*_MENEROKA JIWA_*
*Bab 01. Adakah Cinta?*
oleh Kaia Karnika
"Wangi pamit pulang ya, Bu," ucap Wangi seraya mengucir rambut lurus sebahunya. Dipandangi sosok sang ibu yang duduk di sebelahnya. Perempuan berambut kusut dengan tubuh yang mengeluarkan bau tidak sedap karena ketidakmampuan merawat diri dengan baik.
Setiap akhir pekan, Wangi menyempatkan diri mengunjungi ibunya yang dirawat di panti sosial bina laras, sebuah tempat yang memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi para penyandang gangguan mental. Dahulu semasa sekolah, ia harus bersabar menunggu Pak Wiryo–ayah angkatnya–punya waktu untuk mengantar karena jarak yang cukup jauh dari desa mereka ke panti di kota Surakarta. Kadang sebulan sekali, bahkan pernah setelah enam bulan baru bisa menemani. Namun, selepas lulus SMA lima tahun silam dan bekerja sebagai pelayan kebersihan di kota yang populer dengan sebutan Solo ini, ia berusaha menyambangi secara rutin minimal seminggu satu kali. Ia hanya ingin dekat dengan satu-satunya keluarga yang dimiliki, kendati pertemuan yang terjadi acap kali tanpa perbincangan berarti.
Wangi mengulurkan tangan, hendak menyalami ibunya berpamitan pulang.
Mata Surem yang sejak tadi hanya menatap kosong ke arah depan, beralih memandang Wangi lalu menyambut uluran tangan anaknya.
Senyum Wangi berkembang seketika, ibunya bereaksi, sesuatu yang tidak selalu terjadi. Ia lalu mencium tangan perempuan yang melahirkannya, meski tak pernah mendampinginya untuk tumbuh. Sejak dirinya lahir, ibunya diserahkan oleh warga ke Dinas Sosial. Kadang dibawa ke rumah sakit jiwa apabila mengamuk, jika sudah mereda ditampung kembali di panti laras milik pemerintah ini.
"Hati-hati di jalan," ucap Surem.
"Njih, Bu," sahut Wangi semringah, hatinya berbunga, mata beloknya kian besar. Benar-benar kejadian langka.
Surem mendekatkan kepala ke arah Wangi, seolah ingin membisikkan sesuatu. Wangi dengan cepat mengarahkan telinga ke mulut ibunya, menduga akan ada nasihat lain.
"Nanti kalau ketemu Kak Rhoma, bilang Ani ingin bakso." Surem menggerakkan telunjuk ke dadanya, menegaskan bahwa dialah si Ani. "Minta dia bawakan nanti malam." Ia menyeringai, lalu terkikik malu sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan membayangkan Rhoma Irama datang membawa semangkuk bakso kesukaannya.
"Halaaah," dengkus Wangi kesal. Ternyata ibunya sedang berdelusi¹, menganggap dirinya adalah si Ani, pacar Rhoma Irama di beberapa film lawas. Dikira hendak memberi nasihat, ternyata lagi kumat.
Ada kecewa di hati Wangi, tapi juga diam-diam tertawa. Menertawakan diri karena lagi-lagi terkecoh. Waham erotomania yang dimiliki sang ibu membuatnya meyakini bahwa ada seseorang yang sedang tergila-gila padanya, dan pada Surem, sosok raja dangdut Rhoma Irama adalah sang pria yang sedang jatuh hati setengah mati.
"Ojo lali!" Surem mengingatkan dengan wajah serius agar Wangi tidak lupa pesannya.
"Iya, Ani. Akan kusampaikan pada Kak Rhoma," sungut Wangi dengan muka ditekuk. Tak punya pilihan selain ikut menyelami delusi ibunya. Ia berdiri bersiap pulang.
"Cah pinter!" sanjung Surem dengan seringai lebar.
"Pamit, Bu ... eh ... Ani," ucap Wangi lalu membalikkan badan. Ia sudah terbiasa menjadikan waham ibunya menjadi kelakar. Kalau dahulu ia menangis tiap kali ibunya berdelusi, sekarang ia hanya bisa menerima dan menjadikan itu hiburan, meski hati teramat miris.
Di belakangnya, Surem kembali ke dalam kamar dengan berlari slow motion, persis adegan saat Ani menghampiri Rhoma.
