Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (04)

SEBUAH PESAN  04


(Tien Kumalasari)


 


Kamila termenung mendengarkan apa yang dikatakan adiknya. Ada rasa miris, kalau benar-benar hal itu akan terjadi. Memang sih, dirinya dan Abi sudah lama berjauhan, dan godaan itu di mana-mana pasti ada. Kelihatannya sih, Abi orangnya acuh, terkesan dingin dan tak pernah perhatian pada cewek-cewek cantik yang ada di sekitarnya. Tapi hati orang siapa tahu? Walau tanpa ucapan cinta atau ungkapan mesra, tapi Abi selalu perhatian terhadapnya. Setiap kali pulang selalu diperlukannya untuk menemuinya, mengajaknya jalan-jalan, makan di luar, atau pergi keluar kora untuk mencari udara segar dan pemandangan yang menyejukkan. Apa yang membuatnya meragukan cintanya? Ah, Raya kan memang begitu, suka ngomong seenaknya. Bahkan di depan orang tuanya sekalipun.


“Apa yang Mbak pikirkan? Takut ya? Aku bukan menakuti lhoh, tapi kemungkinan itu ada, ya kan? Mas Abi bukan orang yang sederhana. Dia terpelajar, pergaulannya luas, pintar pula. Mana mungkin dia melakukan hal-hal yang tak terpuji? Mengingat kebaikannya, Mbak tak perlu takut. Kalau aku sih, takut, salah sendiri, cari pancar yang sangat amat ganteng,” kata Raya seenaknya, kemudian melenggang meninggalkan kamar kakaknya, seperti tak sadar bahwa ucapannya benar-benar membuat Kamila berpikir buruk.


Kamila bahkan tak bisa memejamkan matanya. Ia membuka kembali ponselnya, dan melihat pesan yang dikirimkan kekasihnya. Hanya kata ‘maaf’ dan emoticon cinta berderet-deret. Haruskah ungkapan itu bisa membuatnya berpuas diri lalu meyakinkan pada hatinya bahwa dia percaya pada cinta yang diungkapkan hanya melalui emoticon?


Ingin sekali Kamila mendengar Abi mengucapkan, "Mila, aku mencintaimu. Atau tulisan dalam pesan singkat, Kamila, I love you.”


Bukan kekanak-kanakan, tapi ungkapan itu pasti akan membuatnya senang dan tentu saja bahagia.


Kamila merebahkan tubuhnya ke ranjang, berharap segera terlelap sehingga bisa menghilangkan bayangan-bayangan buruk yang menghantuinya,


***


 Malam masih belum begitu larut, Pak Timan masih menemani Damian duduk di depan rumah, sambil berbincang tentang banyak hal.


"Ngomong-ngomong, mengapa hampir setiap hari kamu membawa pulang makanan. Yang kemarin sore saja belum habis tuh, masih bisa dipanasi lagi, untuk makan malam kita tadi kan? Dan kamu masih membawa selat pula saat pulang.”


“Damian juga tidak minta Pak, bik Sarti selalu membawakan makanan setiap Damian pulang. Tapi kata bik Sarti, yang nyuruh nyonya, bukan kemauan bik Sarti.”


“Keluarga pak Rahman memang sangat baik. Sejak bapak masih bekerja di sana, selalu saja tak pernah berhenti memberi.”


“Setiap Bapak pulang?”


“Benar. Dan itu saat kamu masih kecil, bukan?”


“Benar Pak, Damian juga masih ingat. Dan karena itu, Bapak jarang sekali membeli makanan untuk kita setiap harinya.”


“Dan karena itu pula maka Bapak bisa menyekolahkan kamu. Sayangnya hanya sampai SMA. Biaya kuliah sangat mahal.”


“Benar, tapi Bapak tak perlu menyesalinya. Damian cukup senang dan merasa bangga, Bapak bisa memberikan pendidikan yang baik untuk Damian.”


“Padahal kan sebenarnya kamu masih ingin melanjutkan sekolah, ya kan?”


“Setiap orang selalu ingin lebih. Tapi setiap keinginan kan harus disesuaikan dengan kemampuan? Mengapa harus menggapai langit kalau memang kita tak mampu mencapainya?”


