Thursday, January 25, 2024

Meneroka Jiwa (10)

 *_MENEROKA JIWA_*

*Bab 10. Petuah Cinta*


oleh KaiaKarnika



Wangi yang baru saja selesai mengepel rumah Banyu tertegun menyaksikan Mbok Yam yang dengan telaten membersihkan mata Hitler dengan tisu basah di beranda.

"Kenapa Hitler, Mbok? Sakit mata?"

"Tidak. Matanya Hitler ini memang harus dibersihkan setiap hari. Kalau tidak, kotoran matanya menumpuk," jawab Iyam.

"Wah, beda dengan kucing kampung, ya, Mbok." Wangi turut duduk mendeprok di lantai bersama Mbok Yam.

"Beda banget. Ini perawatannya nyaingi bayi manusia," sahut Iyam terkekeh. "Coba saja lihat isi kotak itu!" Ia menggerakkan dagu ke arah sebuah kotak di sebelahnya.

Wangi melongok ke kotak yang dimaksud Iyam. Ada beberapa jenis sisir khusus untuk kucing berbulu panjang, sikat dan pasta gigi, tisu basah, bedak, parfum, sampo beserta sabun. Semuanya khusus untuk kucing. "Wah, lengkap banget! Mas Banyu sangat suka kucing, ya."

"Tidak cocok sama penampilannya, ya, Ngi? Saras suka meledek kalau Banyu itu badannya security, tapi hati hello kitty."

Wangi tertawa membenarkan perkataan Iyam.

"Banyu tuh sebenarnya gampang tersentuh, tapi suka gengsi menunjukkannya. Nonton film India saja dia nangis, kok."

Tawa Wangi meledak, siapa sangka seorang Banyu, sang mantan komandan tawuran, bisa menangis saat menonton film India.

"Film India yang mana, Mbok?" tanya Wangi geli.

"Apa ya judulnya? Lupa. Pemainnya Shahrukh Khan dan Aishwarya Rai. Bintang favoritku."

"Oh, jadi Mbok dan Mas Banyu sama-sama suka India?"

"Sebenarnya Banyu tidak suka. Pas aku lagi nonton, dia baru pulang, ikut duduk di sofa dan nonton. Awalnya komentar pedas terus. Bilang noraklah, tidak masuk akal, dan sebagainya. Eh, kok, lama-lama diam. Aku pikir tidur, pas kutengok, dia sedang mengusap mata. Padahal, aku saja tidak menangis, meski ceritanya memang amat sedih." Iyam kembali tertawa mengingat kejadian itu.

"Mbok tanya kenapa dia menangis?"

"Dia tidak mau mengaku, jawabnya kelilipan."

Wangi tergelak membayangkan Banyu tertangkap basah. "Setelah itu, Mas Banyu masih mau nonton film India?"

"Tidak mau. Setiap aku godain begini, 'Mas, acha acha nehi nehi, yuk'," -Iyam menggerak-gerakkan kepala seperti gaya orang India saat bicara-, "dia pasti langsung ngomel."

Keduanya terpingkal-pingkal.

Suara berdeham seorang lelaki serta-merta menghentikan tawa keduanya.

Wangi menoleh, terlihat Banyu yang bersimbah peluh usai olahraga pagi, berdiri tak jauh dari mereka.

"Eh, habis ngapain, Mas?" tanya Wangi basa-basi.

"Habis karaoke," sahut Banyu enteng.

Wangi cengar-cengir. Dalam hati memaki dirinya yang selalu kikuk berbasa-basi dan  mengajukan pertanyaan bodoh.

Banyu menghampiri ART-nya, meraih Hitler yang baru saja selesai dibedaki dan diberi parfum oleh Iyam. "Wah, ganteng banget, Bos!" pujinya sambil mengangkat Hitler sejajar dengan wajahnya.