Wangi berjalan menyusuri lorong berdinding kusam yang baunya bercampur antara cairan disinfektan, pesing, dan aroma tubuh khas para pengidap gangguan jiwa yang kurang mampu menjaga kebersihan diri. Bau yang awalnya nyaris membuat muntah, tapi lama kelamaan seolah tak lagi mampu menembus indra penciumannya.
Pak Wiryo pertama kali mengajak bertemu ibunya saat ia duduk di kelas 1 SMP. Sebelumnya, ia hanya tahu kalau ibunya gila karena semua orang di desa menjulukinya "anake wong gendeng" atau berarti anaknya orang gila.
Saat pertama kali berjumpa sang ibu, ia hanya bisa berdiri terpaku. Ia tak percaya bahwa wanita berambut kusut sebahu, berkulit sawo matang, dan beberapa gigi menghitam yang sedang berdiri di depannya itu adalah ibu kandungnya. Sementara Surem, seolah tidak memiliki ikatan emosional dengan gadis belia di hadapannya. Penyandang skizofrenia itu hanya menyorotkan tatapan kosong disertai seringai yang mengerikan bagi Wangi.
Pertemuan pertama tersebut membuat Wangi kian berduka, protes pada Tuhan kenapa dia harus dilahirkan dari rahim orang dengan gangguan jiwa, dan bertanya-tanya adakah bahagia untuknya. Ia hanya mau bertemu ibunya saat hari raya, itu pun karena paksaan Pak Haji Sarjo dan Pak Tarno yang sangat berpengaruh di desa. Barulah saat duduk di bangku SMA, seorang guru Bahasa Inggris idolanya bernama Bu Sumiati mampu meluluhkan hati, membuatnya mau bertemu kembali dengan sang ibu tanpa paksaan.
"Malam minggu ndak pacaran, Wangi?" goda seorang lelaki tua saat Wangi melewati teras panti.
"Ini mau ketemu pacar, Pakde," sahut Wangi disertai senyum kepada lelaki yang sudah dikenalnya itu. "Pakde ndak malam mingguan?" pancingnya iseng.
Pria yang disapa Pakde tertawa sambil mengepulkan asap rokok menyannya. "Saya harus menunggu Kanjeng Sinuhun datang, ndak akan sempat malam mingguan kayak kamu, Nduk."
Wangi ikut tertawa, sudah menduga jawaban si pakde yang menganggap dirinya orang kepercayaan Pangeran Diponegoro dan selalu punya agenda menyusun strategi perang melawan Belanda tiap malam minggu. Ia cukup mengenal sebagian besar penghuni panti beserta gangguan yang mereka alami.
"Ngati-ati yo, Nduk," pesan si Pakde agar Wangi berhati-hati di jalan ketika berpamitan.
"Pacarane ojo nganti meteng yo," olok lelaki di sebelah Pakde sambil terbahak. Mengingatkan agar Wangi tidak melakukan hal yang menyebabkannya hamil sebelum nikah.
"Husss, cangkemmu!" Pakde menjitak kepala lelaki yang meledek Wangi barusan, memperingatkan untuk menjaga bicaranya.
Wangi tergelak melihat interaksi kedua ODGJ² itu. Ia meneruskan langkah ke luar panti sambil mengeluarkan ponsel yang layarnya sudah retak di sana sini. Terdapat sebuah pesan dari seseorang.
Aku tidak bisa ke Solo hari ini. Tidak enak badan. Kalau besok sudah mendingan, aku ke sana. Isi pesan dari Wisnu, kekasihnya.
Wangi segera membalas. Maaf baru membalas, tadi sedang bertemu ibu. Cepat sembuh, ya. Kamu di Semarang, Mas?
Tak lama balasan dari Wisnu masuk. Ya. Kamu ada rencana ke Gelem?
Tidak. Wangi memang tidak punya rencana pulang ke desanya hari ini.
Wangi mengembuskan napas panjang. Pesan dari Wisnu membuyarkan rencana malam minggu, padahal ia teramat rindu. Sebulan sudah mereka tak berjumpa. Wisnu yang bekerja di salah satu perusahaan swasta di Semarang hanya bisa mengunjunginya sekali dalam sebulan karena sering kali harus masuk kerja di akhir pekan.
