Kejora Pagi
Wednesday, January 24, 2024
ADA CINTA DIBALIK RASA 03
(Tien Kumalasari)
Nilam heran melihat sang kakak mengenal Anjani, lalu diulangilah pertanyaannya.
“Mas kenal Anjani?”
“Aku kenal nama itu, tapi entahlah, apa dia yang dimaksud oleh teman baru kamu itu. Pokoknya namanya Anjani.”
“Mas tahu di mana rumahnya?”
“Kamu kok bersemangat sekali sih. Ingin supaya Jatmiko suka sama kamu?”
“Ih, mas Wijan kok gitu. Aku bersemangat, karena dia bilang aku mirip Anjani. Jadi aku ingin tahu, dia itu seperti apa?”
“Menurutku nggak mirip kok.”
“Nggak mirip? Kok dia nekat ya? Tapi aku penasaran, ingin ketemu dia seperti apa.”
“Ya sudah, kerjakan dulu itu, kamu ngomong saja … kapan nanti selesainya?”
“Habis aku menasaran sekali.”
“Tenang saja, dia nggak mirip kamu. Mungkin … mata kamu saja yang mirip. Bulat, menunjukkan kalau kamu tuh galak.”
Nilam menjerit kesal, dan mulutnya mengerucut ketika membuka laptopnya untuk mulai bekerja.
"Jelek ya, kalau bekerja sambil merengut begitu,” goda Wijan.
“Biarin.”
“Kalau kamu bertanya di mana rumahnya, aku nggak tahu,” tak urung Wijan melanjutkan perkataannya tentang Anjani.
“Kok nggak tahu sih?”
“Dia hanya adik kelas aku, setelah aku lulus, nggak tahu lagi dia lanjut kemana. Pastinya sekarang dia sudah selesai, dan entahlah, mungkin sudah menikah.”
“Yaaah, ternyata nggak tahu di mana dia?”
“Memang nggak tahu. Kenapa aku harus tahu? Dia bukan siapa-siapa aku,” kata Wijan enteng.
“Mas punya fotonya nggak?”
“Ya enggak lah, masa aku motoin seseorang yang aku nggak begitu kenal.”
“Oo, nggak begitu kenal?”
“Dia setahun dibawah aku, dan beda jurusan, jadi yah … hanya kenal sekilas, dan jarang bertemu.”
Nilam kecewa. Ternyata Wijan tak begitu tahu tentang gadis bernama Anjani itu. Kemudian Nilam mulai mengerjakan apa yang ditugaskan Wijan kepadanya, walau bayangan tentang Jatmiko yang mengira dia adalah Anjani masih terus mengganggunya.
Rasa penasaran tentang bagaimana sebenarnya wajah Anjani membuatnya terus memikirkannya.
“Aku keruang bapak sebentar, bekerja yang bagus, jangan sambil melamun,” kata Wijan sambil mengacak kepala Nilam, kemudian berlalu.
***
Di sebuah rumah makan, seorang gadis cantik sedang duduk dihadapan seorang laki-laki, yang tampaknya agak lebih tua dari dirinya. Hal itu terlihat pada rambutnya beberapa helai memutih, walau belum putih sepenuhnya.
“Kamu sudah akan menjadi istriku, jadi jangan menyesal kalau aku menyuruhmu berhenti bekerja,” kata laki-laki itu sambil menghirup jus alpukat yang dipesannya.
“Seharusnya Bapak tahu, bahwa saya tidak suka tentang perjodohan ini,” kata si gadis dengan wajah gelap.
“Anjani, aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk pengobatan ayahmu yang sakit-sakitan. Sebentar lagi dia harus operasi jantung karena hanya itu yang bisa memperpanjang nyawanya. Semua itu aku sudah menyiapkan biayanya. Lalu apa balas budi kamu atas semua yang aku lakukan untuk keluarga kamu? Ibu tiri kamu sudah setuju. Dia tak akan mampu mencari biaya yang begitu besar untuk ayahmu. Apa kamu melupakannya?”
“Saya harap pak Usman mengerti. Saya akan membayar semuanya dengan saya bekerja. Akan saya berikan semua gaji saya untuk mencicil semua yang sudah Bapak keluarkan untuk membantu pengobatan ayah saya.”