Wangi memperhatikan tingkah Banyu. Isi kepalanya spontan menyusun rekaan adegan Banyu berlinang air mata kala menyaksikan Shahrukh Khan dan Aishwarya Rai menangis sambil menari di bawah siraman hujan buatan. Tak sadar, ia terkikik geli.

Banyu mendelik, merasa Wangi menertawakannya. "Kenapa? Ada yang lucu?"

Wangi tersentak. "Nehi!"

"Hah?"


"Hi-hitler lucu, Mas," dalih Wangi cepat.

Iyam tersenyum geli, yakin bahwa Wangi pasti terbayang Banyu menangis saat nonton film India.

"Kenapa diberi nama Hitler, Mas?" tanya Wangi mengalihkan fokus Banyu. Ia menebak kesan cemberut di muka kucing berwajah datar dan berhidung pesek itu adalah alasan pemberian namanya.

"Tadinya mau dikasih nama Nicholas Saputra, tapi kepanjangan," sahut Banyu sambil berjalan masuk ke dalam rumah dengan Hitler di pelukannya.

Wangi terkekeh membayangkan seekor kucing memiliki nama sama dengan seorang aktor tampan. Ia lalu membantu Iyam membereskan perlengkapan Hitler.

"Pagi," sapa suara manja milik Iwan. Jay dan Saras terlihat berada di balik tubuh besar pria kekar nan gemulai itu.

Iyam dan Wangi serempak membalas sapaan. Kelima orang itu lalu berbarengan memasuki rumah. Jay, Saras, dan Iwan segera mengambil posisi duduk masing-masing di meja makan, sedangkan Wangi membantu Iyam menyiapkan sarapan.

"Silakan," ucap Wangi sembari menyajikan teh hangat di meja.

"Terima kasih, Wangi," ucap Iwan kenes.

Baru saja Iwan menyelesaikan kalimatnya, pintu rumah diketuk. Seorang perempuan melongok ke dalam rumah.

"Hai, Lavi! Masuk!" ajak Saras begitu melihat siapa yang mengetuk pintu.

"Pagi, semua!" sapa perempuan bernama Lavi itu. Ia berjalan menuju meja makan dan menarik kursi di tempat yang biasanya diduduki Banyu. Tubuhnya langsing padat berisi dengan lekuk yang sempurna. Wajah cantik memperlengkap pesonanya.

"Bagaimana kabarnya, Vi? Sudah lama tidak kelihatan," sapa Jay.

"Kabar baik. Iya, nih, kerjaan kantor lagi padat banget, jadi jarang bisa main ke sini, deh," sahut Lavi.

"Kenalin, Vi, ini Wangi, tetangga neneknya Banyu," ujar Saras saat Wangi sedang meletakkan sepiring pisang goreng di meja makan.

Lavi mengulas senyum sambil mengulurkan tangan. "Lavi."

"Wangi." Wangi merasakan telapak tangan Lavi sangat halus. Tubuh perempuan ini pun teramat harum.

"Namamu indah sekali," sanjung Lavi.

"Terima kasih, Mbak," ucap Wangi disertai senyum lebar. Tidak banyak orang yang memuji namanya, apalagi orang secantik Lavi.

"Mau ke mana pagi-pagi sudah rapi?" tanya Iwan penasaran. Biasanya di akhir pekan Lavi berolahraga di Benkuwat, tapi pagi ini perempuan cantik itu mengenakan fit and flare dress berwarna cerah.

"Mau ada acara lamaran sepupuku di Bandung."

"Pergi sama Banyu?" tanya Saras.

Lavi mengangguk.

"Mau teh, Non?" tanya Iyam.

"Tidak usah, terima kasih, Mbok," tolak Lavi. "Banyu masih tidur?"

"Sudah bangun, bahkan tadi su—"

"Itu orangnya," sela Jay ketika melihat Banyu turun dari tangga sambil menggendong Hitler.

