Thursday, January 25, 2024

Meneroka Jiwa (09)

_*MENEROKA JIWA*_


*Bab 09. Petaka Mnemonik*


oleh KaiaKarnika



Wangi baru saja menempelkan pantat di kursi kerjanya, ketika Shinta membuka pintu ruangan dengan kasar. Amarah terpancar jelas dari wajahnya. Lima orang staf HR di ruangan itu langsung menahan napas, menunggu detik-detik menegangkan, menebak siapa yang akan menjadi sasaran caci maki sang atasan.

Shinta menghampiri meja Eko, satu-satunya staf lelaki di Divisi HR. Lelaki berumur 50-an yang baru saja menyelesaikan sarapan itu mendadak pucat pasi. Kenikmatan bubur ayam yang baru disantapnya lenyap seketika.

"Yang lain kerja, tidak usah menguping!" Shinta memperingatkan anak buahnya yang lain.

Tiga staf HR lain, Erni, Vita, dan Indri bernapas lega karena luput sebagai objek amukan Shinta. Mereka segera memakai penyuara jemala atau headphone. Pura-pura mendengarkan musik, padahal menguping omelan Shinta.

Wangi kebingungan, ia tidak punya apa pun untuk menyumbat kupingnya. Ditambah posisi duduk Eko bersebelahan dengannya. Pilihannya cuma menutup lubang telinga dengan jari telunjuk. Akan tetapi, makian Shinta yang sanggup menembus partisi kaca pembatas ruangan Divisi HR dengan Divisi GA, masih dapat terdengar jelas olehnya. Ia pun komat-kamit membaca ayat kursi untuk mengalihkan fokus.

Eko tertunduk. Kendati tahu salah, dimaki di depan rekan kerja yang jauh lebih muda jelas mempermalukan dirinya.

"Heh!" Bentakan kencang di telinganya mengagetkan Wangi.

Wangi menoleh, dilihatnya Shinta yang melotot ke arahnya. Sepertinya Shinta telah selesai memarahi Eko. Segera dilepasnya telunjuk yang menyumbat telinga.

"Ngapain kamu?" tanya Shinta.

Wangi gelagapan. "Ba-baca ayat kursi, Bu."

"Hah? Kamu pikir saya setan?" Shinta murka.

Ekspresi menyeramkan dan rambut hitam lurus Shinta, plus kemeja putih yang dikenakan perempuan itu mengingatkan Wangi pada sosok ratu horor Suzanna. Spontan ia bergidik. "Iya, Bu," sahutnya cepat.

"Apa?" bentak Shinta.

Ketiga perempuan staf HR yang duduk berhadapan dengannya menahan tawa.

Wangi panik, menyadari salah menjawab. "Eh ... maaf, Bu. Maksud sa—"

"Kurang ajar! Awas kamu!" ancam Shinta sebelum Wangi menyelesaikan kalimatnya. Ia mengentakkan kaki sebelum berjalan ke ruang kerjanya yang terletak di pojok. Dinding dan pintu kaca menjadi pembatas antara ruangan kerja mungilnya dengan deretan meja kelima stafnya.

Wangi mengetuk dahinya, mengumpat diri karena selalu salah bicara jika panik.

"Kok bisa orang sudah tidak menjabat masih dikasih tunjangan jabatan, sih, Pak? Bapak pasti tidak memperbarui data, ya!" komentar Erni, perempuan berkulit kuning langsat yang mejanya terletak persis berhadapan dengan meja Wangi, begitu pintu ruangan Shinta tertutup.

Eko tidak menjawab. Ia masih terlihat pucat pasi, tangannya memegangi dada, napasnya tak beraturan.

"Jangan diulang dong, Pak! Kalau bu Shinta udah bad mood pagi hari, bakal seharian ini kita semua kena imbasnya!" Vita yang duduk di samping Erni dan persis berhadapan dengan meja Eko turut berkomentar. Ia kesal karena di antara mereka, selama ini selalu Eko yang paling sering melakukan kesalahan.

"Tetapi menurutku, bu Maya juga serakah, sih. Jelas-jelas bukan hak dia, kok tidak mau mengembalikan," sahut Indri, perempuan bergaya tomboi yang duduk di sebelah Vita.

Wangi tidak berkomentar. Selain tahu diri untuk tidak memberikan pendapat tentang kejadian barusan, nasihat Banyu agar tidak bergosip pun terngiang. Ia memilih pergi menuju pantri yang terletak di luar ruangan, hendak mengambil segelas air putih sambil menenangkan diri.


