Thursday, January 25, 2024

Meneroka Jiwa (04)

 _*MENEROKA JIWA*_


*Bab 04. Kepingan Masa Lalu*


oleh KaiaKarnika



Wangi berjalan cepat memasuki desa Gelem, menyempatkan diri mengambil semua dokumen pribadi setelah mengunjungi ibunya di panti. Beberapa tatapan dari warga seolah ingin menyampaikan kebahagiaan atas hubungannya yang kandas dengan Wisnu. Mungkin kebanyakan lega karena Wisnu, si pemuda idola desa, akhirnya tersadar untuk tidak mempersunting anak orang gila.

Wangi menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu dan mengucap salam, mempersiapkan diri mendapat respons sinis dari keluarga Wiryo.

Sahutan Bu Sri dari dalam dan seretan langkahnya mendekati pintu membuat jantung Wangi bergedup lebih kencang.

"Ada perlu apa?" tanya Sri ketus begitu melihat sosok Wangi di depan pintu.

Wangi mengulurkan tangan menyalami ibu angkatnya. "Mau ambil akte dan ijazah, Bu."

"Memang masih ditaruh di sini?" Sri terpaksa mengulurkan tangan dan memberi jalan untuk Wangi masuk.

Wangi mengangguk. Kamar indekosnya yang sering bocor dan banyak rayap bukan tempat yang aman untuk menyimpan dokumen berharga.

"Sekalian barang-barangmu dibawa semua, biar ndak menuh-menuhi rumahku!" perintah Sri.

"Njih, Bu," sahut Wangi bergegas menuju lemari di dekat dapur yang digunakan sebagai tempat menyimpan barang tidak terpakai.

"Bukannya sudah kubilang jangan datang ke sini kalau tidak disuruh? Tuli? Atau sengaja supaya bisa bertemu Wisnu?" serang Linda ketus begitu melihat kehadiran Wangi.

Wangi terperangah, tak menduga kehadiran Linda. "Tidak kerja, Lin?" Pertanyaan spontan keluar dari mulutnya, yang langsung disesali.

"Bukan urusanmu! Mau apa ke sini?"

"Aku hanya mengambil dokumen," jawab Wangi sembari memasukkan dokumen dan beberapa buah barang miliknya yang masih tertinggal.

"Bagus! Bawa semua biar tidak usah kembali ke sini sama sekali!" bentak Linda.

Wangi menutup pintu lemari seraya mengembuskan napas. Ia pun tidak ingin kembali ke rumah ini, bahkan tak mau lagi kembali ke desa Gelem. Terlalu banyak hal menyakitkan di sini.

Dipandanginya ambin - tempat tidur rotan - tempatnya tidur yang terletak di sudut dapur, tempatnya meringkuk menangis diam-diam di malam hari. Hanya ambin reyot itu yang setia menemani sejak kecil. Berbeda dengan Linda dan Rini yang memiliki kamar pribadi dan kasur empuk, Wangi harus cukup puas memiliki ambin tanpa kasur sebagai tempat istirahat sekaligus menaruh barang-barang miliknya yang tak seberapa.

"Mengapa ambil dokumen? Mau melamar kerja lain?" tanya Pak Wiryo yang sudah berada di ruang makan saat Wangi hendak berpamitan. Istrinya duduk bersebelahan sambil mengaduk teh.

"Atau naik gaji dan pindah indekos?" Sri penasaran.

"Sa-saya dapat kerja di Jakarta. Ini sekalian mau pamit sama Bapak dan Ibu. Minta maaf kalau selama ini saya merepotkan." Wangi memutuskan untuk terus terang menyampaikan rencana pindahnya.

"Wah, itu namanya peningkatan karir, dari tukang bersih toilet di Surakarta jadi pembersih WC di Jakarta," ujar Linda sarkastis, lalu tertawa.

"Jauh-jauh merantau tetap urusannya sama WC. Awas lama-lama kamu tertukar sama sikat WC!" Sri tidak mau kalah mencemooh.

Tawa ketiga orang keluarga Wiryo membahana.

Wangi tidak berkomentar, merasa tidak perlu menjelaskan posisi barunya nanti, tahu itu tidak ada gunanya. Hinaan keluarga ini sudah terlalu sering diterimanya.

"Kapan berangkat?" tanya Wiryo sambil berusaha menghentikan tawanya.