Lavi menoleh ke tangga yang terletak di belakangnya. Senyum yang tadi menghiasi wajahnya langsung pudar begitu melihat Banyu yang hanya mengenakan kaus oblong dan celana jin. "Kok, kamu belum siap?" Ia bangkit dari duduknya menghampiri Banyu.

"Kan aku sudah bilang tidak mau ikut," sahut Banyu enteng sembari menurunkan Hitler ke lantai.

Terdengar tarikan napas berbarengan dari hidung Jay, Iwan, Saras, dan Iyam. Keempat orang itu seolah bersiap akan adanya adegan menegangkan.


"Siapa, Mbak?" tanya Wangi berbisik sambil perlahan menarik kursi di samping Saras.

"Pacarnya Banyu," jawab Saras lirih.

Wangi akhirnya bisa menemukan jawaban mengapa dahulu Banyu tidak merespons ungkapan cinta dari para gadis di Gelem. Ternyata, selera lelaki itu sangat tinggi. Cantik, seksi, dan ramah.

"Kenapa tidak mau, sih?" tanya Lavi dengan nada kesal.

"Aku sudah bilang alasannya berkali-kali," jawab Banyu ketus.

"Kamu tuh egoistis banget!" umpat Lavi.

"Yak... keributan dimulai!" sindir Jay meledek.

"Kalian berdua tuh mau pacaran apa bikin padepokan silat, sih?" Iwan ikut mengomentari. "Tarung melulu setiap ketemu!"

Banyu menarik tangan Lavi, mengajaknya ke arah teras, menjauh dari lima orang di ruang makan.

Semua yang di ruang makan mengarahkan pandangan mereka ke halaman depan melalui jendela lebar di dapur.

"Kalau keduanya keras kepala seperti itu, sudah pasti berantem terus. Tidak ada yang mau mengalah," komentar Saras.

"Lavi pernah curhat kalau Banyu keras kepala dan kurang romantis," tambah Iwan.

"Mungkin dia mengharapkan Banyu kasih bunga sama kata-kata cinta gitu, ya?" terka Jay.

"Waduh, kalau Banyu sampai begitu justru tanda-tanda dia perlu berobat, dong," seloroh Saras.

Di halaman depan rumah, terlihat Lavi melontarkan rentetan perkataan dengan bahasa tubuh dan air muka penuh kekesalan, sedangkan Banyu tak banyak membalas, hanya melipat tangan di depan dada.

Tak lama kemudian, Lavi mengentakkan kaki, membalikkan tubuh, dan berlari menjauh dari rumah. Banyu memilih kembali ke teras.

"Nah, itu mungkin salah satu kelakuan Banyu yang dianggap Lavi tidak romantis. Bukannya mengejar dan merayu pacar ngambek, dia malah masuk rumah," komentar Saras melihat reaksi Banyu. "Perempuan kan ingin dibujuk kalau kesal, ya, Ngi?" Ia meminta dukungan dari Wangi.

Wangi hanya tersenyum. Seumur hidup, tak ada seorang pun yang bersusah payah membujuknya agar tidak mengambek. Bahkan untuk mengambek pun, ia tidak punya kesempatan.

"Banyu gengsinya gede. Kalau tidak merasa salah, tidak bakal mau repot-repot merayu," sahut Jay.

Banyu mendekati meja makan dengan ekspresi datar, seolah tidak terjadi pertengkaran dengan kekasihnya.

"Minum tehnya mumpung hangat, Nyu," ucap Iyam berusaha menghibur majikannya.

"Mbak Lavi cantik sekali, Mas," puji Wangi.

Banyu melirik tajam ke arah Wangi, tidak paham maksud pemberian pujian tersebut. Apakah murni sanjungan atau justru sindiran. "Lalu?" tanyanya ketus.

"Cantik itu ada dua jenis, Ngi." Jay membelokkan pembicaraan begitu melihat air muka Banyu yang terusik dengan pujian Wangi.