Sekembalinya ke ruangan terlihat Eko masih tertunduk lemas. Lelaki bertubuh gempal itu tampaknya tidak menyangka mendapat omelan di pagi hari.

"Pak, silakan diminum." Wangi menyodorkan gelas yang dipegangnya. Ia mengamati Eko belum sempat minum setelah sarapan, keburu kena semprot Shinta.

Eko memaksa diri tersenyum. "Terima kasih," sahutnya lalu menenggak habis minuman pemberian Wangi.

"Tampaknya beban kerja Bapak berat, ya. Ada kerjaan Bapak yang bisa saya bantu?" Wangi berupaya menunjukkan simpati.

Eko menjawab cepat, "Iya, saya keteteran, nih."

"Banyak data belum diperbarui, ya, Pak?"

"Iya, betul. Memang banyak sekali data yang belum update, tidak terpegang oleh saya."

Wangi tersenyum. Betul kata Banyu, ada peluang di tiap masalah. "Boleh saya bantu perbarui datanya?"

"Memangnya kamu tidak ada kerjaan?"

Wangi menggeleng.

"Oke," sahut Eko dengan senyum lebar. Ia kemudian mengalihkan beberapa dokumen kepada Wangi dan memberikan penjelasan

Wangi pun tenggelam dalam kesibukan barunya. Tidak terasa satu jam lebih dirinya berkutat di depan komputer, memperbarui data sekaligus mempelajari berbagai fungsi di aplikasi.

"Wangi!" panggil Shinta.

Wangi mendongak, dilihatnya Shinta sedang menutup pintu ruangan kerjanya. "Ya, Bu."

"Ikut saya sekarang!" perintah Shinta. Ia lalu bergegas ke luar ruangan HR tanpa memberi penjelasan kepada Wangi.

Wangi menyambar buku catatan kecilnya, lalu segera mengekor di belakang Shinta yang berjalan cepat menuju lift. Ia tidak berani bertanya tujuan mereka.

Shinta memencet tombol 16 begitu mereka berdua berada di dalam lift. Selain terdapat di lantai 15, PT Utama Medika juga menempati unit di lantai 16, di mana aktivitas bisnis inti perusahaan berlangsung.

"Apa yang kamu kerjakan tadi?" tanya Shinta.

"Membantu pak Eko memperbarui data karyawan, Bu," jawab Wangi takut-takut.

"Siapa yang suruh?"

Wangi menelan ludah, siap didamprat. Belum sempat menjawab, pintu lift telah terbuka dan Shinta bergegas ke luar lift. Perempuan itu berjalan cepat menuju sebuah ruangan rapat.

"Duh, OB ke mana, sih? Ruangan mau dipakai rapat masih berantakan!" omel Shinta begitu melihat ruangan rapat belum dirapikan.

"Biar saya bantu merapikan, Bu," ujar Wangi sambil memunguti beberapa sampah bekas bungkus kudapan yang tergeletak di meja.

"Oh iya, saya lupa kalau kamu bekas cleaning service," ejek Shinta sambil berjalan ke luar ruangan.

Selang beberapa menit, dua orang wanita masuk sambil bersenda gurau.

"Mana tim HR, nih?" tanya perempuan yang rambutnya dicat warna pirang.

"Bu Shinta sudah datang, Bu, tetapi sedang keluar sebentar," sahut Wangi.

Perempuan berambut pirang tadi mengamati Wangi dari ujung rambut hingga kaki. Ia merasa tidak mengenal perempuan kurus dan lusuh ini.

"Kamu OB baru, ya?" tanya perempuan satu lagi, berambut pendek dengan highlight violet.

"Bu-bukan, Bu. Saya staf admin baru di HR. Nama saya Wangi." Wangi memperkenalkan diri.

Kedua perempuan itu saling bertatapan penuh makna.


"Memang sih nama itu doa, tapi realistis juga dong," cibir si rambut pirang pelan.

Si rambut pendek tak mau kalah, berkata lirih, "Yah, namanya juga doa, bisa dikabulkan, bisa tidak. Yang ini kebetulan tidak."

Keduanya tertawa.

Meski kedua perempuan itu berbicara pelan, tapi tetap dapat tertangkap oleh telinga Wangi. Ia mendekatkan kepala ke arah ketiaknya dan mengendus bau tubuhnya. Tadi pagi ia sudah memakai deodoran dan parfum pemberian Banyu. Apakah masih kurang wangi?

