Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (14)

SEBUAH PESAN  14


(Tien Kumalasari)


 


Bu Rahman terkejut. Ia bangkit, lalu menatap anak gadisnya dengan seksama, dan membuka telinganya lebar-lebar, barangkali ia salah mendengar, atau salah melihat gerak bibirnya. Raya tak lagi mengucapkan apapun untuk beberapa saat, tapi ketika bu Rahman mau membaringkan tubuhnya kembali, suara itu terdengar lagi. Mata bu Rahman terbelalak.


“Damian … jangan pergi … “


Tak tahan mendengar suara yang mengejutkannya, bu Rahman menggoyang tubuh anaknya pelan, dan itu membuat Raya kemudian terjaga. Ia membuka matanya, dan melihat sang ibu sedang duduk sambil menatapnya tajam.


“Apa yang kamu katakan?” tanya bu Rahman dengan wajah tidak suka.


“Apa maksud Ibu? Bukankah Raya tidur? Raya mengucapkan apa?”


“Kamu pasti bermimpi …”


Raya diam, mengingat mimpi yang dialaminya. Ia bertemu Damian, saling mengungkapkan kata cinta, tapi kemudian Damian pergi, ketika seorang gadis memanggilnya.


“Memangnya kenapa Bu? Tak bolehkah orang tidur bermimpi? Kok ibu kelihatan panik begitu?”


“Kamu bermimpi tentang apa?”


“Raya bermimpi … tentang apa ya, lupa Bu. Mengapa malam-malam begini ibu bertanya tentang mimpi? Raya mengentuk, ingin tidur lagi,” kata Raya sambil memejamkan matanya.


Bu Rahman penasaran. Ia tak suka putrinya memanggil-manggil nama Damian dengan begitu lembut dan manis. Apakah itu hanya mimpi? Atau apakah memang ada kedekatan diantara keduanya?


“Amit-amit deh,” gumam bu Rahman. Tapi gumam itu membuat Raya kembali membuka matanya.


“Ada apa bu?”


“Kamu tidak merasa ya, tadi memanggil-manggil nama Damian?”


“Apa?” kali ini Raya berteriak. Sangat terkejut dia, karena ternyata dalam tidurnya tadi dia mengigau memanggil nama Damian. Aduh, Raya bingung untuk menjawabnya. Ia memarahi mulutnya yang telah menyebutkan nama itu.


“Kamu tidak merasa? Tadi kamu memimpikan Damian?”


“Oh, itu … anu Bu, terbawa mimpi karena tadi melayat meninggalnya pak Timan.”


“Ada apa dengan Damian?”


“Ibu, itu kan hanya mimpi.”


Bu Rahman tak melanjutkan pertanyaannya, tapi diam-diam timbul perasaan curiga, karena nada suara saat menyebut nama Damian itu, terasa sangat berbeda. Ia menatap wajah anaknya, yang telah kembali memejamkan matanya, lalu ia membaringkan tubuhnya di sampingnya lagi.


***


Hari sudah agak siang, Damian membersihkan rumah, dari bekas banyak tamu yang melayat saat ayahnya meninggal. Perasan sunyi menyergapnya. Tak ada kopi pahit terhidang, hanya segelas air putih yang baru saja dituangnya, dan belum sempat diminumnya.


Wajahnya masih sembab, tapi tangis itu tak ada lagi, walau aroma kesedihan masih terbayang dengan sangat jelas.


“Mas Damian …”


Damian melongok ke arah luar, dilihatnya Sari berjalan tersaruk sambil membawa rantang bersusun tiga. Damian berdiri dan melangkah ke arah depan.


“Mas, ini, aku bawakan nasi dan lauk, untuk sarapan dan makan siang nanti,” katanya sambil meletakkan rantang di atas meja.


“Mengapa repot-repot Sari, aku bisa beli di warung dekat rumah.”


“Tidak repot Mas, aku pikir mas Damian sedang tidak ingin keluar. Tadi aku kebetulan beli nasi dan oseng kangkung, juga ayam beberapa potong. Jadi sekalian aku beli untuk Mas.”


“Lain kali kamu jangan melakukannya lagi.”