"Apa saja, Mas?"

"Dari sananya atau dari dananya," jawab Jay terkekeh.

"Maksudnya?" Wangi tidak paham.

"Ada yang cantik dari lahir, ada yang karena riasan dan oplasan," jelas Iwan.

Wangi tertawa. "Kalau gitu saya kebagian apesnya. Dari sananya tidak, dari dananya apalagi."

"Eh... tidak boleh bilang gitu, Ngi!" sanggah Saras. "Inner beauty lebih berperan, loh! Banyak yang cantik, tapi tidak enak dilihat lama-lama, apalagi didekati. Ada yang tidak terlalu cantik, tapi enak banget dipandang dan asyik diajak ngobrol."


"Makanan kali ah... enak!" kelakar Jay.

"Ih, memang benar, kok! Cantik tidaknya seseorang, bukan semata karena parasnya, tapi lebih ditentukan oleh perangainya." Saras bersikukuh.

"Setunjang!" sahut Iwan. "Setuju," imbuhnya begitu melihat dahi yang lain berkerut.

"Pokoknya jangan minder, Ngi." Saras memberi motivasi. Ia menyadari sejak pertama bertemu, perempuan kurus ini memiliki perasaan rendah diri yang besar.

Iwan memerhatikan wajah Wangi. "Kamu kalau dipoles dikit saja, juga tidak kalah, kok."

"Beli make up kan juga perlu uang, Mas," sahut Wangi.

"Kan kamu gaji kantoran. Bisalah beli make up lokal yang kondang nan mursidah itu." Iwan memperkirakan minimal gaji Wangi adalah sedikit di atas UMR.

"Apa, sih, mursidah?" Jay selalu kebingungan setiap Iwan menggunakan bahasa binan¹.

"Murah, Bajay!" sahut Iwan.

"Saya harus menyisihkan gaji untuk bayar utang, Mas. Jadi harus hidup sangat hemat," ungkap Wangi jujur

"Utang apa? Banyak?" tanya Saras penasaran.

"Sekitar seratus delapan puluh juta yang harus saya lunasi dalam sembilan bulan ke depan. Itu biaya merawat saya sejak bayi." Wangi kemudian menceritakan tentang latar belakang masalahnya.

Banyu tampak asik menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Iyam, kendati diam-diam menyimak cerita Wangi dengan saksama.

"Astaga! Apa mereka tidak mau mengikhlaskan saja?" komentar Saras setelah Wangi selesai bicara.

"Itu sudah kewajiban saya, Mbak. Tanpa kesediaan mereka mengasuh, mungkin saya sudah tidak ada."

Iwan dan Jay terdiam, tak sanggup mengeluarkan kata untuk mengungkapkan rasa belas kasihan mereka.

Suasana hening sejenak. Semua iba terhadap kondisi Wangi.

"Ayam prestonya sudah saya hangatkan, silakan sarapan!" Iyam memecah keheningan dengan menyajikan sepiring ayam presto pemberian tetangga.

"Astagaaa!" jerit Iwan.

Semua kaget, serempak menoleh ke arah Iwan.

"Kenapa, Wan?" tanya Saras.

Iwan menutup muka dengan kedua telapak tangannya. "Itu... saudara akika²."

"Apa sih?" Jay makin bingung.

Banyu mengambil potongan ayam presto, lalu mematahkan tulangnya dengan mudah.

Tawa Jay dan Saras meledak begitu menyadari maksud Banyu dan Iwan.

"Tulang lunak!" Jay terpingkal-pingkal. "Dasar bencong!"

Wangi melongo, tidak paham apa hubungan antara Iwan dan tulang lunak.

Saras berusaha menerangkan kepada Wangi di tengah tawanya. "Kamu tahu 'kan kalau Iwan itu sangat kemayu," - Ia mengikuti gaya Iwan, melambaikan tangannya dengan gemulai - "Nah, itu sering diistilahkan sebagai cowok tulang lunak."