Tak lama, Shinta masuk berbarengan dengan seorang lelaki berpenampilan klimis, bergaya pongah, Aghastyan.

"Tante Rani belum datang?" tanya Aghastyan kepada Shinta. Ia lalu duduk berdampingan dengan dua perempuan yang sudah hadir sebelumnya.

Wangi menebak, kedua perempuan itu pastilah anak buah Aghastyan.

Baru saja Shinta membuka mulut hendak menjawab, pintu kembali terbuka. Kali ini Samudra bersama dua orang anggota timnya masuk ke dalam ruangan. Aura karismatik terpancar kuat dari sosok bertubuh tegap itu.

"Pagi," sapa Samudra dengan suara berat. "Belum mulai rapatnya?" Ia menarik kursi, duduk berdampingan dengan bawahannya di sisi yang berseberangan dengan tim Aghastyan.

"Bu Rani masih rapat direksi, seharusnya sudah selesai lima belas menit lalu," jawab Shinta.

Aghastyan memerhatikan Wangi yang baru saja selesai merapikan ruangan.

"Kamu lulusan mana?" tanya Aghastyan.

Wangi memastikan pertanyaan tersebut diajukan kepadanya sebelum menjawab, "Gelem, Pak."

Dahi Aghastyan berkerut. "University of Gelem? Saya baru dengar. Di mana itu?"

"SMA, Pak. Bukan universitas," jawab Wangi.

"Oooh, cuma lulusan SMA," sahut kedua perempuan bawahan Aghastyan berbarengan.

"Memangnya kenapa kalau lulusan SMA?" Samudra angkat bicara.

"Kita kan jarang rekrut lulusan SMA, Mas. Minimal D3. Biasanya yang lulusan SMA hanya untuk OB, pengemudi, sama cleaning service." Si rambut pendek membela diri.

"Yang pernah kuliah saja belum tentu kerjanya becus. Apalagi yang lulusan SMA," timpal Aghastyan membela pendapat bawahannya.

"Saya yakin Tante Rani punya pertimbangan tersendiri saat merekrutnya," sahut Samudra datar. "Lagi pula yang sarjana belum tentu kerjanya lebih baik dibanding lulusan SMA."

"Tapi pengetahuannya jelas lebih luas yang sarjana, dong," debat Aghastyan. Di matanya, Samudra selalu ingin tampil heroik dengan membela kaum lemah.

"Seharusnya begitu, tapi tidak menjamin. Banyak lulusan SMA yang wawasannya juga luas. Belajar kan tidak melulu lewat jalur pendidikan formal." Samudra tak mau kalah berargumentasi.

Wangi perlahan mengangkat kepala, melirik ke arah Samudra. Perkataan lelaki itu barusan terdengar seperti pembelaan untuknya.

"Okay, let's see," sahut Aghastyan dengan senyum sinis. "Kita cek level pengetahuan kalau begitu." Ia beranjak dari kursinya, berjalan menuju meja pimpinan rapat, menempelkan separuh pantatnya ke meja. Ia memandang tajam ke arah Wangi, berusaha mengintimidasi.

Wangi merasa jantungnya berdebar kencang. Ia menggetar-getarkan kakinya, kecemasan melanda.

"Berhubung Utama Medika ini perusahaan keluarga, coba sebutkan perusahaan keluarga besar di Indonesia!" Aghastyan menoleh ke perempuan berambut pirang. "Mulai dari kamu, Tri!"


"Gampang! Bakrie Group." Astri, perempuan berambut pirang menjawab cepat.

"Sampoerna!" Ganti Dinda, si rambut pendek yang duduk di sebelah Astri turut menjawab sebelum diminta.

"Betul," ujar Aghastyan sembari mengacungkan jempol kepada kedua bawahannya, "tapi wajar, kalian kan sarjana, jadi pasti punya pengetahuan tentang itu."

Aghastyan lalu memandang ke arah Shinta. "Kamu lulusan S2, 'kan? Pasti bisa jawab dong."

"Indofood, Djarum, dan Ciputra," jawab Shinta. Ia tak mau kalah, sekaligus menyebutkan tiga nama perusahaan keluarga besar.

Wangi gelisah, yakin sebentar lagi gilirannya. Ia mulai menggigiti ujung jemarinya, sembari berusaha mengingat pembahasan mengenai perusahaan keluarga bersama almarhumah bu Damayanti. Semua perusahaan keluarga yang diketahuinya telah disebut oleh tiga perempuan itu.

