Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (35)

SEBUAH PESAN  35


(Tien Kumalasari)


 


Raya menghela napas sedih. Damian yang juga mendengar ejekan ibu mertuanya, tetap menguatkan hatinya. Ia menggenggam tangan istrinya dengan hangat, lalu mengangkatnya dan menciumnya lembut. Raya segera mengerti, Damian yang mendengar suara ibunya tetap bertahan dan mengajaknya tetap kuat.


Keduanya menyambut dengan senyum bahagia di setiap uluran tangan berisi ucapan selamat.


Terima kasih ya, Bapak, Ibu, Mas Agus,” jawab Raya ramah.


“Selamat ya Ray, aku berharap kalian bahagia,” kata Abi memberikan selamat.


Ia juga menyalami Damian dengan hangat.


“Titip adik aku ya Dam,” kata Abi bersama Kamila.


Damian mengangguk senang.


“Terima kasih Tuan Abi, Non Mila.”


“Hei, jangan panggil kami tuan dan non lagi. Kamu adalah keluarga, sekarang,” kata Kamila sambil tertawa.


“Benar, panggil juga aku bapak, dan ini ibu,” kata pak Rahman menimpali. Bu Rahman tampak membuang muka. Walau begitu dia menerima uluran tangan Damian dan Raya, masih dengan wajah masam.


“Mohon restunya, Nyonya,” kata Damian yang tetap memanggil ibu mertuanya dengan sebutan nyonya.


“Hmm,” hanya itu jawabnya.


“Kita ke rumah dulu ya, bagaimanapun ini harus disambut dengan rasa syukur,” kata pak Rahman sambil menatap ‘kerabat’ Damian satu per satu.


“Sebaiknya kami langsung pulang saja, Tuan,” jawab Damian.


“Jangan Dam, bik Sarti sudah masak enak untuk kita semua.” kata Kamila menimpali.


“Tapi Non …”


“Jangan begitu, ini hari bahagia kamu dan Raya, kita akan merayakannya, walau hanya sekedar makan makanan buatan sendiri. Bukankah begitu, Pak, Bu,” lanjut Kamila sambil menatap ayah dan ibu Agus.


“Saya menurut saja, tergantung nak Damian.”


“Nah, jangan mengecewakan kami dong Dam, nanti setelahnya, kamu boleh membawa pulang istri kamu,” kata Kamila sambil tersenyum.


Raya menatap suaminya, berharap sang suami tidak menolak. Melihat itu, hati Damian luluh. Bagaimanapun keluarga mertuanya ingin sekedar mengajak mereka makan untuk mensyukuri pernikahan mereka.


“Baiklah,” akhirnya kata Damian.


***


Rupanya bik Sarti sudah masak banyak macam makanan, yang ketika mereka datang, semuanya sudah terhidang di meja. Ada sup, ada ayam goreng, ada ikan, dan kue-kue yang dibeli Kamila dari toko roti terbaik.


“Ayo, silakan, kita langsung saja menyantap hidangan ini,” kata pak Rahman.


“Raya, layani suami kamu, ambilkan apa makanan yang diinginkan,” sambung Kamila.


Walau tampak kaku, bu Rahman ikut makan bersama mereka. Tak ada kata terucap, dan kalau di sapa jawabannya hanyalah ‘hm’, itu saja.


Mereka makan dengan nikmat, karena pak Rahman melayani tamu-tamu dan menantunya dengan hangat dan ramah.


Abi dan Kamila juga sangat ramah, dia duduk di samping Damian yang asyik makan makanan yang diambilkan istrinya.


“Suka ya, bekerja di bengkel?” tanya Abi.


“Hanya itu pekerjaan yang saya dapat, Tuan.”


“Kok tuan lagi sih, bisakah memanggil aku ‘mas’ begitu?”


“Baiklah, tapi pelan-pelan berubahnya ya, susah kalau tiba-tiba. Sudah terbiasa dengan keluarga tuan Rahman,” jawab Damian tersipu.


“Tidak ingin bekerja kantoran?” lanjut Abi.


“Saya hanya lulusan SMA.”


