Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (48)

SEBUAH PESAN  48


(Tien Kumalasari)


 


Raya tertegun mendengar kata-kata ibunya. Seperti tak henti-hentinya sang ibu menyalakan bara di dalam rumah tangganya. Mengunjamkan belati kedalam jantungnya, mengiris hati dan perasaannya menjadi kepingan-kepingan kecil dan membiarkannya berserakan.


“Apakah menurut ibu, Raya punya uang sebanyak itu? Raya punya tabungan, dari uang saku yang selalu bapak berikan, tapi itu kan tidak seberapa, sedangkan biaya kuliah itu sangat besar. Raya juga punya sih, uang pemberian dari mbak Mila saat Raya menikah, tapi uang itu masih utuh ada dalam simpanan karena mas Damian melarangnya untuk dipergunakan.”


“Kamu sudah tahu kalau biaya kuliah itu besar, lalu bagaimana suami kamu bisa membayarnya? Jangan bilang kamu tidak diberi makan yang cukup oleh suami kamu, demi mengutamakan kuliah dia, agar dia mendapat nama baik, agar dia bisa menyamai kamu, dan ingin menjadi orang terhormat.”


Kata-kata bu Rahman semakin menyakitkan. Pokoknya  untuk Damian, tidak ada celah kebaikan di mana ada kasih dan restu ibunya bisa diselipkan. Raya ingin sekali menutup ponselnya, karena kemarahan sudah memuncak ke ubun-ubun. Tapi dia sadar bahwa yang berbicara adalah ibuya. Wanita yang melahirkannya, yang merawat dengan sepenuh kasih sayang sejak dia kecil hingga dewasa. Dia juga tahu bahwa ada surga di telapak kaki sang ibunda. Karananya gelegak amarah itu ditahannya sampai tangan yang memegang ponsel bergetar.


“Ibu, maafkanlah Raya. Di sini, Raya tidak pernah kekurangan. Raya makan cukup dan enak, Raya senang dan Raya bahagia. Mas Damian selalu menjaga Raya dan mencukupi semua kebutuhan Raya.”


“Kamu tidak usah mendongeng hal-hal yang sudah sering ibu dengar, untuk menutupi kekurangan kalian, agar bapak dan ibu tidak kecewa. Yang ingin ibu tahu adalah, bagaimana suami kamu bisa kuliah, di kampus ternama, dan berkawan dengan orang-orang kaya?”


“Mas Damian punya uang untuk membiayai kuliahnya.”


“Dari mana? Apa kamu tidak curiga? Dengar Ray, suami kamu itu ganteng. Pernahkah kamu mendengar, bahwa banyak tante-tante kaya mencari mangsa untuk melampiaskan kesenangan, dengan menyewa laki-laki yang ganteng dan menarik? Kamu tidak curiga ya?”


“Astaghfirullah Ibu, maafkan Raya, kalau Raya ingin bilang bahwa Ibu itu jahat sekali.”


“Ibumu ini, jahat?” suara bu Rahman melengking, seperti raungan serigala tengah malam saat melihat setan.


“Ibu jahat, karena menuduh hal sejahat itu pada suami Raya.”


“Seorang suami bisa melakukan apa saja dilluar pengetahuan istrinya. Jangan sampai kamu terlena dan_”


“Tidaaak,” tak tahan Raya berteriak. Sakit hatinya mendengar sang ibu menuduh suaminya yang bukan-bukan.


“Ray, kamu berani pada ibumu?”


“Karena ibu bicara yang tidak-tidak. Raya percaya mas Damian suami yang baik. Menurut Ibu, salahkah seorang miskin punya simpanan?”


Karena tak tahan, Raya ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi tak sampai hati dia mencederai kepercayaan suaminya. Karenanya dia menutup ponselnya, setelah mengucapkan satu kata kepada ibunya. Maaf.


Lalu tiba-tiba saja mengalirlah air matanya. Mengalir dan mengalir, sampai matanya sembab. Ia bahkan tidak bisa melanjutkan acara memasak karena hatinya dipenuhi kesedihan yang memuncak.