Perempuan berkulit sawo matang itu berdiri termenung di pinggir jalan raya. Ia sudah membayangkan menghabiskan hari ini tidak di kamar indekosnya yang sempit. Terlintas pikiran untuk pulang ke desa Gelem, seperti pertanyaan Wisnu barusan. Lebih dari tiga bulan tidak mengunjungi keluarga angkatnya.
Sebuah angkot melintas di depannya. Wangi segera naik, menuju terminal Tirtonadi. Walau tahu keluarga Wiryo tidak pernah mengharapkannya berkunjung, ia tetap melakukannya sebagai tanda terima kasih karena telah sudi merawatnya selama 18 tahun.
Setelah satu jam perjalanan, Wangi memasuki batas desanya dengan menjinjing dua kantong oleh-oleh. Beberapa orang tersenyum dan menyapanya. Ia cukup populer di desa Gelem, meski bukan dalam konteks yang menyenangkan. Siapa yang tidak kenal Wangi, si anake wong gendeng. Bahkan generasi yang lahir setelah dia meninggalkan desa ini untuk bekerja di Solo pun tahu julukan itu.
Wangi mempercepat langkah, menuju sebuah rumah yang berada seratus meter di hadapannya. Rumah orang tua Wisnu. Ia dan Wisnu bersahabat sejak kecil, pria itu empat tahun lebih tua darinya. Hanya Wisnu yang tidak pernah menghina, bahkan selalu melindunginya dari perisakan. Itulah sebabnya saat lelaki itu menyatakan cinta lima tahun silam, tak ada keraguan untuk menerima.
Dahi Wangi berkerut melihat motor Suzuki Satria milik Wisnu terparkir di halaman. Apakah ini berarti Wisnu berada di rumah, tidak di Semarang seperti isi pesannya tadi? Kekhawatiran melanda Wangi, jangan-jangan sakit Wisnu cukup parah sampai harus dirawat orang tua.
Seorang wanita tua membuka pintu yang diketuk Wangi. Bu Yati, istri mantan Sekretaris Desa, tampak tak menduga kedatangan tamunya.
"Sehat, Bu?" Wangi mencium tangan ibu kekasihnya, lalu menyodorkan kantong plastik.
"Sehat. Bagaimana kabarmu?" Yati menerima oleh-oleh dari Wangi, lalu mempersilakannya masuk.
"Alhamdulillah, sehat, Bu." Wangi duduk di sofa ruang tamu. "Ada Mas Wisnu, Bu?"
Yati mengangguk. "Sedang bersama bapaknya ke langgar," jawabnya.
Jawaban yang membuat dahi Wangi kembali berkerut, tapi kemudian mencoba mengartikan bahwa sakit Wisnu tidak terlalu parah sehingga masih bisa pergi ke musala.
Yati duduk di sebelah Wangi. "Kamu janjian dengan Wisnu?"
Wangi menggeleng.
Yati menarik napas panjang, sebelum berkata, "Wangi, ada yang mau Ibu sampaikan." Ia meneguhkan diri untuk menyatakan sesuatu yang selama ini dipendamnya.
Wangi menoleh ke arah Yati. Baru kali ini didengarnya suara Yati yang cukup lembut, biasanya selalu bernada ketus. Ibu Wisnu itu memang jelas-jelas tidak menyetujui hubungan mereka sejak dahulu.
"Wisnu itu anak tertua kami, harapan kami. Kami sangat bangga padanya dan berharap dia nanti bisa menjaga kedua adik perempuannya." Yati membuka percakapan.
Wangi tidak berkomentar, hanya menunggu maksud pembicaraan Yati.
"Dia sarjana, lulusan kampus ternama, dan sekarang punya pekerjaan bagus di Semarang." Yati melanjutkan.
Wangi sudah mulai bisa menduga arah yang dituju Yati.
"Umurnya sekarang sudah 27 tahun, sudah saatnya menikah."
Wangi menelan ludah, tahu kalimat selanjutnya.
"Karena dia adalah harapan kami untuk menjaga keluarga ini kelak, maka kami berharap ia memiliki istri yang setara dan anak yang sehat." Yati menahan napas setelah menyelesaikan kalimatnya, berharap Wangi cukup peka untuk tahu maksud sebenarnya.
Wangi berdeham, memaksa dirinya mengeluarkan suara. "Dan saya bukan calon istri yang sesuai dengan kriteria itu." Ia menyimpulkan maksud Yati.
