Friday, January 26, 2024

Meneroka Jiwa (12)

 *_MENEROKA JIWA_*

*Bab 12. Aroma Karisma*


oleh KaiaKarnika



"Tolong seat belt-nya." Samudra meminta Wangi mengenakan sabuk pengaman saat mereka telah berada di dalam mobil dan mesin sudah menyala.

Panik melanda Wangi. Ini pertama kali ia duduk di kursi depan mobil pribadi, biasanya hanya angkutan umum yang tak ada sabuk pengaman.

"Sa-saya tidak tahu caranya, Pak." Wangi meringis.

Samudra tersenyum tipis. Perempuan ini tidak gengsi mengakui ketidaktahuannya.

"Maaf," ucap Samudra meminta izin mendekatkan tubuh ke arah Wangi agar dapat menarik tali sabuk dari sisi kiri perempuan itu.

Wangi menahan napas saat wajah Samudra berjarak kurang dari sejengkal dari mukanya. Namun, indra penciumannya terlanjur menghirup aroma rempah khas parfum pria yang menguar dari tubuh lelaki karismatik itu. Bau parfum ini seolah tak asing bagi hidung Wangi.

"Terima kasih, Pak," ucap Wangi setelah terdengar bunyi bertemunya bagian pengait (buckle) dan pengunci (locking retractor) sabuk pengaman.

Samudra merespons dengan anggukan kepala.

Hening, hanya terdengar deru mobil yang mulai meninggalkan bangunan gudang milik Utama Medika.

Wangi bingung, tidak tahu harus berbasa-basi tentang apa. Samudra sendiri tampak fokus dengan jalanan di depannya.

Keheningan dibuyarkan oleh bunyi keroncongan perut Wangi yang cukup nyaring.

Wangi terkesiap, memegangi perutnya. Dalam hati mengomeli cacing di perutnya yang tidak tahu diri.

Sebuah lengkung tipis tercipta di bibir Samudra. "Lapar?" tanyanya sambil melirik ke arah Wangi.

"Ti-tidak, Pak," jawab Wangi dengan kepala mengangguk. Saking laparnya, ia tidak lagi bisa mengoordinasikan kekompakan antara mulut dan kepala.

Lengkungan di bibir Samudra kian memanjang. Sesuatu yang jarang ditampilkannya. Namun, Wangi yang sedang menunduk, sibuk memaki cacing di perutnya, tak sempat melihatnya.

Samudra membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan Padang di sisi jalan yang mereka lalui. "Kita makan dulu, saya juga lapar sekali," ujarnya sambil memarkir mobil.

Wangi serba salah. Ingin menolak, tapi perutnya memang teramat lapar.

Sambil mematikan mesin mobil, Samudra berpikir mungkin Wangi kesulitan membuka sabuk pengaman, seperti halnya tadi tidak tahu cara memakainya. Spontan, tangan kirinya bergerak ke pengunci sabuk pengaman Wangi, memencet tombol merah bertuliskan "Press", sedangkan matanya mengamati spion di sisi kanan.

Wangi yang sedang kebingungan cara membuka sabuk pengaman, menundukkan kepala mendekat ke arah pengunci, mengamati benda tersebut untuk tahu cara membukanya.

Gerakan tangan Samudra memencet tombol pembuka dan gerakan kepala Wangi menunduk terjadi bersamaan dalam tempo cepat. Kepala pengait sabuk pengaman terangkat dan mengenai muka Wangi yang hanya berjarak beberapa senti dari pengunci sabuk pengaman.

"Gustiii!" jerit Wangi kaget, kepalanya mengedik. Logam tebal kepala pengait tepat mengenai gigi depannya, sehingga meski tidak keras, tapi menimbulkan sensasi ngilu.

Samudra terperanjat, menoleh ke arah Wangi, segera menyadari apa yang barusan terjadi. "Astaga! Maaf! Sakit?"

Wangi menggeleng sembari memegangi mulutnya. "Tidak, Pak. Tidak sakit, hanya kaget," jawabnya sedikit berbohong. Ia malu mengakui giginya yang terbentur.

Samudra dihinggapi perasaan bersalah. Spontan, kedua tangannya meraih kepala Wangi, menghadapkan muka perempuan itu ke arahnya, mengamati lekat untuk memeriksa adakah luka akibat benturan barusan.