“Benar, kamu tidak menyesalinya?”


“Sungguh Damian tidak menyesalinya.”


“Kalau saja tuan Steward masih ada, pasti dia mampu menyekolahkan kamu ke jenjang yang lebih tinggi.”


“Tuan Steward itu majikan Bapak sebelum ikut pak Rahman?”


“Benar. Sejak kamu lahir, dia amat menyayangi kamu. Sejak kamu masih bayi, tuan Steward yang merawat kamu. Kamu dibelikan susu, dan pelayannya diperintahkan untuk memberi kamu makan yang cukup, selama bapak bekerja.”


“Bapak selalu membawa Damian ke tempat kerja?”


“Benar. Mereka sangat iba sama kamu, karena ibumu meninggal saat melahirkan kamu. Jadi dia minta agar bapak selalu membawa kamu ke tempat kerja, lalu baru bapak bawa pulang saat sudah selesai bekerja. Selama itulah kamu seperti menjadi anak asuh keluarga yang baik itu.”


“Damian lupa-lupa ingat. Ketika tuan Steward pergi, Damian belum masuk sekolah ya, Pak?”


“Belum Dam, kamu masih berumur lima tahunan. Tapi keluarga itu meninggalkan uang yang cukup untuk menyekolahkan kamu sampai lulus SD. Selanjutnya, bapak sendiri yang menyekolahkan kamu.”


“Kita harus bersyukur, banyak kasih sayang untuk kita dari orang-orang baik.”


“Benar.”


“Apakah kedua putri pak Rahman juga bersikap baik sama kamu?” lanjut pak Timan.


“Sangat baik.”


Lalu Damian teringat sikap mereka, terlebih Raya, yang selalu mendekatinya seperti seorang sahabat. Bukan hanya es krim yang diberikannya seperti siang tadi, tapi juga makanan, yang dibelinya sepulang kuliah, dan selalu mengajak memakannya bersama-sama.


Mengingat Raya, jantung Damian berdebar kencang. Ia merasa keterlaluan karena menyukai gadis cantik anak seorang juragan yang kaya raya. Tapi bagaimana menahan perasaan itu? Ia datang tiba-tiba tanpa disadarinya. Apakah itu pertanda cinta?


“Ya Tuhan,” Damian mengeluh pelan, membuat ayahnya menoleh kepadanya.


“Ada apa? Kamu ingat sesuatu?”


Damian terkejut karena ayahnya mendengar keluhannya. Tapi mana mungkin dia berterus terang tentang perasaannya? Bisa-bisa ayahnya malah memarahinya.


“Kamu seperti gelisah? Memikirkan apa?”


“Tidak Pak, hanya lupa … itu … menutup garasi, ketika non Raya menyuruh Damian memasukkan sepeda motornya. Tapi tidak apa-apa, pasti bik Sarti sudah menutupnya,” kata Damian sekenanya.


“Lain kali harus hati-hati. Semua tugas harus kamu kerjakan dengan baik.”


“Iya Pak.”


“Sekarang sudah malam, sebaiknya kita tidur. Kamu juga pasti lelah.”


“Iya Pak.”


Sampai Damian membaringkan tubuhnya di ranjang, bayangan tentang Raya masih mengganggunya. Ia tak mengerti, mengaoa Raya begitu baik, sehingga membuat timbulnya perasaan aneh ini di hatinya.


“Damiaaan, besok hari Minggu, aku ingin bersepeda. Temani ya?” Lalu Damian merasa seseorang menyentuh lengannya.


Damian terkejut, seperti mendengar Raya sedang berdiri di samping tempat tidurnya.


Damian membuka matanya, dan sadar bahwa dia hanya bermimpi. Baru sesaat tidur, mimpi tentang Raya sudah menghiasinya.


“Saatnya shalat malam,” sekarang suara ini terdengar nyata. Ternyata ayahnya yang menyentuh lengannya, berharap dia segera bangun.


Damian bangkit, lalu melangkah ke kamar mandi. Sudah saatnya bersujud menjelang akhir malam, seperti ayahnya selalu mengajarkannya.


***


Pagi hari ketika dia mengayuh sepedanya menuju ke tempat kerja, seseorang berteriak memanggilnya.


“Mas Damian !!”


Suara nyaring itu sudah sangat sering didengarnya. Ia berhenti, lalu menoleh ke arah belakang.


“Sari?”


“Sombong sekali, melewati aku tanpa menyapa,” keluh Sari, tapi dengan senyuman mengembang di bibirnya.


“Maaf, aku sedang tergesa-gesa, soalnya bangun agak kesiangan.”


“Oh, ya sudah.”


“Kamu mau ke mana? Mau aku boncengin?”


“Nanti kamu kesiangan, aku mau ke pasar.”


“Nggak apa-apa, kan pasarnya searah dengan tempat kerja aku.”


“Benar, aku boleh membonceng?”


“Naiklah, aku bisa mengayuh lebih cepat.


Wajah Sari tampak sumringah. Ia duduk di boncengan, lalu memberi isyarat bahwa dia sudah siap, sehingga Damian segera mengayuhnya lagi. Badan Sari agak gemuk, sehingga terasa agak berat perjalanan ke tempat kerja di pagi ini. Tapi menolong seseorang kan tidak ada salahnya? Sari yang sangat gembira, memegangi pinggang Damian, yang sebetulnya membuat Damian kurang suka.


“Maaf ya Mas, pegangan sedikit, takut jatuh.”


Damian tak menjawab. Alasannya sangat tepat, takut jatuh, masa dia harus menolaknya?


Ia merasa lega ketika sudah menurunkan Sari di pasar. Dia segera mengayuh lagi sepedanya, dengan lebih cepat, sampai-sampai ucapan terima kasih yang diucapkan Sari tak sempat dijawabnya.


Tapi Damian terkejut. Begitu memasuki halaman, Raya sudah ada di halaman depan, memegang sepedanya, dan keringatnya bercucuran, membuat wajah gadis cantik itu berkilat-kilat. Tapi yang membuat Damian tertegun adalah sapaan yang diucapkan Raya dengan tatapan tajam.


“Tadi mboncengin siapa?”


 “Tadi?” agak gugup sebenarnya Damian, tapi ia heran, kenapa gugup? Mboncengin siapapun, kenapa harus takut menjawabnya? Ini aneh.


“Iya, di pertigaan aku melihat kamu sama seorang gadis, agak gemuk.”


Ucapan Raya terasa seperti jarum kecil menusuk jemarinya, agak sakit, tapi tidak berbahaya. Damian mencoba menampakkan sebuah senyuman.


“Memangnya non Raya dari mana? Pagi-pagi sudah keringetan?”


“Ih, Damian, ditanya belum menjawab sudah ganti nanya,” kesal Raya.


Damian tertawa pelan.


“Maaf, itu tadi tetangga sebelah, numpang sampai ke pasar.”


“Ooh,” hanya itu jawaban Raya.


“Non sepedaan ke mana, sampai keringetan begitu?”


“Bau ya?” tanya Raya sambil mencium ketiaknya.


Damian tertawa lebih keras melihat tingkahnya.


“Bukan karena bau, nggak bau kok. Bau wangi malah. Tapi kalau sampai keringatan berarti habis melakukan pekerjaan berat dong.”


“Bukan pekerjaan. Terkadang ingin bersepeda, memang mencari keringat. Biar sehat, kata orang,” kata Raya sambil menuntun sepedanya masuk ke arah belakang, Damian mengikutinya.


“Besok Minggu sepedaan yuk. Aku ingin bersepeda, temani ya?”


Damian terkejut. Itu seperti ucapan Raya dalam mimpinya. Kok bisa sama? Damian masih terheran-heran, ketika Raya mengulangi pertanyaannya.


“Mau nggak?” kali ini Raya menoleh ke belakang.


“Eh … iya Non, boleh … boleh.”


Raya tersenyum senang, sayangnya Damian ada di belakangnya, sehingga tidak membuat hatinya berdebar saat senyum itu diulaskan. Dasar orang cantik, wajah berkilat-kilat kok ya tetap cantik.


Damian menyandarkan sepedanya di dekat gudang, saat Raya sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah.


“Bibiiiik, mau jus jeruk dong,” teriakan itu samar terdengar di telinga Damian, yang segera mengambil pemotong rumput dan sapu lidi.


***


Ketika memasuki rumah, Raya tak melihat Kamila kakaknya ada di ruang tengah. Hanya ada ayah dan ibunya.


Raya duduk bersama mereka, sambil membawa jus jeruk yang baru saja dimintanya dari bik Sarti.


“Mbak Mila mana?”


“Tadi sudah bangun dan minum susu. Mandi, barangkali,” jawab bu Rahman.


“Masih sedih, karena nggak bisa berlama-lama sama mas Abi?” tanya Raya seenaknya.


“Aku lupa bertanya. Abi jadi datang?” tanya sang ayah.


“Datang. Hanya sebentar. Aku baru mau keluar menyapanya, dia sudah pamit mau pulang, katanya, tiba-tiba ada telpon yang mengharuskan dia segera ke Jakarta.”


“Semoga besok-besok aku dapat pacar yang bukan pengusaha,” gumamnya sambil menghabiskan jus jeruknya.


“Kamu pengin dapat yang seperti apa?” tanya sang ayah.


“Yang tidak sering-sering pergi seperti Bapak,” jawab Raya sambil berdiri.


Pak Rahman menatapnya sambil tersenyum.


“Kalau bhapak tidak bekerja keras, dari mana kamu bisa mendapatkan semuanya?”


Raya tertawa lebar, lalu beranjak masuk ke kamarnya.


“Raya mau mandi,” katanya sebelum pergi.


Pak Rahman geleng-geleng kepala.


“Bagaimana tadi, soal Abi? Mila sempat bicara soal keinginanku itu?”


“Sepertinya belum menemukan jawaban yang pasti dari Abi.”


“Maksudnya apa? Kalau dia ragu-ragu, putusin saja,” kata pak Rahman yang tiba-tiba kesal.


“Sudah sekian lama, masih belum bisa memberi jawaban?” lanjutnya.


“Sabar dulu Pak, barangkali nak Abi baru mempersiapkan semuanya. Kan dia baru datang dari luar negri, baru menyelesaikan studynya.


Pak Rahman tidak menjawab, tapi wajahnya menampakkan rasa kurang senang.


***


Raya memasuki kamar kakaknya, mendapati sang kakak baru selesai mandi, berpakaian rapi dan sedang berdandan di depan cermin.


“Mau ke mana?”


“Ke rumah teman, suntuk.”


“Masih mikirin mas Abi? Kenapa dipikirin? Percaya saja, dan jangan terpengaruh kata-kata aku kemarin. Aku asal bicara kok,” kata Raya yang menyesali kata-katanya saat berbincang dengan kakaknya semalam. Ada rasa kasihan melihat wajah kakaknya yang kemudian tampak murung.


“Nggak apa-apa. Aku tahu kamu kok.”


“Mbak Mila jangan sedih. Sebenarnya kalau aku pas tidak ada kuliah, mau saja nemenin mbak Mila.”


“Nggak apa-apa, sebenarnya aku hanya ingin mencari pekerjaan.”


“Apa? Mbak Mila mau cari pekerjaan? Kalau memang ingin, kenapa nggak membantu bapak saja di kantornya?”


“Nggak mau, aku ingin pekerjaan yang tidak bergantung orang tua kok.”


“Baiklah. Kalau memang itu yang membuat Mbak Mila senang, lakukan saja. Tapi aku minta maaf ya, kemarin aku hanya asal bicara. Aku yakin mas Abi tidak seburuk itu.”


Kamila tersenyum. Biarpun suka seenaknya, tapi adik satu-satunya ini tak pernah keberatan meminta maaf, kalau merasa bersalah.


“Tidak apa-apa. Kamu mau kuliah kan? Cepet mandi, atau mau bareng aku?”


“Nggak usah, aku naik sepeda motor saja.”


***


Sore itu ketika Damian pulang dari bekerja, lagi-lagi dilihatnya Sari sedang berdiri di depan rumahnya, di tepi jalan.


“Mas Damian.”


Damian terpaksa berhenti, karena Sari seperti ingin mengatakan sesuatu.


“Ada apa?”


“Mau minta tolong, besok Minggu temenin aku ke kondangan ya?”


“Apa? Minggu?”


Damian tak segera menjawab. Bukankah dia punya janji?”


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...