Thursday, January 25, 2024

Meneroka Jiwa (05)

 *_MENEROKA JIWA_*


*Bab 05. Terkecoh Impresi*


oleh KaiaKarnika



Kereta Argo Dwipangga yang ditumpangi Wangi memasuki bangunan stasiun dengan plang bertuliskan Tambun. Beberapa penumpang terbangun dari tidur, bersiap untuk turun dari kereta yang tak lama lagi akan memasuki Jakarta. Dada Wangi berdegup kencang, antusias dan cemas berkelindan. Ia bahkan tidak bisa tidur sama sekali sepanjang perjalanan, berbeda dengan Banyu yang tampak terlelap.

Tak lama berselang, terdengar pengumuman di pelantang dalam gerbong yang menginformasikan bahwa kereta api akan memasuki stasiun Jatinegara. Banyu menegakkan sandaran kursi dan posisi duduknya, merapikan rambut ikalnya dengan jemari, meregangkan kaki dan tangannya, tanpa sedikit pun menoleh ke arah Wangi. Tampaknya ia masih kesal terpaksa menukar kursi yang menyebabkan kakinya ditekuk sepanjang perjalanan.

"Mas, boleh tanya?" Wangi memberanikan diri memulai percakapan.

"Hmmm," sahut Banyu malas. Tak mungkin menjawab tidak.

"Kalau mau ke jalan T.B Simatupang, lebih baik turun di Jatinegara atau Gambir?"

"Mau naik apa dari stasiun nanti?" Banyu balik bertanya.

"Wah ... naik apa ya, Mas? Saya tidak tahu, baru kali ini ke Jakarta," jawab Wangi polos.

Banyu menoleh ke arah Wangi, lalu mengernyitkan dahi. "Mau apa kamu ke Jakarta?"

"Kerja."

"Sudah dapat kerja atau masih mencari?" tanya Banyu dengan nada suara mirip polisi menginterogasi untuk berita acara perkara.

"Sudah dapat."

"Kerja apa?"

"Administrasi di perusahaan alat kesehatan."

"Naik taksi saja. Lebih baik turun di Gambir." Banyu mengalihkan pandangan ke luar jendela kereta.

"Kalau taksi, mahal ya, Mas?" Wangi harus mempertimbangkan kondisi keuangannya yang teramat tipis. Belum untuk membayar indekos yang entah berapa biayanya di Jakarta. "Ada bus ke arah sana, tidak?"

"Kita sampai Gambir jam tiga pagi. Bus mulai operasi sekitar jam 5."

"Kalau jalan, jauh?"

"Lima belas kilo-an."

"Oh, jalan saja pelan-pelan sambil menunggu bus ada," gumam Wangi.

"Cuma dua jenis perempuan yang keliaran jam segini. PSK dan kuntilanak," sahut Banyu begitu mendengar ide Wangi. PSK yang dimaksud Banyu adalah singkatan dari Pekerja Seks Komersil.

Wangi terbelalak. "Masa, sih, Mas?"

"Coba saja kalau tidak percaya. Nanti juga ketemu sama mereka," jawab Banyu dengan nada serius.

Wangi bergidik, tidak bisa membayangkan bertemu dengan kuntilanak di tengah jalanan Jakarta yang seingatnya dari tayangan berita yang pernah dilihat selalu ramai.

"Apa boleh menunggu di stasiun?"

"Mungkin," sahut Banyu singkat.

Wangi menganggukkan kepala, memutuskan untuk menunggu di stasiun hingga matahari menampakkan diri, sehingga tak perlu bertemu dengan kuntilanak.

"Kalau biaya indekos di sekitar T.B Simatupang berapa ya, Mas?" tanya Wangi lagi.

Banyu kembali menoleh ke arah Wangi. "Kamu belum punya tempat tinggal?"

Wangi menggeleng.

"Jadi sekarang kamu mau ke mana? Mendatangi kantor tempatmu kerja?"

Wangi mengangguk. "Rencananya begitu, nanti dari situ saya mencari indekos yang dekat."


Banyu menarik napas panjang. "Kamu pasti kebanyakan nonton sinetron!" Ia pernah melihat tayangan sinetron menceritakan seorang perantau perempuan yang dengan mudah dan cepat menemukan tempat tinggal di tengah keruwetan Jakarta. Sesuatu hal yang nyaris mustahil terjadi.