"Kamu yakin tidak terluka?" tanya Samudra cemas.

Wangi ingin menggeleng, tapi apa daya, Samudra memegangi kepalanya dengan erat. Ia hanya bisa memberi isyarat dengan mengerjapkan mata.

Mata keduanya saling beradu pandang beberapa detik.

Wangi menahan napas, salah tingkah dipandangi salah satu orang penting di perusahaan.

Samudra segera melepas kedua tangannya dari rahang Wangi. "Maaf, saya seharusnya melihat posisimu."

"Tidak apa-apa, Pak. Saya juga salah." Wangi mengakui kenorakannya.

"Mari kita turun," ajak Samudra.

Wangi menuruti ajakan Samudra, lalu berjalan di belakang lelaki berbadan tegap itu memasuki rumah makan Padang yang cukup besar.

Seorang pelayan menghampiri meja yang ditempati Samudra dan Wangi dengan tangan penuh piring lauk bersusun. Setelah menghidangkan lauk, pelayan itu beranjak pergi lalu kembali dengan dua gelas teh tawar dan puding.

Wangi terbelalak, kebingungan. "Pak, pesan lauknya banyak sekali!" Meski lapar, tapi tidak yakin sanggup menghabiskan semua lauk yang disajikan.

Ganti Samudra yang kebingungan, tetapi dengan cepat memahami situasi. "Kalau di rumah makan Padang, memang semua lauk disajikan seperti ini. Namun, tidak berarti kita harus memakan semua. Pilih saja yang kaumau. Nanti kita hanya membayar yang dimakan."

Mulut Wangi membentuk huruf O, lalu tersipu, ketahuan baru pertama kali makan di restoran Padang. Dahulu pernah ke rumah makan Padang di Solo, tapi hanya untuk beli nasi bungkus, sehingga tidak tahu cara mereka menyajikan lauk-pauknya.

Samudra menarik ujung bibirnya, membentuk sebuah senyum tipis saat melihat reaksi Wangi. Ia lalu mengambil rendang dan gulai cumi.

Wangi yang kebingungan dihadapkan banyak pilihan lauk, akhirnya memilih ayam gulai, berharap harganya tidak melampaui uang di dompetnya.

"Dari kejadian dengan Aghas, apa pembelajaran yang kamu dapat?" tanya Samudra sambil menikmati nasi rendangnya.

Wangi berpikir sejenak, sebelum menjawab ragu, "Tidak menyingkat nama orang?"

"Menggunakan inisial adalah hal yang sering dilakukan di beberapa organisasi. Akan tetapi, biasanya akan dihindari singkatan yang memiliki konotasi negatif. Jadi, sah-sah saja membuat akronim untuk memudahkanmu mengingat, hanya pastikan itu tidak menjadi bumerang bagimu." Samudra menyelipkan nasihat bagi perempuan lugu di hadapannya.

Wangi menganggukkan kepala. Sudah cukup rangkaian petaka yang diterimanya akibat akronim, ia memang harus berhati-hati. Berpikir dua kali sebelum bertindak, seperti pesan Banyu. Dunianya sekarang tak lagi sama dengan dahulu.

Samudra menambahkan, "Satu lagi pelajaran yang bisa kaupetik. Manusia itu punya kecenderungan memercayai hal yang pertama kali didengarnya. Tidak banyak yang mau mengecek informasi ke sumber lain. Istilahnya adalah anchoring bias. Oleh sebab itu, sangat penting segera mengomunikasikan setiap kejadian yang berpotensi menjadi konflik. Berdiam diri bisa merugikanmu."

"Oh, jadi seharusnya saya segera memberitahukan insiden 'asu' dan 'setan' itu kepada bu Rani, sebelum beliau mendengar versi pak Aghas. Begitu, ya, Pak?" Wangi memastikan maksud Samudra.

"Exactly! Kamu beruntung tante Rani adalah orang yang sangat objektif. Ia tidak memihak dan selalu mengecek dari berbagai pihak."

"Tidak semua orang bisa begitu, ya, Pak. Kebanyakan langsung percaya pada informasi pertama." Wangi kian kagum pada sosok Rani. "Itu sebabnya manusia mudah diadu domba, ya, Pak."


Samudra mengangguk, menilai Wangi cukup cepat mencerna informasi baru. "Juga mudah terhasut isu," tambahnya.

