Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (58)

SEBUAH PESAN  58


(Tien Kumalasari)


 


Begitu melihat Raya dan pak Rahman, Damian segera berdiri, menyalami dan mencium tangan pak Rahman.


“Kamu ada di sini, Dam?”


“Tadi Raya memberi tahu, bahwa akan ke rumah sakit karena ibu dirawat. Kok tiba-tiba dia sudah ada di sini?” kata Raya sambil menatap Damian.


“Setelah kamu menelpon, aku menelpon bik Sarti, rumah sakitnya di mana, soalnya kamu nggak memberi tahu rumah sakitnya.”


“Iya, aku juga belum jelas, soalnya nungguin bapak menjemput. Kamu sudah lama, Dam?”


“Belum, baru saja. Tapi belum sempat bicara sama ibu. Mungkin agak terganggu, karena ada selang oksigen terhubung di hidungnya.


“Ibu, bagaimana keadaan Ibu?” tanga Raya sambil memegang tangan ibunya.


Bu Rahman menoleh, menatap anak gadisnya.


“Mengapa semua orang diberi tahu? Aku tidak mau menyusahkan siapa-siapa,” katanya lirih, tapi jelas ucapan itu ditujukan kepada menantu yang tak disukainya. Padahal bicaranya nggak begitu jelas akibat ada selang oksigen mengganggunya.


“Mengapa Ibu berkata begitu? Kita tidak mengabari siapa-siapa, yang di sini adalah keluarga kita,” kata pak Rahman.


Bu Rahman tak menjawab.


“Pasti semua suka, melihat aku sakit.”


“Bu, tolong endapkan pikiran yang mengganggu hati, nanti Ibu tidak sembuh-sembuh. Orang sakit itu butuh ketenangan jiwa. Pikiran yang jernih dan selalu mohon ampun serta kesembuhan kepada Yang Maha Kuasa.”


Damian sudah berpakaian rapi, Damian bukan lagi tukang kebun keluarga Rahman, dia adalah mahasiswa di sebuah perguruan tinggi, calon insinyur. Walau begitu tak sedikitpun bu Rahman menatapnya dengan kasih seorang ibu mertua, sementara Damian begitu telaten menghadapi sikap nyinyir yang diperlihatkannya, sejak dia datang, lalu memijit-mijit kakinya. Sapaan dari awal kedatangannya juga tak dijawab, hanya kata ‘hm” Tapi Damian bisa mengendapkan perasaannya, menerimanya dengan sabar. Walau begitu dia tetap saja memijit-mijit kaki ibu mertuanya dengan penuh perhatian.


“Ibu sabar ya, supaya bisa segera sehat,” sambung Raya sambil menggantikan Damian memijit kaki ibunya.


"Belum ada pemeriksaan ya Bu, setelah dipindahkan ke kamar ini?”


“Tadi diambil darahnya, besok mau periksa jantung dan entah apa lagi, aku tidak tahu.”


“Masih terasa sesak?”


“Masih, agak berkurang."


"Ya sudah, Ibu tidur saja, kami akan duduk di sofa itu ya,” kata pak Rahman sambil menarik lengan Damian. Raya masih berdiri di samping ibunya. Tangannya masih memijit-mijit.


“Sudah, tinggalkan saja aku, dipijit malah sakit semua,” katanya mengeluh.


Raya menghela napas, lalu melangkah ke sofa, mendekati Damian dan ayahnya yang sudah lebih dulu duduk di sana.


“Tampaknya ibu tidak suka Raya tungguin.”


“Kamu harus maklum, apalagi badannya sedang tidak enak."


“Iya, Raya mengerti. Apa kata dokter?”


”Belum jelas, dokter yang ke rumah itu baru mengatakan bahwa jantungnya bermasalah. Kita tunggu hasil pemeriksaan besok.


“Ray, kalau kamu mau menemani ibu di sini juga, tidak apa-apa. Kasihan kalau bapak yang menemani,” kata Damian.


“Kamu sendirian di rumah?”


“Aku gampang.”


“Tidak, jangan merepotkan, tidak apa-apa bapak di sini menemani ibu. Sekarang kan bapak tidak begitu mengurusi kantor, jadi hanya sekali-sekali saja bapak ke kantornya.”


“Tapi Bapak nanti capek. Yang tidur di sini menemani ibu, biar Raya saja. Ya kan Raya?” kata Damian.


“Ya, tidak apa-apa. Sekarang kamu mau berangkat kuliah?”


“Iya, sebentar lagi.”


“Kalau begitu makan dulu. Aku mau keluar membeli makanan, sekalian untuk bapak juga,” kata Raya sambil berdiri.


“Biar aku temani," kata Damian mengikuti istrinya.


Pak Rahman menatap punggung anak dan menantunya dengan penuh perasaan haru. Pasangan yang serasi, tampak saling mencintai, dan sinar bahagia selalu ada di wajah mereka. Mengapa sang istri tidak bisa menerimanya? Menurutnya, Damian itu penuh misteri. Ada yang disembunyikannya. Entahlah. Pak Rahman menyandarkan tubuhnya di sofa. Begitu baiknya Damian. Sudah tahu tidak disukai, tapi menaruh perhatian begitu besar kepada ibu mertuanya. Pak Rahman merasa lega, Raya berada di tangan suami yang akan bisa melindunginya. Ia tidak percaya Damian melakukan hal buruk untuk menyenangkan istrinya. Dia begitu santun dan penuh pengertian. Pak Rahman menatap ke ranjang istrinya, yang tergolek dengan asupan oksigen melalui selang. Tampak lemah, tapi alangkah keras hatinya. Sang menantu datang dengan penuh perhatian, tak disapanya juga? Ada rasa sedih menggayuti perasaan pak Rahman. Dengan apa nanti, sang istri bisa luluh hatinya?


***


Pak Rahman berjalan keluar, untuk melonggarkan rasa gundah di dadanya akibat memikirkan kekerasan hati istrinya. Ketika dalam sebuah belokan, tanpa sengaja ia menabrak seorang laki-laki yang membawa obat-obatan, dan karena tertabrak itu, maka satu plastik keresek berisi obat terjatuh di tanah.


“Maaf … maaf ya mas, saya tidak sengaja,” kata pak Rahman sambil membantu memunguti obat yang terserak.


“Tidak apa-apa Pak, saya juga tidak melihat jalan.”


“Siapa yang sakit Mas?”


“Istri saya Pak, baru kemarin masuk. Alhamdulilah ada orang baik yang membantu pengobatan istri saya, kalau tidak, mana mungkin saya mampu mengobatkan istri saya yang harus mondok di rumah sakit?”


“Syukur alhamdulillah ada yang menolong ya Pak.”


“Iya, orangnya ganteng, baik hati, padahal sebelumnya saya telah melakukan perbuatan jahat sama dia.”


“Jadi kejahatan dibalas kebaikan, begitu? Mas sangat beruntung.”


“Iya Pak, namanya Damian. Ganteng sekali dan hatinya baik sekali.”


Pak Rahman sudah mau melanjutkan langkahnya, tapi terhenti ketika mendengar nama Damian disebut. Adakah Damian lain yang ganteng dan baik hati?


Pak Rahman menoleh ingin bertanya sesuatu, tapi tiba-tiba dia melihat laki-laki tersebut bertemu Damian dan Raya. Mereka berhenti dan berbincang.


“Lho, mereka kenal? Jadi benar Damian menantuku yang dimaksud?” gumam pak Rahman yang kemudian membalikkan tubuhnya untuk mendekati mereka.


"Lhoh, Bapak kok di sini?” tanya Raya.


“Jalan-jalan saja. Ibumu tidur.”


“Kalian kenal dengan mas nya ini?”


“Iya Pak, ini namanya pak Maksum.”


“Ya dia ini orang baik yang saya ceritakan tadi Pak. Saya sudah berbuat jahat sama dia, tapi dia memberi saya uang lima belas juta untuk mengobati istri saya.”


“Ah, kenapa hal begitu diceritakan?” tegur Damian sungkan, sementara pak Rahman tertegun. Benar-benar luar biasa menantunya ini. Siapa sebenarnya dia? Uang lima belas juta diberikannya begitu saja, itu tidak sembarang orang bisa melakukannya. Jelas Damian orang yang punya uang. Lalu mengapa dia jadi tukang kebun di rumahnya, bahkan almarhum ayahnya juga?


“Tidak apa-apa, Pak. Memang begitu kenyataannya. Pak Damian juga kenal degan bapak ini?”


“Beliau ayah istri saya ini, jadi ayah mertua saya, Pak.”


“Ya ampun, kami kenal karena tadi bertabrakan di tikungan itu. Tidak mengira beliau ayah mertua Pak Damian. Tapi ngomong-ngomong, siapa yang sakit?”


“Ibu mertua saya, Pak. Baru saja masuk. Ini bu Maksum sudah ada di rumah sakit ini?"


“Iya Pak, dan ini semua berkat pak Damian.”


“Jangan begitu Pak, ini campur tangan Allah Yang Maha Pengasih.”


“Ya sudah Pak, mohon maaf, saya buru-buru, ada yang menunggu. Obat ini saya beli di luar karena rumah sakit kehabisan, dan harus segera diberikan,” kata Maksum yang segera berlalu dengan tergesa-gesa.


“Ayo Pak, ini kami sudah bawa makanannya,” kata Raya.


Pak Rahman hanya mengangguk. Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam hatinya, tapi tak mampu diucapkannya. Memang benar, Damian penuh misteri.


Tapi sambil berjalan, pak Rahman bertanya tentang kejahatan apa yang dilakukan Maksum kepada Damian, lalu Raya menceritakan semuanya sambil berjalan.  Ia sudah mendengar cerita tentang kejadian itu, tapi baru tahu bahwa itulah orangnya.


“Syukurlah, dia mengakui perbuatannya dan tampak sangat menyesal,” kata pak Rahman yang tidak bertanya tentang uang yang diberikan Damian kepada Maksum.


***


Selama seminggu bu Rahman dirawat di rumah sakit, dan selama itu setiap malam Raya dan Damian menemaninya, baru pulang ke rumah setelah bik Sarti menggantikannya.


Tak banyak yang dibicarakan saat ada di rumah sakit, karena bu Rahman tampak enggan bicara. Paling-paling Raya yang bicara, menanyakan sang ibu ingin apa, merasakan apa, tapi jawabannya sangat tidak menyenangkan. Raya hanya bisa pasrah dan berdoa untuk kesembuhan ibunya, dan untuk luluhnya hati ibunya sehingga sudi menerima Damian sebagai menantunya.


 Saat di rumah sakit itu Kamila tidak bisa menjenguk ibunya, karena anaknya masih lembut dan belum bisa diajak bepergian jauh. Tapi setiap hari dia menelpon dan menanyakan keadaannya.


Bu Rahman tak banyak bicara saat Kamila menelponnya, karena setiap menelpon selalu ada kata-kata yang menyarankan agar dirinya harus sabar, jangan emosian, dan segala petuah yang biasanya orang tua tak suka kalau mendengar petuah-petuah dari anak atau yang lebih muda. Tidak semua pastinya, tapi bu Rahman ini termasuk yang sedikit keras kepala.


Ketika bicara dengan Raya, Kamila bertanya tentang Hanna.


“Rosa mengeluh kemarin, katanya Hanna pulang ke Jakarta, dan enggan melanjutkan kuliah.”


“Oh ya?”


“Masa Damian tidak cerita?”


“Damian tidak pernah menceritakan tentang Hanna, karena memang beda jurusan dan jarang ketemu.”


“Kata Rosa, dia seperti orang linglung.”


“Linglung bagaimana?”


“Banyak diam, dan sering bengong. Ayahnya sedang membawanya ke dokter syaraf. Apa itu ada hubungannya dengan Damian? Kasih tak sampai, begitu?” canda Kamila.


“Entahlah, kami tidak pernah melakukan apa-apa, walau dia punya niat jahat sama kita. Damian kan tidak pernah dendam kepada siapapun. Kalau aku kesal, dia hanya bilang, biarkan saja, begitu saja.”


“Damian memang luar biasa.”


***


Waktu berjalan begitu cepat. Raya senang salonnya berjalan dengan sangat memuaskan. Dia juga senang, Damian bisa menempuh pendidikannya dengan lancar. Damian bilang, tidak sampai setahun, dia berjanji akan menyelesaikannya.


“Apa yang akan kamu lakukan setelah lulus nanti? Mencari pekerjaan?”


“Pastinya dong, biar istriku senang, tapi belum aku pikirkan. Sekarang aku sedang memikirkan undangan om ALex.”


“Undangan apa?”


“Om Alex minta kita datang ke Amerika, untuk bertemu dengan kerabat ibuku.”


“Benarkah? Kita akan ke sana?”


“Tentu saja benar, bulan depan aku liburan, kita akan di sana selama sepuluh hari.”


“Wouww… menyenangkan.”


“Besok aku akan mengurus paspor dan yang lainnya, agar pada saatnya nanti kita tidak akan terganggu dengan persyaratan yang harus kita penuhi.”


“Tidak repot kamu mengurusnya sendirian?”


“Ada teman yang akan membantu. Kamu tidak usah khawatir. Pokoknya semua akan beres.”


“Terima kasih Dam, dan karena akan pergi jauh, aku harus pamit pada bapak sama ibu dong.”


“Iya, kalau bapak sama ibu mau, kita bisa mengajaknya serta.”


“Benarkah?” mata Raya berbinar.


“Tentu saja benar.”


“Aku akan ke sana besok. Kalau bapak sama ibu mau, pasti menyenangkan."


Pak Rahman menyambut gembira ketika Raya mengajaknya pergi ke luar negri. Bu Rahman terpana mendengarnya. Seperti mimpi rasanya ketika mendengar Damian mengajaknya ke luar negri. Ada rasa sedikit luluh, tapi ego dan harga dirinya terlalu tinggi. Ia tak menampakkan wajah gembira, dan menerimanya dengan sinar muka datar saja.


“Bu, kalau Ibu mau, Ibu pergi saja bersama Raya dan Damian. Bapak tidak bisa ikut.”


“Kenapa Bapak tidak bisa ikut?” tanya Raya.


“Perusahaan sedang dalam masalah.”


“Masalah apa Pak?”


“Yah, agak rumit sih, tapi ini kesalahan bapak sendiri, yang terlalu percaya kepada orang.”


“Bapak sih, melepaskannya begitu saja.”


“Tadinya Marsono itu baik, dan aku begitu mempercayainya. Tapi setahun terakhir perusahaan mengalami kemunduran, aku memang terlalu ceroboh. Tapi sudahlah, aku rasa aku bisa mengatasinya. Kamu berangkat saja nanti, bersama ibumu.”


“Tidak, aku tidak mau,” kata bu Rahman tiba-tiba.


“Mengapa? Ibu butuh liburan, biar hati senang. Ingat kata dokter.”


“Tidak, aku di rumah saja. Kan Bapak juga tidak pergi?”


“Soalnya bapak sedang ada urusan. Dan ini agak berat.”


“Pokoknya aku tidak akan pergi ke mana-mana.”


“Ya sudah, kalau ibu lebih suka di rumah saja, ya tidak apa-apa. Nanti Ibu mau oleh-oleh apa?”


“Tidak usah. Ibu tidak ingin apa-apa.”


Raya lagi-lagi menghela napas. Ibunya memang agak keras kepala.


***


Raya begitu gembira dan bahagia, karena keluarga Damian di Amerika semuanya baik dan menerima kedatangannya dengan begitu ramah. Sepuluh hari di sana, dihabiskan dengan mengunjungi tempat-tempat indah yang belum pernah dilihatnya. Damian bahagia melihat sang istri begitu riang setiap mengunjungi tempat-tempat indah. Tapi sepuluh hari telah habis. Damian dan Raya banyak membeli oleh-oleh, untuk pak Rahman dan bu Rahman, untuk Agus dan keluarganya, dan tidak lupa untuk bik Sarti yang selalu mendukungnya.


Tapi di pesawat menuju pulang itu, Damian terkejut melihat Raya mengeluh pusing dan mual. Ia bahkan sempat muntah-muntah, padahal tak biasanya Raya mabuk.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...