"Nanti malam, Pak. Saya pamit sekarang." Wangi ingin cepat-cepat menyudahi pembicaraan, selain tak betah, juga khawatir tertinggal kereta.


"Eh, tunggu dulu!" cegah Sri. "Berhubung kamu sudah dapat kerja baru di Jakarta, pastinya gaji lebih besar. Sekarang saatnya kamu membayar utang. Lagi pula kami sedang butuh dana untuk pernikahan Linda dengan Wisnu."

"Utang?" Dahi Wangi berkerut. Ia merasa tidak pernah meminjam uang seperak pun dari keluarga ini.

"Ya, memangnya merawatmu tidak pakai uang? Kamu minum susunya banyak! Dikasih yang murah, mencret! Ngalahi bayine Sultan!" umpat Sri membandingkan mengurus Wangi saat bayi lebih mahal daripada anak raja.

Wangi menelan ludah sebelum bersuara. "Berapa utang saya, Bu?"

"Sik, tak ambil catatanku!" Sri beringsut ke kamar. Tak lama kembali dengan selembar kertas.

Wangi menanti dengan cemas, ini lebih menakutkan dibanding menunggu hasil ujian. Tanpa sadar, digigitinya jemari.

Linda mengecimus melihat kebiasaan buruk Wangi. "Ih jorok! Ada sisa tahi orang di kukumu, tahu!"

Sri komat-kamit dengan dahi berkerut. "Sudah begini saja. Anggap saja pengeluaran untukmu sebulan satu juta, setahun dua belas juta. Kubulatkan sepuluh juta setahun. Kamu hidup di sini delapan belas tahun. Jadi utangmu seratus delapan puluh juta!"

"Gustiii!" pekik Wangi spontan. Ia tidak dapat menahan rasa kagetnya. Dari mana uang sebanyak itu? Mendengar jumlahnya pun baru kali ini. Lagi pula biaya hidup di desa tidak sebesar itu!

"Banyak sekali, Bu," protes Wangi pelan.

"Eh! Bukannya bersyukur sudah diurusi dari bayi, malah protes! Itu baru nilai uangnya, belum capeknya bapak ibuku ngurus kamu!" maki Linda saat menyaksikan reaksi Wangi.

"Sa-saya tidak punya uang sebanyak itu," keluh Wangi.

"Aku tidak peduli bagaimana caranya. Linda nikah sepuluh bulan lagi. Sebulan sebelumnya, kamu sudah harus bayar! Awas kalau ingkar!" ancam Sri dengan air muka seolah ingin menelan Wangi bulat-bulat.

Wangi terkulai lemas. Gaji barunya utuh pun tak akan mungkin terkumpul uang sebanyak itu dalam waktu sembilan bulan.

"Dahulu ketika merawatmu kami juga mengupayakan berbagai cara untuk mendapatkan uang supaya kamu tetap bisa makan, sekolah, punya baju, hidup layak," ujar Wiryo sambil bersiap menyeruput teh. "Sekarang saatnya kamu membalas budi. Hanya kami yang mau merawatmu, tidak ada yang bersedia mengurus anak orang gila." Ia lalu menikmati teh tubruk yang harumnya teramat menggiurkan.

"Jika tidak diasuh oleh orang tuaku, kamu sudah mati, ingat itu!" maki Linda.

"Kalau kamu tidak bisa bayar, tanah simbahmu yang tidak seberapa luasnya itu terpaksa dijual!" Sri memberi ultimatum.

Wangi tersentak. "Ja-jangan, Bu! Ada beberapa warga yang menanam cengkeh dan singkong di situ, lumayan buat penghasilan mereka. Kalau dijual nanti mereka kehilangan pemasukan." Ia selama ini merelakan tanah kakeknya dimanfaatkan tetangga sekitar, meski tidak mendapatkan bagi hasil.

"Ya sudah jangan banyak alasan. Bayar utang! Utang dibawa mati, lo!" sembur Sri.

"Memang tanahnya kalau dijual bisa sejumlah itu, Bu?" tanya Linda sangsi.

"Ya tentu tidak! Separuhnya pun tidak sampai," jawab Sri ketus.

"Bo-boleh saya cicil?" Wangi berusaha negosiasi, walau tidak tahu bagaimana bisa membayar cicilannya.

"Boleh. Pokoknya sebulan sebelum pernikahan Linda harus sudah lunas! Kalau tidak, tanah simbahmu kami jual!" ancam Wiryo. Sebagai mantan Kepala Dusun, ia masih memiliki kekuasaan untuk melakukan rekayasa penjualan tanah kakek Wangi.


