yang ditanya.

"Bagus kalau begitu," puji Rani seraya beranjak dari kursinya.

Wangi terdiam. Seingatnya, tadi di lift Shinta nyaris marah begitu tahu ia mengerjakan hal tersebut tanpa sepengetahuannya, tapi sekarang atasannya itu justru melaporkan berbeda. Ia ingat perkataan Banyu semalam, bahwa ada kemungkinan Shinta mengeklaim pekerjaannya yang akan menuai pujian dari Rani.

"Wangi...,"- Rani menghampiri Wangi dan merangkulnya, mengajak berjalan ke luar bersama-  "kamu tadi bisa menjawab pertanyaan Aghas dengan baik. Kamu harus lebih yakin pada dirimu sendiri, bahwa kamu punya pengetahuan dan kemampuan yang baik. Kalau kamu ingin dihargai oleh orang lain, maka mulailah dengan menghargai diri sendiri." 

"Baik, Bu." Wangi kikuk. Rani yang direktur dan berpenampilan modis, tidak risi merangkul dirinya yang lusuh.

Rani lalu berkata pada Shinta yang berjalan di sisinya, "Nanti biar Wangi yang bertanggung jawab terhadap perbaikan penilaian kinerja di tempat Sam dan Aghas yang barusan kita bicarakan."

"Tapi, Bu, dia tidak tahu apa-apa," protes Shinta, sangsi akan kemampuan Wangi.

"Semua selalu dimulai dengan ketidaktahuan, bukan? Lagi pula, selumbari² kamu bilang bahwa beban kerjamu berlebihan," sahut Rani.

Shinta terdiam, tak bisa berkelit.

Wangi bisa membaca ekspresi kesal Shinta terhadap keputusan Rani. Ia tak bersuara, berjalan bersama kedua atasannya itu hingga kembali ke meja kerjanya.

Sesampainya di meja kerja, Wangi segera mengaktifkan layar komputer, hendak menyalin notula rapat barusan. Barulah ia tersadar buku catatan kecilnya tertinggal di ruang rapat. Ia segera melesat kembali ke lantai 16.

Sesampainya di ruangan rapat, ia terkulai lemas begitu melihat Aghastyan bersama timnya telah berada di dalam, hendak memulai pertemuan. Lelaki itu duduk di meja sambil membuka buku kecil.

Wangi memberanikan diri mendekat, dalam hati merapal doa.

"Ma-maaf, Pak, mau ambil buku saya," ujar Wangi sambil menunjuk bukunya yang dipegang Aghastyan.

Aghastyan memandangi Wangi dengan mata melotot. "Jadi ini sebabnya kamu tadi panggil saya 'Pak As'?" Ia menunjukkan tiga huruf dalam catatan rapat yang ditulis Wangi.

Wangi hanya bisa menelan ludah, yakin Aghastyan tidak akan tinggal diam. Tak pernah terpikir, mnemonik yang dibuatnya berujung petaka.

-----


Note:

¹ Asu tenan wong iki: Benar-benar 🐶 orang ini (Bahasa Jawa)

² Selumbari: Kemarin dulu

*) Mnemonik: teknik mengingat.


*****


Bersambung....

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...