“Ingin kuliah?”


“Entahlah, kalau saya mampu.”


“Aku ingin bantu kamu.”


“Tidak Tuan, jangan. Terima kasih banyak. Biarlah saya jalani hidup saya dengan kemampuan saya.”


Abi mengangguk. Dia sudah mendengar dari Kamila, bahwa Damian tak suka dibantu apapun dan siapapun. Abi menghormatinya.


“Kamu benar-benar akan membawa istri kamu pulang, hari ini juga, Dam?” tanya pak Rahman.


“Ya, Tuan, kalau Tuan mengijinkan.”


“Panggil saya bapak. Ulangi,” kata pak Rahman sambil tertawa.


“Ya, Pak.”


“Baiklah, Raya sudah menjadi milik kamu, tentu saja aku mengijinkannya. Tapi seperti yang pernah aku katakan sebelum ini, aku titipkan Raya untuk kamu lindungi dan kamu cintai. Jaga dia, jangan sampai kamu menumpahkan air matanya.”


Damian mengangguk terharu.


“Saya akan menjaganya, bahkan dengan taruhan nyawa saya,” kata Damian mantap.


Pak Rahman mengangguk puas.


Perjamuan kecil itu berakhir, ketika Damian berpamit dengan membawa istrinya.


“Biar aku dan mas Abi mengantar kalian, dengan membawa barang-barang Raya. Semalam dia sudah menyiapkannya,” kata Kamila.


Damian mengangguk.


***


Kamila membantu membawa barang-barang Raya, yang kemudian diletakkannya di sebuah ruang tamu di rumah itu. Kamila harus mengakui, rumah Damian memang sangat sederhana. Perabotannya kuna, dan jauh dikatakan pantas. Tapi semuanya tampak tertata bersih dan rapi.


“Beginilah rumah saya, yang akan ditempati non Raya juga. Saya berharap non Raya bisa menerima keadaan ini dengan suka cita,” kata Damian sambil menatap istrinya.


“Raya sudah memilih kamu. Dia pasti bisa menerimanya dengan suka cita,” kata Kamila.


“Aku bahagia di samping kamu,” kata Raya sambil bergayut di lengan suaminya.


“Itulah yang kami harapkan juga, Ray,” kata Abi menimpali.


“Saya mohon doanya, Non, dan_”


“Aku kakak kamu sekarang. Panggil aku mbak Mila dan ini mas Abi.”


“Baiklah, terima kasih banyak.”


“Aku juga ingin meminta maaf atas sikap ibu yang masih tampak kurang suka atas pernikahan ini. Tapi aku yakin, dengan berjalannya waktu, apalagi kalau ibu melihat kalian bahagia, trus … punya anak yang imut dan lucu, pasti deh, hati ibu akan luluh,” kata Kamila.


“Doakan kami ya Mbak.”


“Tidak apa-apa kalau sekarang nyonya bersikap kurang senang kepada saya. Saya anggap itu wajar, bagi seorang ibu yang melihat pilihan anaknya kurang pantas  menurutnya.


“Tidak, jangan berkecil hati. Karena kamu bisa membuat Raya bahagia, maka kamu adalah laki-laki yang pantas.” kata Kamila membesarkan hati adik iparnya.


“Terima kasih, Non … mm… Mbak..”


“Raya, apa aku harus membantu menata barang-barang kamu?” tanya Kamila.


“Tidak usah Mbak, biar saya sama non Raya saja.”


“Baiklah, kalau begitu aku pamit ya, nanti aku dan mas Abi akan kembali ke Jakarta.”


“Selamat jalan Mbak, aku tidak mengantarkan ya,” canda Raya.


“Nggak mau, nanti kamu nabrak orang lagi,” jawab Kamila yang disambut tawa oleh yang lainnya.


***


Hari masih sore, Damian dan Raya sudah selesai mandi. Damian menghidangkan coklat susu segelas, minuman kesukaan Raya saat di rumah.


“Dam, mengapa kamu melayani aku? Ini kebalik, bukan? Aku lah yang harus melayani kamu,” sungut Raya.