Mulut Wangi membentuk huruf O tanpa suara.

"Ayo, segera sarapan mumpung hangat!" Iyam kembali bertitah.

Kelima orang di meja makan bergiliran mengambil nasi dan ayam.

"Ih, Mas Iwan kanibal! Saudara sendiri dimakan," celetuk Wangi.

Tawa kembali menggema di ruangan, kecuali Banyu tentunya. Lelaki itu hanya sedikit menarik ujung bibirnya.

"Waaah, sudah mulai bisa membanyol!" Iwan bertepuk tangan. "Lumayan... lumayan!"


"Bagus! Seminggu di Jakarta sudah menunjukkan perkembangan." Jay kembali mengacungkan jempolnya.

"Tiap hari ketemu guru sinting, lama-lama pasti ketularan," ucap Saras.

"Artinya didikan kita tidak sia-sia, ya, 'kan, Bajay?" Iwan mengajak Jay tos.

Jay menepis ajakan Iwan. "Kita? Situ doang yang sinting! Jangan ajak-ajak!"

Iwan mengerucutkan mulut. Tangannya yang sudah terlanjur terangkat, menoyor kepala Jay.

Wangi terkikik melihat tingkah Iwan. Badan kekar, tapi kemayu.

"Bagaimana kerjaan, Ngi? Tips dari Banyu bisa bermanfaat, tidak?" tanya Saras.

Wangi tersenyum lebar. "Bermanfaat banget, Mbak. Ternyata memang banyak data yang tidak diperbarui."

"Kantormu itu perusahaan nasional atau multinasional?" tanya Iwan.

"Nasional, Mas. Milik keluarga Utama."

"Berarti bos-bosnya anggota keluarga semua?" Iwan kembali bertanya.

Wangi mengangguk.

"Biasanya pada resek, terutama yang bos muda," sahut Saras.

"Ya, ada satu yang galak. Dia menjabat sebagai general manager. Cucu dari pendiri perusahaan. Mana saya ketahuan menyingkat namanya menjadi A-S-U," ungkap Wangi.

"Hah? Asu yang artinya anjing?" Jay mengonfirmasi.

Wangi mengangguk yang langsung disambut gelak tawa Jay, Iwan, dan Saras.

Hanya Banyu yang tidak tertawa, melainkan menatap tajam ke arah Wangi. Ia pun korban dari kebiasaan usil perempuan itu.

"Kok bisa ketahuan?" tanya Iwan.

Wangi menceritakan dengan singkat kronologis kejadiannya.

"Ada-ada saja kamu, Ngi. Ada asu, ada be dua." Saras terkekeh.

"Lalu apa yang si asu itu lakukan padamu?" tanya Iwan penasaran.

"Dia cuma mengancam akan membalas perbuatan saya, tapi sejauh ini sih belum melakukan apa pun. Tidak tahu juga ke depannya karena saya ditugaskan membantu perbaikan penilaian kinerja di divisinya." Wangi menghela napas, yakin betul Aghastyan pasti akan menyulitkan dirinya.

"Lain kali pikir dua kali sebelum melakukan sesuatu." Banyu bersuara.

"Ya, Mas. Itu sebenarnya untuk mempermudah saya mengingat, tidak menyangka dia akan membaca catatan saya."

"Pernah tidak dulu-dulu ada kejadian serupa, Ngi? Menyingkat nama orang yang berbuntut apes." Saras penasaran. "Selain be Dua tentunya."

Wangi cengengesan. "Pernah, Mbak. Waktu SMA, ada guru BK namanya Parti Setyo Kuswinarti."

"PSK!" Jay dan Iwan menebak bersamaan sambil tertawa.

"Astaga!" Saras tidak bisa membayangkan kesialan yang menimpa Wangi, menyingkat nama guru BK menjadi PSK.

