Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (47)

SEBUAH PESAN  47


(Tien Kumalasari)


 


 Damian bingung dalam keterkejutannya, dan membiarkan Hanna menariknya ke arah depan. Wajah Hanna berpijar, merasa bahwa ternyata Damian yang dikaguminya memperhatikan undangannya, walau semula menolaknya. Karenanya dia merasa bahwa Damian menganggapnya istimewa, dan kata-kata bahwa dia sudah beristri, hanyalah isapan jempol saja.


Beberapa temannya menatap ke arah keduanya, dan melihat Damian memaksa melepaskan tangannya dari genggaman Hanna.


“Teman-teman, ini adalah _ pacar aku,” teriaknya dengan wajah sumringah.


“Bukan. Mana Raya?” Kata Damian sambil menjauh.


“Damian, kamu mencari siapa?”


“Raya! Rayaa!” Damian berteriak, padahal Raya sedang menatapnya ketika mendengar teriakan Hanna yang sedang memperkenalkan pacarnya.


Raya berkedip tak percaya. Suaminya dalam gandengan Hanna, yang kemudian melepaskan diri dan memanggil-manggail namanya. Raya tak menjawab. Hatinya dipenuhi oleh beribu pertanyaan tentang apa yang baru saja didengar dan dilihatnya.


“Raya!” Damian mencari-cari dengan matanya.


“Damian, kamu suka Raya? Dengar, Raya sudah bersuami!” teriak Hanna lagi.


Damian menatap Hanna dengan marah.


“Akulah suaminya!” katanya sengit.


“Ya ampun, Damian, jangan mimpi. Suami Raya adalah seorang tukang kebun.”


Damian menatap Hanna dengan pandangan dingin bagai es.


“Rayaaa! Mana Raya, kamu membawa suami kamu, bukan? Kamu sudah mengatakannya,” teriak Hanna keras, karena dia belum melihat di mana Raya berada.


“Rayaa!” Damian masih berteriak.


“Damian, Raya sudah punya suami, seorang tukang kebun. Kamu tidak mendengar apa yang aku katakan?”


“Akulah tukang kebun itu,” kata Damian tandas, sambil berjalan menybakkan kerumunan. Lalu ditemukannya Raya, diantara kerumunan teman-temannya, diam membisu dan membeku ditempatnya.


Sedangkan Hanna terpana dengan jawaban Damian. Apa Damian bermimpi? Mengapa dia mengakui sebagai si tukang kebun, dan Raya adalah istrinya?”


Sebelum dia sadar apa yang terjadi, dia melihat Damian sudah menemukan Raya, dan menarik Raya keluar dari ruangan.


Suara gaduh bersahutan, tidak mengira bahwa pesta yang belum dimulai itu tiba-tiba menjadi kacau tak karuan.


Damian terus menarik Raya keluar, menjauh dari rumah Hanna, berdiri di tepi jalan menunggu taksi yang sudah dipanggilnya.


***


Keduanya terdiam, masing-masing tak ingin mendahului bicara. Kejadian itu sangat mengejutkan mereka.


“Ray,” akhirnya Damian tak tahan lagi. Tapi rupanya Raya juga sedang menyebut namanya.


“Dam,”


Damian menghela napas.


“Ternyata teman kamu yang mengundang itu, Hanna?”


“Dan aku tidak tahu bahwa dia pacar kamu.”


“Ya Tuhan,” Damian mengeluh sambil mengusap wajahnya kasar.


“Gadis itu keterlaluan,” kesal Damian.


“Karena memperkenalkan pacarnya dihadapan teman-temannya, dan terutama istrinya?”


“Aku bukan pacarnya. Dia itu gila,” umpat Damian tak bisa menahan kekesalannya.


“Masa dia tiba-tiba mengatakan itu, kalau tak ada apa-apa diantara kalian?”


“Dia teman kuliah, maksudku … satu kampus tapi tidak satu jurusan.”


“Tidak ada halangan bukan, berpacaran dengan gadis dari jurusan lain?” kata Raya yang masih merasa kesal.


“Dia bukan pacar aku. Aku sudah punya istri, masa aku berpacaran dengan gadis lain, sih?”


“Itu kan pengakuan kamu di depan istri kamu.”