Wangi mendengkus pelan, tak mungkin melawan. Ia harus mengakui bahwa dirinya berutang uang dan budi pada keluarga ini. Tidak ada yang mau mengasuhnya selain mereka, meski dengan cara mengasuh yang jauh dari kasih sayang. Hanya mukjizat dari Tuhan yang menjadi harapan untuk bisa keluar dari masalah kali ini.

***

Pukul 8 malam, Wangi telah berada di stasiun Solo Balapan, menunggu kereta api Argo Dwipangga yang akan membawanya ke Jakarta. Pikirannya kusut memikirkan cara membayar utang yang jumlahnya sudah membuat dirinya sakit perut.

Terdengar pengumuman di pelantang bahwa kereta apinya memasuki jalur 5 emplasemen¹ selatan. Wangi bergegas menuju peron, tak mau ketinggalan kereta. Stasiun teramat penuh hari ini karena banyaknya calon penumpang yang hendak kembali ke Jakarta usai liburan sekolah.

Ia segera melompat masuk begitu kereta berhenti sempurna. Sebuah lengkung besar tercipta di bibir plum-nya, ini adalah kali pertama naik kereta api! Mata belonya membelalak begitu melihat interior gerbong yang baginya teramat mewah. Jika Bu Rani tidak memberikan uang khusus untuk tiket, ia pasti memilih kereta ekonomi yang murah meriah.

Setelah menemukan nomor kursi, ia meletakkan tas di rak penyimpanan yang terletak di atas kursi penumpang. Ia lalu duduk di kursi dekat lorong, tak sabar dengan pengalaman barunya, membayangkan melihat langsung Monas dan Bundaran HI yang selama ini hanya dapat dilihat di gambar.

"Ehm!" Suara berdeham seorang pria mengagetkan Wangi dari lamunannya.

Wangi menoleh. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar berdiri di sampingnya. Ia menebak lelaki itu akan duduk di sebelahnya dekat jendela. Ia segera menarik kaki, memberi jalan kepada pria tersebut, tetapi ... lelaki itu tidak juga bergerak.

"Silakan, Mas," ujar Wangi sambil tangannya memberi isyarat agar lelaki itu melewatinya.

"Mbak salah duduk, ini tempat saya!" protes lelaki yang mengenakan jaket kulit itu. "Silakan Mbak yang bergeser."

"Masa, sih, Mas. Nomor saya kan tiga A." Wangi ngotot. Seingatnya ia sengaja memilih kursi yang tidak bersebelahan dengan jendela.

"Ya, A itu yang dekat jendela. Yang B di lorong." Tangan pria itu menunjuk ke label petunjuk kursi yang terletak di dekat jendela.

"Waduh!" Wangi panik, ia tidak mau duduk dekat jendela. "Boleh tukar, Mas?" Ia berusaha merayu sambil menyengir.

Lelaki itu tidak menjawab hanya memandang dengan wajah kesal.

"Saya takut muntah kalau lihat pohon kayak lari-lari di luar sana, Mas," ungkap Wangi jujur.

Mata lelaki itu setengah memicing. "Ya, tidak usah lihat keluar. Gitu saja, kok, repot!" Ia mulai sebal pada perempuan yang sudah jelas salah masih tak mau mengalah. "Saya sengaja pesan di lorong karena kaki saya tidak bisa lurus kalau duduk di dekat jendela."

Wangi memerhatikan kaki lelaki itu, memang cukup panjang. "Nanti kalau saya muntah, bagaimana, Mas?" Ia masih berusaha menukar tempat duduk.

"Itu ada kantong plastik khusus untuk muntahan!" Lelaki itu menunjuk kantong di depan kursi yang sudah disiapkan oleh PT KAI. "Lagi pula ini malam, Mbak. Tidur saja sepanjang jalan, tidak perlu lihat pemandangan!"

"Saya kalau muntah banyak dan bau loh, Mas! Sungguh, tidak bohong! Khawatir malah merepotkan Mas-nya nanti." Wangi tetap berargumen, benar-benar takut muntah. Naik bis dari Solo ke desanya yang hanya berjarak 30-an kilo saja beberapa kali ia muntah, apalagi perjalanan kali ini yang lebih dari 500 kilometer.