Laki-laki bernama Usman itu tertawa keras, sampai pundaknya berguncang-guncang. Anjani tak sedikitpun menatapnya. Ia memandang ke arah lain dengan wajah tak berubah.
“Kamu akan mencicil dengan gajimu? Berapa banyak gaji kamu dan berapa lama kamu akan bisa melunasinya?”
“Yang penting saya akan bisa membayarnya. Saya akan bekerja keras untuk itu.”
“Mengapa kamu begitu bodoh? Bekerja keras untuk membayar hutang itu berat. Kasihan wajah cantik kamu yang pasti akan menjadi kusut dan tampak semakin tua dari usia kamu sebenarnya,”
“Tolong mengertilah,” Anjani menghiba.
“Tidak. Aku tidak akan mengerti. Pembicaraan tentang perjodohan ini sudah bulat dan disepakati oleh keluarga kamu.”
“Keluarga saya yang mana?”
“Ibu tiri kamu yang mata duitan itu. Dia sudah menerima banyak uang dari aku, yang alasannya adalah untuk pengobatan ayahmu. Jadi tidak bisa ada penolakan dari kamu.”
Mata Anjani berkaca-kaca. Sejak ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dengan seorang janda cantik bernama Estiana, hidupnya tidak pernah tenang. Memang dia bukan ibu tiri yang kejam dengan suka menyiksa fisiknya, tapi dia selalu menuntut terlalu banyak. Ia harus menyerahkan sebagian besar gajinya kepada sang ibu tiri, dan hanya menyisakan sedikit untuk transportasi ke kantor.
Sang ibu tiri beralasan bahwa ayahnya sudah sakit-sakitan dan tidak memberi uang belanja yang cukup. Anjani sudah bersedia melakukannya, tapi sekarang sang ibu, seakan menjualnya kepada seorang juragan kaya bernama Usman, demi pembiayaan yang semakin besar untuk ayahnya yang terbaring di rumah sakit.
“Tolong mengertilah.”
“Mengerti tentang apa? Kamu yang seharusnya mengerti. Lagipula kalau kamu menjadi istri aku, hidupmu akan lebih nyaman. Kamu akan menjadi nyonya yang terhormat di rumah aku, karena aku akan memanjakanmu dan menyiapkan beberapa pembantu untuk melayani semua keperluan kamu. Aku hidup sendiri di rumah itu, karena anak gadisku tinggal di luar negri. Dia jarang pulang, dan aku yakin dia tak akan menolak keinginan ayahnya, karena aku memberinya kehidupan yang berkecukupan.”
Anjani terdiam. Sepiring beefsteak daging dengan sayuran segar tak sedikitpun dijamahnya, sementara Usman sudah menghabiskan bagiannya.
Anjani merasa sangat tertekan. Sepertinya ia tak punya pilihan lain, karena menolak keinginan Usman adalah ancaman bagi keselamatan sang ayah.
“Makanlah. Ini sangat lezat,” kata Usman lagi.
Selezat apapun makanan yang terhidang, kalau hatinya tidak senang, mana mungkin ia bisa melahapnya dengan nikmat.
“Aku tidak akan memaksamu, Anjani. Tapi kalau kamu menolaknya, kamu akan tahu sendiri akibatnya.”
Tidak memaksa, tapi melontarkan ancaman. Dan ancaman itu membuatnya takut. Barangkali kalau ancaman itu adalah pembunuhan atas dirinya, dia akan sanggup melakukannya. Tapi ini menyangkut nyawa ayahnya, karena Usmanlah yang membiayai pengobatan sang ayah di rumah sakit. Orang tua yang tinggal satu-satunya, dan amat dicintainya. Anjani merasa lemas. Tadi dia mengikuti ajakan Usman karena dipaksa oleh ibunya. Katanya agar lebih dekat, sebelum acara pernikahan itu digelar. Anjani berharap akan bisa meluluhkan hati Usman agar mau membatalkan keinginannya untuk mengambilnya sebagai istri. Tapi ternyata Usman bersikeras untuk memperistrikannya.
Usman adalah laki-laki setengah tua, duda dengan satu anak perempuan. Istrinya meninggal karena suatu penyakit tiga tahun lalu. Ia tertarik pada Anjani ketika sedang berada di rumah sakit saat istrinya dirawat. Saat itu Anjani juga sedang menunggui ayahnya.