Yati mengembuskan napas lega, ternyata Wangi memahami inti keinginannya. "Bukan maksud Ibu menyinggungmu, tapi tolong mengerti sudut pandang keluarga kami."
"Tapi saya dan Mas Wisnu saling mencintai, Bu." Wangi memutar-mutar cincin perak pemberian Wisnu yang melingkar di jari manisnya. Cincin yang dibelikan Wisnu saat mereka berjalan-jalan ke Kota Gede, Yogya. Cincin yang melambangkan janji Wisnu untuk kelak mempersuntingnya, kendati tahu tantangan yang akan dihadapi.
"Cinta itu ndak cukup untuk menikah dan membangun rumah tangga, Ngi! Mbok jangan egoistis!" Yati mulai menaikkan nada suaranya begitu mendengar upaya pembelaan dari Wangi.
"Mas Wisnu sudah berjanji untuk menikahi saya, Bu." Wangi tetap berupaya memperjuangkan diri, tanpa lupa bersikap santun.
"Tapi dia belum melamarmu, to?" Kali ini nada suara Yati sudah melengking.
Wangi tertunduk. Tidak menampik ucapan Yati. Wisnu memang hanya berkata ingin menikahi, belum melamar resmi. Digigitnya ujung-ujung jemari. Kebiasaannya tiap kali dilanda rasa tak nyaman.
"Wangi, kami ndak mau punya cucu gila kayak simbokmu! Apa kamu ndak kasihan sama Wisnu kalau misalnya suatu saat nanti kamu tiba-tiba gila juga?" Yati merasa tidak perlu tedeng aling-aling menghadapi perempuan yang sejak dahulu dinilainya keras kepala dan tidak tahu diri ini. "Lagipula, kamu cuma kerja sebagai pembersih WC, ndak level dengan Wisnu yang baru saja jadi Supervisor di perusahaan besar!"
Yati berusaha mengatur napasnya yang tersengal gara-gara lonjakan emosi. Ia menurunkan intonasi suara, berharap Wangi bisa menuruti kehendaknya. "Kalau kamu sayang sama Wisnu, kamu ndak akan menghukumnya dengan sebuah kehidupan perkawinan yang hanya mewariskan kegilaan. Ibu mohon, tinggalkan Wisnu!"
Bulir air mata membasahi pipi Wangi tanpa bisa tertahan. Tidak sekali ini mendengar pendapat seperti ucapan Yati barusan. Ia seperti dihempaskan kepada sebuah realitas, bahwa tidak ada yang mau bermenantukan anak orang gila seperti dirinya karena berpotensi memberikan keturunan yang juga gila. Seolah cinta dan bahagia tak layak untuknya.
Wangi memejamkan mata, berusaha menghentikan agar air mata tak lagi meluncur. Diusapnya tetesan di pipi, lalu segera pamit, tak sanggup lagi menerima tikaman penghinaan. Namun, dalam hati teramat yakin bahwa Wisnu pasti akan memperjuangkan cinta mereka, seperti yang selama ini dilakukannya.
Dengan langkah tergesa, Wangi bergegas menuju rumah keluarga angkatnya. Ia hanya ingin menyapa, memberikan oleh-oleh, lalu kembali ke Solo sebelum malam tiba.
Tenda putih terpasang di halaman kediaman keluarga Wiryo, tanda akan diadakannya sebuah hajatan. Untuk kesekian kalinya di hari itu, dahi Wangi berkerut. Tidak ada yang memberitahunya bahwa sebuah acara penting akan berlangsung, tapi segera dimakluminya hal tersebut. Sejak dahulu kehadirannya hanyalah sebuah beban, ia tidak pernah sepenuhnya menjadi bagian dari keluarga ini. Jadi sangat wajar kalau ia tidak mendapat informasi apalagi undangan hajatan.
"Mau ada acara apa, Rin?" tanya Wangi begitu memasuki teras dan melihat Rini, putri kedua keluarga Wiryo yang lebih muda darinya, sedang merangkai bunga untuk dipajang.
Rini terperanjat, seperti melihat hantu di tengah siang bolong begitu mengetahui kehadiran Wangi. "Eh, Mbak Wangi. Emmm ... a-a-anu, Mbak, besok acara lamarannya Mbak Linda."
