SEBUAH PESAN 49
(Tien Kumalasari)
Serta merta Damian menggandeng istrinya untuk mendekati pak Rahman dan bu Rahman, lalu mencium tangan mereka bergantian.
“Kalau tahu kalian akan ke Jakarta juga, kita akan berangkat bersama-sama,” kata pak Rahman ramah.
“Kami berangkatnya dadakan, dan kebetulan saya bisa libur dua hari.”
“Bagus sekali. Kamila pasti senang, semua keluarga di sini bisa kumpul untuk melihat bayinya.”
“Iya, benar.”
“Duduklah,” kata pak Rahman.
Damian merasa beruntung, tempat duduk mereka tidak berdekatan, sehingga tidak banyak pertanyaan yang harus dijawabnya.
Walaupun begitu Damian harus menyiapkan jawaban setelah sampai di rumah Kamila nanti, karena banyak hal yang harus disembunyikannya, sampai dia benar-benar siap mengatakan semuanya. Ia merasa bahwa apapun yang dilakukannya, tidak harus dilaporkannya kepada sang mertua.
Sementara itu, bu Rahman tampak seperti orang bingung. Tak sepatah katapun diucapkannya semenjak bertemu anak dan menantunya di pesawat.
“Kenapa diam saja Bu?”
“Kepalaku agak pusing.”
“Tapi senang kan, ternyata bisa pergi ke Jakarta bersama-sama?”
“Tidak mengira bisa bareng,” hanya itu yang dikatakan bu Rahman, kemudian dia memejamkan matanya dengan alasan pusing. Padahal sebenarnya penuh tanda tanya, bagaimana menantunya bisa membawa istrinya bepergian dengan pesawat yang pasti harganya tidak murah bagi orang sekelas Damian.
Raya juga tidak tampak bicara. Ia hanya menampakkan wajah ceria karena akan bertemu kakaknya dan tentu saja bayi yang baru dilahirkannya.
“Ingin segera melihat wajah keponakanku. Belum puas kalau hanya melihat wajahnya lewat foto.”
“Sabar dong Ray, kita akan segera turun dan bertemu mereka. Kamu ingin segera punya ya?”
Raya mengangguk.
“Itu juga kamu harus sabar. Allah tidak perlu mengatakan kapan akan memberi, bukan? Tapi apakah kamu sudah siap menjadi ibu?”
“Ketika aku siap menikah, maka pastilah aku juga siap menjadi ibu.”
“Bagus. Semoga kita akan segera diberi kepercayaan untuk menerima titipanNya.”
“Aamiin,” kata Raya sambil menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. Damian mengelusnya lembut.
Ketika mereka sudah turun, pak Rahman mendekati mereka.
“Nanti Abi akan menjemput kita, jadi tidak usah memanggil taksi.”
Damian mengangguk.
“Syukurlah.”
Damian berjalan beriringan dengan mertuanya, sambil terus merangkul istrinya. Ia juga tak mengira bisa satu pesawat dengan mertuanya, karena Raya juga tak mengabari dulu kepergiannya ke Jakarta, kepada ayah ibunya. Raya tak mengira Damian akan mengajaknya naik pesawat. Raya tak ingin ibunya mengejeknya lagi kalau tahu mereka akan naik bus. Tapi kalaupun Raya tahu tentang niat Damian untuk naik pesawatpun, Raya juga tak ingin mengatakannya. Kalau dia bilang juga, pasti akan banyak lagi pertanyaan dan tuduhan yang hanya akan merendahkan suaminya. Tak disangka dan tak dinyana, mereka malah bisa satu pesawat. Mereka kemudian terkejut mendengar sebuah teriakan.
“Raya! Damian! Ternyata kalian juga datang,” teriak Abi yang tergopoh mendekati mereka.
Abi menyalami kedua mertuanya, lalu merangkul Damian dan menyalami adik iparnya yang kemudian juga mencium tangannya.
“Mengapa Bapak tidak mengatakan kalau ada Damian dan Raya juga?” protes Abi sambil berjalan menuju ke arah mobil.
“Kami tidak tahu kalau mereka juga pergi. Tahunya di pesawat tadi.”
“Jadi tidak kencan, tapi bisa satu pesawat?”