"Sekarang giliranmu!" Aghastyan beralih kepada Wangi.

Asu tenan wong iki!¹ maki Wangi dalam hati.

Ah... asu! AHA! Wangi menemukan jawaban.

Wangi menarik napas, lalu menjawab, "Taman Safari." Ia menyebut tempat wisata keluarga terkenal di mana binatang berkeliaran dengan bebas.

Tawa Astri, Dinda, dan Shinta meledak.

"Sejak kapan deh Taman Safari jadi perusahaan keluarga?" pertanyaan Astri lebih berupa cemooh.

"Taman Safari itu bukan perusahaan keluarga, itu milik asing!" Shinta menjelaskan dengan nada menghina.

"Siapa bilang itu milik asing?" tanya Samudra kepada Shinta. Nada suaranya tetap datar, tidak terdengar seperti sebuah kesangsian. "Coba kamu cari di internet, pasti langsung keluar informasi kalau itu memang perusahaan keluarga. Pemiliknya, keluarga Manansang."

Tawa di wajah Shinta, Astri, dan Dinda serta-merta memudar.

Wangi semringah. Samudra memang penolongnya.

Samudra beralih memandang ke arah Aghastyan. "Jangan-jangan kamu juga baru tahu? Wah... masa lulusan kampus ternama di Amerika kalah wawasan sama lulusan SMA Gelem," sindirnya datar, tanpa senyum melecehkan.

Aghastyan mencebik. Pertanyaannya untuk membungkam Wangi menjadi bumerang.

Dua anak buah Samudra tersenyum simpul. Ini bukan kali pertama Samudra mampu meruntuhkan kepongahan sepupunya. Aghastyan yang reaktif memang bukan tandingan Samudra yang tenang.

"Cuma betul satu, bukan berarti tahu lebih banyak," sanggah Aghastyan. Ia memutar otak mencari pertanyaan yang bisa memperlihatkan kelemahan Wangi sekaligus membuat Samudra tak bisa mempertahankan pendapatnya.

Tak lama, Aghastyan menjentikkan jari, lalu mengarahkan telunjuk pada Wangi. "Menurutmu, apa yang menjadi tantangan besar perusahaan keluarga?"

Wangi terperanjat, tak menyangka masih diberikan pertanyaan.

Astri, Dinda, dan Shinta tersenyum sinis. Kali ini pasti Wangi tak bisa menjawab.

Samudra mendengkus, sepupunya ini benar-benar kurang kerjaan. "Shinta, kalau tante Rani masih lama, aku kembali ke ruangan. Kabari kalau dia sudah selesai radir." Ia berdiri, malas menyaksikan sepupunya pamer kekuasaan.

Kedua anak buah Samudra ikut berdiri. Bersamaan dengan itu, pintu terbuka. Rani masuk dengan senyum lebar.

Wangi mengembuskan napas lega, berharap penderitaannya berakhir dengan kedatangan Rani.

"Wah, sudah komplet. Maaf terpaksa menunggu, ya, rapat direksinya molor dari waktu yang seharusnya," ucap Rani.

"Ah... tidak apa-apa, Tan. Kami sedang lomba cerdas cermat buat isi waktu," sahut Aghastyan. Ia kembali ke kursinya.


"Oh ya? Tumben isi waktunya bermanfaat," sahut Rani tertawa sembari mengambil posisi duduk sebagai pemimpin rapat.

"Iya, dong, masak gosip melulu. Kami lagi menunggu Wangi menjawab pertanyaan nih, Tan." Aghastyan masih belum rela kehilangan momen mempermalukan Wangi sekaligus Samudra.

"Tan, aku ada rapat dengan calon klien potensial sejam lagi. Mungkin kita bisa langsung bahas isi rapat." Samudra berupaya mengembalikan agenda semula.

Rani yang sudah paham adanya perang dingin antara kedua keponakannya itu dengan cepat membaca situasi. "Kita tidak akan lama, kok, Sam. Paling setengah jam saja," ujar Rani. Ia lalu memandang ke arah Aghastyan. "Pertanyaan apa yang kamu ajukan ke Wangi?"

"Pertanyaan sederhana, ingin tahu pendapatnya tentang tantangan terbesar perusahaan keluarga," jawab Aghastyan.

Rani tersenyum. Ia lalu menoleh ke arah Wangi yang sedang menggigit ujung jemarinya.

