Thursday, January 25, 2024

Meneroka Jiwa (03)

 *_MENEROKA JIWA_*


*Bab 03. Jumpa Asa*


oleh Kaia Karnika



Menjelang pukul 12 siang, Wangi sudah berada di lobi hotel bintang 5 tak jauh dari mal tempatnya bekerja. Tadi pagi saat hendak menjenguk ibu di panti, ia dikejutkan dengan telepon dari Rani, si pemilik syal, yang memintanya untuk menemani makan pecel sambel tumpang dan mencari batik ke pasar Klewer. Meski merasa aneh dengan keinginan Rani karena ia bukanlah pemandu wisata, tapi mengingat kedermawanan wanita itu, rasanya tidak pantas menolak permintaan sederhana ini.

Tak lama menunggu, Rani terlihat berjalan ke luar lift menghampiri Wangi yang duduk di pojok lobi.

Wangi berdiri menyambut sambil memperhatikan Rani. Dari penampilannya, jelas wanita itu berasal dari kalangan menengah atas. Walau tampil kasual dengan celana jin dan blus berwarna cerah, tapi kesan modis tetap terlihat dari wanita berparas cantik berkulit kuning langsat itu.

"Terima kasih sudah mau menemani saya, lo,Wangi," ucap Rani.

"Sama-sama, Bu. Saya malah tidak menyangka ibu minta ditemani," sahut Wangi.

"Saya sudah sewa mobil melalui hotel supaya mudah berkeliling," ujar Rani sambil berjalan menuju lobi. Ia lalu bicara dengan petugas concierge yang kemudian memberi kode kepada pengemudi mobil.

Dahi Wangi berkerut. Kalau sudah menyewa mobil, mengapa ibu ini repot-repot memintanya menemani. Pengemudi mobil sewaan pasti tahu semua informasi kuliner dan penjual batik yang berkualitas.

"Ke mana kita, Wangi?" tanya Rani begitu mereka sudah duduk di dalam Toyota Innova sewaan.

"Ibu mau makan yang sambel tempe itu, 'kan?" Wangi memastikan.

Rani mengangguk. Wangi lalu memberi instruksi kepada sopir.

Tidak sampai sepuluh menit, mereka sudah sampai di sebuah bangunan rumah berdinding hijau terang dengan spanduk merah bertuliskan Warung Pecel dan Tumpang Bu Hj. Kis. Situasi kedai makan itu cukup ramai karena bertepatan dengan jam makan siang dan di hari Sabtu. Untungnya, mereka bertiga - bersama sopir - masih bisa mendapatkan tempat duduk yang baru saja dibersihkan.

"Semoga Ibu suka," ucap Wangi saat mereka hendak makan. Ia khawatir lidah ibu ini tidak sesuai dengan seleranya.

"Mari kita coba." Rani menyuapkan sesendok nasi pecel yang disiram sambal tumpang. Ia mengunyah perlahan, merasakan makanannya dengan saksama. Tak lama ia mengangguk-anggukkan kepala. "Enak sekali! Rasanya unik. Ada gurih, manis, pedas," pujinya dengan wajah berseri.

Wangi semringah seraya mengembuskan napas lega. Rekomendasinya tidak meleset.

"Besok saya mau ajak suami ke sini," ujar Rani kembali melahap makanannya.

"Besok Minggu tutup, Bu. Jam bukanya juga hanya sampai jam dua siang," sahut Wangi sambil memandangi Rani. Ia terpesona oleh perempuan berambut sedada di hadapannya. Selain ramah, Rani juga merakyat. Mau semeja dengan dirinya dan sopir yang berasal dari kalangan lebih rendah.

"Yaaah, rugi dia tidak mencoba makanan seenak ini." Rani tersenyum lebar. "Kamu kerja di mal sejak kapan?"

"Baru setahun, Bu. Sebelumnya menjaga lansia tidak jauh dari sini, tapi sudah meninggal."

"Kamu lulusan apa?"

"SMA."

"Tidak kuliah?"

Wangi menggeleng. "Inginnya kuliah, tapi tidak ada biaya, Bu."