***


Kamila terkejut ketika siang hari itu Raya menelponnya sambil menangis. Dengan tersedu ia mengatakan apa yang diucapkan ibunya saat mendengar bahwa Damian kuliah. Tuduhan demi tuduhan yang tak ada benarnya, seperti menyayat-nyayat hatinya.


“Sabar Ray, kamu kan tahu, ibu itu sangat keras, dan susah diluluhkan.”


“Tapi kebenciannya pada mas Damian sudah keterlaluan. Sepertinya, mas Damian itu tak ada bagus-bagusnya. Ia bahkan menuduh mas Damian menjadi simpanan tante-tante demi mendapatkan uang yang banyak.”


“Astaghfirullah. Itu benar Ray?”


“Iya Mbak, sakit sekali hati Raya. Mas Damian itu suami yang sangat baik. Dia tak pernah pergi ke mana-mana kecuali bekerja, lalu kuliah. Maaf, Raya tak pernah cerita sama Mbak bahwa mas Damian kuliah. Mas Damian melarangnya. Aku heran ibu bisa mendengarnya. Hanna kah yang bercerita pada ibu, karena ketika Hanna mengundang Raya, Raya datang bersama mas Damian, yang ternyata teman kuliah dia.”


“Maaf Ray, ibu mendengar dari aku.”


“Dari mana Mbak tahu?”


“Kamu lupa ya? Rosa itu kan kakaknya Hanna, jadi setelah pesta itu, dia bercerita pada Rosa, nah, Rosa kemudian ngomong sama mbak. Bahkan Hanna juga cerita bahwa sebenarnya dia naksir Damian.”


“Iya, aku tahu. Jadi Mbak yang bicara sama ibu?”


“Aku tuh salah duga juga Ray. Aku pikir, kalau ibu mendengar bahwa suami kamu kuliah, ibu akan senang, karena menantunya bukan sekedar bekas tukang kebun. Ternyata mbak salah.”


“Ya Tuhan, begitu bencinya ibu sama suami aku,” kata Raya masih diselingi isak.


“Ya sudah Ray, kamu tidak usah memikirkannya terlampau jauh. Ibu memang begitu. Tapi sesungguhnya aku juga heran. Kampus tempat Hanna kuliah itu kampus terkenal dan biaya kuliahnya lumayan tinggi lhoh. Maaf, aku bukannya curiga atau ingin menuduhnya yang bukan-bukan, tapi boleh dong, mbak mengetahuinya.”


Raya terdiam. Tak mungkin walau kepada kakaknya, dia akan bercerita tentang harta Damian.


“Maaf lho Ray.”


“Tidak apa-apa Mbak. Mas Damian punya simpanan, dan Mbak harus percaya bahwa itu bukan uang kotor atau yang didapatkannya dengan melakukan perbuatan buruk. Pada suatu hari nanti aku akan cerita sama Mbak, tapi bukan sekarang.”


Kamila cukup mengerti dan percaya pada apa yang dikatakan adiknya. Bahwa Damian punya uang, tapi bukan uang yang didapat dengan melakukan perbuatan buruk, itu sudah cukup baginya. Kamila hanya berpesan agar Raya selalu sabar menghadapi ibunya.


***


Sore hari, ketika sang suami pulang, bu Rahman mengatakan tentang menantunya yang bisa masuk kuliah. Tanpa disangka, pak Rahman menyambutnya dengan senyum bahagia.


“Apa? Benarkah Damian kuliah? Syukurlah. Dulu dia menolak aku membiayai dia untuk kuliah, dan sekarang dia melakukannya sendiri. Damian sebenarnya orang yang hebat,” puji pak Rahman tanpa peduli pada wajah sang istri yang gelap bagai tertutup mendung dimusim hujan.


“Kenapa Bapak bilang hebat? Apakah Bapak tidak ingin tahu, dari mana Damian mendapatkan uang itu? Dia itu ternyata satu kampus sama Hanna. Kampusnya orang-orang berduit. Lha Damian?”


“Bangga dong, menantu kita bisa kuliah di kampus orang-orang berduit?” kata pak Rahman enteng.


“Apakah tidak terpikirkan oleh Bapak, dari mana dia mendapatkan yang sebanyak itu? Mahal lho kuliah di sana.”