"Tapi... kalau kita melaporkannya, apakah tidak akan dicap pengadu, Pak?"

"Tentu tidak, asal perhatikan beberapa hal. Pertama, laporkan kepada pihak yang tepat. Misal, kamu berselisih pendapat dengan Eko, maka Shinta adalah orang yang tepat karena dia adalah atasan langsung kalian. Kalau berkonflik dengan Aghas, maka tante Rani lebih tepat karena kalian beda divisi dan beda level jabatan."

"Jadi, kalau saya berselisih dengan pak Eko, lantas melaporkan ke bu Rani, itu lebay, ya, Pak."

Sebuah senyum tipis menghiasi bibir Samudra. "Tentu. Kamu akan dicap pengadu."

Wangi menganggukkan kepala. "Yang kedua apa, Pak?" Ia mulai menikmati berbincang dengan Samudra. Kecanggungannya perlahan menghilang.

"Kedua, jangan emosional. Laporkan dengan tenang, kalau bisa gunakan data atau bukti. Ingat, tujuannya adalah menjelaskan sudut pandangmu, bukan menjatuhkan orang lain."

"Kalau di kasus saya dengan pak Aghas, berarti menunjukkan catatan saya? Bahwa saya membuat akronim inisial tidak hanya untuk beliau, tapi juga yang lain. Begitu, Pak?" Wangi mengaitkan penjelasan Samudra dengan permasalahannya.

Samudra mengangguk.

"Baik, Pak. Terima kasih masukannya." Wangi lantas kembali menyantap nasi Padangnya. Dalam hati, terkagum-kagum dengan sikap Samudra yang bersedia memberinya pelajaran berharga.

"Sama-sama," sahut Samudra sambil mengamati Wangi yang makan dengan lahap. Wajah perempuan berkulit sawo matang ini polos, nyaris tanpa riasan. Sepolos tingkahnya.

Mereka berdua menghabiskan makanan diselingi perbincangan superfisial¹.

"Maaf, Pak, saya harus bayar berapa?" tanya Wangi saat pelayan memberikan tagihan.

Samudra tersenyum.

"Saya traktir," sahut Samudra sambil berjalan ke kasir.

"Duh... saya makannya banyak tadi, Pak." Wangi merasa tak enak hati. Andai tahu akan dibayari makan, pastilah ia membatasi diri.

Samudra lagi-lagi tersenyum sembari menyerahkan kartu debitnya kepada kasir.

Wangi teringat sesuatu, meminta plastik kepada pelayan toko, sebelum menyusul Samudra masuk ke dalam mobil.

"Perlu bantuan?" tanya Samudra saat melihat Wangi berupaya memakai sabuk pengaman.

Wangi tidak menjawab, fokus mengatasi kesulitan memasukkan kepala pengait ke bagian pengunci sabuk pengaman.

"Harus sedikit ditekan," ujar Samudra sambil memegang tangan Wangi, membantu memberi tenaga untuk bisa mengaitkan sabuk pengaman.

Kikuk kembali melanda Wangi, seperti ada sengatan listrik saat Samudra menyentuh kulit tangannya.

"Plastik tadi buat apa?" tanya Samudra ketika mobil yang dikendarainya mulai melaju.

Wangi cengar-cengir. "Saya sering mabuk kalau naik kendaraan ber-AC. Buat jaga-jaga jika akan muntah, Pak."

"Biasanya kalau duduk di depan justru mengurangi mabuk," sahut Samudra.

"Kenapa begitu, Pak?"

"Saat kamu duduk di depan, mata leluasa memandang lurus ke jalan, posisi duduk juga minim guncangan," sahut Samudra.

Wangi berusaha mengingat posisi duduk tiap kali ia muntah saat naik bis. Biasanya memang saat berada di bagian belakang dan selalu melihat ke jendela samping.


Samudra menambahkan penjelasannya, "Mabuk perjalanan itu terjadi karena otak kebingungan menerima berbagai informasi berbeda dari seluruh sensor. Otak mendapat sinyal bahwa tubuh diam tidak bergerak, tapi juga memperoleh informasi kalau benda-benda di sekeliling seolah bergerak. Kebingungan otak ini yang menyebabkan mual hingga muntah."

Wangi takjub dengan penjelasan Samudra. "Berarti bingung itu memang tidak enak, ya, Pak. Bukan cuma buat hati, ternyata buat otak juga."