"Ingin kuliah apa tadinya?"

"Ingin ambil Psikologi. Semula dari sekolah sudah akan didaftarkan SNMPTN¹ ke UNS. Namun, setelah dipikir-pikir, tidak akan cukup biaya. Daripada putus di tengah jalan dan berimbas ke nama baik sekolah, lebih baik tidak usah."


"Bukannya ada beasiswa bidikmisi?"

"Ada, tapi kalau saya kuliah, tidak bisa kerja, padahal butuh biaya buat pengobatan ibu. Uang biaya hidup dari beasiswa tidak akan cukup."

"Gajimu sekarang cukup?"

"Alhamdulillah, cukup. Dapat standar UMR²." Meski hidup pas-pasan, tapi Wangi merasa tidak perlu menceritakan kesulitannya kepada orang yang baru dikenal.

"Ibumu sakit apa?"

"Skizofrenia, Bu. Itu sebabnya saya ingin masuk Psikologi supaya bisa merawat ibu."

Rani terharu. "Sejak kapan ibumu menderita itu?"

"Sejak gadis katanya. Saya diasuh oleh orang lain karena ibu dirawat di panti, kadang harus ke RSJ jika parah."

"Tidak ada keluarga lain, ayah atau kakek nenek?"

"Ibu saya diperkosa, saya tidak tahu siapa bapak saya. Simbah kakung meninggal beberapa bulan sebelum saya lahir. Kalau simbah putri meninggal saat melahirkan ibu. Saya tidak punya keluarga lain," jelas Wangi dengan nada datar. Ia sudah terbiasa menceritakan hal semacam ini kepada orang lain.

Rani nyaris tidak bisa menelan makanannya, matanya berkaca-kaca. Tidak terbayangkan beratnya kehidupan Wangi. Dipandanginya gadis yang sedang makan dengan lahapnya itu. Parasnya sebenarnya ayu dengan kulit sawo matang, khas suku Jawa, tapi tidak terlalu terawat. Bisa dimaklumi dengan kondisi keuangannya, tidak akan cukup biaya untuk perawatan wajah, bisa makan teratur saja pasti sudah beruntung. Matanya besar - atau biasa disebut belo - seolah mencerminkan seseorang yang punya rasa ingin tahu besar. Bibirnya bertipe plum, atas bawah penuh, padat berisi. Apabila dipulas dengan warna lipstik yang tepat, pasti kesan seksi akan terpancar.

"Sewaktu kamu sekolah, siapa yang membiayai pengobatan ibumu?"

"Ada bantuan dari dana desa, tapi saya tidak enak terus-terusan mengandalkan bantuan, jadi mulai SMA saya sudah sambil sedikit-dikit cari uang."

"Kerja apa?"

"Gorengan dan es buatan tetangga, saya titip jual di kantin sekolah. Tidak besar untungnya, tapi lumayan buat nambah beli obat ibu."

"Kreatif! Kamu juga pasti pintar karena sekolahmu hendak mendaftarkanmu ke SNMPTN." Rani kagum dengan perjuangan Wangi.

Wangi tersenyum lebar. "Kata guru saya, semua orang pintar, Bu. Bedanya, ada yang sungguh-sungguh belajar, ada yang kurang. Berhubung saya dibiayai sekolah oleh orang lain, kalau dapat nilai jelek pasti dihukum. Jadinya seolah-olah pintar, padahal sebenarnya karena takut dibilang tidak tahu diri dan dikurung di kandang kambing." Ia tergelak mengingat ancaman bu Sri tiap kali hendak menerima rapor.

Rani ikut tergelak. Ia langsung menyukai Wangi. Anak ini tidak minta belas kasihan, tapi juga tidak besar kepala.

"Sampai kapan di Solo, Bu?" tanya Wangi sambil menggigit empal, sangat jarang dia bisa makan daging seperti ini.

"Minggu sore pulang ke Jakarta. Saya ke sini urusan kerjaan, kebetulan suami harus menghadiri seminar. Kalau tidak begitu, kami jarang bisa pergi bersama. Ini saja sampai sini, misah-misah juga."

