Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (61)

 Friday, August 4, 2023

SEBUAH PESAN 61


 SEBUAH PESAN  61

(Tien Kumalasari)

 

Mereka yang sedang asyik berbincang, tak begitu perhatian dengan datangnya bu Rahman. Mereka terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara pintu terbanting dan tubuh bu Rahman terkapar di lantai.

Damian melompat bagai kucing, langsung sudah ada di dekat bu Rahman, kemudian menggendongnya, lalu mendudukkannya di sofa.

“Ibu tidak apa-apa?”

“Kenapa Ibu?”

“Kok bisa jatuh?”

Berbagai pertanyaan beruntun terdengar di telinga bu Rahman, namun dia tak menjawab sepatah pun. Dadanya terasa sesak, dan seperti susah untuk bernapas.

Raya lari masuk ke kamar, mencari minyak gosok. Damian memijit-mijit kakinya.

Bu Rahman masih sadar, tapi tampak terengah-engah.

“Sarti….!” teriak pak Rahman.

Bik Sarti yang sudah datang dari tadi segera mendekat.

“Ambilkan obat nyonya.”

Bik Sarti berlari mengambil obat, karena sehari-harinya memang bik Sarti yang melayani sang nyonya minum obat.

“Bik Sarti segera kembali dengan membawa segelas air putih hangat, dan sebutir obat kecil kekuningan, yang selalu diminum setiap kali bu Rahman merasa sesak napas.


Raya membantu mengangkat kepala ibunya, dan meminumkan obatnya, lalu dia menggosok-gosok dada ibunya pelan.

“Sudah, aku mau ke kamar saja,” katanya pelan.

Damian segera bangkit dan kembali mengangkat tubuh bu Rahman, di bawanya ke dalam kamar. Ia membaringkannya pelan, lalu menata bantalnya supaya kepala ibu mertuanya terbaring agak tinggi.

“Ke dokter ya Bu?” tanya Damian.

Bu Rahman menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Biarkan … aku sendiri …” katanya lemah.

“Sudah agak berkurang ya, sesaknya?”

“Sudah … sudah … pergilah,” bu Rahman memberi isyarat agar semuanya keluar, dengan melambaikan tangannya.

Raya mengajak Damian keluar, tapi pak Rahman masih berdiri di samping istrinya. Lalu ia duduk di tepi pembaringan.

“Ibu mengapa, kok tiba-tiba seperti ini,” kata pak Rahman ketika bu Rahman sudah mulai tenang.

“Apa … yang terjadi?”

“Apanya Bu?”

“Perusahaan Bapak.”

“Oh, Ibu tidak usah memikirkannya. Tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”

“Bapak bohong sama ibu.”

“Tidak, memang baik-baik saja kok.

“Punya hutang kan?”

Pak Rahman menghela napas. Ia memang tidak mengatakan apa-apa tentang situasi perusahaan saat ini, tapi maksudnya agar istrinya tidak kepikiran. Tapi rupanya sang istri mendengar ketika mereka bicara, bahkan tentang hutang itu.

“Bu, kan Ibu harus mengerti, bahwa dokter melarang ibu terlalu banyak pikiran. Jadi apapun beratnya beban bapak, ibu tidak perlu ikut memikirkannya. Memang benar, ada yang menyelewengkan uang perusahaan, sudah bertahun-tahun, sehingga kita punya hutang delapan ratus juta. Tapi semuanya sudah selesai, Damian bersedia membayarnya.”


Wajah bu Rahman tampak pias. Berita bahwa perusahaan suaminya tertolong oleh Damian, membuat perasaannya jadi tidak karuan. Ada rasa tak enak menyesak dadanya, dan itulah yang menyebabkan napasnya tersengal-sengal.

“Mengapa harus dia,” kata batinnya.

“Bu, ibu harus tenang. Kemungkinan besar perusahaan kita akan tertolong. Damian dan Raya yang akan menanganinya.”