"Tidak, Mas. Tidak pernah. Tidak punya televisi," sanggah Wangi jujur.

Banyu mendengkus kesal. Perlu kesabaran ekstra bicara dengan perempuan satu ini. "Ini hari Sabtu. Kantor kebanyakan tutup. Memangnya kamu tidak cari informasi terlebih dahulu mau tinggal di mana sebelum datang ke Jakarta?"

Wangi menggeleng.

"Jakarta itu tidak seperti Solo, apalagi Gelem. Banyak orang jahat di sini!"

Wangi terdiam, hanya bisa menelan ludah membayangkan kejahatan yang mungkin menimpanya. Apakah perilaku orang desa Gelem masih belum ada apa-apanya dibanding Jakarta? Apakah mereka juga akan bersikap sinis begitu tahu bahwa dia anak orang gila? Perasaannya membuncah, mulai menggigiti ujung jari.

"Tidak ada teman atau saudara yang tinggal di Jakarta?"

Wangi menggeleng. Ia tidak punya siapa pun. Selama ini hanya ada ibu yang terkena gangguan jiwa dan Wisnu yang sudah mencampakkannya.

"Kenalan?"

"Cuma Bu Rani. Dia yang memberikan pekerjaan."

"Hubungi dia saja!"

"Tidak enak, Mas. Dia bosnya perusahaan itu." Wangi teringat tawaran dari Rani untuk menjemput dan mengajak tinggal sementara di rumahnya, tapi ia tolak karena tak mau merepotkan orang yang telah memberikan banyak kebaikan.

Banyu menarik napas panjang. "Hidup di Jakarta itu perlu perencanaan matang kalau mau selamat."

Wangi kian gelisah, semakin bingung dengan tindakan yang harus diambilnya. Walau tahu bahwa Jakarta kota besar, tapi dalam bayangannya tidak jauh berbeda dengan Solo. Dahulu, saat pertama kali mendapat pekerjaan di mal, tidak sulit baginya untuk mendapatkan indekos tak jauh dari lokasi bekerja. Namun, perkataan Banyu barusan membuatnya cemas.

Kereta api mulai memasuki jalur 4 stasiun Gambir. Tugu Monas yang terlihat dengan jelas dari sisi jalur ini mengalihkan kegelisahan Wangi. Mata belonya terbuka lebar. "Mas ... ujungnya Monas itu benar-benar emas, ya?"

"Tidak tahu. Belum pernah tanya sama yang buat, orangnya keburu mati," sahut Banyu seadaanya.

"Mas kenal dengan yang buat?" tanya Wangi serius.

Banyu mendengkus kesal, perempuan ini terlalu lugu. Untunglah kesibukan para penumpang menurunkan barang bawaan dari rak dan beberapa orang porter yang dengan nekat melompat masuk ke dalam kereta yang masih belum sepenuhnya berhenti membuat Banyu tidak perlu meladeni pertanyaan Wangi.

Kereta akhirnya berhenti dengan sempurna. Wangi berusaha menggapai bawaannya di rak dengan susah payah. Dengan tinggi tidak sampai 160 cm menyulitkannya untuk menarik dus yang terlihat cukup berat.

Banyu berdiri, tidak tega membiarkan perempuan kurus di sebelahnya kesulitan mengambil barang.  "Ini bawaanmu?" tanyanya menunjuk dus bertuliskan salah satu merek mi instan.

Wangi tersenyum lebar, tidak menyangka Banyu yang sejak tadi merengut mau memberikan bantuan tanpa diminta. "Betul, itu punya saya."

Tanpa kesulitan Banyu mengambil dus. "Mana lagi?"

"Hanya itu saja. Matur nuwun, Mas."

Dahi Banyu berkerut. Perempuan ini mau kerja di perkantoran Jakarta dan hanya membawa sebuah dus yang tak seberapa besar serta sebuah tas ransel yang sejak tadi dipangkuannya. Benar-benar tidak punya gambaran bagaimana hidup di kota metropolitan. Ia teringat cerita  orang mengenai kehidupan miris Wangi saat tinggal setahun di Gelem.