Damian tersenyum. Abi harus mengakui, senyum iparnya begitu manis dan mempesona. Pantas kalau Raya tergila-gila.
Dengan hangat Abi menepuk punggungnya dan berbisik pelan.
“Selamat, buat sang mahasiswa.”
Damian tertawa lirih.
“Kok bisa bareng, padahal nggak kencan?”
“Hanya kebetulan. Tiba-tiba saja Raya ingin melihat keponakannya, dan saya juga kebetulan libur dua hari,” jawab Damian.
“Bapak juga tidak mengira bisa bareng.”
“Kamila pasti senang sekali. Rumah kami akan ramai dengan keluarga besar.”
“Bapak sama ibu kamu belum kemari?”
“Masih Minggu depan, bapak masih banyak urusan.”
“Wah, kalau bisa datang juga, pasti lebih rame,” tukas pak Rahman.
Mereka segera naik ke mobil. Damian duduk di samping Abi, di depan, sedangkan Pak Rahman dan bu Rahman serta Raya ada di belakang.
***
“Ray, dari tadi kamu diam saja sih?” tanya pak Rahman dalam perjalanan.
“Nggak tahu nih, tiba-tiba Raya merasa pusing,” kata Raya pelan, dan membuat Damian segera menoleh ke belakang.
“Pusing Ray? Tadi kan tidak apa-apa?”
“Tiba-tiba saja," katanya sambil merogoh ke dalam tas nya, mencari minyak angin yang memang dibawanya atas saran Damian, dengan alasan akan bepergian jauh.
“Kalau sakit, kenapa nekat pergi?” akhirnya bu Rahman buka suara.
“Tadi tidak apa-apa kok Bu.”
“Nanti sesampai di rumah, segeralah beristirahat dan tidur,” kata Abi.
“Iya, ini sudah berkurang pusingnya,” katanya sambil menggosok tengkuknya dengan minyak angin. Pak Rahman membantu memijit tengkuk Raya pelan.
Raya tersenyum senang.
“Sudah lama Bapak tidak memijit-mijit tengkuk Raya. Dulu, biasanya Bapak selalu melakukannya kalau Raya lagi sakit.”
“Tentu saja, kan kamu sudah ikut suami kamu? Giliran Damian dong yang memijit kamu saat lagi tak enak badan.”
“Raya tidak pernah sakit salama ini. Nggak tahu, sekarang tiba-tiba pusing sekali.”
“Sudah lama tidak melakukan perjalanan jauh, sih. Untungnya naik pesawat, jadi cepat sampai,,” sela Abi.
“Iya, Mas, mungkin karena lama tidak bepergian jauh.”
“Apa kamu selalu mabuk setiap kali naik pesawat?”
“Nggak juga tuh. Baru kali ini.”
“Ya sudah, nanti begitu datang harus segera istirahat ya, biar badan terasa segar. Nanti kalau sudah istirahat, kita jalan-jalan.”
“Penginnya segera gendong si kecil. Nanti setelah melihat dia pasti pusingnya hilang," kata Raya.
“Bagus, kalau begitu.”
“Namanya siapa, si kecil Mas?” tanya Damian.
“Adena Sasikirana.”
“Wouwww, cantik ya, secantik anaknya.
***
Begitu turun dari mobil, Raya segera berlari ke arah kamar bayi, tapi Kamila kemudian menarik tangannya.
“Heiii, cuci kaki tangan dulu sebelum mendekati bayi,” pekiknya.
Raya tertawa, membiarkan kakaknya menarik ke kamar mandi, lalu setelah membersihkan diri, langsung saja ia masuk ke kamar bayi.
Sang bayi tampak tertidur nyenyak, di dalam box bayi yang cantik.
“Boleh aku gendong?” kata Raya pelan.
“Berani menggendongnya?”
“Berani dong.”
“Hati-hati, jangan sampai dia terbangun.”
“Hati-hati Ray," kata bu Rahman yang juga sudah masuk ke dalam kamar Adena.”
Tampak sekali ia juga ingin sekali menggendong cucunya.
Raya mengangkatnya hati-hati, mendekapnya ke dadanya. Masih tampak kaku. Damian tersenyum melihatnya.