"Sama-sama sibuk, ya, Bu." Wangi membayangkan kehidupan Rani yang pasti penuh kesibukan.

"Lumayan. Suami saya dokter jantung, sedangkan saya mengelola perusahaan keluarga di bidang alat kesehatan. Ada untungnya juga kami tidak punya anak, jadi tidak ada yang protes dengan kesibukan kami." Rani tersenyum lalu meneruskan menikmati sambel tumpangnya.

Wangi tertegun. Rani seolah menjadikan kondisi ketiadaan anak sebagai sesuatu yang biasa. Berbeda dengan orang-orang di desanya yang selama ini menganggap tidak punya anak seolah hukuman atau situasi yang patut dikasihani. Apakah itu cara berpikir orang metropolitan? Wangi hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.


"Katanya kalau di perusahaan keluarga itu, tantangan terbesar pada penyiapan suksesor dan penilaian karyawan, ya, Bu?" Tiba-tiba rasa penasaran menggelitik Wangi. Ia teringat sebuah buku tentang perusahaan keluarga yang pernah dibacanya.

Rani terkejut, tak menduga mendapat pertanyaan terkait bisnis dari seorang cleaning service. "Betul sekali. Menyiapkan pengganti pimpinan puncak cukup sulit karena tidak semua anggota keluarga siap menerima tugas tersebut dan sering dibumbui intrik. Selain itu, kami sering terpaksa menerima saudara walau tahu mereka tidak memiliki kualifikasi yang diharapkan. Teguran terhadap kinerja buruk bisa berisiko pada hubungan keluarga yang terputus. Kok kamu tahu?"

"Lansia yang pernah saya jaga, almarhumah Bu Damayanti, bekas dosen di bidang Manajemen SDM. Bukunya banyak banget, saya sering ikut baca. Selain itu, supaya tidak bosan, beliau sering mengajari saya, seperti sedang mengajar di kelas. Katanya biar tidak pikun. Kadang saya juga dikasih ujian. Kalau nilainya jelek, suruh ngulang. Sering juga disuruh bikin makalah, nanti presentasi di depan dia. Pokoknya benar-benar kayak kuliah." Wangi tersenyum mengingat masa-masa merawat Damayanti.

"Wah, kuliah gratis dong," ujar Rani tertawa.

"Betul banget, Bu. Kata almarhumah sebelum meninggal, saya harusnya sudah lebih pintar daripada sarjana Manajemen karena belajarnya privat. Bedanya tidak ada ijazah dan gelar. Saya merawat dia empat tahun, sama dengan lamanya orang kuliah S1." Wangi masih tidak bisa menghentikan senyumnya.

"Di dunia kerja, yang diperlukan itu adalah orang yang bisa bekerja, mampu mengaplikasikan ilmu. Gelar dan IPk tinggi tidak menjamin orang dapat menjadi karyawan yang dibutuhkan organisasi. Jadi sangat mungkin kamu tidak kalah dengan yang bergelar sarjana selama mampu menampilkan unjuk kerja bagus," ujar Rani membesarkan hati Wangi.

Wangi mengangguk-anggukkan kepala mendengar pendapat Rani.

"Berapa usiamu?" tanya Rani.

"Dua puluh tiga tahun, Bu."

"Biasanya umur segitu sudah pada nikah. Kamu tidak ada rencana menikah dalam waktu dekat?"

Wangi menggeleng sambil tertawa. "Tidak ada yang mau sama saya, Bu."

"Masa, sih? Kamu ayu, lo!" Rani kembali mengamati Wangi. Dengan sedikit polesan dan pakaian yang modis, perempuan lugu di hadapannya ini pasti tidak kalah dengan wanita metropolitan.

"Ndak payu³, mungkin lebih tepatnya, Bu," kelakar Wangi. "Tidak ada orang tua yang mau besanan sama orang gila. Khawatir punya turunan gila."

Rani tertegun. Pendapat Wangi ada benarnya walau menyakitkan. "Pernah pacaran?"

Wangi mengangguk. "Pernah sekali, tapi sudah putus, baru sepuluh hari lalu."