Wangi menggendong tas ransel di punggungnya, lalu menenteng dus bertali rafia dengan kedua tangannya. "Mari, Mas. Saya duluan. Senang bisa bertemu lagi dengan Mas." Ia berpamitan, lalu dengan susah payah melangkah karena bobot dus yang cukup berat.

Banyu tak berespons. Ia tetap berdiri di dekat kursinya, menunggu semua penumpang turun, tidak suka berdesak-desakan.

Keluar dari pintu kaca pintu kedatangan, Wangi celingukan, mencari tempat untuk menunggu hingga langit cukup terang. Dilihatnya para penjemput menghampiri penumpang yang baru datang, beberapa berpelukan melepas rindu. Pemandangan sarat emosi yang kurang lebih serupa dengan saat hendak berangkat dari stasiun Solo Balapan, ketika beberapa pengantar melambaikan tangan dengan raut sedih karena harus berpisah.

Wangi tersenyum getir, seumur hidup belum pernah merasa dirindukan. Tidak pernah ada yang menanti kepulangannya, tidak pernah juga ada yang bersedih atas kepergiannya. Tiba-tiba, di tengah keramaian stasiun Gambir dini hari itu, ia merasa sendiri. Ia berdiri mematung, kebingungan dan kesepian.

"Jangan berdiri di tengah jalan!" Teguran seseorang menyadarkan Wangi. Ia meminta maaf menyadari telah menghalangi banyak orang di belakangnya, lalu menyingkir ke sisi pinggir. Diletakkan dus di lantai, lalu berjongkok, mencoba menenangkan diri sekaligus meyakinkan bahwa keputusan kerja di Jakarta tidaklah keliru.

"Menunggu dijemput, Mbak?" tanya seorang lelaki.

Wangi mendongak, dilihatnya seorang lelaki berambut cepak, memakai celana jin dan kemeja motif kotak. Penampilannya rapi dan wajahnya terlihat ramah. "Oh ... tidak, Mas. Menunggu sampai agak terang saja," jawabnya polos.

"Mau ke mana?" tanya lelaki itu lagi.

"Ke jalan T.B Simatupang."

"Saya antar saja, yuk!" Lelaki itu menawarkan diri. Tanpa menunggu persetujuan, ia lalu mengangkat dus milik Wangi. "Kebetulan saya juga mau ke daerah sana."

"Eh ... su-sungguh, Mas?" Wangi dengan cepat berdiri, tak menyangka ada orang tak dikenal memberikan bantuan.

"Iya, masa saya bohong." Lelaki itu memberi gerakan tangan mengajak Wangi berjalan. "Mobil saya diparkir di sana." Ia menunjuk ke area parkir di sisi barat stasiun.

Wangi mengernyitkan dahi, lelaki ini tidak memakai seragam, berarti bukan supir taksi. Penampilannya tidak kumal, bahkan klimis dan terawat. Bukan potongan penjahat seperti yang ada di bayangannya.

"Masnya dari Solo juga tadi?" tanya Wangi berusaha mencari tahu motif di balik kebaikan orang itu.

Begitu melihat respons kooperatif Wangi, lelaki itu bergegas melangkah. "Tidak. Saya mau jemput adik saya, tapi ternyata dia sudah pulang bersama temannya yang terlebih dahulu dijemput."

"Wah, kecele ya, Mas?" Seolah terhipnotis, Wangi mengikuti pria itu melangkah.

"Iya." Langkah pria itu kian cepat.

Wangi tergopoh-gopoh menyamai langkah lelaki itu. Ia bingung mengapa lelaki ini berjalan terburu-buru, instingnya mengendus sesuatu yang berbahaya, tapi tak tahu apa yang harus dilakukan.

"Heh!" Sebuah bentakan dibarengi tepukan keras di pundak menghentikan langkah lelaki yang menenteng dus Wangi.

Lelaki itu menoleh dengan wajah gusar.

Langkah Wangi turut terhenti, ikut menoleh ke sumber suara dan berteriak kaget, "Mas Be!"

Banyu melirik kesal ke arah Wangi yang lagi-lagi memanggilnya dengan inisal. Ingin memaki, tetapi ditahannya sumpah serapah, segera dialihkan fokus ke lelaki di depannya. "Mau apa kamu?" tanyanya pada si lelaki.