“Mas, kita kan sudah lama bertetangga, jadi harusnya Mas tidak usah merasa sungkan kalau aku membawakan sesuatu untuk Mas. Biasanya aku mengirim makanan untuk pak Timan, tapi karena pak Timan sudah tidak ada, biar Mas Damian saja. Sedih rasanya, kemarin aku terus menungguinya sebelum meninggal. Aku juga terus menggenggam tangannya, dan pak Timan membalasnya dengan ikut menggenggam tanganku. Mas tahu tidak, pak Timan almarhum pernah menginginkan aku agar menjadi menantunya,” kata Sari panjang lebar.


“Apa?”


“Itu benar mas, berani sumpah.”


“Aku belum berpikir ke arah itu.”


“Tapi itu amanah lho Mas, apa Mas Damian tak ingin memenuhinya?”


Wajah Damian muram. Ia masih berduka dan Sari berbicara seolah sudah benar-benar mendapatkan amanah dari ayahnya.


“Mas tahu kan, bahwa keinginan orang tua itu harus dijalankan?”


“Tidak. Bapakku almarhum tidak pernah memaksakan kehendak,” kata Damian tandas, sambil menampakkan wajah kesal.


Sari bukannya tak tahu kalau Damian tak suka, tapi Sari kan gadis yang tidak mudah menyerah?


“Mas, biar nasi dan makanan ini aku ganti tempatnya ya, aku taruh di mangkuk dan piring di belakang.”


“Tidak, biarkan aku sendiri yang mengganti tempatnya, dan aku mohon, lain kali kamu tidak usah memberi apa-apa untuk aku.”


“Tidak apa-apa Mas.”


“Tidak usah. Dan sekarang aku mohon tinggalkan aku, aku sedang ingin sendirian,” kata Damian sambil berdiri.


Sari cemberut, tapi ia tak bisa tetap duduk di situ sementara Damian sudah setengah mengusirnya.


***


Sejak mendengar Raya mengigau dengan menyebutkan nama Damian, bu Rahman merasa curiga atas apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan ketika Raya menanyakannya, bu Rahman menjawabnya dengan sengit.


“Kapan Damian masuk kerja ya,  tapi kan masih berkabung,” kata Raya.


“Memangnya kenapa? Toh tidak lama lagi dia juga akan keluar dari sini,” kata bu Rahman sengit.


“Tapi kan belum saatnya, bukankah katanya masih bulan depan?”


“Bulan depan itu tinggal sepuluh hari lagi, eh … nggak … delapan hari lagi. Lagipula kenapa kamu menanyakannya?”


"Dua hari mawar-mawar itu tidak di siram,” katanya sedih.


“Nanti biar bik Sarti menyiramnya. Memangnya cuma dia saja, yang bisa menyiram tanaman?”


Raya diam. Hatinya bertanya-tanya, kenapa ibunya kelihatan sekali kalau tidak suka sama Damian.


“Bapak juga sedang memesan orang untuk menjadi pengganti Damian, kamu tidak usah khawatir mawar kamu akan layu, Raya,” kata Kamila.


Raya mengangguk lemah, tapi kemudian dia beringsut pergi menjauhi ibu dan kakaknya yang masih duduk santai di ruang tengah.


“Mila, kamu tidak curiga sama adik kamu?” tanya bu Rahman agak berbisik, ketika Raya sudah masuk ke kamarnya.


“Curiga kenapa, Bu?”


“Tampaknya ada hubungan antara dia dan Damian.”


“Apa? Maksud ibu, Raya dan Damian?” tanya Kamila terkejut.


“Iya.”


“Kok ibu berprasangka begitu sih?”


“Kamu kan tahu, selama beberapa hari ibu tidur di kamar Raya, mulai Raya mengeluh sakit, karena ibu khawatir. Saat dia tertidur, ibu mendengar dia memanggil-manggil nama Damian.”


“Masa? Mungkin dia bermimpi tentang Damian. Kebawa setelah melayat meninggalnya ayah Damian, barangkali.”


“Kalau kamu mendengar cara dia memanggilnya, pasti merasa aneh. Ibu yakin ada sesuatu diantara mereka.”


“Ibu ada-ada saja.”


“Percayalah sama ibu. Jadi ibu bersyukur, Damian akan keluar dari sini, tidak lama lagi. Dengan begitu ibu tidak perlu terlalu mengawasinya setiap ada Damian.”


