*KEJORA PAGI*
πππ·✉️π©·π§πΆπ±π ┏━━━━━━••❁✿❁••━━━━━━┓
. *=SEBUAH PESAN=* ┗━━━━━━••❁✿❁••━━━━━━┛
πππ·✉️❤️π§πΆπ±π
.Bagian : 11.
Saturday, June 3, 2023
(Tien Kumalasari)
Damian turun dari sepedanya, Panggilan nyaring itu menggetarkan hatinya. Langkah-langkah berlari terdengar mendekat. Damian menoleh, melihat Raya terengah, kemudian berhenti di sampingnya.
“Ada apa Non?”
“Kamu mau ke mana?”
“Mau pulang Non, kan sudah waktunya saya pulang?”
“Kamu bilang mau keluar, bulan depan, kan?”
“Oh, itu.”
“Iya kah?”
“Iya Non.”
“Kenapa Dam?”
“Ayah saya … membutuhkan saya agar selalu berada dekat dengannya. Jadi ….”
“Mengapa harus keluar?”
Damian terkejut, melihat air mata Raya membasah. Benarkah Raya menangis? Kenapa? Ingin tangan Damian meraih wajah itu, mengusap air mata yang nyaris tumpah itu dengan jemarinya.
“Non ….” bisiknya lembut.
“Dam, jangan pergi.”
"Maafkan saya Non, saya tidak tahan lagi,” kata-kata Damian meluncur begitu saja. Raya menatapnya dengan mata masih membasah.
“Tidak tahan karena apa? Apakah ada yang mengasari kamu? Memarahi kamu? Apakah yang membuat kamu pergi? Siapa yang membuat kamu harus pergi?”
“Tidak … tidak Non, aduh, saya salah bicara, semuanya karena ayah saya Non, sungguh, bukan karena ada yang membuat saya merasa ada kekurangan di sini.”
Raya mengusap matanya, berusaha menghilangkan air mata yang membasah, tapi kemudian air mata itu muncul lagi. Damian merasa bingung. Ia tak tega membuat Raya menangis. Tapi mengapa Raya menangis?”
“Mengapa Non menangis?”
“Aku mohon, jangan pergi …” isaknya.
“Non, masih banyak pencari kerja, dan akan sangat mudah bagi keluarga ini untuk mencari tukang kebun yang lain.”
“Tidak akan sama Dam.”
Hati Damian teriris. Ia sama sekali tak mengerti apa yang dipikirkan dewi cantik yang sedang berdiri di sampingnya ini, walau ia mulai sedikit bisa meraba-raba. Hal itu membuat tekatnya untuk segera pergi semakin besar. Semuanya akan menjadi kacau, dan ia tak berani menghadapinya.
“Non, masuklah, saya harus pulang.”
“Damian, aku mohon.”
“Mengapa Non?
“Aku suka kamu Dam,” lirihnya dengan suara bergetar.
Damian terkejut. Dengan terus terang sang putri majikan mengatakan suka? Bahagiakah dirinya? Dan itu berarti dia tidak bertepuk sebelah tangan bukan? Tapi Damian menjadi semakin ketakutan. Akan terjadi prahara di keluarga Rahman, kalau sang putri bungsu jatuh cinta sama pembantu.
“Non, apakah Non sadar apa yang Non katakan? Lihatlah, saya ini siapa? Kita bagai bumi dan langit Non.”
“Kamu menolaknya?”
“Bukan karena saya tidak suka. Saya harus sadar diri. Saya tidak akan lupa, sebenarnya saya ini siapa. Itu sebabnya saya harus pergi."
“Itu sebabnya?”
“Tolong Non. Sekarang masuklah, saya harus segera pulang.
“Damian, jangan pergi.” sekarang air mata itu benar-benar jatuh, membasahi kedua pipinya.
Raya mengusap air matanya, kemudian membalikkan tubuhnya dan setengah berlari menuju rumah.
Damian menatapnya, sampai Raya menghilang dibalik pintu. Ia menghela napas panjang, kemudian naik ke atas sepedanya, lalu mengayuhnya pelan.
***
Ketika dirinya sampai di rumah, dilihatnya sang ayah sudah menghadapi kopi pahit seperti biasanya di ruang tengah. Ada juga segelas teh hangat untuk dirinya terletak berjajar di sana.
“Baru pulang Dam?”
“Iya Pak, Damian langsung mandi dulu ya Pak. Gerah,” kata Damian yang langsung masuk ke dalam.
Pak Timan tidak menjawab, tapi menatap wajah anaknya yang tampak sembab. Apakah Damian menangis? Rasanya tak mungkin. Damian sangat kuat dan tak pernah mengeluh. Apalagi menangis. Sejak kecilpun Damian tidak pernah menangis. Pak Timan bertanya-tanya. Peristiwa hebat apakah yang bisa meneteskan air mata anak laki-laki semata wayangnya?
Pak Timan meraih kopinya tanpa harus menunggu Damian, keburu dingin. Ada yang harus dikatakannya, tapi pelan-pelan. Selama ini pak Timan belum pernah bercerita banyak tentang ibunya, dan diam-diam pak Timan bersyukur, akan ada dana untuk Damian melanjutkan kuliah.
Agak lama, barusan Damian keluar, lalu duduk di hadapan ayahnya. Agak heran pak Timan, karena Damian berdandan rapi.
“Minumlah.”
Damian menyeruput minumannya, yang sudah agak dingin.
”Kenapa wajahmu?”
Damian meraba wajahnya, agak terkejut ketika menyadari bahwa ternyata sang ayah memperhatikannya.
“Memangnya kenapa Pak?” Damian tentu saja berpura-pura. Ia tak ingin mengatakan apapun tentang perasaannya kepada sang ayah.
“Kamu habis menangis?”
“Menangis? Bapak ada-ada saja. Masa Damian menangis?”
“Bapak juga heran. Sejak kamu masih kecil, bapak belum pernah melihat kamu menangis. Tapi ini tadi bapak melihat wajahmu sembab, matamu merah.”
“Udara diluar sangat panas. Wajar kalau mata Damian merah. Wajah juga kemerahan karena terbakar matahari.”
“Bukan karena ada sesuatu?”
“Tidak ada apa-apa. Damian baik-baik saja.”
“Ya sudah, syukurlah kalau begitu. Tapi sore ini kok kamu berdandan sangat rapi, apa mau bepergian? Atau mau menjenguk Sari? Bagaimana kabarnya setelah jatuh itu.”
“Kok Sari sih Pak. Tidak, Damian mau menemui seorang teman, yang sudah lama tidak ketemu.”
“Tumben kamu mau ketemu teman, ada perlu?”
“Lama tidak ketemu.”
“Baiklah, kalau mau pergi, sekarang saja, keburu malam.”
“Baiklah Pak. Damian pergi dulu, sekalian beli lauk untuk makan malam kita nanti.”
“Ya, terserah kamu saja. Pulangnya jangan malam-malam.”
“Ya Pak,” kata Damian yang langsung berdiri dan mengambil sepedanya.
Pak Timan mengambil gelas-gelas kosong, dibawanya ke belakang, langsung dicucinya, kemudian kembali duduk.
Besok dia akan pergi ke bank, untuk membuka rekening di salah satu bank, atas saran pak Steward. Ia membuka dompetnya, menghitung uang yang ada di dalamnya. Uang itu dari Damian yang memberinya uang saku setiap menerima gaji, barangkali dirinya memerlukan sesuatu.
“Aku kira masih cukup untuk membuka rekening. Entah bagaimana nanti, kan petugas bank bisa memberikan petunjuk cara membuka rekening. Ia belum ingin mengatakan tentang uang yang akan diterimanya pada Damian.
Pak Timan kemudian menyimpan kembali dompetnya. Tapi saat dia mau duduk lagi, dilihatnya sepeda motor memasuki halaman. Pak Timan heran melihatnya. Ia tentu saja sangat mengenal siapa yang datang. Tergopoh ia melangkah ke arah depan.
“Non Raya?”
Yang datang memang Raya, yang kemudian turun dari sepeda motornya dan datang menyalami pak Timan. Pak Timan heran ketika Raya mencium tangannya.
“Non Raya semakin cantik saja,” kata Pak Timan.
“Damian ada Pak?” tanyanya sambil tersenyum.
“Oh, sayang sekali, Damian baru saja keluar Non.”
“Ke mana Pak?”
“Saya tidak tahu Non, tadi bilang kalau mau ketemu temannya, yang lama tidak bertemu, begitu.”
“Begitu ya?” Raya tampak kecewa.
“Apa Non mau menunggu? Tapi saya tidak tahu, dia akan pergi berapa lama.”
“Ya sudah, besok saja saya kemari lagi.”
“Apakah Non Raya disuruh tuan Rahman?”
“Tidak, hanya mau bicara sedikit sama Damian. Ya sudah, saya pulang dulu. Ini buat pak Timan makan malam,” kata Raya sambil mengulurkan sebuah bungkusan.
“Ini apa?”
“Pokoknya bisa untuk makan malam. Saya pulang, pak Timan,” kata Raya sambil menaiki motornya, dan pergi meninggalkan rumah pak Timan.
“Apa sih ini? Aku malah lupa mengucapkan terima kasih. Habis, kaget melihat dia datang, lalu memberi makanan. Apa ini, panas sekali,” kata pak Timan yang segera membawa kebelakang bungkusan itu. Di ruang makan, ia membuka bungkusannya.
“Haa, bakso? Ada dua bungkus besar.”
Pak Timan bergegas mengambil panci, lalu menuang bakso itu ke dalamnya.
***
Ketika Raya memasuki halaman, ayah dan ibunya sedang duduk di teras. Ayahnya baru saja datang dari kantor.
“Dari mana dia?” tanya pak Rahman.
“Tadi bilang ingin beli bakso.”
“Beli bakso? Wah, sebenarnya aku juga pengin bakso.”
“Kita lihat saja nanti, apa Raya membeli cukup untuk orang serumah, kalau hanya sebungkus untuk dirinya sendiri, biar aku suruh bibik membelinya.”
“Nggak usah, kasihan nanti masakan bibik nggak termakan oleh kita.”
“Oh ya Pak, tadi Damian bilang, katanya bulan depan mau keluar.”
“Keluar, maksudnya tidak bekerja di sini lagi?”
“Iya.”
“Kenapa? Kok tiba-tiba?”
“Nggak tahu, aku. Tadi sebenarnya mau aku ajak bicara tentang kebun sebelah timur itu, yang ingin aku jadikan taman, tapi tiba-tiba dia mengatakan itu.”
“Ibu tidak bertanya kenapa? Mungkin gajinya kurang.”
“Tidak. Aku sudah menawarkan akan menambahi gajinya, tapi dia bilang bukan soal gaji. Ia hanya memikirkan ayahnya yang sakit-sakitan.”
“Ah, memang sudah sejak lama Timan sakit-sakitan. Tapi tidak sakit parah yang membahayakan, gitu kan?”
“Tampaknya tidak.”
“Kenapa memilih keluar? Pasti itu hanya alasannya saja.”
“Mungkin.”
“Mungkin dia mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik.”
“Bukankah kita memberinya gaji lumayan, karena pekerjaannya baik? Kalau dia bekerja di tempat lain, bisakah mendapatkan gaji sebaik yang kita berikan?”
“Entahlah. Banyak pertimbangan ketika seseorang harus memilih. Ya sudah, biarkan saja. Nanti kita cari yang lain. Banyak orang membutuhkan pekerjaan.”
***
Kamila mendekati meja makan, di mana bik Sarti meletakkan semangkuk besar bakso di atasnya.
“Wauuuw, bakso sebanyak ini, Bik?” pekik Mila.
“Itu Non Raya tadi yang beli.”
“Mana dia sekarang?”
Di kamarnya, barangkali. Tadi bilang kepalanya pusing.”
“Kepala pusing, kenapa ngeluyur beli bakso?”
Kamila menemui Raya di kamarnya, sementara bik Sarti beranjak ke arah depan, memberitahukan kepada sang tuan dan nyonya, bahwa bakso yang dibeli non Raya sudah siap di meja makan.
“Memangnya Raya beli banyak?” tanya bu Rahman.
“Banyak, nyonya. Ada kira-kira enam bungkus. Sudah saya tata semuanya di meja.”
“Wah, kebetulan Bik, bapaknya anak-anak baru saja bilang ingin makan bakso. Raya dan Kamila sudah di ruang makan?”
“Non Kamila sudah tahu, tapi non Raya tadi bilang kepalanya pusing, nggak usah diajak makan.”
“Lhoh, beli sendiri, kenapa nggak mau makan?”
“Katanya kepala pusing, Tuan.”
“Anak itu, kalau kepala pusing mengapa nekat pergi beli bakso?” kata pak Rahman sambil mengikuti istrinya ke ruang makan.
“Barangkali tadi belum merasa pusing. Nanti akan ibu tanya setelah Bapak makan,” kata bu Rahman.
Sementara itu Kamila heran, ketika menemui adiknya, dilihatnya sang adik sudah menutup matanya sambil memeluk guling. Tapi Kamila heran, melihat bekas air mata pada pipi Raya.
“Raya, aku yakin kamu tidak benar-benar tidur.”
Raya mempererat pelukan pada gulingnya, tapi tidak membuka matanya. Kamila penasaran, ditariknya guling itu.
“Uuh, Mbak Mila … “ keluh Raya, yang tetap membelakangi kakaknya.
“Ada apa? Kamu menangis? Mengapa beli bakso begitu banyak? Atau kamu makan bakso bersama pacar kamu itu?”
Raya menggeleng, tapi tetap tak mau menatap kakaknya.
Kamila menarik tubuh adiknya, membuat Raya terpaksa membuka matanya.
“Heiii, apa yang terjadi?”
“Nggak ada.”
“Kenapa menangis?”
“Kepala pusing.”
“Kenapa pusing?”
“Nggak apa-apa, pusing aja.”
“Atau, jangan-jangan ternyata laki-laki yang kamu sukai itu menolak cinta kamu, karena dia sudah punya pacar?”
Raya menggeleng keras.
“Jangan banyak tanya Mbak, kepalaku pusing, biar aku tidur saja,” kata Raya sambil merebut gulingnya lagi, lalu memeluknya sambil membelakangi kakaknya.
Kamila menghela napas. Mengingat Raya tampaknya belum mau bicara, kemudian Mila meninggalkannya, menuju ke ruang makan, karena sesungguhnya dia juga ingin segera menyantap bakso.
“Mana adik kamu?” tanya bu Rahman.
“Tidur, katanya kepalanya pusing.”
“Kalau pusing kenapa pergi, lalu membeli bakso sebanyak ini?” tukas pak Rahman.
“Mungkin setelah beli, ia merasa pusing.”
“Suruh minum obat,” kata ayahnya.
“Baiklah, nanti Mila bawakan obatnya sekalian mengambilkan baksonya ke kamar.”
“Kamu makan saja dulu di sini, paling-paling Raya hanya kecapekan. Maklum, dia kan mau ujian juga,” kaya bu Rahman.
***
Damian terkejut, ketika melihat ayahnya sedang memanasi bakso dalam panci, sementara dia sudah membeli lauk sepulang bepergian tadi.
“Bapak membeli bakso? Kalau ingin bakso, kenapa tadi tidak bilang Damian, sehingga Damian saja yang beli baksonya.”
“Bukan bapak yang beli, tapi non Raya.”
Damian membelalakkan matanya. Raya datang ke rumah, dan membawa bakso?
“Iya. Kamu heran? Bapak juga heran sih. Tadi dia bilang mau ketemu kamu.”
Damian terdiam. Ia tak mengerti mengapa Raya datang ke rumah. Ia masih ingat ketika Raya mengejarnya, lalu meneteskan air mata ketika mengatakan bahwa dia tak boleh pergi. Dia juga mengatakan suka padanya.
Damian duduk di kursi, karena gelisah memikirkan sikap Raya.
“Ada apa?”
"Non Raya suka sama Damian.”
Pak Timan terkejut.
***
Besok lagi ya.
Sekedar pengisi waktu senggang
Yang suka Monggo, yang tak berkenan dihapus saja Nggih, matursuwun dulur π
No comments:
Post a Comment