"Karena alasan tadi?"

"Kemungkinan besar begitu. Saya juga tidak tahu, soalnya dia tidak bilang apa-apa sampai sekarang. Saya juga tidak mau dianggap merusak kebahagiaan orang hanya karena minta penjelasan yang sudah bisa diduga jawabannya." Wangi lalu bercerita singkat mengenai putusnya hubungan dengan Wisnu.

"Kalau ada pria bertingkah seperti itu, maka dia tidak layak untukmu. Tak perlu ditangisi lama-lama," nasihat Rani. Ia iba sekaligus kagum pada sikap Wangi.

Wangi cengar-cengir. "Sudah terlanjur nangis kemarin, Bu."

"Ya tidak apa nangis beberapa saat, namanya juga sedang sedih, tapi setelah itu menata hidup kembali."

"Iya, Bu. Saya juga mikir begitu, nangis terus-terusan tidak akan membuat dia kembali, cuma bikin kepala saya sakit." Wangi tergelak mengingat ratapannya berhari-hari yang berujung meminum bodrex karena kepalanya terus berdenyut.


Rani mengobservasi dan mencoba memberi penilaian tentang gadis di hadapannya. Dari cara bertutur tentang hidupnya, Wangi tidak menjadikan kepahitan hidup sebagai tragedi yang membuat kian terpuruk. Perempuan ini cukup gigih dan tahan banting, sebuah hikmah dari penghinaan yang selalu diperolehnya. Namun, dia jelas memiliki perasaan insecure akibat perisakan, terlihat dari ujung-ujung kuku yang tidak karuan bentuknya, menandakan kebiasaan menggigit kuku atau onychophagia. Dengan semua penderitaan yang dilalui, tidak heran perilaku semacam itu muncul. Masih untung anak ini tidak ikutan menderita gangguan jiwa.

"Saya yakin kelak akan ada lelaki yang bisa menerimamu, bisa menghargaimu," ujar Rani mengakhiri observasinya.

"Amin," sahut Wangi kendati pesimistis.

Rani mengeluarkan kartu namanya, menyodorkan kepada Wangi. Ia menatap ke arah Wangi dengan wajah serius. "Kalau saya tawari kerja di tempat saya, kamu mau tidak?"

Wangi terbelalak. "Di Jakarta, Bu? Kerja apa, Bu? Saya cuma punya ijazah SMA."

Rani mengangguk. "Iya di Jakarta. Kan sudah saya bilang, ijazah cuma formalitas. Saya butuh orang yang mau kerja. Sekarang saya memegang HR&GA⁴, perlu bantuan anak sepertimu untuk merapikan sistem HR."

"Waduh, pengalaman kerja saya cuma asuh lansia dan membersihkan toilet, Bu. Saya tidak tahu sama sekali tentang sistem Human Resources." Wangi garuk-garuk kepala, khawatir mengecewakan bu Rani yang baik hati ini. "Memangnya HR di tempat ibu masih cenderung kepersonaliaan, ya?"

"Nah, pertanyaanmu barusan sudah mencerminkan kamu tahu HR, meski tidak pernah kuliah Manajemen. Saya butuh orang yang antusias belajar hal baru, tampaknya kamu cocok." Rani mengacu pada cerita Wangi saat belajar bersama lansia yang dirawatnya.

"Saya harus dites atau diwawancara terlebih dahulu, Bu?"

"Lo, dari tadi kamu tuh saya wawancarai! Kamu tidak sadar, kan?" Rani tertawa melihat air muka bingung Wangi. "UMR Jakarta sekitar dua setengah kali lipat Surakarta, biaya hidup memang lebih mahal di sana. Kamu akan saya gaji dua kali lipat UMR Jakarta, semoga cukup untuk biaya pengobatan ibumu dan hidup layak di Jakarta. Itu hanya gaji pokok, masih ada tambahan benefit, seperti tunjangan transportasi, kesehatan, dan makan."