Wangi tersenyum masam. Sudah pasti dia tidak diberitahu acara ini. Linda, anak sulung keluarga Wiryo, membencinya setengah mati. Walau mereka seusia dan tumbuh bersama, tetapi entah mengapa Linda tidak pernah mau akur. Apa pun yang coba dilakukannya selalu tak mampu membuat perempuan itu melunak, bahkan setelah semua PR sekolah Linda dikerjakannya, tetap sikap bermusuhan yang didapat.
Bukan hanya Linda sebenarnya yang tidak menyukai dirinya. Kedua orang tua angkatnya, terutama Bu Sri memberi perlakuan berbeda dibanding kepada dua anak kandungnya. Tidak pernah ada kasih sayang untuknya, hanya cacian dan pukulan. Cuma Rini, si anak bungsu, yang sedikit lebih lunak, kendati tetap menjaga jarak.
"Wah, ikut senang Linda mau menikah. Dengan pacarnya yang orang Ambarawa itu?" Wangi ingat Linda pernah membawa seorang pria teman kuliahnya saat Lebaran tahun lalu.
Rini menggeleng pelan.
"Oh, ganti lagi, ya." Wangi tak heran. Linda cantik, meski judes. Judes yang hanya ditujukan kepada Wangi, tidak kepada para lelaki tentunya.
Wangi iri pada Linda. Bukan hal sulit bagi Linda membuat lelaki jatuh hati padanya. Selain berpenampilan menarik, Linda juga sarjana dan sekarang bekerja kantoran, plus anak orang terpandang di desa. Berbeda dengan dirinya yang kurus kering, lusuh, miskin, kerjaan cleaning service, belum ditambah label anak orang gila. Kalau Linda ibarat paket lengkap premium, Wangi bak paket sembako gratis kedaluwarsa. Jika semua berlomba mendekati Linda dengan segenap upaya, maka tak ada satu pun sudi bersama Wangi walau dikasih cuma-cuma. Linda diperebutkan, Wangi dicampakkan.
Seumur hidup, hanya Wisnu seorang yang menyatakan cinta pada Wangi. Sementara laki-laki lain, jangankan jatuh hati, berdekatan dengannya saja tidak ada yang mau, khawatir tertular gila kata mereka. Dan dengan barusan Bu Yati memaksa agar hubungan cintanya putus, sudah pasti tidak akan ada seorang lelaki pun yang sudi menikahinya. Cuma Wisnu yang bisa menerima apa adanya.
Sedesa Gelem yakin, Wisnu pasti khilaf atau kesambet jin Merbabu saat mengutarakan perasaannya pada Wangi. Bagaimana mungkin seorang Wisnu yang tampan, pintar, santun, dan bermasa depan cerah bisa jatuh hati pada anake wong gendeng. Sejak kecil, anak-anak di desa itu sudah diwanti-wanti untuk tidak berdekatan dengan Wangi. Yang lelaki tak boleh lirik-lirikan, yang perempuan tak boleh jadi teman. Tak sedikit ibu-ibu hamil yang mengelus perut tiap melihat Wangi, sembari berucap, "Amit-amit jabang bayik!"
"Siapa calonnya, Rin?" tanya Wangi penasaran. Ia menduga pasti teman kerja Linda di Salatiga atau teman kuliahnya di Semarang dahulu.
Rini tidak menjawab, tetapi matanya mengarah ke pagar yang sedang dibuka.
Wangi membalikkan tubuh, mengikuti tatapan Rini. Dilihatnya Linda membuka pagar sambil tertawa gembira bersama seorang lelaki yang tidak terlihat jelas karena tertutupi badan perempuan bertubuh semampai itu.
Linda masuk ke pekarangan sambil menggandeng mesra sang lelaki, yang sudah pasti adalah calon suaminya. Suara tawa lelaki itu terdengar menyahuti tawa Linda, bersamaan dengan sosoknya yang kian terlihat jelas oleh Wangi. Seketika itu juga, plastik berisi oleh-oleh yang dipegangnya lepas, serabi didalamnya berserakan di lantai teras.
-----
Note:
¹ Delusi: disebut juga sebagai waham, keyakinan yang jelas salah dan menunjukkan kelainan pada isi pikiran orang yang terkena. Salah satunya adalah waham erotomania, keyakinan keliru bahwa ada seseorang yang jatuh cinta padanya, kadangkala orang yang sangat terkenal.
² ODGJ: singkatan dari orang dengan gangguan jiwa.
*****
Bersambung....
No comments:
Post a Comment