“Aku sungguh tidak berpacaran sama dia. Memang sih, dia mengejar-ngejar aku. Dia bahkan juga mengundang aku beberapa hari yang lalu.”


“Tidak mengira kalau yang mengundang aku juga sama?”


“Aku menolak undangannya, dan bilang bahwa aku akan datang memenuhi undangan lain bersama istri aku. Tapi dia tak percaya bahwa aku sudah punya istri.”


“Benarkah?”


Damian terdiam, kesal karena Raya tidak mempercayainya. Mereka saling diam sampai ketika memasuki rumah, karena tak ingin bertengkar di dalam taksi.


***


Setelah berganti pakaian, mereka duduk berdua, masih dengan wajah kaku.


“Dia mengejar-ngejar aku, bukan pacar aku.”


“Soalnya kamu di kampus tebar pesona kan?” tuduh Raya.


“Aku kan memang mempesona,” canda Damian, berharap istrinya terpancing dan tertawa. Tapi  candaan itu memicu kekesalan Raya menjadi bertambah?”


“O, begitu ya, karena merasa menjadi laki-laki yang mempesona, lalu menjadi bangga, dan senang kan, diakui pacar oleh seseorang?”


“Kamu harus bangga dong, punya suami banyak digilai wanita, tapi nyatanya aku hanya memilih kamu.”


"Itu kesombongan kamu, karena merasa digilai banyak gadis.”


“Ray, kok ini masalahnya jadi ke mana-mana sih? Ada terjadi salah paham di sini, karena kamu mengajak aku mendatangi sebuah undangan pesta, dan aku mengikuti ajakan kamu, dan ternyata kita datang di pesta yang tadinya aku sudah menolak datang. Kalau tahu itu pestanya Hanna, aku tak akan mau datang, karena aku memang sudah menolaknya. Sungguh aku tidak tahu siapa yang kamu sebut sebagai teman SMA kamu itu. Aku kan tidak membaca undangannya?”


Raya diam.


“Tapi yang aku heran, bagaimana Hanna bisa menyebut suami kamu adalah tukang kebun? Aku juga mengakuinya tadi, bahwa akulah tukang kebun itu.”


Raya kemudian juga berpikir. Permasalahan salah paham itu tiba-tiba dilupakannya, karena ia sesungguhnya percaya pada suaminya. Ia sudah mendengar tadi bahwa Damian mengakui bahwa dirinya adalah istrinya, bahkan ketika Hanna mengatakan bahwa suami Raya itu tukang kebun,  Damian mengatakannya, bahwa dia lah tukang kebun itu. Baginya itu cukup. Tadi ia hanya ingin mengolok-olok suaminya saja, walau sebenarnya ada rasa kesal melihat suaminya digandeng-gandeng gadis lain. Tapi kata-kata bahwa suaminya adalah tukang kebun, sangat mengejutkannya. Dari mana Hanna mendengar berita tentang tukang kebun itu?


“Mengapa Hanna tahu tentang tukang kebun itu?” tanya Damian.


Lalu Raya teringat,  bahwa Hanna memberikan undangan itu melalui ibunya. Siapa lagi yang mengatakan itu kalau bukan ibunya?


“Maaf Damian, tentang tukang kebun itu, aku kira dari ibu.”


“Aku juga berpikir begitu. Mengapa kamu minta maaf?”


“Hal itu membuat kamu malu, direndahkan di depan banyak orang.”


Damian tertawa.


“Mengapa aku harus malu? Tidak. Aku tidak merasa rendah dengan predikat tukang kebun itu. Biarkan saja. Kamu kan mendengar bahwa aku juga mengakuinya di depan umum? Atau … jangan-jangan kamu yang malu, dikenal diantara teman-teman kamu bahwa suami kamu seorang tukang kebun?”


Raya merangkul suaminya.


“Tidak, aku bangga punya suami tukang kebun yang tidak merasa rendah diri, dan yang penting memiliki cinta yang diberikan untuk aku.”


“Seorang. Tak ada yang lainnya, kamu harus percaya sama aku.”


“Aku percaya. Tapi karena tadi mau pesta, aku tidak menyiapkan makan malam untuk kita, padahal sekarang aku lapar. Aku masak dulu ya?”


