SEBUAH PESAN 56
(Tien Kumalasari)
Raya masih terus mendengarkan apa yang Ani katakan, dan membuatnya terus terpana. Ani menceritakan semuanya, menceritakan apa yang dibicarakannya dengan laki-laki yang sampai sekarang dia lupa tidak menanyakan siapa namanya.
“Ya Tuhan, Hanna … begitu jahatnya dia, sementara aku ingin berbaik-baik padanya, walau aku tahu dia menyukai suamiku,” gumam Raya.
“Ibu tadi mengatakan tentang foto itu?” tanya Damian setelah Raya memberikan kembali ponselnya.
“Iya, aku hampir tersulut emosi. Maaf Dam. Aku tahu kamu tak seburuk itu.”
"Raya, bagaimana keputusan kamu? Sudah kamu katakan semua pada suami kamu?” tiba-tiba bu Rahman muncul di depan pintu.
Raya menoleh ke arah ibunya, menggelengkan kepalanya.
“Tidak Bu, mas Damian suami yang baik, dia tidak menghianati Raya, kami akan terus bersatu dan saling mencintai.”
“Ya ampun Raya! Kamu gampang sekali terbujuk oleh rayuan dia. Bahkan bukti nyata yang kamu lihat tidak juga bisa merubah kebodohan kamu?” kata bu Rahman dengan nada tinggi.
"Foto itu rekayasa yang dibuat Hanna, untuk memisahkan kami Bu.”
“Apa kataku tadi. Ada orang yang ingin merusak hubungan dan rumah tangga Raya bersama Damian,” tiba-tiba saja pak Rahman muncul. Barangkali kesal dengan nada tinggi yang diperdengarkan istrinya.
“Aku tidak mengerti, sungguh aku tidak mengerti,” bu Rahman memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing.
“Hanna menyuruh orang untuk membuat foto-foto saat Damian bersama teman kuliahnya. Itu foto bukan saat mereka berpelukan. Ani hampir jatuh ketika bertabrakan di depan pintu kelas, lalu mas Damian menahan tubuhnya dengan memegangi pundaknya. Ibu lihat buku berserakan di bawah bukan? Buku-buku itu terjatuh ketika mereka hampir bertabrakan,” terang Raya.
“Itu alasan yang dibuat suami kamu kan?”
“Bukan. Ani bertemu dengan orang suruhan Hanna, yang menceritakan semuanya. Apa perlu kami membawa orang itu ke hadapan Ibu supaya Ibu percaya?” tantang Raya yang kesal melihat sikap ibunya.
“Sudah … sudah, tidak usah membawa siapa-siapa untuk membuktikannya. Bikin malu saja. Ya sudah, sekarang kalian pulanglah,” perintah pak Rahman.
“Damian juga dikirimi foto seperti itu di ponselnya. Ibu mau lihat?” Raya mengambil lagi ponsel Damian, menunjukkan foto serupa kepada ibunya. Bu Rahman hanya melirik sekilas.
“Bagaimana Bu, apakah kami harus mencari orang itu, atau membawa Hanna kemari?”
“Tidak Ray, sudah. Kalian pulang saja, jangan memperpanjang masalah yang memang dibuat oleh orang lain untuk memisahkan kalian. Teruslah hidup rukun, semoga kalian selalu bahagia,” kata pak Rahman dengan sabar.
Bu Rahman membalikkan tubuhnya, masuk ke dalam rumah. Berbagai perasaan memenuhi dadanya. Mungkin saja malu, atau kecewa karena harapan yang tadinya muncul, sirna tiba-tiba. Harapan untuk memisahkan Raya dan Damian, yang dianggapnya telah mengecewakannya.
“Ya sudah Dam, ayo kita pulang,” ajak Raya sambil berdiri, kemudian menarik tangan suaminya.
Keduanya menyelami tangan pak Rahman. Raya mencari-cari ibunya yang sudah tak kelihatan lagi.
“Sudah, biarkan saja ibumu, nanti aku yang akan bilang bahwa kalian sudah pulang. Barangkali memerlukan waktu untuk menenangkannya,” kata pak Rahman sambil menepuk bahu Damian.
***
Hari minggu siang itu Damian dan Raya duduk santai di rumah. Kalau hari Minggu, Raya juga tidak ke salon, meskipun salon tetap buka. Masing-masing merenungkan apa saja yang menimpa mereka, sejak pernikahan sampai bisa membentuk sebuah keluarga yang tenang dan saling pengertian.
Segala cobaan hinaan bahkan sindiran menyakitkan, dan caci maki yang mereka terima, terasa lebih menguatkan mereka untuk tetap berangkulan erat dalam mengayuh kehidupan.
“Apa yang kamu pikirkan Dam?” tanya Raya.
“Aku ingin mencari orang suruhan Hanna.”
"Mau kau apakan dia? Dia hanya orang tak punya yang tertarik melakukan apa yang Hanna suruh, karena dia butuh uang.”
“Tidak akan aku apa-apakan, hanya ingin ketemu saja."
“Aku ikut. Aku tak mau kalau sampai kamu menghajarnya karena kemarahan kamu. Bukan dia yang bersalah, bukan?”
“Benar, bukan dia yang bersalah.”
“Lalu apa?”
“Dia kan hanya penjual gorengan, sementara sekarang istrinya sakit. Dari mana dia dapat uang? Laki-laki itu hanya tukang bersih-bersih atau apa lah, kalau ada tetangga membutuhkan tenaganya.”
“Lalu ….”
“Akan kita beri dia uang.”
“Dam, itu benar?” mata Raya berbinar. Suaminya begitu sempurna. Dia ganteng, baik, sabar, penuh kasih sayang., Bukan hanya kepada dirinya, tapi juga kepada orang lain, dan peduli kepada penderitaan orang.
“Tentu saja. Kalau mau besok pagi saja, sebelum aku berangkat kerja.”
“Nggak apa-apa, aku ke salon agak siangan.”
***
Ternyata pada pagi keesokan harinya, penjual gorengan itu tetap ada. Damian ingat laki-laki itu, yang menagih uang tagihan ke rumah Hanna.
“Mau gorengannya dong. Dua puluh ribu,” kata Damian tiba-tiba, mengejutkan laki-laki itu.
Melihat Damian, dia tampak terkejut dan ketakutan.
“Mengapa Bapak menatap saya seperti itu? Apa menurut Bapak, saya ini hantu?” canda Damian.
Tukang gorengan itu sudah mengatakannya kepada Ani, dan dia yakin bahwa laki-laki ganteng yang menjadi salah satu ‘korbannya’ juga sudah diberi tahu.
“Saya … saya minta maaf … sungguh saya menyesal …” ucapannya mirip sebuah rintihan, membuat Damian dan Raya merasa iba.
“Mengapa Bapak minta maaf, kami hanya ingin membeli gorengan. Ini uangnya,” kata Damian sambil memberikan uang dua puluh ribu.
“Saya mau yang pisang, sama tahu isi, sama ubi jalar,” kata Raya.
“Nama Bapak siapa?”
“Ss … saya … Maksum.”
“Oh, Pak Maksum ya? Baiklah, itu tadi, pesanan istri saya, dan itu uangnya.”
Maksum mengambilkan gorengan yang dipesan dengan tangan gemetar. Ia membayangkan, setelah dia melayani pesanannya, barangkali laki-laki ganteng itu akan menghajarnya.
“Nama saya Damian, dan ini istri saya, Raya.”
“Oh, iy … iya …” kata Maksum, masih dengan tangan gemetar.
“Mengapa Sampeyan yang jual gorengan? Biasanya istri Sampeyan kan?”
“Ya itulah, istri saya masih belum sembuh juga. Saya merasa, ini akibat dari perbuatan saya. Saya sangat bodoh, mengilar uang dua juta yang belum pernah saya pegang, tapi imbasnya adalah istri saya sakit. Harusnya dia dirawat, tapi saya tidak kuat membayarnya. Kalau nanti pak Damian menghajar saya, saya tidak lagi bisa jualan. Kami akan kelaparan,” kata Maksum sambil membungkus gorengan pesanan Raya.
Damian tertawa.
“Apa Pak Maksum mengira bahwa saya akan menghajar Pak Maksum?”
“Saya sudah bersalah. Dosa saya besar.”
“Pak Maksum tahu? Hanna itu ingin agar saya bertengkar dengan istri saya, bahkan mengharap kami akan bercerai. Tapi Bapak lihat, kami baik-baik saja kan?”
“Iyy … ya. Orang baik dilindungi Allah. Orang jahat mendapat hukuman.”
“Itu bukan hukuman, tapi peringatan, agar kita tahu apa yang salah dalam apa yang kita lakukan.”
Maksum mengangguk. Perlahan rasa takutnya hilang, melihat sikap Damian dan istrinya yang sangat manis.
“Bawalah istri Bapak ke rumah sakit, supaya segera bisa disembuhkan. Karena penanganan di rumah sakit lebih baik dari pada dirawat sendiri di rumah.”
“Mana mungkin saya membawa istri saya agar dirawat?” kata Maksum sambil tersenyum pahit.
“Bawa saja, dari pada sakitnya terlalu lama. Ini uang untuk berobat,” kata Damian sambil memberikan uang sebanyak limabelas juta.
Maksum gemetar menerimanya.
“Ti … tidak … ini tidak mungkin … saya … saya …”
Lalu Maksum mengucapkan terima kasih berkali-kali.
“Kalau masih kurang, carilah istri saya di salon Raya, saya beri alamatnya nanti,” lanjut Damian sambil meraih tangan istrinya, diajaknya pergi. Tak sampai hati dia melihat kesedihan di mata Maksum, dan ucapan terima kasih yang diucapkannya bertubi-tubi.
***
Sore hari, bu Rahman melamun di teras, memikirkan kegagalannya memisahkan Raya dan Damian. Lalu ia merasa, terkadang dirinya keterlaluan. Tapi kemudian disusul oleh perasaan tak puas. Betapa gundah dan tak tenteramnya hatinya, ketika mengentaskan anak bungsunya. Tidak seperti ketika menikahkan Kamila dan Abi, yang begitu terlepas dan mapan, maka puaslah hatinya.
Mengapa Raya ini berbeda? Mengapa pilihannya sangat mengganggu hidupnya? Bu Rahman menyandarkan kepalanya di kursi teras. Ia merasa sangat pusing.
Lalu tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di halaman. Bu Rahman mengira mobil suaminya, ternyata bukan.
Bu Rahman melongok ke halaman, menunggu siapa yang datang.
“Tante.” sebuah teriakan terdengar. Bu Rahman menghela napas panjang. Ternyata Hanna. Ia masih ingat penuturan Raya kemarin, bahwa Hanna lah yang menyuruh seseorang untuk membuat foto Damian dan teman wanitaya.
Bu Rahman bergeming, tetap duduk di kursinya.
“Tante sedang apa?”
Sesungguhnya Hanna ingin tahu, bagaimana reaksi keluarga Raya setelah menerima foto yang dikirimkannya melalui Maksum. Tapi ia pura-pura tidak mengerti., dan bersikap seperti tak terjadi apa-apa. Ia duduk di depan bu Rahman, meletakkan sebungkus kue-kue yang dibelinya di jalan.
“Tanta, saya bawa kue-kue. Enak nih, Tante pasti suka,” katanya sambil tersenyum. Bu Rahman hanya menatap bungkusan itu sekilas.
“Tante, mengapa Tante seperti sangat bersedih? Apa yang sedang tante pikirkan? Saya dengar mbak Mila telah melahirkan. Pasti senang dong. Cucu selalu membuat orang tua senang. Tapi terkadang memang ada saja yang membuat kecewa. Semoga tante bahagia dengan kedua putri tante yang sudah menikah. Ya kan Tante?”
Bu Rahman menatap Hanna dengan perasaan tidak senang. Ia merasa Hanna telah mempermalukannya.
“Mengapa kamu begitu ceroboh?” katanya sengit.
Hanna terkejut. Mengapa sikap bu Rahman seperti sangat tidak bersahabat.
“Maksud Tante?”
“Kamu menyuruh orang yang tidak berguna. Kamu membuat foto yang akhirnya hanya mempermalukan saya.”
Degg.
Hanna tersentak. Rupanya bu Rahman sedang berbicara tentang foto yang dikirimkannya. Bagaimana dia bisa tahu kalau dirinya yang berbuat? Siapa mengatakannya? Apa Maksum membocorkan semuanya pada bu Rahman? Mengapa mempermalukannya? Apa Damian dan Raya mengerti semuanya, dan bahkan tahu bahwa dirinya yang melakukannya? Celaka kalau begitu.
“Tante, mengapa Tante mengatakan bahwa Hanna adalah_”
“Kamu menyuruh orang, dan orang itu mengatakannya kepada orang yang kamu fitnah. Kamu ceroboh dan bodoh!”
“Yaaah, benarkah?”
“Kamu bodoh, menyuruh orang sembarangan.” omel bu Rahman.
Kata-kata bu Rahman itu menunjukkan bahwa sebenarnya bu Rahman mendukungnya, hanya saja menganggap dirinya ceroboh, karena rencana yang seharusnya sudah jadi itu ternyata bocor.
“Jadi benar kan, kamu yang menyuruh orang itu?”
“Iya, Tante. Maaf. Bocor ya? Jadi Damian dan Raya sudah tahu?”
“Sudah tahu, jadi kamu tanggung sendiri saja akibatnya.”
Hanna pulang dengan perasaan tak menentu. Alangkah malu ketika Damian sama Raya sampai tahu. Masih adakah muka untuk bertemu mereka?
***
Hari itu setelah pak Rahman berangkat ke kantor, bu Rahman memanggil bik Sarti ke kamarnya. Bu Rahman tampak terbaring di ranjang dengan wajah pucat.
“Ada apa Nyonya? Nyonya sakit?”
“Tolong minyak angin di atas meja itu Sarti,” katanya sambil menunjuk ke arah meja. Bik Sarti mengambilnya, kemudian mendekat ke ranjang. Ia sudah tahu kalau sang nyonya majikan minta di pijit.
“Dipijit Nyonya, tapi saya belum masak.”
“Tidak apa-apa, nggak usah dipijit, tolong gosok dada dan punggungku. Rasanya kok seperti sesak sekali untuk bernapas.”
“Nyonya terlalu banyak pikiran,” kata bik Sarti sambil membuka baju nyonya majikannya. Ia memegangnya dan merasa panas.
“Badan Nyonya panas sekali.”
“Tidak panas, aku hanya merasa sesak saja. Cepat gosok dan jangan banyak komentar,” cela bu Rahman sambil menelungkupkan badannya.
Bik Sarti menggosok seluruh punggungnya.
“Agak ditekan Sar, seperti kalau memijit itu.”
“Katanya sesak, nanti tambah sesak?”
“Tidak usah terlalu keras. Na, begitu. Sekarang bagian dada,” kata bu Rahman sambil tertelentang.
“Nyonya ini benar-senar sakit. Apa saya harus menelpon tuan?”
“Jangan, tidak usah. Nanti setelah digosok kan merasa hangat, lalu sembuh.”
Tiba-tiba ponsel bu Rahman berdering.
“Dari siapa itu.”
“Nggak usah diangkat ya Nyonya, nanti Nyonya terganggu.”
“Eeh, diangkat saja, siapa tahu penting.”
Bu Rahman meraih ponselnya, sementara bik Sarti terus menggosok dada, bahkan sampai ke ulu hati dan perutnya.
“Hallo, jeng Lusia? Ada apa jeng?” sapa bu Rahman setelah membuka ponselnya.
“Saya hanya ingin memarahi mbakyu.”
“Memangnya kenapa?”
“Ternyata Raya punya salon kecantikan, kalau tahu begitu saya pasti ke situ terus.”
“Apa?”
“Saya tadi coba-coba mampir ke situ, ini Mbak, hanya ingin membersihkan muka. Ada salon Raya, saya kok baru tahu. Ramainya bukan main, dan pelayanannya bagus. Saya sangat cocok Mbak. Lha ternyata itu milik Raya, Mbakyu kok nggak pernah bilang. Tahu begitu dari kemarin-kemarin saya ke situ."
“Oh, Raya kan hanya karyawan disitu.”
“Mbakyu ini suka merendah. Semua karyawan bilang kalau salon itu miliknya Raya, bagaimana sih.”
Bu Rahman tertegun. Salon itu milik Raya? Ia tiba-tiba merasa bahwa dadanya semakin sesak.
***
Besok lagi ya.
No comments:
Post a Comment