"Bukan urusanmu!" Lelaki itu sedikit gentar melihat penampilan dan perawakan pria yang menepuk pundaknya, tapi pantang mengalah.

"Berikan dus itu padanya!" perintah Banyu sambil menggerakkan kepala ke arah Wangi.

"Enak saja! Dia bersamaku!" tolak lelaki itu. Ia meraih tangan Wangi dan menyeretnya.

Dengan cekatan, Banyu menahan tangan lelaki itu, lalu memuntirnya agar pegangannya terhadap Wangi terlepas. "Kalau kamu macam-macam, saya laporkan ke petugas keamanan!"

Lelaki itu meringis kesakitan, tapi tidak menyerah. Ia melepaskan dus di tangan satunya, lalu berusaha memukul Banyu.

Banyu tak kalah sigap, menangkis serangan dan memelintir tangannya. "Masih mau nekat?" tantangnya sembari mengencangkan cengkeraman di kedua tangan lelaki itu.

Insiden itu pun menarik perhatian banyak orang. Seorang petugas keamanan mendekat. "Ada apa?"

"Dia mau merampok Mbak ini!" Si lelaki berambut cepak itu melemparkan tuduhan kepada Banyu. Ia berusaha melepaskan kedua tangannya dari puntiran Bayu.

Banyu menyengih. "Rampok teriak rampok!" Ia lalu menoleh ke arah petugas keamanan dan berkata, "Silakan Bapak tanyakan kepada Mbak ini. Siapa yang dia kenal."

Petugas keamanan tersebut mengamati kedua lelaki di hadapannya, yang satu berkemeja kotak berpenampilan rapi dan satu lagi berjaket kulit berambut agak gondrong.

"Siapa dari kedua pria ini yang Mbak kenal?" Petugas itu bertanya kepada Wangi yang sepertinya masih kebingungan dengan apa yang sedang terjadi.

"Sa-saya kenal Mas Be," jawab Wangi, "yang ini, Pak." Ia menggerakkan kepalanya ke arah Banyu.

Banyu mendengkus kesal, tak terima dipanggil "Be", tetapi menyadari ini bukan saatnya protes.

"Dia siapanya Mbak?" tanya petugas itu lagi, menyangsikan jawaban Wangi. Penampilan lelaki berjaket kulit terlihat lebih urakan dibanding si lelaki berkemeja kotak.

"Te-tetangga saya di desa," sahut Wangi.

"Kalau yang ini siapa?" Petugas itu menanyakan status lelaki berkepala cepak berkemeja kotak.

"Tidak kenal, Pak, tapi tadi dia menawarkan bantuan untuk mengantar saya."

Banyu menyodorkan tangan lelaki yang masih berada dalam pegangannya ke arah petugas. "Silakan, Pak. Jelas kan siapa yang mau menipu!" Ia yakin si petugas semula berpihak pada penipu itu hanya karena penampilannya yang rapi.

"Saya tidak berniat jahat, Pak, hanya ingin menolong Mbak ini!" Lelaki itu berusaha meronta membela diri.

"Kamu ikut saya ke pos!" perintah petugas sambil memegangi tangan lelaki itu. Ia lalu menoleh ke arah Wangi. "Lain kali hati-hati, Mbak!"

Jantung Wangi berdegup kencang, masih berusaha mencerna kejadian.

"Sudah dibilangin banyak orang jahat di Jakarta. Jangan gampang percaya!"

"Dia kelihatan baik, bukan orang jahat," bela Wangi sambil memandangi Banyu. Andai tak mengenal Banyu, ia pasti akan menilai lelaki ini yang berniat jahat dibanding pria tadi. Wajah tanpa senyum, rambut agak gondrong, jaket kulit, postur tinggi besar.

"Pasti saya lebih cocok jadi penjahat dibanding dia!" Banyu menerka isi pikiran Wangi.

Wangi cengar-cengir, tak menyangka Banyu bisa membaca pikirannya.

"Jangan menilai orang dari penampilannya saja!"

Wangi manggut-manggut. "Memangnya orang tadi mau apa?"


"Mau angkat kamu jadi anaknya!"

"Hah?" Wangi tak percaya lelaki tadi berniat seperti itu.

