SEBUAH PESAN 46
(Tien Kumalasari)
Damian sampai di rumah saat senja. Raya sudah menyambutnya setelah mandi, dan wangi. Seperti biasa Raya mencium tangannya, dan Damian membalasnya dengan mencium keningnya. Kali ini rambutnya juga, dan apa saja yang ingin diciumnya. Raya menggodanya dengan memencet hidungnya.
?Bau acem ….” katanya sambil nyengir.
Damian terbahak, tapi enggan melepaskan kedua tangan yang masih memegang kepalanya.
“Bau acem, tapi ngangenin kan?” kata Damian.
"Mandilah, aku siapkan teh hangat dan cemilan untuk kamu,” katanya sambil tersenyum.
Damian beranjak ke kamar dan bersiap untuk mandi.
Raya menyiapkan minuman hangat untuk suaminya, dan cemilan yang ditatanya di piring, lalu menunggunya sambil duduk di ruang tamu.
Saat Damian datang, wangi menyeruak di seluruh ruangan.
“Hm, sudah wangi nih.”
“Wangi dong,” katanya sambil menghirup minuman yang disiapkan sang istri.
“Ini cemilan dari ibu, bik Sarti beli saat belanja ke pasar.”
“Bik Sarti ke sini lagi?”
“Tidak, aku yang ke sana, ketika mengambil undangan. Itu undangannya, kamu belum membacanya kan?”
“Nggak usah, kan aku juga nggak kenal. Pokoknya ngikut kamu saja.”
“Baiklah. Terserah kamu saja.”
“Bener nih, nggak ingin beli baju untuk ke pesta nanti?”
“Aduuuh, Dam, aku masih punya baju yang bagus. Bukankah kita harus hidup sederhana? Jangan karena kamu punya uang lalu ingin memanjakan aku, bukan itu yang aku inginkan.”
“Lalu apa yang kamu inginkan?”
“Tetap hidup sederhana seperti hidup kamu sebelumnya. Kamu yang aku kagumi dan kamu yang tak pernah malu mengakui kekurangan kamu. Itu sebabnya aku ingin hidup seperti dirimu.”
“Ray, kamu tahu, selaksa gadis yang aku temui, tak akan ada yang seperti dirimu. Putri seorang kaya yang bersedia hidup sederhana bersama seorang tukang kebun seperti aku.”
“Jangan berlebihan, nanti aku besar kepala.”
“Nggak tuh, nih… kepala kamu masih seperti biasa … “
“Nggak lucu ah. Itu kan hanya kiasan.”
Damian tertawa. Ia merasa hidupnya hampir sempurna. Ia akan mengayuhnya, sampai sempurna itu benar-benar bisa dicapainya. Hanya hidup tenang, bahagia, tidak merasa kekurangan, penuh syukur, dan ikhlas menjalani segala langkah yang tidak menyimpang dari kebenaran. Barangkali nanti kalau mereka sudah punya anak, barulah kesempurnaan hidup itu bisa dirasakannya. Anak? Damian tersenyum memikirkannya. Ada bayi lucu, lalu anak-anak yang bertumbuh menjadi besar, meramaikan rumah dengan tawa dan canda. Aduhai.
“Kenapa kamu tersenyum-senyum?”
“Kamu tahu, apa yang aku bayangkan? Anak. Seorang anak, lalu beberapa lagi."
“Anak? Kamu sudah sering mengatakannya.”
“Kapan ya, kita punya anak?”
“Terserah kapan Allah memberikannya. Kita akan menerimanya. Bukankah anak adalah titipan? Tapi juga karunia?”
“Aku tahu. Tadi aku membayangkan kelucuan seorang anak. Kita akan merasa semakin sempurna kalau si kecil itu sudah diperkenankan hadir dalam kehidupan kita.”
“Tentu saja. Kita harus selalu berharap dan berdoa.”
“Dan berusaha bukan?” kata Damian sambil tersenyum nakal.
Raya pura-pura tidak mendengarkan, asyik mencomot kue-kue jajanan yang terhidang di meja, membuat Damian harus mencubit pipinya, pelan, tapi manis.