“Belajar menggendong dulu, semoga kamu juga segera memberikan cucu bagi bapak dan ibu,” kata pak Rahman yang mengelus pipi cucunya lembut.
Mendengar suara berisik itu, Adena membuka matanya dan menggeliat.
“Eiit… eitt… bergerak-gerak, gimana ini?” Raya kebingungan. Bu Rahman segera memintanya.
Tapi tak lama setelah itu, Raya merasa kembali pusing. Ia memegangi kepalanya dan keluar dari kamar. Damian melihatnya dan merasa cemas.
“Kenapa dia?” tanya Kamila.
“Dari tadi bilang agak pusing.”
“Istirahatlah dulu. Itu kamar untuk kamu, ajak istrimu beristirahat Dam, bibik sedang membuatkan minuman hangat.”
Damian segera menuntun istrinya memasuki kamar yang ditunjuk Kamila. Kamar yang sudah rapi dan disiapkannya, karena Abi sudah mengabari sejak di bandara, bahwa Damian dan Raya juga akan datang.
“Nah, istirahat dulu. Mabuk ya kamu? Tak biasanya begitu,” kata Kamila sambil memegang kening adiknya.
“Nggak tahu nih.”
“Istirahat saja dulu, biar bibik membawakan minuman hangat kemari,” kata Kamila sambil beranjak keluar kamar.
***
Pagi hari itu Hanna berkunjung ke rumah Rosa, kakaknya. Sudah berbulan-bulan dia tidak pulang ke Jakarta, untuk bertemu orang tuanya. Dan hari itu memerlukan datang untuk ketemu kakaknya. Ia heran mendengar sang kakak memungut seorang bayi dan sekarang sudah berumur empat bulanan.
Ketika Hanna masuk ke halaman, dilihatnya Rosa sedang menggendong bayinya.
“Ya ampun Mbak, anakmu sudah besar dan montok.”
“Lucu dan ganteng kan?”
“Yang aku heran, kenapa Mbak dan mas Rama mau-maunya merawat anak yang bukan darah dagingnya,” kata Hanna yang menowel sedikit pipi keponakannya.
“Tidak apa-apa. Aku menyayanginya seperti anak sendiri kok. Lihat, dia ganteng kan?”
“Tapi tidak mirip mas Rama.”
“Nggak apa-apa. Mengapa harus mirip?”
“Mas Rama juga sayang?”
“Kamu kan tahu, kakakmu ini susah untuk hamil, atau boleh dikatakan mandul. Jadi inilah satu-satunya jalan, agar kami bisa memiliki anak, walau tidak lahir dari rahim aku sendiri.”
“Mudah-mudahan dugaan dokter itu meleset. Siapa tahu nanti Mbak akan benar-benar hamil?”
“Aamiin. Sekarang katakan, bagaimana kuliah kamu?”
“Lancar.”
“Bagaimana kabar … siapa tuh … cowok yang kamu taksir dan ternyata suami Raya? Dia masih kuliah di sana juga?”
“Masih, tapi kami jarang ketemu. Memang beda jurusan, jadi tidak susah menghindari ketemu sama dia.”
“Kamu menghindarinya?”
“Iya lah Mbak, aku malu sekali.”
“Nggak apa-apa. Kenapa malu? Dalam hidup terkadang banyak hal yang kita tidak menduganya, jadi hilangkan saja rasa malu itu, dan bergaul seperti biasa.”
“Nggak apa-apa, nggak ketemu juga. Nggak ada kepentingannya kok.”
“Masih menyimpan rasa suka?”
“Nggak ah, untuk apa memikirkan sesuatu yang sia-sia?”
“Bagus. Aku senang mendengarnya. Semoga kamu mendapatkan jodoh yang baik, bukan suami orang, bukan pacar orang.”
“Aamiin. Mana Mbak, biar aku gendong Dimas. Eh, betul kan namanya Dimas?”
“Dimas Rangga. Boleh Dimas, boleh Rangga”
“Hm, bagusnya, Rangga saja. Ayuk Rangga, ikut tante.”
Rangga seorang anak laki-laki yang ganteng. Ia montok karena Rama dan Rosa merawatnya dengan sangat baik. Cinta kasih keduanya tertumpah kepada Rangga, yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri.
“Hm, gemes. Sebenarnya anak siapa ini Mbak?”