Dengan segala cara Usman berusaha untuk mengenal Anjani, padahal waktu itu sang istri sedang sekarat. Seperti pemilik mobil yang bannya rusak, merasa tidak bisa diperbaiki lalu sudah mengincar ban baru yang akan dipergunakannya sebagai serep ketika ban itu sudah benar-benar ambyar.
Pura-pura bodoh ketika itu, Usman mendekati Anjani dan menanyakan di mana letak apotek di rumah sakit itu. Anjani pun dengan suka rela menunjukkannya. Lalu Usman bertanya tentang keberadaannya di rumah sakit itu.
“Memangnya siapa yang sakit Mbak?”
“Ayah saya. Beliau memang keluar masuk rumah sakit.”
“O, ayahnya? Sakit apa beliau?”
“Jantungnya bermasalah,” jawabnya sedih.
“Saya ikut prihatin, semoga ayah mbak … eh … siapa nama Mbak?”
“Saya Anjani,” jawab Anjani tanpa prasangka.
“Ah, mbak Anjani. Saya ikut prihatin, semoga ayah mbak Anjani segera sembuh,” katanya dengan wajah prihatin.
“Aamiin, terima kasih Pak,” jawab Anjani.
“Panggil saya Usman. Saya juga sedang menunggui istri yang sedang sakit. Tapi sakitnya sudah parah,” dan Usman menunjukkan wajah sedih.
“Saya juga ikut prihatin atas sakitnya ibu. Semoga cepat sembuh,” kata Anjani tulus, lalu dia berpamit untuk kembali ke ruang rawat ayahnya.
Tanpa Anjani ketahui, Usman mengikuti Anjani untuk mengetahui ruang rawat ayah Anjani.
Ternyata ayah Anjani berada di ruang rawat kelas menengah, bukan kelasnya orang-orang yang punya duit. Itu sebabnya maka wajah Anjani juga tampak sangat prihatin. Barangkali biaya sakit sang ayah sangat memberatkannya.
Di hari itu juga, hari dimana dia melihat dan sempat berbincang dengan Anjani, istri Usman tutup usia. Hanya anak gadisnya, Erma, yang menunggui saat itu. Ia menangis keras sambil berteriak memanggil ayahnya.
Usman yang kembali ke ruang rawat istrinya, tidak sempat melihat saat terakhir kepergian sang istri,
“Bapak ke mana saja?” tangis Erma.
“Bapak hanya sedang menanyakan obat di apotik,” jawab Usman yang segera mendekati jasad istrinya.
***
“Sebaiknya saya segera pulang,” suara itu membuyarkan lamunan Usman.
“Oh, eh … jangan pulang, makan dulu itu, kan sudah dipesan.”
Anjani meraih piringnya, dan hanya memakan tiga suap.
“Nggak dihabiskan?”
“Perut saya terasa mual.”
Usman tertawa.
“Kamu belum mengandung anakku, kenapa sudah merasa mual?”
Anjani miris mendengar perkataannya.
***
Begitu masuk ke rumah, ibu tirinya menyambut dengan wajah berseri.
Tak peduli pada wajah masam Anjani, dia mempersilakan ‘calon menantunya’ untuk segera duduk di ruang tengah.
“Nak Usman, silakan duduk dulu, akan ibu buatkan minuman segar untuk nak Usman. Ayolah.”
Panggilan ‘nak’ itu terasa janggal, karena Usman seumuran suaminya. Tapi karena dia dianggap calon menantu, ya panggilan itu yang diucapkannya, dan Usman pun dengan senang hati menerima cara memanggil calon ibu mertuanya.
“Terima kasih Bu, tapi saya harus kembali ke kantor, karena banyak urusan. Nanti malam saja saya kembali kemari untuk mengajak jalan-jalan Anjani.”
“Oh, baiklah. Tidak apa-apa, saya tahu nak Usman sibuk. Nanti malam saya akan menyuruh Anjani bersiap-siap.”
Anjani yang sudah beranjak ke belakang, merinding mendengar pembicaraan Usman dan sang ibu. Nanti malam lagi? Bagaimana cara menolaknya? Anjani sibuk mencari alasan yang akan disampaikannya nanti.
Ketika Usman pulang, hanya sang ibu yang mengantarkannya sampai Usman memasuki mobilnya, dan menunggu sampai mobil itu berlalu.