Wangi bengong. Tidak dapat berkata apa-apa saking kagetnya. Mimpi apa dia semalam tiba-tiba ditawari pekerjaan di ibukota tanpa perlu melamar dengan gaji cukup fantastis untuk lulusan SMA tanpa pengalaman relevan. Ia hanya mampu mengamati kartu nama berwarna hijau tua yang dipegangnya. Tertera nama Maharani Utama. Direktur HR&GA PT Utama Medika.

Perlahan Wangi mengangkat wajah, memandang Rani. Perempuan di hadapannya ini seolah mengajaknya berjumpa dengan asa. Ia lalu menganggukkan kepala, memberi persetujuan terhadap tawaran Rani.

***

Wangi menarik napas panjang saat memasuki teras panti tempat ibunya dirawat. Ia hendak berpamitan sebelum meninggalkan kota Solo, merantau ke Jakarta. Pertemuan tak sengajanya dengan Rani sebulan lalu, berujung dengan mendapat pekerjaan. Ini akan menjadi pengalaman pertamanya keluar dari Kabupaten Surakarta, naik kereta api, dan mengunjungi ibukota tentunya.

Berbagai perasaan berkelindan di dada Wangi. Ada gairah karena akan memulai petualangan baru, tapi juga ada gelisah karena harus meninggalkan ibu. Ia tidak lagi bisa menjenguk sesering sekarang.

"Kok, tumben jenguk di hari Jumat, biasanya Sabtu. Ndak kerja?" tanya Giarti, pengelola panti, begitu melihat Wangi memasuki ruang kerjanya.

"Sudah keluar, Bu. Dapat kerja di Jakarta. Ini mau pamitan sama Ibu," sahut Wangi sambil menyodorkan kudapan untuk para pengelola panti.


"Wah, nderek bingah⁵, Ngi. Semoga pekerjaan itu membawa berkah bagimu," ujar Giarti, perempuan berusia kepala 5 itu menerima pemberian Wangi. "Ini kok pakai repot-repot bawa makanan, to."

"Cuma cemilan, kok, Bu. Saya mau titip Ibu, kemungkinan nanti saya tidak bisa jenguk setiap minggu. Tiketnya lumayan mahal." Wangi meringis.

"Wis, tenang wae. Nanti kamu bisa kontak lewat ponselku kalau kangen sama ibumu." Giarti menghampiri Wangi. Ia memegangi kedua lengan Wangi dan memandangi perempuan bertubuh kurus di hadapannya itu. "Kamu anak yang berbakti, jarang ada anak yang mau menerima kondisi ibu yang seperti ini. Semoga Gusti Allah melindungimu."

"Amin, matur nuwun, Bu." Wangi sungguh bersyukur panti ini dikelola oleh Giarti dan petugas lain yang memiliki kepedulian dan kebaikan hati luar biasa.

"Yuk, kita lihat ibumu. Kapan berangkat ke Jakarta?" Giarti mengajak Wangi ke aula sekalian mengecek keadaan para penghuni.

"Nanti malam, Bu. Kereta jam setengah sembilan."

Wangi dan Giarti memasuki aula yang sering digunakan sebagai ruang berkumpul. Di siang hari, petugas sering melakukan kegiatan bersama untuk mengisi waktu para penghuni panti. Terlihat beberapa penghuni termasuk Surem sedang mengobrol bersama salah satu petugas lelaki bernama Pak Surip.

"Wah, ada Wangi! Sini, Ngi!" panggil Pak Surip. "Ini Mas Sugiyo lagi punya tebak-tebakkan, nih."

Lelaki yang bernama Sugiyo tersenyum menyambut Wangi. Pria berusia 40-an itu pernah mengenyam bangku kuliah meski tidak sampai lulus. Ia mengidap skizoafektif, dengan gejala yang merupakan gabungan dari gangguan skizofrenia dan bipolar.

Wangi menyapa para penghuni yang sudah dikenalnya, mencium tangan ibunya, lalu duduk bersebelahan. "Tebakan apa, Mas Giyo?"

"Tebakannya aneh semua, Nduk!" sahut Pakde sembari menggaruk kepala. Ia menoleh ke arah Wangi, menutup sisi mulutnya dengan telapak tangan agar tidak terdengar Sugiyo yang sedang berdiri di depan. "Maklum, namanya juga wong gendeng." Ia lalu terkikik geli sendiri.