“Jangan, ayo makan di luar saja, pilih yang kamu suka.”


“Nggak ah, itu kan boros.”


“Ray, sesekali tidak apa-apa, ayo bersiap, kita boncengan saja,” kata Damian sambil menarik istrinya.”


***


Hanna sangat sedih dan juga malu. Ia berteriak bahwa Damian adalah pacarnya, tapi ternyata Damian adalah suami Raya. Ia bahkan mengakui bahwa memang dirinya tukang kebun. Bagaimana ada tukang kebun seganteng itu? Mahasiswa pula. Begitu gantengnya sampai dirinya tergila-gila. Hanna berharap, kalau dia telaten mendekatinya, maka pasti Damian akan jatuh hati pula padanya. Hanna merasa dirinya cantik, dan tak mungkin seorang lelaki menolaknya. Begitu tergila-gilanya Hanna, sampai tak pernah percaya ketika Damian mengatakan bahwa dirinya sudah punya istri. Tapi kenyataan yang di saksikannya, memang benar Damian sudah beristri, dan istrinya adalah Raya, sahabatnya.


Hanna membubarkan pestanya dan mengurungkan acara kehoh yang sudah dirancangnya. Ia hanya mempersilakan teman=temannya makan, dan masih sore mereka sudah bubar. Rumahnya kembali sepi, bersama kekecewaan yang terus menggayutinya.


***


 Pagi hari itu Rosa baru saja mengantarkan suaminya sampai ke mobil, ketika mau berangkat ke kantor. Tiba-tiba ponsel yang ditinggalkannya di teras berdering. Rosa setengah berlari menghampirinya. Ternyata dari Hanna adiknya.


“Pasti mau menceritakan pestanya yang menyenangkan, tadi malam,” gumam Rosa sambil membuka ponselnya.


“Bagaimana Han? Rame pestanya?” sambut Rosa, tapi Rosa heran, Hanna menjawabnya dengan suara lesu.


“Menyedihkan,” katanya singkat, dengan nada yang benar-benar sedih.


“Hei, kenapa? Teman kamu yang datang cuma sedikit? Atau cowok yang kamu taksir tidak hadir?”


“Aku kecewa, Mbak. Cowok itu, ternyata suami Raya.”


“Apa? Suami Raya? Dia teman kamu kuliah?”


“Iya, bukan se jurusan sih, tapi se kampus. Tadinya dia menolak undangan aku, karena katanya akan memenuhi undangan lain bersama istrinya. Tapi aku tak percaya, walau sudah berkali-kali dia mengatakan bahwa dia sudah punya istri.”


“Kenapa kamu tidak percaya?”


“Dia masih tampak muda, dan begitu menarik.”


“Lalu, bagaimana?”


“Raya datang dengan suaminya, dan ternyata suaminya adalah Damian, cowog=k ganteng yang ingin aku jadikan pacar aku.”


“Tunggu dulu, kayaknya Kamila, kakak Raya, pernah cerita bahwa Rosa menikah tanpa restu ibunya, karena suami pilihannya bukan dari golongan keluarga terpandang.”


“Iya, benar. Tante Rahman malah mengatakan bahwa suami Raya itu seorang tukang kebun.”


“Nah, itu sebabnya orang tuanya, terutama ibunya, tidak suka sebenarnya. Tapi dia kuliah?”


“Kuliah, dan dia dikenal sebagai mahasiswa pintar, disukai dosen-dosen.”


“Hebat. Tapi aku kok tidak yakin bahwa suami Raya orang tak punya. Nanti aku telpon Kamila deh. Dan kamu tidak usah sedih, memangnya cuma Damian, cowok ganteng di dunia ini?”


“Sedih, aku Mbak.”


“Seperti sudah pacaran saja. Kan baru naksir, kalau tiak terbalas ya sudah, cari yang lain. Kamu kan cantik, apa susahnya cari pacar?”


“Aku maunya yang kayak Damian,” rengek Hanna.”


“Hei, jangan begitu. Dia suami sahabat kamu. Ya sudah, aku mau belanja nih, dan kamu harus bisa melupakan dia, tidak menyesalinya, kayak cowok di dunia ini hanya Damian saja.”