Dengkusan kesal dan berat terdengar dari hidung pria itu. Ia malas berargumen dan tidak punya pilihan daripada terkena muntahan perempuan ngototan di sebelahnya ini. Dengan berat hati terpaksa duduk dekat jendela. Ini akan menjadi perjalanan yang teramat menyiksanya.


Wangi tersenyum lebar begitu lelaki dengan rambut ikal menutupi tengkuk itu akhirnya mengalah kendati dengan wajah ditekuk. Aroma rempah khas parfum pria menguar dari tubuh lelaki itu saat melewatinya.

"Matur nuwun sanget, Mas." Wangi mengucapkan terima kasih banyak sambil memandangi wajah lelaki yang rahang dan dagunya ditutupi rambut-rambut halus.

Lelaki itu tidak berespons, masih teramat kesal karena terpaksa mengalah.

Wangi tertegun, wajah pria ini sepertinya tidak asing. Tanpa sadar, ditatapnya lelaki itu lekat, berusaha menggali dokumentasi wajah di memori jangka panjangnya.

Si lelaki berkulit kecokelatan itu lagi-lagi mendengkus kencang begitu menyadari tingkah perempuan di sebelahnya. Belum hilang kesal, ditambah risi diamati tidak berkedip.

"Ada masalah?" tanya lelaki itu dengan suara bas yang terdengar seperti geraman.

"Eh ... anu ... Mas anu, ya ... Mas ...." Wangi berusaha keras mengingat nama. Wajah lelaki ini sudah mulai teridentifikasi, tapi namanya masih sulit ditarik dari memori.

Lelaki itu melirik tajam, kian terusik dengan tingkah Wangi. Sudah ngotot ditambah sok kenal!

Dua huruf inisial terlintas di kepala Wangi. Sejak dahulu, ia sering menyingkat nama orang dengan huruf depan di tiap suku kata nama. Ia mengagumi orang-orang yang bisa punya nama lebih dari satu suku kata, tidak seperti dirinya yang hanya terdiri dari satu kata.

Mata Wangi melebar begitu bisa mengingat siapa lelaki di sebelahnya ini. Sambil menjentikkan telunjuk dan ibu jarinya, ia menebak, "Mas Be Dua, ya!" Ia menyebut inisial pria itu yang terdiri dari dua huruf sama, B dan B atau B2.

Dengan gerak cepat, lelaki itu menoleh ke arah Wangi. Di dunia ini, hanya satu makhluk yang berani memanggilnya B2! Si bocah tengik! Ia tidak perlu memastikan identitas perempuan di sebelahnya lagi.

"Hmmm!" geraman terdengar dari mulut lelaki itu sebagai respons untuk membenarkan tebakan Wangi sekaligus kesal dengan inisial yang disebut.

"Ya ampun, Mas Be, bagaimana kabarnya?" Wangi semringah, tak menyangka bertemu dengan lelaki yang pernah setahun tinggal di desanya. "Habis jenguk Simbah Tarno putri?"

Si lelaki dengan inisial dua huruf B itu menghela napas panjang. Ia mengutuk dirinya yang salah memilih nomor kursi. Dari ratusan kursi di kereta, mengapa ia bisa terjebak di sebelah bocah tengik ini.

"Ya," sahutnya singkat. Ia segera mengenakan penyuara telinga atau earphone, memilih lagu dari ponsel, menyandarkan tubuh, dan memejamkan mata. Isyarat jelas bahwa ia tak mau Wangi menghujaninya dengan perbincangan basa-basi.

Wangi memahami arti bahasa tubuh lelaki yang dipanggilnya Mas Be. Ia ikut menempelkan punggung dan kepala ke sandaran kursi. Pikirannya melayang ke sebelas tahun silam berbarengan dengan kereta yang mulai meninggalkan stasiun Solo Balapan.

Desa Gelem mendadak dihebohkan dengan kedatangan cucu Mbah Tarno -sesepuh desa- yang sebelumnya tinggal di Jakarta. Seorang remaja berusia 17 tahun berperawakan gagah, berparas rupawan, berpenampilan maskulin, tetapi juga berperilaku super bengal. Konon, ia dikirim ke desa kakeknya karena di Jakarta berkali-kali terlibat tawuran, bahkan menjadi komandan pasukan. Pihak sekolah pun mengultimatum, mengundurkan diri dari sekolah atau dikeluarkan. Sekolah lain di Jakarta tidak ada yang mau menerima murid yang terkenal sebagai biang kerok tawuran.