***
Rosa sedang bertandang ke rumah Kamila, setelah belanja bersama-sama. Kamila menanyakan perkembangan kehamilan Juwita, yang kata Rosa selalu mengontrolnya di rumah kontrakannya yang sederhana.
“Dia baik, selalu memeriksakan kandungannya yang sudah membesar.”
“Bagus kalau kamu selalu mengontrolnya, kalau tidak, dia bisa berbuat yang macam-macam.”
“Tidak, mas Rama mengancamnya keras. Dia punya dosa yang bisa membawanya ke jalur hukum.”
“Iya, benar. Dan mas Abi juga bilang, kalau tidak berhasil, maka dia akan membantu memaksanya.”
“Semuanya baik-baik saja, bulan depan dia melahirkan. Tapi dia minta di caesar saja. Katanya nggak mau kesakitan, dan setelah itu dia harus bekerja lagi.”
“Oh ya, dia tahu, setelah melahirkan, mungkin harga jual tubuhnya akan berkurang, jadi dia tidak mau ada cacat celanya,” kata Kamila yang disambut tawa lucu keduanya.
“Dasar perempuan nggak bener. Yang dipikir hanya uang, sehingga kehilangan rasa kemanusiaan. Bahkan terhadap darah dagingnya sendiri, seperti tak ada ikatan apapun, malah menganggapnya sebagai pengganggu.”
“Semoga segera mendapat hidayah, sehingga dia mengerti apa yang terbaik bagi hidupnya.”
“Sekarang ini, yang terbaik adalah memiliki banyak uang. Dia merasa sudah ‘bertapa’ selama berbulan-bulan.
“Semoga segera sadar, lalu menjalani hidup bersih, jauh dari dosa maksiat.”
“Aamiin. Itu yang seharusnya.”
“Berarti kamu sudah mempersiapkan semuanya untuk menyambut bayi kamu dong Ros.”
“Iya sudah, kamar bayi, dan semua perlengkapannya. Aku merasa benar-benar akan melahirkan anakku.”
“Semoga benar, akan segera kesampaian kamu bisa melahirkan darah dagingmu sendiri.”
“Aamiin. Lalu bagaimana kabar kandungan kamu?”
“Anakku tidak rewel, aku sudah bisa beraktifitas seperti semula, tapi karena mas Abi memaksa harus ada pembantu, maka aku bekerja di rumah agak lebih ringan. Paling-paling memberi instruksi tentang masakan, misalnya aku atau mas Abi pengin makan apa, dan sebagainya. Dia pintar kok, dan masakannya juga lumayan. Kami berdua cocok.”
“Syukurlah. Tapi aku tak bisa lama di sini nih, nanti kalau mas Rama pulang makan siang, aku belum memasak..”
“Kamu bawa masakan dari sini saja. Bibik memasak rawon, sudah hampir matang tuh.”
“Benar?”
“Benar, ayo ke dapur dan minta agar bibik menyiapkan. Dia juga menggoreng perkedel dan ada juga telur asin. Itu pasangan rawon yang cocok.”
“Iya, aku tahu. Baiklah kalau begitu, aku bisa ngobrol sebentar lagi dan pulang menjelang mas Rama kembali ke rumah saat makan siang,” kata Rosa gembira,
Tapi ketika ngobrol itu, tiba-tiba ponsel Rosa berdering.
“Hallo, Hanna? Ya, aku tahu, kamu mau ulang tahun, baiklah, mbak tidak lupa kok. Ada dong, kamu minta hadiah apa? Uang? Masa sih hadiah uang? Oh, buat pesta besok Minggu? Baiklah, aku yakin bapak sudah kamu todong juga. Baiklah, nggak banyak ya. Ya, aku sedang di rumah Kamila. Baik, nanti aku transfer, bawel.”
Rosa menutup ponselnya.
“Dari Hanna. Besok Minggu dia mengundang teman-teman SMA nya untuk merayakan ulang tahunnya.”
“Hanna adik kamu? Dia di Jakarta juga kan?”