"Mas tahu orangnya, 'kan?" tanya Wangi kepada Banyu. "Yang galak banget itu."

"Hmmm," sahut Banyu sambil mengangguk. Ia tentu ingat guru yang hobi memanggilnya ke ruang BK seminggu sekali untuk memberi nasihat agar dia tobat.

"Mas Be kan murid kesayangan guru BK," goda Iwan yang tahu sejarah Banyu si anak berandal dan sudah pasti langganan ke ruang BK.

"Ba be ba be! Babemu!" gerutu Banyu.

Iwan tergelak.

"Kejadiannya seperti apa, Ngi?" Saras penasaran.

"Jadi pas ulangan matematika, gurunya tiba-tiba mules, izin meninggalkan kelas sebentar. Kesempatan itu dimanfaatkan teman-teman untuk saling menyontek. Saya ditugasi menjaga pintu memberitahu apabila gurunya kembali. Dari jauh, terlihat guru BK berjalan ke arah kelas kami, tapi semula saya pikir hendak masuk ke kelas sebelah yang gurunya absen, sehingga saya tenang saja. Ternyata dia melewati kelas itu dan menuju kelas kami. Saya panik, segera memberi tahu teman-teman. Saya teriak 'Ada PSK! Ada PSK!' tapi teman-teman tidak juga berhenti menyontek. Saya teriak lebih kencang lagi 'Ada guru BK si PSK!' tanpa sadar kalau ternyata bu Parti sudah berdiri di sebelah saya," ungkap Wangi.


Tawa Jay, Iwan, dan Saras meledak. Banyu hanya menggeleng-gelengkan kepala, meski dalam hati geli membayangkan ekspresi guru killer itu.

"Kamu dihukum apa?" tanya Saras, yakin pasti Wangi mendapat ganjaran dari guru BK yang murka dipanggil PSK.

"Hormat ke tiang bendera di tengah lapangan sampai bubaran sekolah." Wangi terkekeh mengingat kejadian itu.

"Dan itu tidak membuatmu kapok menyingkat nama orang sampai sekarang," celetuk Banyu sambil menggigiti tulang lunak yang gurih.

Wangi cengar-cengir.

"Siap-siap disuruh hormat ke kloset sama si asu nanti!" ledek Jay.

"Si Wangi ini bener-bener perlu kita poles luar dalam, deh, Sar!" usul Iwan kepada Saras.

"Setunjaaang!" sahut Saras mengikuti bahasa Iwan. "Harus di-grooming nih si Wangi. Jangan kalah sama Hitler."

Wangi mengerutkan dahi. "Saya mau diapakan?" tanyanya bingung.

"Kita dandanin biar kamu kinclong, kita tatar kamu biar tidak dikerjain sama orang kantor!" sahut Iwan serius. "Cukup kita saja yang boleh ngerjain kamu."

"Yeee! Sama saja dong, Bakwan!" protes Jay.

Iwan terkekeh. "Pokoknya nanti Wangi bakal cakrabirawa paripurna!" ujarnya dengan gaya kemayu.

"Apaan, sih, tuh?" Jay kembali kesal dengan bahasa Iwan.

"Cakep sempurna, Bajay!" sahut Iwan.

"Susah ya ngobrol sama makhluk presto, bahasanya bikin pusing," ledek Jay tertawa.

"Pokoknya nanti cowok-cowok pasti bakal naksir sama Wangi!" tambah Iwan bersemangat.

"Dandan itu buat diri sendiri, bukan supaya bikin lelaki naksir!" komentar Banyu.

"Maksudnya, Mas?" Wangi tidak paham pernyataan Banyu. "Bukankah wanita berdandan agar tampil menarik?"