Orang tuanya segera mengambil tindakan tegas daripada anak itu putus sekolah, padahal tinggal setahun lagi untuk lulus SMA. Mereka lalu menyekolahkannya di SMA Gelem, menitipkan pada sang kakek di desa sepi sehingga si anak berandal itu hanya mungkin berkelahi dengan sapi.


Kehadiran si anak kota segera menjadi pusat perhatian, terutama bagi para gadis. Semua ingin mendekat, tak mau ketinggalan mendapatkan perhatian dari pemuda yang kebengalannya justru menjadi magnet. Dalam waktu singkat, pamornya mengalahkan pesona Wisnu yang selama ini menjadi satu-satunya pemuda idola desa karena kesantunan, kepintaran, dan ketampanannya. Rupanya daya tarik bad boy lebih memukau para gadis ketimbang good boy, meski di desa seterpencil Gelem sekali pun.

Sayangnya, kendati banyak yang terpesona, tak ada yang berani melancarkan "serangan langsung" karena sikap galaknya yang bisa membuat orang terbirit-birit. Namun, hasrat para gadis untuk mengungkapkan rasa suka tak dapat tertahankan, meski hanya mampu menuangkan rasa lewat surat cinta.

Permasalahannya adalah siapa yang mau menjadi kurir semua surat cinta untuk pria yang sulit, bahkan menakutkan untuk didekati itu. Para penggemar gelap juga tidak mau sang lelaki idaman justru jatuh hati pada si pembawa surat. Hanya satu kandidat ideal, yang penampilan jauh dari menarik dan biasa dicaci maki: Wangi!

Maka, dengan iming-iming uang seribu rupiah per surat, Wangi - yang saat itu masih duduk di kelas 6 SD - dengan senang hati menerima tawaran dari para gadis. Menjadi kurir surat cinta.

Dengan berbekal informasi tongkrongan si lelaki idola para gadis, Wangi bersemangat menyambangi warung makan Sejahtera milik Mbak Laila sepulangnya dari sekolah. Terik matahari persis di atas ubun-ubun tak menjadi penghalang menunaikan tugas dengan honor yang baginya cukup fantastis.

"Mau beli lauk, Ngi?" tanya Laila saat melihat bocah kurus kecil itu melongok-longok ke dalam warung makannya.

"A-anu ... " Wangi lupa nama lengkap lelaki pendatang baru yang dituju. "Ah ... itu dia! Saya mau bertemu dia, Mbak!" Ia berjalan cepat mendekat ke arah lelaki yang sedang bermain gitar, ditemani lima orang yang terkenal sebagai remaja nakal di desa Gelem.

"Nuwun sewu², Mas, anu ... " Wangi masih belum ingat nama si lelaki itu, hanya ingat singkatannya dua huruf.

"Anune sopo³, Ngi?" ledek Rahmat, salah satu anak yang suka mencuri jambu di rumah Pak Wiryo.

Wangi cengar-cengir.

"Dasar anake wong gendeng! Ditanya malah ketawa!" ejek Rahmat. "Mau ketemu siapa?"

"Mmmm ... Mas Be Dua," sahut Wangi ragu-ragu sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ia bingung mengapa mendadak lupa nama lengkap lelaki itu, padahal bukanlah nama yang sulit.

Tawa kelima anak nakal meledak.

Jreeeng! Petikan kencang senar gitar diikuti dengan gebrakan di area soundboard⁴ gitar membuat tawa kelima anak itu terhenti. Semua menoleh takut-takut ke arah lelaki yang sejak tadi memetik gitar dan sekarang sedang menampilkan wajah penuh amarah. Banyu Biru. Alias B.B atau B2 versi Wangi.

"Siapa kamu bilang?" bentak Banyu dengan mata melotot.

Wangi gemetar, tapi berusaha menjawab, "M-mas Be Dua."

Kelima anak di dekat Banyu berusaha menahan tawa, takut kena tampar. Anak orang gila ini tampaknya tidak tahu makna dari singkatan B2.

"Siapa Be Dua?" tanya Banyu masih dengan mata melotot.

"Si-situ Mas Be Dua, kan?" Wangi menunjuk ke arah dada Banyu. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa laki di hadapannya itu tampak tidak suka dipanggil Be Dua.

Banyu menaruh gitarnya kasar hingga senarnya bergetar.