“Kali ini saja, kasihan baru datang sudah membuat minuman sendiri.”


“Baiklah, tapi mulai besok, biarlah aku yang melakukannya.”


“Senangnya, punya istri. Cantik dan pengertian pula. Tapi aku harus mengingatkan, inilah rumah Non sekarang. Jauh bedanya dengan kediaman Non sebelum ini.”


“Dam, kamu bicara sama siapa sih? Mana yang namanya Non?” kata Raya sambil menoleh ke arah belakang, seakan sedang mencari seseorang.


Damian tertawa. 


"Yang ini dong, yang aku panggil Non,” kata Damian sambil meraih tangan istrinya.


“Nggak mau dipanggil non. Panggil namaku saja. Ra … ya … Ingat ya, awas kalau keliru."


Damian tertawa. Tapi tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.


Damian berdiri, lalu berjalan ke arah depan. Dilihatnya Sari berdiri di depan anak tangga teras.


 “Sari?”


“Mas Damian, aku baru tahu kalau mas Damian menikah,” kata Sari sambil tersenyum.


“Masuklah, ada istri aku di dalam.”


Sari melangkah masuk, lalu duduk di teras.


“Nggak masuk?”


“Di sini saja, aku hanya sebentar. Aku sekarang tidak tinggal di sini, karena harus mengikuti suami aku.”


“O, kamu juga sudah menikah?”


“Baru seminggu yang lalu, tapi aku menikah tidak di rumah. Di sebuah gedung, lalu langsung diboyong ke desanya suami aku, ada rame-rame juga di sana, namanya ngunduh mantu.”


“Wah, aku ketinggalan berita,” kata Damian sambil tersenyum.


“Maaf tidak mengundang, soalnya ibu hanya mengundang teman-temannya di pasar. Tetangga hanya sedikit yang diundang.”


“Tidak apa-apa, aku juga menikah tanpa mengundang siapapun. Tapi dari mana kamu tahu kalau aku menikah?”


“Dari pak RT, ketika saya mengurus surat pindah.”


“Oh, iya. Sebentar, aku panggil istri aku.”


Tapi belum sempat Damian masuk ke dalam, Raya sudah muncul keluar.


“Ini dia. Kenalkan Ray, ini Sari, tetangga sebelah. Ini Raya, istri aku,” Damian memperkenalkan istrinya.


“O, ini yang jatuh waktu kita bersepeda bareng itu kan?” kata Raya.


“Iya benar. O, Mbak ya, temannya Damian bersepeda waktu itu? Aku sudah menduga, kalau Mbak pacar mas Damian.”


“Ah, bukan. Waktu itu kami belum pacaran kok,” kata Raya.


“Baru disimpan di dalam hati," sambung Damian sambil tersenyum. Raya mencubit lengannya, membuat Damian meringis kesakitan.


“Aku akan berada di sini selama beberapa hari, sambil mengurus kepindahan ke desanya suami.”


“Jadi tidak tinggal di sini lagi?”


“Hanya ibuku, yang sekarang sudah mencari pembantu. Aku harus ikut suami.”


“Yang … itu ya, namanya … Darmo?”


“Iya sih Mas, sebenarnya aku nggak suka. Tapi ibu memaksa."


“Akhirnya suka juga kan?” canda Damian.


Sari tersipu.


“Aku datang kemari untuk mengucapkan selamat.”


“Sama-sama. Selamat juga buat kamu dan suami. Mana suami kamu?”


“Nggak ikut, karena harus berjualan. Selama aku di sini, aku akan sering menemari Mbak Raya di sini, soalnya aku juga sendirian kalau ibuku berjualan ke pasar.”


“Senang sekali ditemani …”


Damian bersyukur, Sari tidak menyimpan rasa benci, walaupun beberapa waktu yang lalu pernah bentrok dengan Darmo yang sekarang sudah menjadi suaminya. Damian tidak heran kalau bu Mijan tidak mengundangnya, soalnya bu MIjan sangat benci pada dirinya, yang mengira ingin merebut Sari dari tangan Darmo.