"Betul, untuk tampil menarik, tapi buat siapa? Kalau kamu dandan agar mendapat pujian dari orang, kamu jadi tergantung akan sanjungan, kecewa ketika tidak mendapatkannya. Seharusnya berdandan karena ingin menghargai diri sendiri, merawat diri karena mensyukuri pemberian Tuhan. Ada lelaki yang memuji atau naksir, itu hanya bonus, bukan tujuan utama," jelas Banyu, lalu kembali menyuapkan nasi dan ayam ke mulutnya.

"Luar biasa bijaksana sekali, Bos," sanjung Jay sambil bertepuk tangan.

"Ternyata efek berantem sama pacar bikin kamu filosofis, ya, Nyu," sindir Saras.

"Tapi boleh dong, kita berharap Wangi banyak yang naksir, terus punya pacar, deh," ujar Iwan.

"Nah itu yang akan sulit terjadi, Mas," sahut Wangi.

"Loh, kenapa?" tanya Saras dan Iwan berbarengan.

"Tidak akan ada lelaki yang mau jadi pacar saya. Kalaupun pacaran, begitu keluarganya tahu siapa saya, pasti disuruh putus." Wangi tersenyum masam.

"Alasannya?" tanya Jay.

"Tidak ada orang tua yang mau besanan sama orang gila, Mas. Tidak ada yang mau punya keturunan gila," jawab Wangi getir. Terngiang semua perkataan Yati, ibu Wisnu, saat menyuruhnya mundur.

Jay, Iwan, dan Saras terdiam. Iyam yang sibuk di dapur pun menghentikan aktivitasnya. Semua baru menyadari adanya kebenaran di balik perkataan Wangi, meski memilukan.

Banyu menghentikan kunyahannya, melirik ke arah Wangi. Sosok Wangi kecil - si kurir surat cinta yang menjadi bahan olok-olok desa Gelem - menyeruak dari memori. Memori yang membawanya teringat sosok dekil yang dahulu memicu ibanya, sehingga membiarkan gadis kecil itu setiap hari menyetorkan puluhan kiriman surat cinta demi mendapatkan uang yang tak seberapa. Sosok bocah tengik yang dahulu tanpa rasa bersalah memanggilnya 'Be Dua' tetapi kegigihan anak terlantar itu menghadapi hidup justru membuatnya yakin bahwa dirinya pun bisa bertahan meski dibuang ke desa oleh ayahnya demi keutuhan keluarga baru.

Banyu menarik napas panjang, lalu berkata, "Kalau benar-benar cinta, alasan semacam itu bukan hambatan berarti. Cinta sejati itu tentang penerimaan dan ketulusan. Cinta sejati itu tidak mementingkan diri sendiri, tapi justru kesediaan berkorban tanpa pamrih."

Iwan, Saras, dan Jay, bahkan Iyam melongo. Seumur-umur mengenal Banyu baru kali ini mereka mendengar hal tentang cinta keluar dari mulutnya.

"Waduh, kesambet nih bocah!" Jay komat-kamit, meniup air putih di gelasnya, lalu menyodorkan pada Banyu. "Minum dulu, Bos, biar jinnya kabur."

"Gilingan... sekong³ nih manusia!" ujar Iwan sambil menempelkan punggung tangannya ke dahi Banyu, seolah mengecek suhu tubuh bosnya.

"Apaan, sih?" Banyu menepis tangan Iwan.

Iwan cengengesan.

"Kalau begitu, kamu sering berantem sama Lavi itu artinya karena ada hambatan besar dalam hubungan kalian yang sulit diatasi atau karena dia bukan cinta sejatimu?" tanya Saras tanpa tedeng aling-aling.

Banyu tak mau menjawab, hanya menarik ujung bibirnya. Dalam hati pun bertanya-tanya akankah dia menemukan cinta sejatinya.

Wangi terdiam, mencerna perkataan Banyu. Walau membenarkan perkataan Banyu, tapi ia tak yakin ada cinta sejati untuknya.

-----


Note:

¹Binan: banci

²Akika: aku

³Sekong: sakit


*****


Bersambung....

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...