Wangi memandangi Rani, memohon agar diselamatkan dari pertanyaan Aghastyan. Namun, perempuan itu hanya mengulas senyum dan malah menganggukkan kepala.

"Saya ingin mendengar pendapatmu, Ngi," ujar Rani dengan senyum yang terus menghiasi bibirnya.

Samudra menggeleng-gelengkan kepala, tak menyangka tantenya memakan umpan Aghastyan. Dari sudut mata terlihat sepupunya itu tersenyum penuh kemenangan.

Wangi berupaya mengingat diskusi dengan almarhumah bu Damayanti.

"Tidak belajar tentang ini waktu di SMA Gelem, ya?" sindir Aghastyan begitu melihat Wangi kebingungan.

Wangi mengumpulkan segenap keberaniannya, menarik napas, lalu mengeluarkan suara, "A-anu... anu..., Pak."

"Heh? Kenapa anu saya?" serang Aghastyan begitu melihat peluang mempermalukan.

Wangi terbata, "Bu-bukan, Pak. Bukan anu Bapak."

Terdengar suara cekikikan dari beberapa yang hadir.

"Wah parah, nih, Tan! Pelecehan seksual!" Aghastyan kian memojokkan Wangi.

Wangi panik. "Ma-maaf, Pak As."

"Apa? Pak As? Memangnya siapa nama saya?" Aghastyan menggebrak meja.

Gebrakan kencang yang mengagetkan semua yang hadir di ruangan, terutama Wangi.

Tiga huruf sudah nyaris terlontar dari mulut Wangi, untung sempat ditahannya. "Ma-maaf, Pak, maksud saya, Pak Aghas." Ia perlahan mengembuskan napas lega, lolos dari keceplosan menyebut si "asu" dengan inisialnya.

"Maaf maaf melulu!" gerutu Aghastyan. "Oke, jadi apa jawabannya? Mikir lama keluarnya cuma anu!"

Wangi menarik napas, lalu menjawab, "Tantangan terbesar adalah pada pengelolaan perusahaan, terutama bila sudah berganti generasi yang memimpin."

"Maksudnya gimana, ya?" pancing Aghastyan. "Saya tidak paham. Jelaskan lebih rinci!"

"Seriously, Tan? Mau diteruskan pembahasan ini?" protes Samudra.

"Nanggung," sahut Aghastyan ketus.

Rani tersenyum, sudah menduga Wangi pasti bisa menjawab. Ia mengangguk-anggukkan kepala memberi dukungan. "Jawaban yang bagus, Wangi. Silakan diperjelas."

Wangi merasa kepercayaan dirinya naik begitu melihat respons Rani. Berbagai referensi yang pernah dibaca saat diskusi dengan Damayanti menyeruak dari memorinya. "Kalau dari buku yang pernah saya baca, di dalam perusahaan keluarga itu kecenderungannya adalah generasi pertama membangun bisnis, generasi kedua mengembangkan bisnis, dan generasi ketiga menghancurkan bisnis. Jadi ba—"


Aghastyan lagi-lagi menggebrak meja, menyela penjelasan Wangi, "Jadi maksudmu, aku yang akan menghancurkan bisnis ini?" tanyanya dengan nada tinggi.

Wangi terkesiap, sadar sudah salah bicara. "Bu-bukan begitu, Pak As."

"Apa? As lagi? Sebenarnya kamu tahu siapa nama saya tidak, sih?" Aghastyan memandang tajam ke arah Wangi seolah ingin melumatnya.

Wangi memaki dirinya yang lagi-lagi tidak terkendali.

Samudra menyela, "Lo, tadi kan kamu yang minta dijelaskan. Kok malah marah?" sindirnya.

Aghastyan mendelik pada sepupunya. "Memangnya kamu tidak tersinggung? Kita sama-sama generasi ketiga di perusahaan ini. Pernyataan anak ini barusan menuduh kitalah yang akan membuat bisnis ini hancur!"

"Dia tidak menuduh, hanya mengutip dari referensi yang pernah dibacanya, dan setahuku memang begitu. Apabila kita tidak hati-hati, maka generasi kitalah yang akan membuat bisnis yang sudah dibangun susah payah oleh eyang ini bangkrut. Memangnya kamu belum pernah membaca buku tentang bisnis keluarga?" balas Samudra santai, tak terpancing oleh ulah sepupunya. Ia memandang ke arah Wangi sejenak, tak menduga perempuan yang berpenampilan lusuh dan lulusan SMA ini punya wawasan cukup luas.

"Tadi katanya cerdas cermat, kenapa sekarang jadi adu debat, ya? Kalau begitu, kita masuk ke agenda rapat saja, sebelum saya harus jadi wasit tinju." Rani menengahi pertikaian antara dua keponakannya dengan tenang. Ia lalu mulai membahas tujuan pertemuan.

Samudra menyetujui keputusan tantenya, sedangkan Aghastyan cemberut merasa dirinya belum bisa menyamai skor melawan sepupunya.

Wangi mengembuskan napas lega, terlepas dari perisakan. Sambil membuat notula rapat, ia mencuri pandang ke arah Samudra dan Aghastyan. Kedua lelaki itu memiliki postur tubuh dan penampilan yang serupa, wajah mereka pun memiliki beberapa kemiripan. Bedanya jelas pada karakter. Aghastyan mudah tersulut emosi, sedangkan Samudra mampu mengendalikan emosi.

Sesuai perkataan Rani, rapat selesai dalam waktu setengah jam.

"Kamu sekarang sedang mengerjakan apa, Ngi?" tanya Rani begitu para peserta rapat telah meninggalkan ruangan.

"Saya sedang memintanya memperbarui data karyawan, supaya tidak terjadi kesalahan seperti kasus bu Maya," jawab Shinta walau bukan dirinya yang ditanya.

"Bagus kalau begitu," puji Rani seraya beranjak dari kursinya.

Wangi terdiam. Seingatnya, tadi di lift Shinta nyaris marah begitu tahu ia mengerjakan hal tersebut tanpa sepengetahuannya, tapi sekarang atasannya itu justru melaporkan berbeda. Ia ingat perkataan Banyu semalam, bahwa ada kemungkinan Shinta mengeklaim pekerjaannya yang akan menuai pujian dari Rani.

"Wangi...,"- Rani menghampiri Wangi dan merangkulnya, mengajak berjalan ke luar bersama-  "kamu tadi bisa menjawab pertanyaan Aghas dengan baik. Kamu harus lebih yakin pada dirimu sendiri, bahwa kamu punya pengetahuan dan kemampuan yang baik. Kalau kamu ingin dihargai oleh orang lain, maka mulailah dengan menghargai diri sendiri." 

"Baik, Bu." Wangi kikuk. Rani yang direktur dan berpenampilan modis, tidak risi merangkul dirinya yang lusuh.

Rani lalu berkata pada Shinta yang berjalan di sisinya, "Nanti biar Wangi yang bertanggung jawab terhadap perbaikan penilaian kinerja di tempat Sam dan Aghas yang barusan kita bicarakan."

"Tapi, Bu, dia tidak tahu apa-apa," protes Shinta, sangsi akan kemampuan Wangi.

"Semua selalu dimulai dengan ketidaktahuan, bukan? Lagi pula, selumbari² kamu bilang bahwa beban kerjamu berlebihan," sahut Rani.

Shinta terdiam, tak bisa berkelit.

Wangi bisa membaca ekspresi kesal Shinta terhadap keputusan Rani. Ia tak bersuara, berjalan bersama kedua atasannya itu hingga kembali ke meja kerjanya.

Sesampainya di meja kerja, Wangi segera mengaktifkan layar komputer, hendak menyalin notula rapat barusan. Barulah ia tersadar buku catatan kecilnya tertinggal di ruang rapat. Ia segera melesat kembali ke lantai 16.

Sesampainya di ruangan rapat, ia terkulai lemas begitu melihat Aghastyan bersama timnya telah berada di dalam, hendak memulai pertemuan. Lelaki itu duduk di meja sambil membuka buku kecil.

Wangi memberanikan diri mendekat, dalam hati merapal doa.

"Ma-maaf, Pak, mau ambil buku saya," ujar Wangi sambil menunjuk bukunya yang dipegang Aghastyan.

Aghastyan memandangi Wangi dengan mata melotot. "Jadi ini sebabnya kamu tadi panggil saya 'Pak As'?" Ia menunjukkan tiga huruf dalam catatan rapat yang ditulis Wangi.

Wangi hanya bisa menelan ludah, yakin Aghastyan tidak akan tinggal diam. Tak pernah terpikir, mnemonik yang dibuatnya berujung petaka.

-----


Note:

¹ Asu tenan wong iki: Benar-benar 🐶 orang ini (Bahasa Jawa)

² Selumbari: Kemarin dulu

*) Mnemonik: teknik mengingat.


*****


Bersambung....

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...