Kamila diam. Ia ingat tentang Raya, yang menanyakan tentang bagaimana rasanya jatuh cinta. Ketika Kamila menanyakan, apa dia sedang jatuh cinta, sepertinya Raya mengakuinya, tapi Raya juga bilang, bahwa belum tentu orang yang dicintai itu juga membalas perasaannya.


“Apakah laki-laki itu Damian?” pikir Kamila.


“Kamu tidak percaya?”


“Entahlah Bu, nanti Kamila akan menanyakannya.”


“Pada siapa?”


“Pada Raya dong Bu.”


“Mana mau dia mengakuinya.”


“Kita lihat saja nanti. Tapi seandainya itu benar, apa yang akan Ibu lakukan?”


“Ya ampun Mila, masa ibu akan menjadikan Damian sebagai menantu? Pikir dong Mila, mana bisa hal itu terjadi? Siapa Raya, siapa Damian. Kamu tidak usah bertanya dong. Jawabannya sudah pasti kamu sudah tahu.”


Kamila tersenyum, ia memang sudah tahu. Tiba-tiba rasa iba menyembul dari lubuk hatinya. Raya mencintai Damian? Ia tahu, Raya sangat dekat dengan Damian, tapi menurutnya kan hanya sebatas memetikkan mawar kesukaan Raya, lalu Raya memberi hadiah berupa es krim atau apa. Benarkah Raya suka sama Damian? Lalu Damian mengimbanginya? Kamila hampir yakin, tidak mungkin Damian mengimbanginya. Mana berani dia melakukannya? Apa itukah sebabnya maka Damian memilih pergi? Ah, semuanya belum jelas, Kamila ingin bicara sama adiknya, untuk memastikan hal yang membuat ibunya curiga, demikian pula dirinya.


Ia berdiri, kemudian masuk ke kamar Raya. Tapi dilihatnya Raya sudah pulas tertidur, sehingga tanda tanya itu belum menemukan jawabannya.


***


Sore hari itu bu Mijan sedang duduk sendirian di teras rumah, tiba-tiba dilihatnya Damian datang. Wajahnya langsung keruh seketika. Sungguh bu Mijan tidak rela anak gadisnya berhubungan dengan Damian. Dia mengira Damian ingin menemui Sari. Karenanya sebelum masuk ke teras rumahnya, bu Mijan sudah menghadang di depan tangga.


“Damian …”


“Selamat sore Bu.”


“Maaf ya Dam, Sari sedang tidur. Maklum, kakinya kan belum sembuh benar.”


“Saya bukan mau menemui Sari Bu, hanya akan mengembalikan rantang ini,” kata Damian sambil mengulurkan rantang yang tadi pagi digunakan Sari untuk memberinya makanan.


Bu Mijan sedikit malu, karena mengira Damian akan menemui anaknya. Tadi dia tidak melihat bahwa Damian membawa rantang.


“O, rantang? Ini rantangku bukan?”


“Benar Bu, itu sebabnya saya kembalikan. Tadi pagi Sari membawakan makanan, yang sebenarnya tidak perlu Sari lakukan. Saya sungkan selalu merepotkan.”


“Gitu ya? Baiklah, nanti aku beri tahu Sari untuk tidak melakukannya lagi.”


“Terima kasih banyak Bu, sekarang saya permisi,” kata Damian yang langsung membalikkan tubuhnya.


Sepeninggal Damian, bu Mijan langsung memasuki kamar Sari, sambil masih menenteng rantang kosong yang baru saja diserahkan Damian.


“Sari, apa-apaan sih kamu? Pakai ngirim-ngirim makanan segala sama Damian?”


Sari bangkit dari tidurnya.


“Ya ampun Bu, bukankah ibu juga sering menyuruh Sari memberikan makanan untuk pak Timan?”


“Memberikan makanan untuk pak Timan, itu tidak apa-apa. Dia sudah tua dan butuh perhatian, sementara anaknya bekerja. Memberi makanan dia itu, bagi ibu hanya karena ingin berbaik hati semata, kepada tetangga yang kekurangan. Lha kamu? Kamu memperhatikan Damian karena ada pamrih, bukan?”