“Tidak, dia pulang, dan kuliah lagi. Katanya di sini nggak kerasan, bosan.”
“Oh ya? Padahal semua keluarganya di sini kan? Sama siapa dia di Solo?”
“Sendiri, sama pembantu. Katanya sekalian menunggu rumah bapak. Alasan saja, sebenarnya dia patah hati.”
“Patah hati?”
“Dia ditinggalkan pacarnya menikah.”
“Kasihan. Hanna kan cantik, cari pacar lagi dong.”
“Dia bilang ada yang di sukainya di sana, teman kuliahnya.”
“Tuh kan, orang cantik cepet dapat pacar kan?”
“Belum pacaran, Hanna baru naksir. Dia bilang tergila-gila, karena temannya itu ganteng banget.”
Keduanya tertawa, mengingat masa muda mereka saat masih sendirian.
***
Hari Minggu itu akhirnya tiba. Raya dan Damian sudah siap untuk berangkat ke pesta. Damian memakai hem batik yang dipilihkan istrinya, tampak gagah dan tampan. Raya menata kerah bajunya yang tertekuk, menatapnya dengan kagum. Tapi Damian juga terpesona melihat istrinya berdandan. Walau bukan baju yang gemerlap seperti layaknya orang berpesta, tapi Raya tampak anggun dan cantik dengan gaun polos warna salem, dengan kerudung senada yang berkembang-kembang cantik.
Tak tahan menatap istrinya, Damian mengelus pipinya lembut.
“Kenapa kamu bisa secantik ini?”
Raya tersenyum.
“Mau berangkat ke pesta juga masih sempat ngerayu.”
“Aku tidak akan bosan mengatakan bahwa kamu cantik.”
“Bagaimana besok kalau aku tua?”
“Aku tetap akan bilang bahwa kamu cantik.”
“ Biar rambutku putih, kulitku keriput?”
“Kamu yang tercantik diantara seluruh wanita sedunia.”
Raya tertawa lucu.
“Ini ngegombalnya keterlaluan. Ayuk berangkat.”
“Kita naik taksi saja ya, kalau boncengan, takutnya gaun kamu tersangkut di roda sepeda motor, bahaya nanti.”
“Terserah kamu saja.”
Damian mengambil ponselnya dan memesan taksi.
***
Bu Rahman memerlukan menelpon Raya di hari MInggu sore itu, untuk memastikan apakah Raya memenuhi keinginannya untuk datang sendirian, tanpa suaminya. Bu Rahman akan merasa malu kalau teman-teman Raya yang kebanyakan anak orang berada itu bertanya, dimana suami Raya bekerja.
“Ya, Ibu,” sapa Raya ketika sang ibu menelponnya.
“Kamu nggak lupa kan, Hanna mengundang kamu?”
“Enggak Bu, ini sudah siap, sedang menunggu taksi.”
“Kamu berangkat sendiri kan?”
“Tidak Bu, mana mungkin Raya berangkat sendiri saat ada undangan malam hari.”
“Lhoh, ibu kan sudah mengingatkan bahwa Hanna hanya mengundang teman-teman perempuannya. Nanti kamu mendapat malu lhoh, berangkat sendiri saja.”
“Raya sudah menelpon dia, katanya tidak ada larangan untuk laki-laki datang ke pestanya.”
“Apa? Kamu menelponnya?”
“Iya, karena sesungguhnya Raya tidak bisa kalau sendirian. Dan dia bilang teman-teman laki-lakinya banyak kok.”
Bu Rahman menutup ponselnya tanpa menjawab lagi. Wajahnya keruh. Ia tak menemukan alasan, mengapa dia meminta Raya untuk datang tanpa suaminya.
“Menelpon siapa Bu, kok wajah Ibu jadi cemberut begitu?”
“Mengingatkan Raya, hari ini kan ada undangan dari Hanna.”
“Dia ingat kan?”
“Ingat. Tapi ibu heran, mengapa Raya mengajak suaminya.”
“Memangnya kenapa kalau mengajak suaminya?”
