Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (09)

*KEJORA PAGI*

        

=SEBUAH PESAN=            ┗      ••❁✿❁••.   ┛


               .Bagian : 09.



   Thursday, Juni 01, 2023



  



Thursday, June 1, 2023



(Tien Kumalasari)



Damian menuntun sepedanya keluar dari rumah mewah itu. Keinginan untuk mencari pekerjaan lain, mengusik hatinya. Tegakah ia meninggalkan seseorang yang menempati hatinya dengan teramat istimewa? Ketika melintasi sebuah kamar, tak sengaja Damian menoleh ke arah kanan, matanya bertumpu pada sebuah jendela yang terbuka, ada wajah terpampang disana, menatapnya dengan pandangan yang membuatnya kembali bergetar. Damian mengalihkan pandangannya ke arah depan, sambil terus menuntun sepedanya. Berharap ia segera bisa melintasi gerbang, ia mempercepat langkahnya.


Raya terpaku di depan jendela. Angin sore menyergap rambutnya yang tergerai, karena ia membuka kerudungnya, dan membuka pintu jendelanya lebih lebar. Bayangan pangeran bersepeda itu telah tak tampak lagi. Raya merasa, seperti ada yang membawa pergi jiwanya.


“Tidak … tidak … ini salah, aku harus menghentikannya,” bisiknya pelan.



Sebuah ketukan pintu terdengar, lalu bik Sarti masuk membawa vas berisi mawar-mawar yang tadi diberikan Raya.



“Ini Non,” katanya sambil meletakkan vas yang meriah dengan aneka warna mawar itu, diatas meja.


“Terima kasih, Bik.”


“Non Raya sedang melamun ya?”


“Menikmati udara sore ini Bik, rasanya segar sekali."


“Nyonya duduk sendirian di depan, Non Raya tidak ingin menemani? Minuman untuk Non saya letakkan di sana, barangkali Non ingin menemani nyonya.”


“Ya, Bik, aku mau ke depan,” jawabnya.


Bik Sarti keluar dari kamar Raya. Raya mendekati vas bunga dengan mawar-mawar itu, mencium aromanya sambil memejamkan mata.


“Harus aku hilangkan duri kamu, agar aku bisa meraihmu dan mendekatkannya ke wajahku, untuk mencium aroma wangimu,” bisiknya.



Tak ingin berlama-lama tenggelam dalam lamunan yang membuatnya gelisah, Raya segera keluar dari dalam kamar, melangkah ke depan untuk menemani ibunya. Rupanya Kamila juga belum pulang, demikian juga pak Rahman, sehingga bu Rahman menikmati udara sore di teras, sendirian.


Senyumnya merekah, ketika tiba-tiba Raya muncul dan duduk menemaninya.


“Mbak Mila belum pulang?”


“Belum, nggak tahu jalan-jalan ke mana mereka.”


“Pasti kangen dong Bu, kemarin kan tidak bisa berbincang lama karena mas Abi buru-buru pergi."


“Semoga Mila segera mendapat jawaban tentang kelanjutan hubungan mereka, karena ayahmu selalu menanyakannya.”



”Semoga mas Abi segera bersiap melamar, Raya juga sudah ingin menggendong keponakan Raya.”


“Dilamar saja belum, sudah membayangkan punya keponakan.”


“Semoga mas Abi segera bisa  menyelesaikan semua urusannya, dan mbak Mila segera dilamar.”


“Aamiin.”


***


Abi dan Kamila sedang berada di luar kota. Mereka duduk di sebuah taman, di kawasan rumah makan yang nyaman di pinggiran kota.


“Sebenarnya aku ingin mengulang pertanyaan aku terdahulu.”


“Seperti tadi kata kamu, bahwa bapak menitipkan pesan?”


“Ya. Kita harus maklum, sebagai orang tua, pasti tak ingin anaknya pacaran berlama-lama, dan belum jelas ujung pangkalnya."


“Kamu kan sudah tahu alasannya?”


“Tapi bapak terus mendesak. Kemarin dulu bahkan mengancam, kalau Mas tidak segera menentukan kapan siap melamar, kita harus putus hubungan.”


Abi mengangkat wajahnya, menatap kekasihnya, tajam.


“Apa kamu juga menginginkannya?”


“Apakah kamu belum bisa memastikannya?”


Saling bertanya, menunjukkan bahwa tetap saja belum ada kepastian yang bisa dijanjikan Abi. Alasannya masih sama, tentang pekerjaan yang baru saja ditanganinya, setelah orang tuanya menyerahkan semuanya padanya.


Kamila menghela napas. Ia sudah tahu bagaimana sikap ayahnya nanti, ketika Kamila belum bisa mengatakan jawaban Abi secara tegas.


Abi tampak termenung.


“Apa Mas masih sangat sibuk?”


“Urusanku di Jakarta bukan urusan yang enteng.”


“Tapi mas tidak akan mematahkan harapan aku bukan? Terkadang aku ragu, benarkah Mas mencintai aku.”


Abi tersenyum tipis.


“Kita bukan anak kecil yang setiap kali harus mengungkapkan kata cinta. Sikap dan perbuatan yang kita rasakan, sudah menjawab semuanya. Kamu kan tahu, aku bukan pria yang romantis. Aku tidak bisa merayu, atau mengatakan ucapan yang manis.”


Kamila mengerti, ia hanya mengangguk. Kamila berbeda dengan Raya, yang bisa memvisualisasikan rasa dengan sikap dan perbuatan. Barangkali juga Damian juga tahu, bahwa Raya menyukainya, karena Raya selalu meluap-luap dalam mengungkapkan rasa. Bukan ucapan cinta, tapi sikap dan cara dia menatapnya adalah jawaban. Damian yakin, kalau dirinya bukan si tukang kebun, dan Raya bukan anak majikan, pastilah ucapan cinta itu sudah tercurah.


“Kamila.”


Kamila menatap kekasihnya.


“Maukan menunggu aku sekitar kurang lebih setahun?” akhirnya Abi mengucapkannya.


“Setahun?”


“Apakah setahun itu lama?”


“Sehari pun terasa lama, saat aku menantikan kamu datang menemui aku.”


“Aku harap kamu masih bisa bersabar.”


“Nanti, Mas bilang saja sendiri pada bapak, supaya bapak juga merasa lega, karena ada janji yang Mas ucapkan.”


“Baiklah.”


Akhirnya Kamila merasa lega. Setahun itu lama, tapi bukankah dia sabar menunggu Abi kuliah di luar negri sampai bertahun-tahun?


“Aku akan menunggu kamu.”


Abi tersenyum. Ia meraih tangan Kamila dan menciumnya lembut.


***


“Setahun? Mengapa harus setahun?” tanya pak Rahman ketika Abi mengutarakan maksudnya.”


“Saya baru saja menerima tanggung jawab dari ayah saya, dan saya perlu fokus untuk mempelajari semuanya.”


“Memangnya kenapa kalau kamu belajar berbisnis sambil menjadi seorang suami?”


“Saya tidak ingin mengecewakan Kamila, yang pasti akan sering saya tinggalkan.”


“Memangnya setelah setahun nanti, kamu tidak akan pergi-pergi meninggalkannya?”


“Tidak akan separah sekarang.”


“Baiklah, aku pegang kata-kata kamu, dan jangan mengecewakan aku.”


“Saya berjanji, Pak.”


Sudah malam ketika Abi meninggalkan rumah pak Rahman. Tapi ia sempat menikmati selat segar buatan bik Sarti, karena dulu belum sempat menikmatinya.


Raya sudah meringkuk di kamarnya, ketika Kamila mendekatinya.


“Heiii, masih sore, sudah ngorok?”


Raya membalikkan tubuhnya, duduk disamping kakaknya ditepi pembaringan.


“Ada kabar baik, kan?”


“Setahun.”


“Setahun? Maksudnya, mas Abi akan melamar, setahun lagi?”


Kamila mengangguk.


“Lama amat.”


“Tidak apa-apa, aku bisa menunggu sambil bekerja. Aku sudah bilang sama dia, dan dia tidak melarangnya.”


“Tapi bapak melarangnya kan?”


“Kami masing-masing punya alasan. Bapak akhirnya mengijinkannya.”


“Syukurlah.”


“Kamu jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu masih berhutang jawaban sama aku. Jangan pura-pura lupa ya.”


“Apaan sih?”


“Kamu sudah berani mengungkapkan bahwa kamu sedang jatuh cinta, tapi kamu belum mengatakan siapa orangnya.”


“Kan aku sudah bilang, bahwa jawabannya nanti, kalau sudah jelas-jelas dia menerima aku. Kalau aku belum-belum sudah cerita, tapi ternyata dia menolak, malu dong aku.”


“Siapa laki-laki yang berani menolak adikku yang cantik ini?”


“Terkadang kecantikan itu bukan ukuran seseorang untuk jatuh cinta. Ada pertimbangan lain, ya kan?”


“Sok pintar kamu.”


“Emang iya, kan?”


“Ya sudah, aku mau mandi,” kata Kamila sambil berdiri dan beranjak keluar kamar.


“Selat segar masih ada enggak ya?”


“O masih, salah sendiri tadi tidak mau keluar untuk makan selat bersama kita.”


“Aku mau minta sama bik Sarti, sekarang,” kata Raya yang kemudian juga beranjak keluar dari kamarnya.


***


“Bibik duduk di sini dong, menemani Raya makan,” kata Raya setelah bik Sarti meracik selatnya untuk Raya. Dia makan sendirian, karena semuanya sudah makan dari tadi.


Bik Sarti mendekat, lalu duduk di sebuah kursi kecil di dekat meja makan itu.


“Bibik, nggak makan?”


“Non saja makan duluan. Tadi ketika semua makan, saya ke kamar Non, tapi Non sepertinya tidur nyenyak.”


“Aku sebenarnya hanya tiduran.”


“Masa sih? Bibik memanggil-manggil Non Raya, tapi tidak bangun juga.”


“Tidak tidur sebenarnya.”


“Non sedang melamun, kalau begitu.”


Raya tertawa.


“Banyak yang aku pikirkan, Bik.”


“Non masih muda, memikirkan apa?”


“Banyak. Aku sudah mau ujian, terus ,,, ah, pokoknya banyak.”


“Memikirkan pacar, barangkali,” goda bibik.


Raya tertawa.


 “Bibik ada-ada saja. Belum ada yang mau sama aku.”


“Masa sih Non? Non sangat cantik, yang ngantri pasti banyak.”


Raya tertawa semakin keras.


“Memangnya tiket? Ambilnya harus ngantri?”


“Bibik tidak main-main Non. Kalau Non mau, pasti Non nanti tinggal milih mana salah satu yang mau. Sebentar lagi non Kamila menikah, tentu tidaK lama kemudian Non Raya akan menyusul.”


“Entahlah Bik, bukankah jodoh itu ditangan Allah?”


“Benar, tapi manusia juga boleh memilih kok. Setelah cocok, meminta kepada Allah, agar pilihannya tidak salah.”


“Bagaimana kalau yang aku suka tidak membalas?”


“Wah, mana ada Non. Laki-laki yang disukai Non pasti mau dong. Orang rabun itu, yang menolak gadis secantik Non.”


“Bibik kok kompak sih sama mbak Mila, pakai bilang orang rabun yang nggak mau sama aku?”


“Benar kan? Mana ada orang yang nggak mau sama gadis cantik, coba.”


“Nyatanya ada yang nggak suka sama aku tuh.”


“Non memilihnya yang seperti apa sih? Pasti yang ganteng, yang kaya, yang mobilnya banyak kayak bapak, yang rumahnya mewah, yang_”


“Nggak!” Raya cepat-cepat memotong perkataan bibik.”


“Lalu apa? Yang bagaimana?”


“Yang ganteng, iya lah … tapi bukan yang mobilnya banyak kayak bapak.”


“Lalu, masa non mau memilih laki-laki miskin? Nggak mungkin kan?”


“Semua kemungkinan itu kan ada Bik.”


“Apa?” bibik terkejut mendengar jawaban Raya. Seperti dugaannya, jawaban dari pertanyaannya adalah Damian. Benarkah? Melihat sikapnya sama Damian, sepertinya memang iya. Kan mereka sering duduk berdua di taman, yang kalau dari dapur, bibik bisa melihatnya dengan jelas. Tapi rasa was-was segera menghinggapi perasaan bibik. Kalau iya, apa tidak akan terjadi huru hara di rumah ini? Nggak mungkin dong, kedua orang tuanya memberi restu? "Tapi entahlah, belum tentu juga dugaanku benar, kok aku sudah berpikir seperti sudah terjadi saja." Bibik mengusap wajahnya kasar, berusaha menghilangkan bayangan-bayangan yang belum tentu akan terjadi.


“Kok bibik bengong?”


“Bengong lah, mendengar jawaban Non. Pilihan Non kan harusnya seperti apa yang bibik katakan tadi, ganteng, kaya, lalu_”


“Bukan Bik, aku tidak ingin yang terlalu tinggi. Aku hanya ingin menurutkan kemana hatiku memilihnya. Yang penting dia baik, dia rendah hati, dan tentu saja dia juga harus sayang sama aku.”


Bibik benar-benar bengong seperti sapi ompong.


“Kalau dia miskin?”


“Apakah harta itu harus selalu dipikirkan oleh setiap orang? Benarkah hanya harta yang bisa membahagiakan?”


“Tapi kalau orang nggak punya uang ya sedih Non. Non belum pernah merasakan rasanya menjadi orang miskin sih. Ingin itu, nggak kesampaian, ingin ini … hanya mimpi. Sedih Non.”


Raya melanjutkan menyendok sisa selatnya, sampai habis, tanpa berkomentar terhadap apa yang bibik katakan.


Kalau cinta sudah bicara, abaikan semua kemungkinan, yang pahit sekalipun.


***


Sari sedang termangu di depan rumahnya. Seharusnya dua hari yang lalu dia kontrol ke dokter. Obatnya sudah habis, dan lukanya juga belum menunjukkan kesembuhan. Masih nyeri, dan terkadang membuatnya nggak bisa tidur. Sang ibu tadi menyarankan untuk berangkat sendiri dengan taksi. Bu Mijan justru marah ketika Sari mengatakan bahwa dia sudah minta tolong Damian, tapi ditolak gara-gara Damian harus bekerja.


“Kenapa harus Damian? Memangnya Damian itu siapa kamu? Memang sih, keluarganya sejak dulu tetangga baik, tapi kamu tidak bisa terlalu tergantung sama dia. Nggak pantas, perempuan mendambakan lelaki, yang tidak pantas pula menjadi pendamping, dan kamu masih selalu memimpikannya.”


Sari hanya diam. Ia tahu ibunya tidak suka pada Damian. Bukan tak suka sama orangnya, tapi tak suka mendengar dirinya menyukainya. Damian dianggapnya tidak pantas, karena hanya seorang tukang kebun, yang kehidupannya tidak jelas. Sebelum berangkat ibunya memberi sejumlah uang untuk membayar taksi dan membayar beaya rumah sakit. Tapi sampai lama Sari belum juga memanggil taksi.


Tiba-tiba Sari terkejut, melihat sebuah mobil memasuki halaman. Ia melongok saja, dan segan berdiri menyambut, karena kakinya masih terasa nyeri. Tapi lebih terkejut lagi, ketika melihat siapa yang turun dari taksi itu. Seorang laki-laki bertubuh sedang, berwajah sedang pula, tapi pakaiannya lebih rapi dari yang biasa dia melihatnya.


“Darmo?”


Laki-laki yang dipanggil Darmo tersenyum mendekat.


“Ngapain kamu ke sini?” tanya Sari tak ada ramah-ramahnya.


“Bu Mijan meminta aku menemani kamu kontrol ke rumah sakit. Ayo, taksinya masih menunggu.”


“Apa? Menemani ke rumah sakit? Nggak mau, aku sendiri saja.”


“Sari, aku sudah susah-susah tidak jualan hari ini, karena kamu. Ayolah, kamu tidak bisa sendirian dengan kondiri kakimu seperti itu,” kata Darmo yang begitu saja menarik tangan Sari.


Sari terpaksa berdiri, mengikuti Darmo yang memapahnya. Sari tahu, bahwa sangat susah berjalan sendiri karena harus menahan rasa sakit di sebelah kakinya.


***


Siang itu pak Timan sedang duduk sendirian di teras rumah. Udara yang panas membuat dirinya harus mencari udara segar di depan rumah, sebelum bisa tidur istirahat siang di kamarnya.


Tiba-tiba pak Timan terkejut, ketika ada tukang pos memasuki halaman rumahnya. Selama ini dia belum pernah bersurat-suratan sama siapapun. Apa tukang pos itu salah alamat? Tapi pak Timan berdiri memnyambutnya.


“Selamat siang, apakah ini rumah pak Timan?”


“Ya, saya Timan.”


“Syukurlah, ada kiriman surat tercatat untuk Bapak, silakan tanda tangan di sini.”


Pak Timan terkejut.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...