“Ibu, mengapa Ibu marah-marah sampai seperti itu?”


“Karena ibu tidak suka kamu dekat dengan Damian. Dengar ya, mulai besok kamu harus ikut ibu ke pasar.”


“Apa? Kan kaki Sari masih sakit?”


“Hanya ikut, apa mengganggu kaki kamu? Kalau kamu capek, biar Darmo mengantarkan kamu pulang.”


“Huh, Darmo lagi … Darmo lagi.”


“Itu lebih bagus kan, daripada Damian lagi … Damian lagi.” kata bu Mijan sambil melangkah keluar dari kamar, kemudian meletakkan rantang di meja makan dengan kasar, sehingga menimbulkan bunyi berkerontang sangat keras.


Sari kembali berbaring, menutup kepalanya dengan bantal.


***


Damian tahu, bu Mijan tidak suka pada dirinya. Ia juga kesal sama Sari, dia harusnya tahu dirinya tidak pernah perhatian pada apa yang dilakukannya, walau dia harus berterima kasih karena Sari telah menunggui ayahnya saat di rumah sakit, dan dia pula yang mengabari dirinya tentang keadaan ayahnya. Tapi bukan berarti Damian harus mempedulikan Sari dengan perlakuan lebih kan? Sejak dulu dia hanya tetangga baik. Walau almarhum ayahnya menyukai Sari, tapi tidak dengan dirinya. Damian kembali duduk di teras, rasa sepi menyengatnya. Semuanya sangat mengejutkan. Ayahnya pergi begitu tiba-tiba.


Lalu Damian teringat, belum menyimpan buku tabungan ayahnya. Ia tidak tahu mengapa ayahnya tiba-tiba membuka rekening di bank. Ia masuk ke kamar, melihat buku itu masih tergeletak di meja. Ia memasukkannya ke dalam almari ayahnya, berikut dompet dan uang yang semula tercecer dan ditemukan orang.


Damian kembali duduk di depan rumah. Lalu ia merasa bahwa tak baik berlama-lama tinggal di rumah. Ia ingin segera kembali bekerja. Mungkin besok pagi Damian akan mulai bekerja lagi, yang akan dijalaninya tinggal beberapa hari saja, karena dia sudah bertekat akan keluar dari pekerjaannya.


Wajah Raya yang melintas, membuatnya semakin sedih. Tapi lamunan tentang Raya tak bisa berlanjut, karena Damian melihat salah seorang temannya datang. Teman, di mana dia minta tolong untuk mencarikan pekerjaan.


Damian berdiri menyambut, lalu mempersilakannya duduk.


“Maaf Dam, waktu bapak meninggal, aku sedang tugas keluar kota, jadi tidak bisa melayat,” kata Agus, sang teman, setelah duduk berhadapan dengan Damian.


“Tidak apa-apa Gus, bapak sudah tenang di sana.”


“Aku datang kemari, ingin memberitahukan tentang pekerjaan yang kemarin kita bicarakan.”


“Oh ya? Adakah berita baik untuk aku?”


“Ya, tapi di bengkel mobil. Temanku baru membukanya, dan butuh seorang karyawan lagi. Aku ingat kamu bisa mengutak atik mesin, tapi apapun itu, kamu kan bisa belajar. Maukah?”


“Apapun aku mau.”


“Tapi tempatnya jauh dari sini. Kalau bersepeda kamu akan capek, soalnya letak bengkel itu ada di pinggiran kota. Nanti aku kasih tahu alamatnya.”


“Tidak masalah. Kalau terlalu jauh aku bisa naik motor.”


“Bagus kalau ada motor.”


“Itu dulu motor bapakku almarhum, diberikannya sama aku. Tapi aku jarang sekali memakainya. Kalau aku bekerja, cukup naik sepeda saja.”


“Bagus, kalau begitu. Bisakah besok menemui aku di sana? Aku yang akan mengantarkan kamu menemui managernya,”


“Bisa, aku akan ke sana.”


Tapi pembicaraan itu terhenti, ketika seseorang datang dengan sepeda motornya. Jantung Damian berdegup kencang melihatnya turun dari sepeda motor, lalu melangkah pelan mendekati rumahnya.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...