Rosa segera menutup ponselnya. Cerita tentang Damian sangat menarik baginya. Suami Raya yang bukan dari keluarga kaya, tapi kuliah di kampus yang sama dengan adiknya. Itu kampus terkemuka dan terkenal bayarannya mahal. Karenanya dia ingin segera menelpon Kamila, sahabatnya.


***


Kamila sedang dalam perjalanan ke rumah sakit ketika Rosa menelponnya, agak heran ketika tiba-tiba Rosa menanyakan tentang Damian.


“Aku sedang mau kontrol kandungan ke rumah sakit, karena harus periksa laborat segala. Mengapa tiba-tiba kamu menanyakan Damian? Kamu kenal dia?”


“Ceritanya rumit, tapi agak lucu, kalau menurut aku.”


“Gimana sih ceritanya? Rumit tapi lucu?”


“Hanna kan kemarin mengundang teman-temannya untuk berpesta di rumah. Dia bilang juga mengundang salah seorang cowok yang dia suka. Kecuali itu dia kan juga mengundang Raya, yang katanya mau datang bersama suaminya. Hanna senang dong, karena dia juga pengin kenal suami Raya. Soalnya waktu menikah dia memang tidak tahu.”


“Iya, tidak ada yang diundang, aku kan sudah  erita kondisi suami Raya, yang terutama ibuku, sangat tidak suka.”


“Nah, ketika Raya datang, ternyata suaminya itu ya teman sekampus Hanna, yang katanya Hanna tertarik sama dia.”


“Benarkah?”


“Iya, dan mungkin sedikit heboh suasananya, karena hal itu. Tapi yang aku heran, kata kamu suami Raya dari keluarga tidak punya, tapi dia kuliah lhoh.”


“Benarkah? Aku malah tidak tahu. Raya tidak pernah mengatakan kalau suaminya kuliah juga. Tapi ya syukurlah, kalau begitu, aku malah senang.”


“Ya sudah, karena kamu mau ke dokter, aku tidak akan mengganggu, aku juga mau belanja dulu.”


“Baiklah, nanti saja kita ngobrol lagi.”


“Damian kuliah?” tanya Abi yang juga mendengar perbincangan di telpon itu.


“Iya, nanti aku akan tanya pada Raya.”


“Senang mendengarnya, semoga hal itu akan membuat ibu senang dan berubah sikapnya pada Damian,” kata Abi lagi.


“Oh, iya, nanti aku bilang saja sama ibu, biar ibu senang.”


Pembicaraan itu berhenti ketika mereka sudah sampai di rumah sakit.


***


Bu Rahman terkejut ketika Kamila mengatakan bahwa Damian kuliah. Tidak seperti yang diharapkan Abi dan Kamila, bahwa setelah mendnegar itu ibunya akan senang, dan merubah sikapnya pada menantunya, tapi justru tanggapannya sangat berbeda.


“Kuliah? Dai mana dia mendapatkan uang untuk kuliah?” katanya setengah berteriak, membuat Kamila terkejut.


“Ibu kok begitu, harusnya Ibu senang dong, menantunya bisa kuliah?”


“Bukan begitu. Dia itu kan tidak punya apa-apa. Makan saja susah, bagaimana dia bisa kuliah?”


Kamila yang kurang suka pada reaksi ibunya, segera mengakhiri pembicaraan itu.


“Ya sudah Bu, ini Kamila sedang ada di rumah sakit, mau periksa kandungan, minta doanya ya Bu.”


Bu Rahman menutup ponselnya dengan penuh tanda tanya. Bagaimana Damian bisa kuliah?  Uang dari mana? Karenanya segera bu Rahman menelpon Raya.


“Ya ibu, Raya sedang mau memasak.”


“Di mana suami kamu?”


“Bekerja Bu.”


“Ibu mendengar bahwa Damian kuliah, apa itu benar?”


Raya agak tertegun, apakah Hanna mengatakannya pada ibunya?


“Raya, ibu sedang bicara sama kamu.”


“Ibu mendengar dari siapa?”


“Jawab saja, iya atau tidak?”


“Iya, atas doa Ibu,” akhirya Raya meng ‘iya’ kan.


“Ibu mau tanya, kamu membiayai dia dengan uang kamu kan?” tuduh bu Rahman, membuat Raya tertegun.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment