SEBUAH PESAN 23
(Tien Kumalasari)
Kamila menatap wanita itu, yang mendekat sambil menatapnya juga. Mata wanita itu berkilat, seperti tidak senang bertemu dengannya. Tapi dia menyapanya lebih dulu, sambil tersenyum yang tampak seakan dibuat-buat.
“Selamat siang."
“Selamat siang,” jawab Kamila ramah.
“Ini rumah mas Abi, bukan?”
“Benar. Tapi mas Abi tidak di rumah, dia ke kantor.”
“Oh ya, benar, saya baru ingat.”
Kamila sedikit kesal, wanita itu bersikap seolah sudah sangat mengenal Abi, suaminya.
“Apa ibu mau menemui mas Abi? Sebaiknya sore saja, dia pasti sudah ada di rumah.”
“Ya, itu gampang. Apakah ibu tidak ingin mengetahui siapa saya?”
“Oh ya, maaf. Siapa ibu ini sebenarnya?”
”Saya Juwita, istri mas Abi,” katanya dengan senyum dibuat-buat.”
Kamila terkejut setengah mati. Istri Abi? Mengapa dia sampai tidak tahu kalau Abi sudah punya istri?
“Ibu terkejut ya? Oh ya, ini pasti istri mas Abi yang baru dinikahi beberapa minggu yang lalu. Sebenarnya dia juga sudah mengatakan kalau mau menikah, tapi mau bagaimana lagi, saya sudah mengandung tiga bulan. Belum kelihatan ya?” kata wanita bernama Juwita itu sambil mengelus perutnya yang belum begitu kelihatan membuncit.
Kamila tak mampu berkata-kata. Dia bahkan tidak mempersilakan Juwita untuk duduk.
“Maaf kalau hal ini mengagetkan Ibu, tapi kan ibu harus tahu, saya tak mau anak saya terlahir tanpa ada ayahnya.”
Kamila masih terdiam dengan wajah pias. Dia masih terdiam ketika kemudian Juwita mwmbalikkan tubuhnya dan melenggang pergi. Lalu setelah beberapa langkah, dia menoleh.
“Saya akan menemui dia di kantor saja,” katanya sambil terus melangkah, keluar dari halaman.
Suara derum mobil yang terdengar halus, kemudian menjauh, menandakan bahwa Juwita telah pergi.
Kamila merasa lemas. Dia terduduk di tangga teras, sambil merangkul kedua lutut yang ditekuknya.
“Mas Abi, mengapa kamu tidak mengatakan semuanya?”
Lalu air matanya berjatuhan membasahi pipi, dan dibiarkannya terus mengalir, sampai kemudian terdengar mobil memasuki halaman.
Kamila mengangkat wajahnya, melihat wajah tampan suaminya, yang melangkah dengan gagah ke arahnya.
Abi terkejut melihat istrinya bergeming melihat kedatangannya, dan lebih terkejut lagi ketika melihat air mata bercucuran membasahi pipinya.
“Kamila, sayang, apa yang terjadi?”
“Ucapan yang begitu manis itu sama sekali tak membuat hatinya berjingkrak kegirangan. Bayangan wanita cantik bersikap genit itu melintas lagi. Pantas kalau Abi tak mampu menghindar ketika luapan hasratnya sedang meronta, sedangkan wanita itu begitu mempesona dan menantang. Dia kah sekretaris yang pernah dikatakannya? Kamila tidak pernah mendengar tentang kehamilan itu. Dia juga tak pernah mendengar kalau Abi telah menikahinya.
“Hei, apa yang terjadi? Ayo masuk,” katanya sambil menarik tangan istrinya. Tapi Kamila tak hendak bergerak dari tempat duduknya.
“Ooo, rupanya ingin aku menggendong kamu ya?”
Dengan kedua tangannya, Abi merangkul bahu dan kaki Kamila, mengangkatnya dan membawanya masuk ke dalam. Kali ini Kamila tidak meronta. Tapi wajahnya masih basah, dan tak sedikitpun bibirnya merekah. Padahal sikap romantis itu selalu dirindukannya siang dan malam.
Abi langsung membawanya ke sofa dan mendudukkannya dengan lembut. Ia kemudian menyibakkan anak rambut yang tergerai di dahi sang istri.
“Ada apa, sayang?” tanyanya sambil mengusap air mata yang masih membasahi pipinya.
Kamila tak mungkin terus menerus mendiamkannya. Abi harus mengatakan tentang Juwita, yang sangat melukai hatinya.
“Tak biasanya kamu begini? Kangen banget sama aku ya? Baiklah, aku tak akan kembali ke kantor. Aku akan ada di rumah menemani kamu sampai kamu mengijinkan aku pergi.”
“Siapa Juwita?” katanya tandas.
Dan pertanyaan itu membuat senyuman Abi menghilang. Kemesraan yang ditampakkannya luluh lantak tercerai berai bagai tersapu beliung.
“Jawab Mas.”
“Dia, datang kemari?”
“Dia datang dan memamerkan kehamilannya. Dia juga bilang bahwa telah menjadi istri kamu.”
“Maafkan aku,” kata Abi sambil merangkul istrinya, tapi Kamila menepiskannya.
“Dia kah bekas sekretaris kamu yang telah kamu pecat dan kamu jadikan istri kamu?”
“Aku pernah mengatakan tentang dia, sekretaris aku. Hanya sekali aku melakukannya, ketika aku tak bisa menahannya dan dia dengan suka rela menyerahkan tubuhnya.”
Bulu kuduk Kamila merinding mendengarnya.
“Tapi aku tidak pernah suka sama dia. Aku sudah berencana memberhentikannya ketika itu, karena pekerjaannya tidak memuaskan.”
“Tapi tubuhnya … memuaskan, bukan?”
“Kamila, aku tidak pernah mencintai gadis lain kecuali kamu.”
Abi merosot turun dari tempat duduknya dan menjatuhkan kepalanya di pangkuan istrinya.
“Bahwa kemudian aku menikahinya, karena dia bilang telah hamil karena aku. Tapi aku berjanji bahwa setelah anaknya lahir maka aku akan menceraikannya.”
“Itu sebabnya maka kamu dulu minta waktu setahun baru akan menikahi aku?”
“Sesungguhnya, ya. Maafkan aku.”
“Mengapa kamu tidak pernah mengatakan semua itu?”
“Aku berharap dia akan berhenti setelah aku nikahi.”
“Dia tak akan berhenti. Melihat sikapnya, dia tetap berharap akan bisa memiliki kamu.”
“Aku akan tetap menceraikannya setelah anak itu lahir. Kamila, aku hanya mencintai kamu. Aku tak pernah menemui dia setelah menikahinya.”
“Tapi tadi dia bilang mau ketemu Mas, dia akan pergi ke kantor Mas.”
“Dia tak mungkin bisa masuk ke kantor. Satpam di depan tak akan mengijinkan dia masuk. Sejak awal sudah begitu. Semuanya sudah mengerti.”
Tapi Kamila tak begitu saja bisa menerima apa yang dikatakan Abi. Baginya, Juwita adalah korban, dan Abi tak pantas menyia-nyiakannya, apalagi ada darah daging Abi di rahimnya. Tentu dia bisa mengerti mengapa semua itu terjadi. Abi tak bisa menahan gejolak nafsu, dan Juwita yang terlalu genit mampu menjatuhkannya, kemudian melayaninya dengan suka rela. Siapa sih, yang tak suka pada bos ganteng yang sangat menawan ini? Banyak lah yang tergila-gila.
“Kamila, maafkan aku.”
Kamila tak menjawab. Wajahnya tetap saja kaku dan muram. Siapa sih, yang suka berbagi cinta? Pasti sakit sekali hatinya, walaupun sang suami mengatakan tak pernah mencintai dia. Membayangkan bagaimana kejadiannya saja Kamila sudah merinding dan merasa ngeri. Bagaimana sebuah nafsu bisa mengalahkan iman yang seharusnya dijaga agar hati tetap tegar dan teguh.
“Kamila,” Abi kembali menjatuhkan kepalanya di pangkuan Kamila.
Kamila ingin membiarkannya, tapi dia mendengar isak lirih dari pangkuannya. Hatinya merasa tercabik-cabik. Di satu sisi, dia menyesali perbuatan suaminya, di sisi lain dia sangat mencintainya.
“Aku mau pulang,” kata Mila pelan.
Abi mengangkat wajahnya yang basah.
“Mila, jangan begitu. Aku bisa mati tanpa kamu,” kata Abi menghiba.
“Selesaikan dulu urusan kamu dengan Juwita.”
“Tidak ada urusan lagi. Paling-paling dia minta uang, karena aku terlambat memberinya. Tolong Mila, sekarang aku lapar, apa kamu sudah menyiapkan makan untuk aku?”
Kamila akhirnya berdiri dan melayani suaminya makan. Tapi dia tetap membisu.
Kejadian yang baru saja didengarnya, tak cukup bisa mencairkan suasana hatinya dengan kata maaf dan penyesalan. Banyak yang harus dipikirkannya.
Hari itu Abi tidak kembali ke kantor. Ia sibuk menenangkan hati istrinya yang sangat terkejut melihat kedatangan Juwita dan mengakuannya.
***
Tapi keesokan harinya, Abi menemui Juwita di apartemen yang disewa Abi untuknya. Juwita menyambut kedatangan Abi dengan kegenitan yang selalu dibawanya di setiap sikap. Ia berharap Abi akan menginginkannya lagi seperti ketika di kantor Abi mengundangnya.
“Mas Abi, akhirnya kamu datang juga. Aku yakin Mas pasti kangen sama aku.”
Tapi wajah Abi sangat keruh. Ia menatap tajam Juwita dengan pandangan marah, lalu menepiskan tangan Juwita yang hendak bergayut di bahunya.
“Mengapa kamu mendatangi istri aku?”
“Mas, sudah lama aku tidak bertemu Mas.”
“Kita memang tidak harus bertemu. Peristuwa itu terjadi kerena kecelakaan, bukan karena aku suka sama kamu. Paham? Di dalam perjanjian kita, aku akan menceraikan kamu setelah setahun, itu artinya, aku tidak ingin menjadi suami kamu selamanya, walaupun aku tidak akan ingkar bahwa bayi yang kamu kandung adalah darah dagingku. Aku sudah berjanji akan mencukupi semua kebutuhannya, tapi sekali lagi ingat, bahwa aku tidak pernah mencintai kamu.”
Juwita terisak sambil bersimpuh di lantai.
“Uang bulanan sudah aku transfer seperti biasa. Dan ingat, jangan sekali pun menemui istri aku lagi,” kata Abi sambil membalikkan tubuh dan berlalu.
“Mas Abi, tinggallah walau hanya sebentar saja,” teriak Juwita memelas.
Penampilan Juwira yang seronok tak mampu menggoyahkan imannya, karena dia selalu ingat bahwa di rumahnya ada seorang istri yang menungguinya dengan penuh cinta, dan dicintainya dengan sepenuh jiwanya.
***
Raya sudah selesai menjalani ujian skripsi dan dinyatakan lulus. Pak Rahman dan istrinya sangat senang.
“Raya,” panggil ayahnya pada suatu sore.
Raya sedang bersiap pergi untuk menemui Damian ketika itu, terpaksa mendekati ayahnya.
“Kamu mau ke mana?”
“Keluar sebentar Pak.”
“Duduk dulu, bapak mau bicara.”
Raya duduk di hadapan ayah ibunya dengan hati berdebar, ia khawatir ayahnya bicara tentang ‘pacar’ lagi.
Tapi itu benar.
“Kapan kamu mengajak pacar kamu menemui bapak sama ibumu?”
Raya terdiam, bingung harus menjawab apa. Apakah dia akan menyebut nama Damian? Kasihan, Damian kan harus tahu, dan sudah pasti Damian akan menolak.
“Hei, bapak sedang bicara sama kamu.”
Raya mencoba tersenyum.
“Iya Pak, nanti. Sekarang Raya sedang ada perlu.”
“Menemui pacar kamu itu? Tidak pantas gadis nyamperin laki-laki.”
Wajah Raya memerah. Ia sudah sering melakukannya. Habis bagaimana, mana mungkin Damian mau nyamperin dirinya? Nggak ketemu dong kalau Raya menunggu tanpa ada ujungnya?
“Hanya sebentar, ke rumah teman,” tuh kan, akhirnya harus berbohong.
“Baiklah, keburu malam, cepat pulang,” sambung ibunya.
Raya segera berdiri dan beranjak pergi, dan tak lama kemudian pak Rahman melihat Raya sudah keluar dengan sepeda motornya.
“Heran aku, kenapa dia tak pernah mau membawa mobil?” tanya pak Rahman.
“Ibu juga heran, tapi katanya untuk menghindari macet. Kalau mobil kelamaan.”
“Benar juga. Tapi yang aku merasa heran lagi, kenapa dia sepertinya masih berat mengatakan siapa pacarnya itu,” tukas pak Rahman.
“Mungkin pacarnya itu belum bekerja, jadi masih takut ketemu orang tua Raya.”
“Apapun, kita kan harus tahu siapa dia, dan bagaimana orangnya. Masa berkenalan saja menunggu kalau sudah bekerja?”
“Nanti kita tanya lagi dia.”
Tiba-tiba ponsel bu Rahman berdering.
“Eh, Dari Kamila,” katanya riang, lalu membuka ponselnya.
“Mila, apa kabar?”
“Baik Bu, Ibu sama bapak sehat?”
“Alhamdulillah sehat.”
“Syokurlah. Sebenarnya Mila ingin bicara sama Raya, tapi ponselnya mati. Mana dia Bu?”
“Raya baru saja keluar. Mungkin karena di jalan, ponselnya dimatikan.”
“Ke mana dia?”
“Katanya ke rumah temannya, gitu. Tapi dia bilang nggak lama kok. Nanti telpon lagi saja. Bagaimana Abi?”
Sedang mandi Bu, baru pulang dari kantor.”
“Kalian baik-baik saja kan? Apa kamu bahagia?”
“Doakan Mila ya bu.”
“Tentu saja, ibu selalu berdoa untuk kebahagiaan kamu, juga adik kamu.”
“Aamiin. Ya sudah Bu, nanti saja Mila telpon lagi.”
“Apa ada pesan untuk adikmu? Nanti ibu sampaikan begitu dia datang.”
“Tidak ada, Mila hanya kangen saja.”
***
Raya memang sedang menunggu Damian yang mau pulang dari bengkel. Damian tersenyum ketika keluar dari tempat kerjanya, melihat Raya duduk di atas sepeda motornya.
Damian menuntun sepeda motornya, mendekat. Setiap kali bertemu hatinya selalu berdebar. Debar senang bercampur rasa khawatir yang selalu menghantuinya.
Raya mengajak Damian makan bakso kesukaannya di sebuah warung. Raya memancing Damian, apakah mau diajak bertemu orang tuanya. Tentu saja Damian terkejut.
“Jangan Non, mana saya berani.”
“Kamu selalu begitu.”
“Non, sejak awal saya sudah bilang, hentikan ini semua. Saya tak mungkin bisa, dan tak mungkin juga tuan Rahman dan nyonya mengijinkannya.”
“Kita belum mencobanya.”
“Tolong Non. Saya ini siapa?”
Mereka berpisah dengan kebingungan di hati Raya. Pasti nanti ayahnya mendesaknya lagi.
***
Pagi hari itu Raya berada di dapur, membantu bik Sarti mengupas kentang. Ia senang karena bik Sarti akan masak perkedel. Tapi sesungguhnya bukan membantu memasak itu yang utama. Raya ingin berkeluh tentang desakan ayahnya yang ingin tahu siapa pacarnya. Kalau semalam tidak sempat berbincang karena dia langsung masuk ke kamar dan pura-pura tidur, tapi sore nanti pasti ditanyakannya lagi, dan dia akan kehabisan kata-kata untuk menolak.
“Non, hati-hati, itu kentangnya sudah tinggal kecil karena Non mengupasnya terus.”
“Oh, iya Bik. Maaf.”
“Non sedang memikirkan apa?”
“Damian, Bik, aku ingin berterus terang pada bapak, tapi Damian tidak berani.”
Tapi saat itu Raya maupun bik Sarti tidak sadar, bahwa bu Rahkan sedang berdiri di tengah pintu dapur dan mendengar apa yang dikatakan Raya.
***
Besok lagi ya.
No comments:
Post a Comment