“Pastinya dia punya uang dong Bu.”


“Benar. Dari mana uangnya?”


“Mengapa kita harus tahu dari mana uangnya?” pak Rahman mulai mengerutkan keningnya.


“Bagaimana kalau dia mendapatkan uangnya  dengan cara yang tidak venar? Ingat lho Pak, Raya itu anak kita. Kalau Raya susah, kita juga akan merasakannya.”


Pak Rahman menatap istrinya tak mengerti.


“Sebenarnya apakah yang Ibu pikirkan?”


“Bapak kok tidak mengerti juga. Bagaimana kalau Damian mendapatkan uangnya dengan cara yang tidak benar?”


“Tidak benar bagaimana? Dengan mencuri? Merampok?”


“Damian itu kan ganteng, gagah. Nah, Bapak apa tidak pernah mendengar, banyak laki-laki ganteng menjadi simpanan tante-tante?”


Tiba-tiba pak Rahman tertawa terbahak-bahak.


"Maksud ibu, Damian menjadi simpanan tante-tanta? Aku mau dong, coba, ibu bilang sama Damian, kalau ayah mertuanya juga mau menjadi simpanan tante-tante,” katanya sambil masih tertawa-tawa.


“Bapak apaan sih? Sudah tua gitu, mana ada tante-tante yang suka.”


“Biar tua, bapak ini masih ganteng dan perkasa lhoh.”


“Huuhh,” cibir bu Rahman.


“Bu, jadi orang itu jangan suka punya pikiran buruk, atau menuduh orang melakukan hal buruk. Kecuali kalau Ibu melihat buktinya, melihatnya dengan mata kepala sendiri.”


“Ibu hanya menduga-duga. Kalau benar_”


“Klaau benar, bapak mau ikutan.”


“Iih, Bapak.”


“Ibu apa lupa, pernah ketemu bule yang makan bersama Damian. Dia iti saudara tua ibunya. Mungkin saja Damian dibiayai oleh dia.”


“Huuh, mana ada orang sebaik itu, kan hanya saudara ibunya.”


“Ya sudahlah, nggak usah berdebat tentang hal yang nggak jelas. Ingat. Raya dan Damian sudah hidup berkeluarga, apa yang dijalaninya sudah diluar tanggung jawab kita. Tidak benar kalau Ibu ikut campur.”


“Ibu itu kan.”


“Sudah Bu, jangan membuat bapak pusing. Intinya, ibu itu tidak suka pada Damian, jadi setiap mendengar sesuatu tentang Damian, pikiran buruk saja yang ada di kepala ibu,” kata pak Rahman sambil berdiri dan menjauh, membiarkan bibir istrinya manyun karena tak sependapat dengan dirinya.


***


 Raya bersyukur, hari itu Damian tak sempat pulang makan siang di rumah, karena dia tidak sempat masak, dan ia juga tak ingin mata sembabnya terlihat oleh sang suami. Raya baru sempat masak sore hari untuk makan malamnya, lalu menyambut sang suami setelah mandi wangi, dan sedikit memoles wajah agar tak tersisa lagi mata sembabnya.


Tapi Damian bukan anak kecil yang bisa dikelabui, walau ditutupi sekalipun, ia masih melihat wajah sedih istrinya yang tersisa.


Damian duduk di samping sang istri, dan menanyakannya dengan lembut.


“Non Raya habis menangis ya?”


Raya menoleh ke arah sang suami, agak terkejut karena dia merasa sudah mencoba menghilangkan bekas air mata yang tercurah sesiang ini.


“Iya?” lanjut Damian.


“Enggak tuh," kata Raya sambil memegangi pipinya sendiri.


“Kenapa bohong sama suami? Kalau kamu sedih, aku juga ikut sedih lhoh. Ayo katakan. Apa kamu menginginkan sesuatu? Katakan saja.”


“Tidak. Aku sudah merasa cukup.”


“Kalau begitu, kenapa?”


Raya sebenarnya ingin menutupi apa yang dikatakan ibunya. Sudah cukup banyak sang ibu mengata-ngatai suaminya, sejak belum menjadi suaminya sampai sekarang. Tapi Damian tahu bahwa dia sedang menyimpan kesedihan itu.