Samudra tergelak. Beberapa kali tingkah dan komentar perempuan polos ini memaksanya untuk tersenyum, bahkan tertawa.

Wangi terpana, baru kali ini dilihatnya Samudra tertawa. Tawa yang kian mempertegas karisma Samudra di matanya.

"Di mana alamat tempat tinggalmu?" Samudra harus memikirkan jalan yang akan ditempuhnya.

"Bapak tidak perlu mengantar saya sampai rumah. Saya nanti turun di jalan yang Bapak lalui saja."

"Tante Rani sudah pesan untuk mengantarkanmu sampai rumah. Lagi pula kamu masih awam dengan daerah ini, bukan?"

Wangi tidak berani menolak. Ia membuka catatan di bukunya, lalu menyebutkan detail alamat rumah Banyu.

"Oke," sahut Samudra. Otaknya menyusun rute perjalanan ke tempat Wangi. "Lumayan jauh dari kantor, ya."

"Iya, Pak. Biasanya butuh waktu sekitar dua jam, tiga kali ganti angkutan."

"Itu rumah saudaramu?"

Wangi menggeleng. "Bukan. Itu tempatnya mas Banyu. Kakeknya, tetangga saya di desa."

"Kenapa tidak cari indekos dekat kantor? Lumayan menghemat waktu."

"Belum sempat mencari, Pak," dalih Wangi.

Setelah dua puluh menit perjalanan, Rubicon Samudra berhenti di depan tempat usaha Banyu.

"Wah, banyak usahanya, ya," komentar Samudra. Ia memajukan kepala ke atas dashboard agar dapat melihat area usaha Banyu dengan lebih leluasa. Benresik, Bentuman, Benkuwat. Konsep bisnis yang menarik.

"Iya, mas Banyu kreatif. Dia juga punya kepedulian tinggi, tidak semata mencari keuntungan dalam berbisnis," sahut Wangi seraya menyampirkan tali tasnya.

Samudra melirik ke arah Wangi. Perkataan Wangi tentang Banyu menyiratkan kekaguman terhadap sosok pria pemilik bisnis ini.

"Terima kasih banyak, Pak. Sudah mengantar, memberi nasihat, dan mentraktir saya. Semoga kebaikan Bapak dibalas rezeki berlimpah dari Tuhan," ucap Wangi dengan senyum lebar.

"Sama-sama." Samudra mengulas senyum mendengar rangkaian doa Wangi atas sesuatu yang menurutnya bukanlah pengorbanan besar.

Wangi membuka pintu mobil dan melompat turun. "Bapak mau cuci mobil? Gratis buat Bapak." Ia mencoba membalas budi kebaikan Samudra sebelum menutup pintu.

Samudra kembali tersenyum, lalu menggeleng. "Tidak, terima kasih."

Wangi menganggukkan kepala, kemudian menutup pintu mobil. Ia paham mengapa Samudra terlihat berkarisma. Bukan semata karena wajahnya yang rupawan, melainkan disebabkan oleh kesantunan dan wawasannya.

Samudra memencet klakson pelan, pertanda pamit.

Wangi membalikkan tubuh setelah mobil Samudra melaju. Pikirannya mengembara seiring dengan kakinya yang menyusuri area parkir. Setelah ketakutan setengah mati akibat insiden "setan" dengan Aghastyan, hatinya girang setengah mati karena kebaikan Rani dan Samudra.

"Ngik!" panggil Banyu

"Eh, Mas Be." Wangi kaget, tidak melihat Banyu yang sedang mengontrol pekerjaan anak buahnya di salon mobil.


"Sudah pulang jam segini? Sakit?" tanya Banyu. Pukul 17.30 dan Wangi pulang diantar mobil Jeep yang harganya selangit.

"Oh, tidak, Mas. Tadi dari gudang di daerah Serpong, ternyata tidak jauh dari sini."

"Jadi tidak perlu kembali ke kantor, ya, Ngi?" Jay yang berdiri di sebelah Banyu ikut bicara.

"Iya, Mas. Disuruh langsung pulang."

"Wangiii!" panggil Iwan heboh. Ia berlari ke arah Wangi.

Wangi menoleh. Tertawa geli melihat gaya berlari Iwan yang sengaja dibuat seperti slow motion, mengingatkan pada gaya ibunya saat berdelusi menyambut Rhoma Irama.

"Gilingan kamu, Wangi! Bikin aku jadi betaria soneta!" gerutu Iwan kenes.

"Apa lagi itu, Bakwaaan?" Jay kesal tiap kali menemukan kosa kata baru.

"Bete, Bajay!" jawab Iwan ketus. "Capcay, deh, ngomong sama yey!"

"Lah, kenapa juga jadi bete?" tanya Jay bingung. "Lagian harusnya aku yang capek ngomong sama situ, bahasamu aneh banget!" Ia masih ingat arti dari capcay adalah capek.

"Belum dua minggu di Jakarta, Wangi sudah bisa naik Rubicon! Aku dari lahir di sini belum pernah sama sekali!" keluh Iwan.

"Rubicon?" Wangi kebingungan.

"Mobil yang tadi antar kamu." Jay menjelaskan maksud Iwan.

"Oh... itu mobil pak Sam, salah satu GM yang kebetulan tadi juga berada di gudang."

"Waaah, GM antar kamu pulang?" Iwan membelalakkan mata, lalu menoleh ke arah Banyu. "Mas Be, aku sesekali diantar pulang juga, dong! Tidak mau kalah sama Wangi," rengek Iwan manja.

Banyu melemparkan kain lap yang dipegangnya ke muka Iwan. "Ogah!"

Iwan mengentakkan kaki, pura-pura mengambek sambil meremas kain lap yang dilempar Banyu.

"Ya, sudah! Aku yang antar, tapi naik odong-odong, yaaa," goda Jay.

"Maunya naik Rubicon! Bosan naik odong-odong!" Iwan merajuk.

"Kasihan juga odong-odongnya, sih. Kamu naik, langsung amblas," ejek Jay.

"Memangnya kenapa dengan Rubicon, Mas?" Wangi penasaran.

"Mobil mahal, Ngi! Harganya milyaran," jawab Jay.

Wangi melongo. Ia menduga mobil Rani juga berharga milyaran. "Waduh, untung saya tidak muntah tadi," ujarnya lega. Ia tidak bisa membayangkan apabila muntahannya mengotori kedua mobil milyaran itu.

Iwan merapat ke arah Wangi. "Itu GM kamu yang 'asu' itu?"

Wangi menggeleng. "Bukan, 'asu' itu pak Aghas. Tadi pak Sam, sepupunya."

Iwan menepuk pundak Wangi. "Kamu... dipoles saja belum, sudah diantar pulang naik Rubicon. Apalagi kalau nanti dipoles, pasti jadi---"

"Jadi mengilat! Nih, kayak mobil di salon ini. Dipoles jadi berkilau!" potong Jay berguyon.

"Kalau tujuannya cuma buat gaet lelaki bermobil mewah, mending tidak usah dipoles! Jangan didoktrin aneh-aneh, Wan!" tegur Banyu dengan nada serius.

"Ih, Mas Be sirsak², tuh! Tidak punya Rubicon! Mas Be kurang gencar ngepetnya, sih! Jadinya cuma bisa naksir Rubicon doang, tapi tidak mampu beli," ledek Iwan.

"Kamu juga, sih! Jadi tuyul males-malesan!" balas Banyu.

"Tuyul apa segede ini, Bos?" Jay tergelak.

"Tuyul gabut³! Makan doang tidak mau kerja!" sahut Banyu, tanpa senyum apalagi tawa.


Iwan mengerucutkan bibir.

Wangi terkekeh. Percakapan antara Banyu dan anak buahnya selalu mampu mengocok perutnya.

"Balik dulu," ujar Banyu kepada anak buahnya, lalu berjalan menuju jalan kecil ke arah rumahnya.

"Ngi, kok, GM kamu baik banget, sih?" tanya Iwan usil.

"Oh, dia memang baik, Mas." Wangi teringat sejak bertemu pertama kali pun, Samudra sigap menolong.

"Sudah menikah?" Iwan penasaran.

Wangi menggeleng, teringat data pribadi Samudra yang belum lama dieditnya. "Belum."

"Awas naksir, lo, Ngi!" goda Jay.

Wangi tersenyum lebar. "Yah, saya juga tahu diri, Mas. Tidak berani naksir sama dia."