***


Pak Rahman mencari-cari istrinya saat sore itu baru pulang dari kantor. Ia heran ketika melihat sang istri sedang duduk sendirian di tepi kolam. Pak Rahman melangkah mendekati.


“Bu, tumben duduk di sini sendirian,” kata pak Rahman sambil duduk di atas batu, di depan istrinya.


“Bapak sudah pulang?”


“Baru saja. Aku mencari-cari ibu di di mana-mana, ternyata ada di sini.”


“Mencari udara segar Pak. Nanti minuman Bapak biar dibawa kemari oleh Sarti.”


“Iya, sepertinya dia sudah membawa nampan berisi minuman kemari,” kata pak Rahman sambil menatap bik Sarti yang baru keluar dari arah dapur.


“Minuman saya taruh di sini, atau di ruang tengah, Tuan?”


“Di sini saja. Istriku sedang menginginkan udara segar di luar rumah.”


“Baik, Tuan.”


Bik Sarti meletakkan dua gelas coklat susu dan sepiring cemilan  di meja batu, di tepi kolam itu. Pak Rahman langsung menyeruput minumannya.


“Biasanya Raya duduk-duduk di sini. Ia senang sekali melihat ikan-ikan berkeliaran," kata bu Rahman.


Pak Rahman tersenyum. Ia tahu, sang istri merindukan anak bungsunya.


“Baru beberapa hari Raya dibawa suaminya, ibu rindu ya?”


“Aku menyesal, Raya menikah begitu cepat.”


“Raya kan sudah dewasa, sudah saatnya menikah. Semua orang tua akan merasakan hal yang sama,” hibur pak Rahman.


“Mengapa harus Damian ya?” gumamnya lirih.


“Ibu jangan begitu. Jodoh itu bukan kita yang menentukannya. Itu dari Allah.”


Bu Rahman menghela napas.


“Kita doakan saja, agar Raya dan suaminya hidup rukun, dan bahagia. Bukankah begitu?”


“Kamila dan Raya, nasibnya berbeda.”


“Ibu jangan mengukur dari harta yang mereka miliki. Ukurlah dari kebahagiaan yang mereka rasakan. Aku yakin, kebahagiaan mereka itu sama.”


Bu Rahman tak menjawab. Rasa sesal itu belum hilang sepenuhnya dari dalam hatinya.


“Ayo, segera diminum Bu, keburu dingin.”


Bu Rahman meraih gelasnya, menikmati coklat susunya.


***


Pagi hari itu ketika meletakkan teh panas kesukaan Damian di meja, Raya menunjukkan sebuah amplop.


“Apa itu?”


“Rupanya, diam-diam mbak Kamila memberikan sejumlah uang untuk kita. Aku mohon jangan ditolak. Ini hanya hadiah,” pinta Raya.


“Baiklah. Simpan saja uang itu. Kalau belanja, nanti memakai uang yang aku berikan. Besok aku gajian, akan aku serahkan semuanya untuk kamu.”


Raya tersenyum senang. Besok akan menikmati uang hasil kerja suaminya.


Tiba-tiba Raya terbatuk-batuk.


“Kamu sakit? Sejak semalam kamu terbatuk-batuk terus.”


“Tidak apa-apa. Hanya gejala flu, nanti juga pasti sembuh, aku akan minum obat.”


“Jangan pernah menyepelekan penyakit. Kalau tidak sembuh juga, harus ke dokter.”


“Ah, sedikit-sedikit dokter, sedikit-sedikit … dokter,” gerutu Raya yang memang tidak suka pergi ke dokter.


Damian tersenyum, dan mengira batuk yang di derita istrinya memang hanyalah batuk biasa.


Tapi ketika suaminya sudah berangkat, Raya bukan hanya merasa batuk, tapi dadanya juga terasa nyeri.


Sebenarnya Raya sudah lama merasakan nyeri dada, tapi tidak pernah mengungkapkannya kepada sang suami. Itu karena Raya enggan pergi kedokter.


Raya kembali terbatuk, dan betapa terkejutnya ketika ia juga melihat darah ketika mengeluarkan dahak.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...