“Ada apa?”


“Ibu bertanya, apa benar kamu kuliah.”


”Oh, itu membuat kamu sedih?”


“Bukan itu nya.”


“Pasti ada kata-kata ibu yang menyakitkan, bukan? Misalnya, dari mana aku punya uang. Lalu kamu mengatakan semuanya?”


“Tidak, aku tidak mengatakan apa-apa, dan itu sebabnya ibu marah.”


“Apa kamu ingin mengatakan terus terang tentang uang itu?”


“Bukankah kamu melarangnya? Tentu saja aku tidak mengatakan apapun tentang uang. Terserah saja apa yang dipikirkan ibu.”


“Mengapa kamu menangis?”


“Aku sedih, ibu masih belum merestui pernikahan kita.”


“Sabar ya Ray, pasti ada saat dimana ibu akan merestuinya. Kamu tidak usah memikirkan apapun yang ibu katakan. Namanya orang tidak suka, apapun yang didengar dan dilihatnya, pasti juga membuat dia tidak suka. Jadi bersabar saja. Ya.”


“Iya. Dan karena aku sedih, siang tadi aku tidak memasak. Untunglah kamu tidak pulang untuk makan.”


“Iya, kan aku sudah bilang tadi, bahwa ada jam kuliah lebih awal.”


“Iya, aku tahu.”


“Tidak apa-apa kalau kamu belum memasak, kita bisa makan di luar.”


“Tidak, aku sudah memasak sore ini. Jangan boros dong, gajian masih lama,” kata Raya, membuat Damian tertawa sambil merangkul sang istri.


“Kalau begitu ayo kita makan, bagi aku, masakan kamu lebih enak dari jajanan di luar kok.”


“Yang benar.”


“Benar, ayo kita makan, perutku sudah melilit minta diisi nih.”


Raya tersenyum, segera berdiri untuk menyiapkan makan malam untuk sang suami.”


***


Hari terus berjalan, Damian sudah melampaui semeester pertama  di jenjang kuliahnya. Ia tak ingin berlama-lama menjadi mahasiswa, dan ingin segera menyelesaikannya. Setelah kejadian di pesta ulang tahun itu, Hanna tak lagi pernah menemuinya di kampus. Damian juga bisa mengerti, barangkali ia malu karena menyukai laki-laki yang sudah beristri.


Raya juga tak pernah menanyakannya, takut dikira cemburu.


Hari itu Raya mendapat kabar bahwa Kamila sudah melahirkan. Kegembiraan Raya tak terkira. Sore hari ketika suaminya pulang, Raya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi ditahannya.


“Ray, kamu seperti sedang gelisah?”


“Mbak Mila melahirkan.”


“Iya, aku sudah tahu, kan kamu sudah mengatakannya. Kamu ingin ke sana?”


“Bolehkah?”


“Tentu saja boleh. Kenapa tidak?”


“Kapan ya kira-kira bisa ke sana?”


“Kamu maunya kapan? Kalau besok, aku bisa libur dua hari, jadi bisa mengantarkan kamu.”


"Benarkah? Baiklah, besok. Naik bus  saja ya, yang murah.”


“Biar aku yang urus, kamu bersiap-siap saja.”


Raya senang bukan alang kepalang. Ia tak ingin memberi tahu orang tuanya, karena khawatir ibunya akan kembali nyinyir kalau tahu mereka mau ke Jakarta dengan naik bus.


Tapi esuk hari itu, tanpa dinyana Damian membawanya ke bandara.


“Naik pesawat?”


“Aku tak ingin kamu capek, lagian aku hanya libur dua hari, jangan sampai waktu terbuang di jalan,” kata Damian memberi alasan.


Mereka agak terlambat karena Damian sedang mengurus sesuatu, sehingga masuk ke dalam pesawat ketika penumpang lain sudah pada duduk.


Tiba-tiba mereka terkejut, melihat pak Rahman dan bu Rahman ada di dalam pesawat itu.


“Damian?” panggil pak Rahman.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment