Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (54)

SEBUAH PESAN  54


(Tien Kumalasari)


 


 


Bu Rahman menatap nanar foto itu. Ia tak salah lihat kan? Itu jelas Damian, sedang memeluk seorang gadis. Tiba-tiba kemarahan bu Rahman memuncak. Ia bergegas ke belakang, mencari sang suami. Tapi dia tak mendapatkannya di ruang tengah.


“Paak, Paaak… kemana sih Bapak ini? Paaak …”


Bu Rahman masuk ke kamar, suaminya tak ada. Tapi dia mendengar suara dari kamar mandi. Ia segera mendekat dan mengetuk kamar mandi sekeras-kerasnya sambil memanggil-manggil nama suaminya.


“Paaak, Bapaaaak.”


“Ada apa sih Bu, ini, perutku sakit sekali. Nggak tahu tadi makan apa,” jawab pak Rahman dari dalam kamar mandi.


“Ada hal penting yang Bapak harus tahu, cepatlah keluar,” bu Rahman tak peduli walau sang suami bilang perutnya sakit.


Pak Rahman diam, membiarkannya.


“Adduuuh… Bapak nih. Cepatlah sedikit. Ini sangat penting Bapak ketahui.”


Bu Rahman tak berhenti menggedor pintu, dan pak Rahman terus membiarkannya. Oleh karena itu bu Rahman kemudian duduk di sofa di dalam kamar itu, sambil terus memegangi foto yang baru saja diterimanya.


Kira-kira sepuluh menit, barulah pak Rahman keluar. Wajahnya gelap, merasa kesal karena perutnya sakit dan sang istri membuat suara  gaduh dengan menggedor-gedor pintu.


“Pak, sini Pak, lihat ini.”


“Ibu itu sebenarnya kenapa, perutku itu sakit.”


“Maaf. Tapi duduklah sebentar.”


“Aku mau tiduran sebentar. Mulesnya belum hilang ini,” kata pak Rahman sambil terus melangkah ke ranjang dan berbaring di sana, membuat bu Rahman kesal. Tapi kemudian dia mengejarnya, sambil membawa foto itu.


“Ini karena sesuatu yang luar biasa. Bapak tak akan percaya. Lihat ini.”


Bu Rahman nekat mengulurkan foto itu ke depan wajah suaminya.


“Apa sih ini?” katanya sambil menepis tangan istrinya, membuat foto yang diulurkannya terlempar ke bawah.


“Bapak bagaimana sih, lihat dulu ini fotonya.” bu Rahman kembali menunjukkan foto yang baru diambilnya dari lantai.


“Ini foto apa?”


“Oh ya, lampu di kamar agak remang. Bu Rahman segera menghampiri tombol lampu besar, lalu kamar itu menyala terang.


“Ya ampun Bu, silau.”


“Lihatlah baik-baik fotonya,” bu Rahman kembali menunjukkan foto itu ke depan wajah suaminya.


Mau tak mau pak Rahman mengambilnya, lalu mengamatinya.


“Ini foto apa sih Bu.”


“Ya ampun, Bapak, itu fotonya Damian.”


“Damian ya? Sedang apa dia? Sepertinya ada di depan pintu, lalu … apa dia sedang memeluk seseorang?”


“Nah, itu. Dia sedang memeluk seorang gadis. Coba Bapak pikir. Istrinya disuruh bekerja, dia bersenang-senang dengan wanita lain di kampus. Ini di kampus bukan? Kelihatan ada ruang-ruang di sampingnya?”


“Damian sedang apa ini?”


“Sedang berpelukan teman teman kuliahnya, pastinya. Apa ini pantas? Ayo sekarang Bapak bilang, ini perbuatan pantas atau tidak?” kata bu Rahman yang merasa di atas angin, setelah beberapa kali tak pernah mendapat dukungan saat dirinya mencela menantunya.


Pak Rahman bangkit, lalu duduk, masih di atas ranjang, lalu mengamati foto itu lagi dengan seksama.


“Dari mana ibu mendapatkan foto ini?”


“Nggak tahu siapa yang mengirimkan, tapi foto itu tadinya dimasukkan dalam amplop coklat, tergeletak begitu saja di lantai teras.”


“Berarti ada yang mengirimkannya diam-diam. Coba tanya satpam, siapa yang datang kemari sore ini.”


“Kenapa harus tanya siapa yang datang atau siapa yang mengirim? Gambar ini saja Bapak perhatikan dan silakan Bapak menilai, seperti apa menantu Bapak yang sangat Bapak banggakan itu.”


“Bukan begitu Bu, aku berpikirnya kok beda. Kenapa seseorang mengirimkan foto ini. Aku lihat mereka tidak berangkulan kok. Damian memegangi pundak perempuan ini, dan lihat, ada buku berserakan di bawah.”


“Kenapa Bapak mengamati bukunya? Yang jelas orangnya. Atau … baiklah, Damian yang memegangi pundaknya, tapi mengapa? Ini pasti ada sesuatu diantara mereka. Dan Raya tidak mengetahuinya. Raya selalu membela suaminya. Selalu memuji-mujinya setinggi langit. Ibu ingin tahu, bagaimana nanti reaksi Raya setelah melihat ini. Heran aku, kok Bapak kelihatan tenang begitu? Sedang memikirkan alasan untuk meringankan dosa si tukang kebun ini?”


Pak Rahman seorang yang bijaksana, dan tak mudah terbakar oleh hasutan. Ia merasa, ada orang yang memang ingin menjatuhkan Damian. Ia membaca gambaran atas foto itu. Mungkin mereka bertabrakan di pintu sampai buku yang dipegangnya berserakan, jadi mereka bukan berpelukan. Ada yang sengaja berbuat jahat. Kalau tidak, mengapa mengirimkan foto itu kepada keluarga istri Damian? Untuk memisahkan Damian dan istrinya? 


“Aku mau menelpon Raya. Besok pagi dia harus datang kemari. Dia harus tahu tentang kebusukan suaminya,” kata bu Rahman berapi-api.


Pak Rahman diam. Kecuali memikirkan niat seseorang dengan mengirimkan foto ini, pak Rahman juga merasa perutnya masih melilit.


***


Raya menunggu suaminya dengan gelisah. Kepergiannya ke rumah Hanna, walau dengan alasan Hanna sakit, tetap menerbitkan perasaan curiga. Ia tahu siapa Hanna karena mengenalnya sejak masih SMA. Ia tak pernah berhenti mengejar sesuatu, sebelum yang diinginkannya terpegang oleh tangannya. Tapi ini adalah Damian, suaminya, yang dia tahu bahwa Hanna menyukainya. Apakah rasa suka itu masih tersisa, setelah peristiwa pesta ulang tahunnya, dan dia tahu bahwa Damian adalah suaminya?


Ketika mendengar sepeda motor memasuki halaman, barulah Raya merasa lega. Ia memperhitungkan, dari Damian bilang akan segera pulang, sampai kemudian tiba di rumahnya, adalah terlalu lama. Pasti Damian tidak segera pulang. Masih berbincang dengan yang bilang sakit? Apakah Hanna bermanja-manja terlebih dulu dan enggan melepaskan suaminya? Tak urung ada rasa panas menjalari batinnya. Cemburu? Iya lah, cemburu. Hanna itu cantik, terlalu genit dan jarang laki-laki menjauhinya ketika Hanna sudah mengatakan suka.


“Ray, kok aku tidak disambut seperti biasanya?”


Raya terkejut ketika tiba-tiba Damian sudah berada di depannya, sementara dia sibuk mereka-reka kira-kira apa saja yang dilakukan di rumah Hanna sebelum akhirnya pulang.


“Eh, Dam … “ Raya meraih tangan suaminya, dan menciumnya seperti biasa. Ia mengikuti sang suami ketika dia melangkah masuk sambil merangkulnya. Ada aroma wangi menyengat dari tubuhnya. Eh, bajunya, barangkali. Wangi yang tidak dikenalnya, karena di rumah ini tidak ada wewangian serupa.


“Ray, kok diam sih? Aku akan ceritakan semuanya setelah berganti baju dan mandi. Aku bau acem kan?”


“Tidak. Kamu bau wangi,” jawab Raya yang tiba-tiba menjadi sengit. Aroma itu seperti membakar tubuhnya sehingga tangannya berkeringat.


“Ahaaa, meledek aku kan? Biasanya kamu bilang kalau sepulang kuliah aku bau asem. Kok beda sih?”


“Memang beda. Malam ini kamu memang beda.”


“Pulang sangat terlambat? Baiklah, nanti aku akan cerita. Mana dong, teh hangat buatan istriku? Baiklah, aku mandi dulu saja,” kata Damian sambil menuju kamar, lalu keluar dengan membawa handuk yang sudah disiapkan istrinya.


Raya menuju dapur, bagaimanapun kesalnya, dia tetap melayani sang suami dengan segelas teh hangat yang sudah disiapkannya sejak sore, dan dimasukkannya ke dalam termos, agar panasnya masih awet. Ia menuangnya ke dalam gelas, lalu diletakkannya di ruang tamu, seperti biasa.


Ada keripik singkong di dalam toples yang dibelinya ketika pulang dari salon.


“Jam berapa kamu pulang dari salon?” tiba-tiba suara Damian mengejutkannya. Damian segera duduk di samping sang istri, lalu meraih gelas yang berisi teh hangat seperti biasanya.


“Apa nih? Keripik singkong, hm … kesukaanku. Istri cantikku ini selalu tahu apa yang menjadi kesukaan suaminya,” kata Damian sambil mengelus rambut sang istri, lalu menciumnya.


“Rambutmu selalu wangi.”


“Wanginya beda kan?”


“Raya, apa kamu marah?”


“Aku tidak marah. Aku sedang menunggu cerita kamu sehingga baju kamu berbau wangi. Hal itu terjadi ketika kamu duduk berdempetan, atau melakukan  lebih dari itu.”


“Aku menggendongnya, malah,” kata Damian menggoda sang istri.


“Apa?” Raya melotot, kemudian mendorong tubuh sang suami. Tapi Damian merengkuhnya. Raya meronta sambil memukul-mukul dada sang suami.


“Ray, aduh sakit dong, nanti kalau jantungku jatuh, aku mati dong,” teriak Damian pura-pura kesakitan. Mendengar kata ‘mati’, Raya menghentikan pukulannya.


“Kamu jahat. Kamu jahat!” teriak Raya.


“Ray, dengar dulu penjelasan aku. Kamu ingin ya, punya suami yang tidak berperi kemanusiaan?”


“Apa maksudmu?” Raya melotot memandang suaminya.


“Biar aku cerita, tapi kamu nggak boleh marah. Tadi itu, memang ada kelas agak sorean. Ketika aku pulang, kampus sudah sepi. Tapi-tiba aku mendengar Hanna memanggilku. Aku sudah berpura-pura tidak mendengar, dan hampir menstarter sepeda motor aku, tapi tiba-tiba Hanna terjatuh. Tak ada orang disekitar tempat itu, sehingga aku terpaksa mendekati. Ternyata dia lemas, dan badannya panas. Aku membawanya pulang naik taksi, meninggalkan sepeda motor di kampus."


"Di rumah dia, tak ada siapa-siapa," lanjutnya.


“Asyik dong,” Raya menyela.


“Hish! Dengar dulu, aku mencarikan obat di rumah itu dan ketemu obat penurun panas, aku berpesan sama dia, kalau masih panas juga, besok pagi harus ke dokter.”


“Tunggu dulu, acara gendong menggendong itu, kenapa tidak diceritakan?”


“Oh iya, karena dia lemas, aku terpaksa menggendongnya sampai ke taksi, dan menggendongnya pula sampai ke kamar dia.”


“Hm … begitu rupanya. Dan kamu berlama-lama di kamarnya, masa sih, nggak ada acara apa-apa di dalam kamar itu?”


“Ada-ada saja. Acara apa? Acara memberikan obat untuk dia, lalu aku pulang. Eh bukan, harus naik taksi lagi ke kampus, untuk mengambil sepeda motor aku. Kalau enggak, besok aku bekerja naik apa dong.”


Raya sebenarnya mengerti, tapi dasar Raya, ia masih saja menampakkan wajah cemberut. Ia tahu, kalau sudah begitu, Damian pasti akan mengganggunya dengan rayuan gombalnya.


“Senyum dong, kan aku sudah menceritakan semuanya.”


“Nggak mau, aku masih membayangkan saat kamu gendong dia, lalu kepalanya bersandar di dada kamu, lalu kamu pasti berdebar dong, tubuhnya begitu dekat sama kamu, lalu_”


Raya berhenti bicara karena Damian menutup bibirnya.


***


Paginya adalah hari Minggu. Raya dan Damian duduk bersantai di depan rumah, sambil menikmati nasi liwet yang dibeli Damian, saat Raya bersih-bersih rumah.


“Sudah lama aku tidak makan nasi liwet.”


“Enak kan?”


“Enak lah, aku lapar, tahu,” sergah Raya sambil membuang daun bekas nasi liwet kedalam keranjang sampah.


“Dam, aku mau ke rumah Hanna.”


“Apa? Kenapa?”


“Bagaimanapun Hanna adalah temanku. Aku ingin tahu, apakah dia baik-baik saja, setelah kamu meninggalkannya sendirian.”


“Bener, kamu ingin ke sana? Atau kamu curiga sama aku, dan mengira aku bohong tentang sakitnya dia?”


“Bukan, ih .. kamu kira aku begitu jahat ya. Aku benar-benar ingin tahu keadaannya. Lagi pula biar dia tahu, bahwa yang terjadi kemarin sore, kamu menceritakan semua sama aku. Lalu aku ingin agar dia sadar bahwa dia tak akan lagi mengharapkan perhatian lebih dari kamu.”


“Kenapa kamu mengira bahwa dia masih mengharapkan perhatian lebih dari aku?”


"Kami berteman lama, aku tahu bagaimana Hanna. Tak mungkin dia melepaskan kamu begitu saja. Pasti ada niat untuk menjatuhkan hati kamu.”


Damian mengangguk. Dia merasakannya, setelah Hanna memaksa makan bersama di kantin, dan bicara tidak karuan. Yang ini sangat tidak penting, dan Damian tak ingin menceritakannya pada sang istri.


“Mau kan, sebentar lagi kita ke sana. Aku harap dia baik-baik saja.”


“Baiklah, aku mandi dulu ya.”


“Mandilah, yang wangi ya,” Raya meledeknya sambil mengikuti masuk ke dalam rumah.


Tapi tiba-tiba ponsel Raya berdering. Dari ibunya.


“Ya, Bu. Raya baru mau mandi.”


“Ibu minta, kamu datang ke rumah ibu, tapi tidak dengan suami kamu.”


“Memangnya kenapa Bu? Ini hari minggu, saatnya Raya pergi berdua sama mas Damian.”


“Sebentar saja. Ada hal penting yang kamu harus tahu.”


“Hal penting apa ya Bu?”


“Pokoknya datang saja, jangan banyak bertanya.”


Raya agak kesal, tapi tak berani membantahnya.


“Baiklah, tapi Raya ada perlu sebentar, setelahnya Raya mau ketemu ibu.”


Raya menutup ponselnya. Ia mau ke rumah Hanna terlebih dulu, baru mau ke rumah orang tuanya.


***


Damian menghentikan sepeda motornya di halaman rumah Hanna. Saat itu pintu masih tertutup, tapi mereka melihat seorang laki-laki berdiri di depan teras sambil melongok-longok.


Damian dan Raya mendekat.


“Mencari Hanna ya mas?” tanya Damian.


“Iya, sudah memencet bel dari tadi, dan mendengar jawaban dari dalam, tapi lama sekali pintunya nggak dibuka. Padahal aku hanya mengambil sisa uang aku saja.”


“Sisa uang?” begitu kepo nya Damian bertanya.


“Aku sudah mengirimkan foto itu ke rumah yang alamatnya disebutkan, baru dibayar separo, aku mau minta sisanya. Istriku sedang sakit, aku butuh uang.”


“Oh, mas tukang foto, rupanya,” sela Raya.


“Bukan, foto laki-laki berpelukan itu. Aku yang membuatnya,  dan harus aku krimkan ke keluarga Rahman. Bayarannya kurang, aku harus buru-buru.”


Karena tidak mengerti apa maksudnya, keduanya terdiam, sama-sama menunggu Hanna membukakan pintu. Keluarga Rahman itu siapa? Tapi kan banyak nama Rahman di negeri ini.


Tiba-tiba laki-laki itu menatap Damian.


“Lhoh, kok mirip Mas ya, fotonya?”


Damian dan Raya semakin tak mengerti.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...