Anjani terkejut ketika tiba-tiba sang ibu memasuki kamarnya sementara dia sedang berganti pakaian.
“Anjani, bagaimana tadi? Bukankah pak Usman itu menyenangkan?”
Anjani tak menjawab. Usman sudah setengah tua, agak genit, mengapa menurut ibunya dia menyenangkan?
“Dengar Anjani, biarpun pak Usman itu sudah setengah tua, tapi dia masih gagah dan ganteng lho. Tidak memalukan kalau kamu bersanding dengannya nanti. Dan yang jelas, kamu tidak akan kekurangan. Kamu bahkan bisa mengangkat keluarga ini menjadi keluarga sejahtera. Dan yang lebih penting, biaya untuk ayah kamu bisa tercukupi. Lihat saja Jani, barang-barang berharga milik kita sudah kita jual demi pengobatan ayah kamu. Sementara ayahmu terus-terusan membutuhkan perawatan, bahkan dokter bilang bahwa bulan depan ayahmu akan dioperasi. Bayangkan saja, dengan apa kita membiayai semua itu? Kamu mengerti kan Jani, jadi kamu harus menurut pada apa kata ibu. Ibu juga sudah lelah hidup miskin. Dulu ibu mau menjadi istri ayahmu, karena ayahmu berkecukupan. Tapi dengan sakitnya ayahmu, semuanya hanya tinggal kenangan. Kalau begini terus, bisa-bisa ibu meninggalkan ayahmu dan tak akan mempedulikannya lagi.”
Perkataan ibunya yang panjang lebar itu seperti palu godam yang memukul dadanya dengan bertubi-tubi, membuat dadanya semakin sesak dan membuat napasnya tersengal-sengal.
“Bicara Jani, jangan diam saja. Apakah apa yang ibu katakan itu salah?”
Anjani memang tak bisa menyalahkannya, karena pengorbanan yang dituntut dari dirinya adalah demi sang ayah.
“Apa tidak ada jalan lain?” tapi Anjani mencoba menjawab, hati-hati, walau dia juga tak tahu, jalan lain itu apa.
“Apa katamu? Jalan lain bagaimana? Katakan bagaimana, sementara pak Usman sudah banyak mengeluarkan uang untuk pengobatan ayahmu? Dia juga memindahkan ayahmu ke ruang perawatan yang jauh lebih baik. Apa kita mampu melakukannya?
“Bagaimana kalau kita jual rumah ini?”
“Apa? Apa kamu sudah gila? Kalau rumah ini dijual, kita akan tinggal di mana? Tidak … tidak … itu bukan jalan terbaik. Jalan yang terbaik adalah kamu menikah dengan pak Usman. Titik.”
Estiana meninggalkan kamar Anjani dengan wajah marah, tapi sebelum keluar dari pintu, dia menoleh lagi.
“Nanti malam pak Usman akan datang untuk mengajakmu jalan-jalan. Jangan mengecewakannya,” katanya tandas, lalu menutup pintunya keras.
Anjani terisak, lalu menelungkupkan tubuhnya di ranjang, menyembunyikan tangisnya dibawah bantal.
***
Malam itu dengan seluruh rasa berat hati yang dipunyainya, Anjani menemani Usman yang mengajaknya jalan-jalan. Usman tampak sangat menikmati, jalan berdua de ngan seorang gadis cantik yang akan menjadi istrinya.
“Anjani, mampir ke pom dulu ya, sopirku lupa mengisi bahan bakar,” kata Usman yang langsung membawa masuk mobilnya ke area pom bensin yang sudah ada di depannya.
Anjani tak menjawab. Ia diam saja ketika Usman turun. Tapi tiba-tiba ia melihat seseorang berdiri disamping sebuah mobil. Anjani terkesiap. Di bawah cahaya lampu yang benderang, ia bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki itu.
“Apakah itu Jatmiko? Walau puluhan tahun berlalu, tapi wajah itu masih melekat erat dibenaknya. Dia sahabat kecilnya.
“Apakah aku salah? Pastilah wajah yang sekian tahun terlewat bisa berubah. Tapi benarkah dia? Rupanya aku harus membuktikannya,” kata batin Anjani.
Tanpa berpikir panjang, ia turun dari mobil dan berteriak.
“Mikoooo!!”
***
Besok lagi ya.
at January 24, 2024
No comments:
Post a Comment