Bu Rahman menatap langit-langit kamar. Bayangan Damian melintas. Damian yang selalu diolok-oloknya, Damian yang serba tak ada baik-baiknya bagi dirinya, Damian yang selalu dianggap salah, baru saja mengangkat tubuhnya saat jatuh. Baru saja mengangkat tubuhnya saat badannya lemah dan tak mampu melangkah sendiri ke dalam kamar.

Air mata bu Rahman merebak.

“Bu, ibu tidak usah memikirkan apapun. Damian juga melarang aku menjual mobil kita. Dia dan Raya akan menyelesaikan semuanya. Ibu harus senang. Bapak juga sudah merasa lega. Besok pagi semuanya akan mulai dibenahi.”

Menetes air mata dari mata tuanya, mengalir membasahi wajahnya. Pak Rahman mengusapnya lembut.

“Bener ya, jangan memikirkan apa-apa. Sekarang ibu istirahat saja dulu, aku mau melanjutkan pembicaraan dengan Raya dan Damian.”

“Raya suruh bawa mobilnya,” kata bu Rahman lirih.

“Nanti bapak minta agar dia membawanya, barangkali dengan kesibukan baru, Raya membutuhkannya.”

“Harus hati-hati, Raya sedang mengandung,” kata bu Rahman sebelum pak Rahman mencapai pintu. Pak Rahman mengangguk.

“Istirahat dan tidurlah,” katanya lalu menutup pintu.

Begitu pak Rahman muncul, Damian dan Raya langsung menanyakan keadaan ibunya.

“Sudah lebih tenang, bapak minta ibu istirahat dan tidur. Dia tidak pernah tahu keadaan kantor seperti apa, tadi terkejut mendengar perusahaan punya hutang delapan ratus juta,” terang pak Rahman.

“Semoga ibu segera membaik. Kalau memang perlu, ke dokter lagi saja.”

“Dokter sudah memberinya obat, tapi kalau memang masih belum membaik, nanti aku akan membawanya ke dokter.”


“Baiklah Pak, barangkali Raya juga harus segera istirahat, kami mohon pamit dulu. Besok pagi kami akan ke kantor untuk ketemu Bapak dan berbincang lagi.”

“Kamu tidak ke bengkel?”

“Sejak Raya dinyatakan hamil, saya tidak bekerja lagi. Saya tidak bisa membiarkan Raya sendirian sehari penuh. Jadi saya hanya pergi saat kuliah.”

“Baiklah, bapak senang kamu memperhatikan istri kamu. Besok kita bertemu lagi kan?”

“Iya Pak.”

“Oh ya, barangkali Raya perlu membawa mobilnya juga. Kasihan kalau bolak balik membonceng kamu, atau harus naik taksi.”

“Terserah Raya saja. Saya baru  belajar nyetir ketika di bengkel, Biar Raya yang memakainya."


“Bawa saja sekarang. Di sini tidak ada yang memakai.”

“Kamu bisa membawanya, Ray? Hati-hati, kamu kan sedang mengandung.”


“Tinggalkan saja motor kamu di sini, kamu yang bawa mobilnya.”

“Besok kan motornya aku pakai kuliah?”

“Besok saja diambil, atau suruh membawa sopir ke rumah.”

“Baiklah, terserah kamu saja.”

***

Esok harinya, Damian dan Raya pergi ke kantor, bertemu dengan pak Rahman, berbincang tentang semua permasalahan. Kecuali itu, dengan dibantu Damian, Raya mempelajari seluk beluk usaha ayahnya dengan seksama.

“Tapi kamu tidak boleh kecapekan Ray, tengah hari kamu harus pulang.”

“Iya, bersama kamu, sekalian pergi ke kampus kan?”

“Ya. Untuk sementara kita sudah mengerti dasar-dasarnya.”

“Benar, nanti kalian pulang saat makan siang saja. Besok kalian harus datang, kita akan rapat dengan seluruh staf, dan menata semuanya dengan sebaik-baiknya.”

“Ya Pak.”

Sekretaris masuk dan mengatakan bahwa ada tamu dari kantor polisi.

“Baiklah, suruh mereka masuk,” kata pak Rahman.

“Sudah ada berita tentang pak Marsono rupanya?” tanya Raya.

“Masih buron, tapi polisi akan terus memburunya.”

Dua orang polisi masuk, Damian dan Raya ikut menemui mereka. Polisi hanya bertanya tentang kronologi, bagaimana Marsono bekerja. Karena itu pak Rahman segera memanggil staf keuangan, yang pastinya sudah mendapat teguran karena begitu ceroboh mengeluarkan uang.

***

Damian lebih dulu mengantarkan Raya pulang, kemudian mengambil sepeda motornya untuk dibawanya ke kampus. Mobil Raya hanya dipergunakan saat ke kantor atau ke Salon, yang itupun Raya diminta untuk mengurangi juga kegiatannya di sana. Damian sangat menjaga istrinya, dan juga bayi yang dikandungnya.

Ketika sampai di rumah mertuanya, Damian memberanikan diri masuk ke rumah, untuk melihat ibu mertuanya. Diterima dengan baik atau acuh tak acuh, Damian tak peduli.

 Suasana sepi, barangkali pak Rahman masih berada di kantornya. Pasti banyak yang dibicarakan dengan para staf kantornya, yang tidak bisa diikutinya karena Raya harus segera beristirahat. Damian masih khawatir mengingat Raya baru saja merasa segar setelah selama tiga bulan lebih merasa mual dan muntah-muntah.

Ia melihat bik Sarti sedang menata makan siang, dan sangat terkejut melihat Damian tiba-tiba muncul.

“Ya ampun, tuan mengejutkan saya.”

“Tuan lagi sih Bik,” tegur Damian tak suka, tapi bik Sarti tetap pada pendiriannya, bahwa ia harus memanggil tuan kepada suami nona majikannya.

“Biarkan saja, saya tidak bisa merubahnya lagi. Tuan mencari Nyonya?”

“Apakah ibu sudah kelihatan sehat?”

“Belum sepenuhnya sehat, tapi menolak dibawa ke dokter. Katanya sudah mendingan.“

“Sekarang tidur?”

“Saya akan melihatnya,” kata bik Sarti yang segera masuk ke kamar bu Rahman. Ketika ia masuk itu, dilihatnya bu Rahman hanya berbaring, tapi matanya terbuka.

“Nyonya tidak tidur?”

“Aku justru mau keluar kamar, capek tiduran terus,” katanya sambil bangkit.

“Jangan Nyonya, nanti kalau tuan tahu, saya dimarahi. Tuan sudah berpesan, bahwa saya disuruh menjaga Nyonya.

“Aku lelah.”

“Ada tamu untuk Nyonya, biar masuk ke sini ya.”

“Siapa?”

Bik Sarti membuka pintunya, dan mempersilakan Damian masuk.

Bu Rahman menatapnya sungkan. Ia masih teringat bagaimana dirinya selalu mengata-ngatai Damian dengan ucapan yang tidak enak. Dan sekarang, kenyataannya si menantu yang dia benci itu menjadi penolong perusahaan suaminya yang hampir runtuh. Ia bahkan bersikap baik kepada dirinya, dan menatapnya tanpa ada dendam dan sakit hati pada wajahnya yang bersih dan tampan. Damian tersenyum, lalu mendekat dan meraih tangannya, menciumnya dengan hangat.

“Bagaimana keadaan Ibu?”

“Mengapa kamu kemari?” tanyanya tanpa berani menatap wajah Damian secara langsung, Ia tak punya kata-kata untuk menyambut kedatangannya, atau tak bisa merangkai kata manis ketika melihatnya.

“Saya akan mengambil sepeda motor yang saya tinggalkan, tapi memerlukan menjenguk Ibu terlebih dulu, karena sesungguhnya kami menghawatirkan keadaan Ibu.”

Bu Rahman terperangah. Hatinya terasa bagai ditusuk dengan ribuan jarum, pedih dan berdarah. Ia merasa bahwa kebaikan yang ditunjukkan Damian justru menghunjam perasaannya, menjatuhkan kecongkakannya sehingga hancur berkeping-keping, bahkan lumat menjadi debu.

“Kalau memang masih merasa tidak enak, lebih baik ke dokter. Saya masih punya waktu untuk mengantarkan Ibu ke rumah sakit.”

Bu Rahman menggeleng keras.

“Ibu masih pucat.”

“Aku sudah tidak apa-apa.”

“Baiklah.”

“Mengapa kamu begitu memperhatikan aku? Tidakkah kamu tahu bahwa aku sangat membenci kamu?” akhirnya bu Rahman mengeluarkan kata-kata yang lebih panjang, tapi masih jauh dari kata ramah.

Damian menarik kursi kecil yang ada di kamar itu, lalu duduk di hadapan ibu mertuanya.

“Saya tidak merasa begitu.”

“Apa maksudmu?”

“Saya tidak merasa bahwa ibu membenci saya.”

“Tapi aku tidak suka sama kamu.”

“Ibu hanya tidak suka pada kemiskinan saya, dan sangat menghawatirkan kehidupan Raya apa bila hidup bersama saya. Menurut saya itu hal yang wajar. Setiap ibu akan melakukan hal yang sama. Saya tidak tersinggung, apa lagi marah.”

Bu Rahman menatap wajah Damian.

“Kamu menjadi sombong karena kamu ternyata punya uang,” kata bu Rahman seperti bergumam.

“Saya tidak pernah menyombongkan apapun. Saya tidak pernah mengatakan kepada siapapun ketika saya bisa meneruskan sekolah saya. Orang lain tahu karena ada orang yang melihat. Saya tidak pernah merasa sombong ketika mengajak Raya naik pesawat, karena saya ingin menyingkat waktu sehubungan dengan masa libur saya yang tidak lama. Dan saya juga tidak memamerkannya kepada siapapun. Ibu tahu, hanya karena kebetulan bertemu. Apa yang saya sombongkan Bu, saya tetap hidup sederhana, mempergunakan motor butut saya saat ke mana-mana, makan seadanya seperti orang-orang pada umumnya.”


Dan itu benar, tak ada yang salah dari ucapannya. Bu Rahman mengakuinya.

“Mengapa kamu baik kepada saya?”

“Karena Ibu adalah mertua saya, yang juga berarti orang tua saya.”

Bu Rahman menghela napas.

“Ternyata kamu punya banyak uang.”

Damian tak suka mendengar pertanyaan itu, tapi tak enak untuk tidak menjawabnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Raya.

“Ya Ray," sapanya menjawab telpon istrinya.

“Kamu di mana?”

“Masih bersama ibu.”

“Bukankah kamu harus ke kampus?”

“Iya, aku segera berangkat.”

Damian menutup ponselnya.

“Bu, ternyata saya harus pamit. Saya harus ke kampus dulu,” katanya sambil berdiri, lalu mengembalikan kursi kecil yang tadi diambilnya, ketempatnya semula.

Ia meraih tangan ibu mertuanya, dan menciumnya.

Ketika Damian hampir sampai ke pintu, bu Rahman memanggilnya.

“Damian.”

Damian berhenti, menoleh ke arah ibu mertuanya.

“Aku minta maaf,” katanya sambil berlinang air mata.

Damian membalikkan tubuhnya, mendekati sang ibu mertua, kemudian meraih tangannya.

“Ibu tidak bersalah apa-apa,” katanya lembut.

***

Pak Rahman pulang ke rumah tak lama kemudian. Ia langsung masuk ke kamar, dan dengan heran mendapati sang istri sedang menangis.

“Ada apa? Ibu merasa sakit? Ke dokter saja ya?”

Bu Rahmen menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Mengapa Ibu menangis

“Tadi Damian datang kemari.”

“Benarkah? Oh, iya, dia bilang mau mengambil sepeda motornya.

“Ibu sangat malu.”

“Memangnya kenapa?”

“Ibu jahat sama dia, sementara dia baik kepada Ibu.”

Pak Rahman tersenyum. Terkadang untuk sampai ke sebuah titik, ada proses yang harus kita lalui.


***


Besok lagi ya


at August 04, 2023

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...