Wangi tergelak melihat tingkah Pakde.

"Micin apa yang rasanya manis?" Sugiyo kembali mengajukan tebakannya.

"Micin kok manis!" protes Pakde.

"Micin kecampur gula!" jawab Pak Surip asal-asalan yang direspons dengan gelengan Gito.

Semua mencoba jawab, termasuk Wangi. Namun, semua salah, akhirnya menyerah.

"Mi cinta you!" Giyo menunjuk ke dirinya, lalu ke arah Wangi sambil tersenyum malu.

Wangi, Giarti, dan Surip mengakak, sedangkan para penghuni panti kebingungan.

"Lagi, Mas Giyo!" pinta Giarti.

"Bis apa yang paling ditunggu?" Sugiyo cengar-cengir, yakin tidak ada yang bisa menjawab.

"Bis malam!" jawab Giarti lantang.

"Bukan!"

"Bis rusak!"

"Ngawur!" Sugiyo melotot.

Semua bersahutan mencoba menjawab, tapi lagi-lagi tidak ada yang benar.

"Salah semua! Yang benar ... bisikan sayang darimu!" Sugiyo melonjak-lonjak kegirangan.

"Oalah ... dasar wong gendeng!" umpat Pakde. "Aku juga punya tebakan!" Ia tidak mau kalah karena sejak tadi tidak bisa menjawab tebakan Sugiyo.

"Mengapa wortel baik bagi kesehatan mata?" Pakde mengajukan pertanyaan.

Semua mencoba menjawab, tapi tidak ada yang benar.

"Pernah lihat kelinci pakai kacamata? Tidak ada 'kan? Itu karena kelinci suka wortel. Wortel kan baik buat kesehatan mata." Pakde joget-joget karena tebakannya tidak ada yang bisa menjawab.

Semua melongo, tak ada yang tertawa.

"Kok, ora lucu yo?" komentar Sugiyo menganggap tebakan Pakde garing.

"Ya, itu karena aku ndak gendeng seperti kamu!" Pakde terbahak.

"Lo, kalau tidak gila, kenapa ada di sini?" Sugiyo tetap tidak terima.

"Ini kan tempat istirahat Kanjeng Sinuhun. Aku harus menjaganya dari serangan Belanda," dalih Pakde.

"Kayak gitu, kok, ndak gila!" cibir Sugiyo.

Wangi tergelak. Pak Surip dan Bu Giarti pun terbahak. Perbincangan antar para penderita gangguan jiwa ini acap kali mengocok perut. Mereka pun manusia yang punya selera humor, ingin diperhatikan, tak mau disisihkan.

Wangi menoleh ke arah ibunya yang juga sedang tertawa, walau dia tidak tahu apakah ibunya menertawakan polah Sugiyo dan Pakde, atau karena sedang berdelusi Rhoma Irama - sang Satria Bergitar - berkomedi. Bulir air mata tiba-tiba meluncur di pipi Wangi, rindu menyergap sebelum pergi, rindu akan sebuah kehangatan. Kehangatan yang sering kali dirasakannya tiap kali berada di panti. Kehangatan yang nantinya takkan bisa dirasakan sesering sekarang.

-----


Note:

¹ SNMPTN: singkatan dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri, merupakan seleksi masuk PTN berdasarkan nilai rapot dan prestasi akademis lainnya.

² UMR: singkatan dari Upah Minimum Regional, merupakan upah minimum yang penetapannya dilakukan oleh gubernur dan menjadi acuan pendapatan buruh di wilayahnya.

³ Ndak Payu: tidak laku (Bahasa Jawa)

⁴ HR&GA: singkatan dari Human Resources & General Affair. HR adalah bagian yang mengurusi pengelola sumber daya manusia, sedangkan GA adalah bagian yang mengurus berbagai hal berhubungan dengan kegiatan operasional perusahaan.

⁵ Nderek bingah: ikut senang (Bahasa Jawa)


*****


Bersambung....

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...