"Kalau nanti dia yang naksir kamu, bagaimana?" Ganti Iwan yang menggoda Wangi.

Wangi tertawa. "Itu lebih tidak mungkin lagi, Mas. Anak Sekdes saja mencampakkan saya, apalagi anak pengusaha sukses." Bayangan Wisnu yang mencampakkan tanpa penjelasan kembali terlintas di benaknya.

Wangi teringat sesuatu, segera berpamitan kepada Jay dan Iwan, lantas mengejar Banyu.

"Mas," panggil Wangi.

"Hmmm," sahut Banyu tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.

Wangi tergopoh-gopoh menyamai langkah Banyu. "Apakah boleh saya tinggal di sini lebih lama? Belum dapat indekos dekat kantor yang murah."

Banyu dengan cepat mengangguk.

"Terima kasih banyak, Mas." Wangi semringah. "Eh, tapi, Mas.... "

"Apa lagi?"

"Saya tidak enak kalau tidak bayar urunan, soalnya kan saya tinggal di sini memakai listrik, air, bahkan dikasih makan."

Banyu menghentikan langkah sebelum masuk ke teras rumah. Ia sebenarnya sama sekali tidak keberatan Wangi menumpang cuma-cuma, apalagi dengan kewajiban perempuan itu membayar utang kepada keluarga Wiryo yang pasti membuatnya harus hidup hemat. Namun, ia punya pertimbangan yang jauh lebih baik. "Oke, bayar saja semampumu," sahutnya singkat sambil mencopot sepatu.

"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Mas." Wangi girang bukan kepalang. Hari ini dia bak ketiban durian runtuh, begitu banyak keberkahan. Selain itu, tinggal di tempat Banyu, ia merasa menemukan keluarga yang selama ini tidak pernah dimilikinya. Semua bersikap baik dan penuh perhatian.

Pintu depan dibuka dari dalam oleh Mbok Yam yang mengetahui majikannya pulang. Bunyi gemerincing kalung Hitler terdengar mendekat.

Banyu berjongkok, menyambut Hitler yang melompat ke pangkuannya. Hitler mendekatkan kepalanya ke arah Banyu, seolah minta dibelai.

Banyu duduk bersila, membelai area kepala, dahi, dan di antara kedua mata kucing Persia itu.

"Hitler lebih bersih, habis dimandikan, ya, Mas?" Wangi ikut duduk di sebelah Banyu, mengelus bulu-bulu lembut Hitler sepanjang punggungnya.

Banyu menjawab dengan anggukan. Di depannya, Hitler merem-melek, menikmati belaian.

"Kenapa kucing bunyinya 'meooong', ya, Mas?" tanya Wangi berusaha basa-basi.

Banyu mengerutkan dahi, tampak kesal dengan pertanyaan aneh Wangi.

Wangi cengengesan, menyadari pertanyaan konyolnya. Ia memang tidak pernah pandai memilih kalimat basa-basi.

Banyu membuka mulut, "Soalnya kucing, jadinya bunyinya 'meooong'. Kalau Iwan, bunyinya 'mencooong'."  Ia menirukan gaya bicara Iwan sambil mengulas senyum jahil.

Wangi terperanjat sejenak, lalu terpingkal-pingkal mendengar jawaban dan melihat ekspresi Banyu yang sama sekali tak diduganya. Baru kali ini Banyu membanyol.

Kekaguman Wangi terhadap Banyu bertambah. Ternyata lelaki ini tidak hanya penuh kepedulian, tapi juga punya selera humor kendati acap kali membalut dengan sikap ketus. Perpaduan sifat yang justru menciptakan karisma tersendiri pada sosok bergaya urakan itu di mata Wangi.

Embusan angin sore bertiup melewati sela dedaunan di pekarangan rumah Banyu, menghadirkan kesejukan menjelang senja. Wangi menikmati silir angin yang turut membawa bau parfum dari tubuh Banyu. Aroma yang sama persis dengan Samudra. Aroma rempah perpaduan cendana dan kayu manis. Aroma dua lelaki berkarisma di mata Wangi.

-----


Note:

¹Superfisial: tidak terlalu berat/berbobot.

²Sirsak: sirik/iri (bahasa binan)

³Gabut: singkatan dari gaji buta, orang yang tidak menjalankan tugas, tapi tetap mendapat imbalan.


*****


Bersambung....

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...