"Sini kamu!" Banyu menggerakkan telunjuknya, meminta Wangi mendekat.

Kelima anak lain menahan napas. Rahmat - yang pernah ditampar oleh Banyu karena meledeknya saat pertama kali bertemu - mengusap pipinya, menduga Wangi akan mengalami hal serupa.


Wangi patuh, berjalan mendekat kendati nyaris pipis di celana saking takutnya. Suara bas dan tatapan tajam lelaki ini membuatnya takut, tapi ia tak boleh mundur agar uang jasa tak lepas dari genggamannya.

"Sudah, tidak usah digubris, Nyu." Laila yang mendengar percakapan itu berusaha menenangkan Banyu. "Dia itu anaknya orang gila, jadi mungkin juga agak begini," ujarnya sambil menempelkan telunjuk di dahinya dengan posisi diagonal.

Banyu memandangi anak di hadapannya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sepatu hitam menganga yang memperlihatkan kaus kaki bolong, pakaian seragam merah putih lusuh, ingus kering di pipi, beberapa koreng di kulit, rambut jagung tanda kurang gizi, dan bau asem yang menguar dari tubuh kurusnya. Belum pernah dilihatnya anak sedekil ini. Perkataan Mbak Laila tidak mengada-ada, anak ini pasti tidak terurus karena ibunya gila.

"Ada perlu apa?" tanya Banyu pada Wangi dengan suara melunak dari sebelumnya.

Wangi membuka tas buluknya, mengeluarkan setumpuk surat cinta dari para gadis remaja, lalu menyodorkannya pada Banyu. "Ada titipan ini, Mas."

Banyu mengerutkan dahi, menerima sodoran setumpuk surat dari anak beringus di hadapannya. "Apa ini?"

"Dari mbak-mbak di sini," jawab Wangi. Ia memutuskan untuk segera pergi sebelum lelaki di hadapannya berubah pikiran. Bisa-bisa hilang uang jasa mengantar surat. "Diterima ya, Mas Be Dua?"

"Heh!" Banyu kembali melotot begitu mendengar panggilan itu lagi.

Wangi pun lari tunggang langgang, sebelum si mas Be Dua itu mengomel atau lebih parahnya mengembalikan semua surat. Senyum lebar terulas di bibir Wangi sambil menjauh dari warung Mbak Laila, ternyata tugasnya tidak terlalu sulit.

Kesuksesan mengantar surat cinta pun tersiar luas. Ia mendapat repeat order walaupun hampir semua gadis tak mendapat respons dari Banyu. Para pemuja tetap gigih mengirim tanda cinta. Kegigihan yang menguntungkan Wangi. Ia pun mulai menerapkan tarif. Seribu untuk surat, dua ribu untuk paket besar. Pelototan dan omelan Banyu tak menjadi penghalangnya menjalankan tugas. Toh, ia sudah terbiasa mendapatkan hal semacam itu dari banyak orang. Sayangnya, masa "panen" itu hanya berlangsung setahun. Banyu kembali ke Jakarta setelah lulus SMA. Wangi berduka, kehilangan penghasilan.

Suara pintu pembatas antara bordes dengan area tempat duduk penumpang yang dibuka dan sapaan dari kondektur yang hendak memeriksa karcis membuyarkan lamunan Wangi, mengembalikannya pada realitas. Disiapkannya karcis dan tanda pengenal sesuai permintaan kondektur sambil mencuri pandang ke arah lelaki di sebelahnya. Penampilannya banyak berubah, terlihat lebih matang, tapi sikap galak tampaknya permanen.

Sebuah senyum geli terulas di bibir Wangi, menertawakan kebodohan dirinya yang tadi secara spontan memanggil Banyu dengan panggilan "Be Dua", panggilan yang biasa terlontar dari mulutnya selama setahun menjadi kurir para gadis kasmaran. Ia pun terkikik ketika menyadari bahwa panggilannya dulu kepada sang preman ibu kota yang teramat ditakuti itu, sama saja dengan memanggilnya "Babi".

-----


Note:

¹ Emplasemen: tempat terbuka di dekat sebuah bangunan

² Nuwun sewu: permisi (Bahasa Jawa)

³ Anune sopo: itunya siapa (Bahasa Jawa)

⁴ Soundboard: bagian badan gitar yang merupakan kotak resonansi suara, berbentuk seperti tabung.


*****


Bersambung....

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...