"Ya mau nyulik kamu, lah!" jawab Banyu ketus ketika melihat air muka Wangi yang seolah percaya dengan omongannya.

"Buat apa nyulik saya, Mas? Saya tidak punya uang!" Wangi merasa dirinya tidak layak dijadikan sandera. Siapa yang akan dimintai tebusan?

"Tuh, kan, kebanyakan nonton sinetron!"

"Tidak, ti—"

"Tidak punya televisi. Saya tahu!" potong Banyu seraya mengambil dus Wangi. "Kamu bawa apa sih ini? Berat amat. Baju atau batu bata?" Banyu merasa dus yang dibawa Wangi cukup berat, bahkan bagi dirinya yang biasa berlatih angkat berat.

"Oh, bukan, Mas. Kalau baju saya simpan di tas ini," jawab Wangi sambil menunjuk ke arah ransel di punggungnya. "Itu peralatan dapur, seperti ulekan, panci, sama sedikit sembako, ada beras, teh, dan gula."

"Hah?" Banyu tak dapat menutupi rasa kagetnya. "Buat apa repot bawa semua itu? Di Jakarta juga ada!" Dalam hati berharap dus ini seharusnya dibawa kabur oleh si tersangka penculik tadi, biar tahu rasa dapat cobek.

"Khawatir di sini harganya mahal, Mas. Uang saya tinggal sedikit, belum buat bayar indekos, takut tidak cukup."

"Jadi kamu cuma bawa baju yang ada di tas ranselmu itu?" Penilaian Banyu tentang Wangi campur aduk, ada kesal karena anak ini terlalu naif mendekati bodoh, tapi juga ada rasa iba.

"Ya, punyanya cuma segini," jawab Wangi jujur.

"Sudah, begini saja. Kamu ikut saya, tinggal di tempat saya dulu, sambil cari indekos dekat kantormu. Tidak gampang cari tempat tinggal di Jakarta!"

Mata Wangi berbinar. "Sungguh, Mas?"

"Maunya sih nyulik, tapi dipikir-pikir tidak ada untungnya nyulik kamu!" sahut Banyu enteng sembari bergegas ke arah pul taksi yang sudah dipenuhi antrian penumpang.

Wangi tertawa sambil mengekor di belakang Banyu. Tak lama menunggu antrian, sebuah taksi berwarna biru membawa mereka ke tempat tujuan.

Sepanjang jalan dari Gambir menuju rumah Banyu, Wangi sibuk mengamati jalan lengang Jakarta.Walau takut-takut, tapi penasaran dengan keberadaan kuntilanak - seperti kata Banyu tadi - di sela deretan gedung tinggi dan pemukiman padat. Banyu sendiri memilih diam, tak berniat menjadi pemandu wisata dengan menjelaskan tentang kota Jakarta.

Setelah setengah jam, taksi biru yang mereka tumpangi berhenti di daerah sektor 9 Bintaro. Bukan sebuah rumah, melainkan sebuah tempat usaha berbentuk huruf U. Di sisi kiri terdapat restoran dan kedai kopi kekinian, dengan lantai atasnya difungsikan sebagai pusat kebugaran. Di sisi kanan–persis berseberangan dengan resto–terdapat tempat cuci mobil dengan lima buah mesin hidrolik. Di antara kedua bangunan tersebut terdapat bangunan yang menjorok ke belakang, diperuntukkan bagi salon perawatan mobil sekaligus ruang tunggu. Bagian tengah yang cukup luas merupakan area parkir sekaligus tempat antrian mobil yang akan dicuci.

Konsep bisnis tempat usaha ini menawarkan optimalisasi pemanfaatan waktu bagi para pelanggan. Sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh penduduk kota yang teramat sibuk. Sambil menunggu mobil dicuci, mereka bisa mengisi waktu dengan mengisi perut. Sembari menjaga kebugaran fisik dengan berolahraga di gimnasium, kendaraan mereka pun mendapat perawatan.

Wangi mengamati bangunan di hadapannya, baru kali ini ia melihat tempat usaha seperti ini. Walaupun sebuah tempat cuci mobil, tapi jauh dari kesan kotor. Bangunan restoran berdesain minimalis dengan pepohonan dan tanaman hijau di sekelilingnya memberikan kesan asri. Sebuah tempat menongkrong yang membuat betah.