“Rangga adalah anakku. Kenapa kamu masih menanyakannya?”
“Maksudku, siapa orang tua yang sebenarnya?”
"Orang tua yang sebenarnya juga aku dan mas Rangga. Jangan lagi bertanya tentang itu. Ya?” kata Rosa yang selalu tidak suka kalau ditanya siapa orang tua Rangga yang sebenarnya.
“Baiklah, maaf.” kata Hanna sambil menciumi pipi Rangga yang montok.
“Kamu nanti tidur di sini kan?”
“Iya, aku mau tidur di kamar Rangga ya?”
“Benarkah? Awas saja kalau nggak bisa tidur, soalnya tengah malam dia sering terbangun minta susu.”
“Nggak apa-apa, sambil latihan kalau besok punya anak sendiri.”
“Cari dulu suami, yang bener, yang baik. Baru mikir anak. Eh salah, selesaikan dulu kuliah kamu, baru mikir suami.”
“Kuliah sambil mikir calon suami, boleh kan?”
“Terserah kamu saja, asalkan kamu tidak salah jalan. Jadi perempuan itu susah, harus pintar-pintar menjaga diri.”
“Iya, aku tahu. Eh, lihat, lama-lama Rangga tertidur nih. Keenakan digendong tantenya.”
“Besok pagi aku mau ke rumah Kamila. Dia baru lima hari yang lalu melahirkan.”
“Benarkah?”
“Kamu mau ikut?”
“Boleh, sudah lama nggak ketemu mbak Mila.”
***
Sore hari itu Abi sudah selesai mandi, lalu mendekati Damian dan ayah ibu mertuanya serta Raya, yang sedang duduk di teras dengan santai. Pak Rahman dengan bijaksana tak ingin menanyakan apapun kepada Damian tentang uang yang bisa dipakainya untuk kuliah dan bahkan jalan ke Jakarta dengan naik pesawat. Beda dengan bu Rahman yang terus bertanya-tanya dalam hatinya. Rasanya tak percaya kalau si miskin yang selalu dihinakannya bisa melakukan banyak hal seperti orang berada.
“Dam, maukah berjalan-jalan. Aku akan mengantar kamu keliling kota Jakarta,” kata Abi.
“Boleh Mas, aku memang belum pernah melihat Jakarta. Sejak kecil tidak pernah pergi kemana-mana,” kata Damian berterus terang.
“Mau kan Ray?” tanyanya kepada Raya.
“Iya. Kalau mas Damian mau, aku juga mau.”
“Bagus. Bapak mau?”
“Tanyakan sama ibumu ini,” kata pak Rahman sambil menatap istrinya.
“Aku nggak usah. Sudah sering keliling Jakarta,” katanya kaku. Ada nada meremehkan menantunya yang belum pernah melihat Jakarta.
“Baiklah, kalau begitu sama Damian dan Raya saja. Kamila tidak ikut, dia tidak bisa meninggalkan bayinya,” kata Abi yang kemudian menuju ke garasi untuk menyiapkan mobilnya.
***
Damian senang, tak ada yang bertanya tentang apa yang dilakukannya. Menurutnya, hanya ibu mertuanya saja yang selalu mengawasinya, bahkan ada rasa curiga dihatinya. Tapi Damian tak mempedulikannya.
Damian menikmati suasana ibu kota yang hiruk pikuk, dan gemerlap. Kalau dia sendirian ke Jakarta barangkali tak akan bisa menemukan jalan pulang.
Tiba-tiba Raya yang selalu tampak diam, mengeluh pusing lagi.
Damian yang duduk di depan menoleh ke belakang dan melihat istrinya duduk bersandar sambil memejamkan mata.
“Kenapa Ray? Kalau tahu kamu masih pusing, kita tak usah pergi,” kata Damian khawatir.
“Tadi tidak apa-apa, entah kenapa, sekarang pusing lagi, dan lemas rasanya.”
“Ini kok keluhannya sama dengan Kamila ya. Waktu itu Kamila juga begitu, dan ketika diperiksa, ternyata dia hamil. Jangan-jangan Raya hamil.”
“Hamil?” Raya dan Damian hampir berteriak.
***
Besok lagi ya.
No comments:
Post a Comment