“Yang diundang kan teman SMA nya, apa suaminya juga temannya?”
“Ibu itu aneh, yang diundang Raya, tidak ada salahnya kalau Raya mengajak suaminya. Masa Raya berangkat sendiri, malam-malam lagi.”
“Kalau Hanna tidak suka bagaimana?”
“Ibu itu berpikir yang enggak-enggak saja. Ya sudahlah, itu kan urusan yang muda-muda. Mereka bisa mengatur dan menjaga apa yang pantas dilakukan dan yang tidak. Ya kan?”
“Ya sudah, aku juga cuma mengingatkan kok.”
“Kalau begitu, ibu nggak usah cemberut dong, masa sih, setiap urusan tentang Damian kok ibu pasti kelihatan nggak suka begitu.”
“Nggak, siapa yang cemberut?”
“Bukan cemberut, tapi manyun,” canda pak Rahman yang berharap istrinya akan melupakan kekesalannya.
Sebenarnya pak Rahman agak kesal karena sang istri masih juga merasa tidak suka pada menantunya. Tapi pak Rahman pada dasarnya memang suami penyabar, dan sangat menjaga istrinya, sehingga kalau tidak keterlaluan, dia tidak perlu kasar terhadap istrinya.
***
“Apa ibu melarang aku ikut bersama kamu?” tanya Damian ketika sudah di dalam taksi.
“Tidak melarang, ibu hanya mengingatkan, bahwa yang diundang adalah teman-teman SMA nya,” kata Raya berbohong, karena tak ingin menyakiti hati suaminya.
“Dan aku bukan teman SMA nya?”
“Tapi kamu kan suami aku, jadi kalau aku pergi, apalagi ke sebuah pesta, kamu harus ikut dong. Demikian juga kalau kamu diundang salah satu teman kamu, aku sebaiknya ikut kan? Bagaimana kalau nanti ada yang naksir kamu?” canda Raya.
Damian tertawa.
“Apa aku juga harus takut kalau kamu berangkat sendirian? Bagaimana kalau ada yang naksir kamu?”
“Ada-ada saja. Kan sudah ada labelnya. Punya suami, demikian juga kamu, punya istri. Betul nggak?”
“Dimana labelnya ditaruh?”
“Di dalam hati dong.”
Keduanya tertawa, sang pengemudi taksi juga tersenyum. Dia kemudian tahu, penumpangnya adalah sepasang pengantin baru.
***
Ketika mereka turun dari taksi, Raya melihat, rumah Hanna sudah dihias cantik, dengan lampu yang terang benderang. Banyak bola-bola berwarna warni menghiasi ruangan. Damian merasa, seperti sebuah pesta kanak-kanak.
Raya menarik suaminya untuk berjalan mendekati rumah, ia melihat sudah banyak yang hadir di sana. Raya segera mengenali, mereka memang teman-teman SMA nya. Sudah terbayang, betapa akan hebohnya nanti kalau ketemu. Bergegas Raya menarik tangan suaminya.
Tapi Raya terkejut, ketika begitu memasuki ruangan, seseorang menarik tangannya, tanpa peduli ada seseorang di sampingnya.
“Raya, lihat, di sana kamu sudah ditunggu,” pekiknya sambil membawa Raya pada sekumpulan orang yang pastinya dulu kelompok belajar atau entah apa.
Damian geleng-geleng kepala, menatap ke arah istrinya di mana bergantian teman-teman merangkulnya.
Tiba-tiba Damian terkejut, ketika seseorang bergayut di lengannya.
“Damiaaan, aku tahu kamu tidak tega untuk tidak datang memenuhi undangan aku, ayo ikut aku, temani aku memotong kue.”
Damian kebingungan. Kok ada Hanna? Dia menoleh ke arah sang istri yang sekarang tidak lagi kelihatan, tertutup kerumunan orang dengan kehebohannya masing-masing.
“Teman-teman, lihatlah, pacar aku sudah datang,” tiba-tiba Hanna berteriak.
***
Besok lagi ya.
No comments:
Post a Comment