Seorang satpam menghampiri dan menyapa Banyu, lalu membukakan pagar. Banyu membalas sapaan petugas keamanan tersebut, kemudian berjalan menuju sisi kiri. Wangi membuntuti dari belakang.

Di ujung restoran, bersebelahan dengan bangunan salon mobil, terdapat jalan kecil beralas paving block diselingi rumput. Jalan tersebut mengarahkan mereka ke bangunan berbentuk huruf L dengan halaman berumput yang cukup luas. Bangunan ini tersembunyi, terhalang bangunan salon mobil, tidak terlihat dari area cuci mobil dan restoran. Bangunan utama adalah sebuah rumah mungil dua lantai dengan desain minimalis menghadap ke bagian belakang salon mobil. Di sisi kanan–sejajar dengan area cuci mobil–terdapat paviliun memanjang terdiri dari tiga ruangan.

"Kamu bisa tinggal di sana, tapi masih kotor. Nanti siang harus dibersihkan terlebih dahulu." Banyu menunjuk ke arah bangunan memanjang di sisi kanan. "Sekarang, kamu bisa istirahat di situ." Ia mengalihkan jari telunjuk ke bangunan rumah dua lantai.

"Mas Be kerja di sini?" Wangi masih terkagum-kagum dengan tempat usaha ini.

Ingin rasanya Banyu membungkam Wangi agar berhenti memanggilnya "Be" tetapi ia malas bicara panjang, ingin cepat bergumul dengan bantal guling. Ia pun memilih segera menjawab, "Ya."

Wangi terperanjat. "Majikannya Mas tahu kalau saya akan menumpang di sini? Dia tidak keberatan?" Ia khawatir kehadirannya dianggap mengganggu.

"Semoga," sahut Banyu singkat sambil melangkah ke teras rumah, mengeluarkan kunci dari saku jaket setelah mencopot sepatu boots-nya, lalu membuka pintu. Ia menoleh ke arah Wangi sebelum masuk ke dalam rumah. "Jangan berisik! Bos saya masih tidur. Dia suka ngamuk kalau tidurnya terganggu." Ia lalu berjingkat masuk, seolah tak ingin membangunkan sang majikan.

Wangi mengangguk, berniat mematuhi perintah. Ia mencopot sepatu sebelum mengikuti Banyu masuk ke dalam rumah. Saat hendak melewati pintu, dilihatnya Banyu seperti terkejut melihat sesuatu. Pria itu menoleh ke arahnya dengan air muka mencerminkan ketegangan.

"Bos bangun!" ujar Banyu dengan nada panik, lalu berdiri dengan sikap sempurna.

Jantung Wangi berdegup lebih cepat, cemas melanda. Kendati hanya melihat ekspresi dan gestur Banyu dari sisi samping, ia yakin lelaki itu sangat takut pada majikannya.

"Heil, Hitler!" ucap Banyu lantang. Tangan kanannya terangkat lurus 45⁰ ke atas di depan kepala.

Wangi makin panik. Ia teringat pelajaran di sekolahnya dahulu. Hitler adalah nama seorang pemimpin Nazi yang terkenal sadis. Gerakan dan ucapan Banyu pun sama persis dengan salam penghormatan bagi si pemimpin yang dinobatkan sebagai salah satu orang terjahat di dunia itu. Apakah ini berarti majikan Banyu pun segalak Hitler? Andai benar, ini sama saja dengan mencari masalah baru.

Wangi hanya ingin melarikan diri saat ini. Jika orang sesangar Banyu saja terlihat tunduk seperti itu, maka bagaimana dengan dirinya yang selama ini selalu jadi bulan-bulanan penindasan.

Di tengah kecemasan, sekonyong-konyong dilihatnya Banyu berjongkok. Sesuatu berwarna putih berbulu lebat melesat ke arah lelaki itu. Terdengar pula suara gemerincing.

Meooong. Makhluk berbulu putih lebat itu mengeluarkan suara.

"Hitler kok bangun? Kaget, ya?" tanya Banyu lembut seraya mengusap-usap bawah dagu si kucing persia yang tampak menikmati sentuhannya.

Wangi cuma bisa melongo.


*****


Bersambung....

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...