SEBUAH PESAN 30
(Tien Kumalasari)
Damian merasa, bahwa memang seperti yang diduganya, bahwa keluarga pak Rahman menganggapnya tidak berharga untuk mendampingi Raya. Memang, dikatakannya bahwa dia bisa mengerti tentang cinta putrinya, dan tidak akan menghalanginya, tapi syaratnya ada, yaitu dirinya harus kuliah dulu, agar sedikit ada kesetaraan kedudukannya dengan Raya. Paling tidak Raya pacaran dengan seseorang dengan status mahasiswa, bukan seorang tukang kebun. Damian tidak perlu merasa sakit hati, karena dia tahu bahwa sebagian besar orang kaya pasti punya pikiran semacam itu. Sehingga kalau ada yang bertanya, siapa menantu anda, maka jawabnya bukan mengatakan apa yang menjadi pekerjaannya, tapi statusnya di kampus, sebagai mahasiswa. Itu keren bukan?
Harusnya itu adalah hal baik. Disekolahkan, disediakan biayanya, untuk bisa mendampingi anak bungsunya. Damian tersenyum tipis.
“Bagaimana Dam? Aku serius, bagiku tidak masalah menyekolahkan kamu lagi, lalu setelah lulus nanti kamu bisa bekerja kantoran, bahkan bisa membantu pekerjaan aku. Kamu tidak usah ragu, kamu akan menjadi keluarga Rahman yang punya kedudukan, dan terhormat. Raya pasti senang mendengar kesanggupan kamu.”
Damian menatap ke arah halaman kecilnya, melihat cuaca semakin redup. Udara juga tak sepanas sebelumnya. Tapi Damian merasa gerah. Bukan karena dia punya uang banyak lalu meremehkan tawaran yang menggiurkan ini, tapi Damian merasa punya harga diri. Kalaupun dia tak punya uang seperti dulu pun, dia pasti menolak tawaran itu.
“Susah menjawabnya? Jangan khawatir, kamu tak perlu berhutang untuk itu. Aku memberikannya dengan tulus.”
Damian menatap pak Rahman sekilas, tapi kemudian dia menundukkan muka.
“Saya minta maaf Tuan.”
“Kamu tidak perlu minta maaf. Manusia memiliki garis hidup masing-masing. Jangan menyesali sebuah kemiskinan, seperti aku tidak bersorak karena aku punya segalanya. Kita anggap saja semuanya adalah wajar, dan lumrah.”
Kata-kata halus pak Rahman memang sama sekali tidak menunjukkan sebuah kesombongan, Tapi yang ditawarkannya adalah sebuah tuntutan.
“Sekali lagi saya minta maaf, Tuan. Saya harus berterima kasih atas perhatian Tuan yang begitu besar terhadap diri saya. Saya merasa tersanjung karena Tuan sangat mengerti bagaimana seorang miskin seperti saya membutuhkan kehidupan yang lebih layak. Tapi … maaf ….”
Pak Rahman agak kesal karena Damian berulang kali meminta maaf.
“Langsung saja kamu jawab. Setiap saat aku bersedia memenuhi keinginan kamu.”
“Maaf,” lagi-lagi maaf, membuat pak Rahman kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi, menunggu jawaban Damian sambil menatap langit-langit rumah beratap genting yang sudah bolong di sana-sini.
“Saya tidak bisa menerima tawaran Tuan.”
Pak Rahman menegakkan tubuhnya, seakan tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Ditatapnya Damian dengan pandangan tajam, menusuk.
“Saya adalah orang yang sederhana. Saya hanya ingin mencapai sesuatu yang bisa saya raih dengan tangan saya. Saya tidak ingin menyusahkan orang lain untuk memberikan kemudahan demi pencapaian itu. Kalau saya mampu, saya akan meraihnya, tapi kalau tidak mampu, saya akan meletakkannya. Biarlah hidup saya berjalan seperti apa adanya.”
Pak Rahman tertegun. Ia harus mengakui, Damian berhati teguh. Damian kuat menerima garis hidupnya walau miskin dan sengsara. Damian ingin berdiri diatas kakinya sendiri dan tak ingin orang lain menopangnya.
Mata tajam itu kemudian berisikan kekaguman. Iming-iming untuk bisa menjadi menantunya dengan mengharuskannya kuliah, dan menjanjikan sebuah kedudukan, sedikitpun tak menggoyahkan hatinya.
“Damian, kamu yakin dengan jawaban kamu?”
“Saya sangat yakin, Tuan, sekali lagi, maafkanlah saya.”
“Dengan resiko kamu tak bisa hidup bersama Raya?”
“Sejak awal saya sudah menyadari, bahwa saya hanyalah pungguk yang merindukan bulan. Saya tidak akan menyesalinya, walau harus kehilangan non Raya.”
“Tapi sesungguhnya kamu mencintainya kan?”
“Tuan tidak perlu menanyakannya lagi. Saya sudah menyiratkannya sejak awal percakapan kita.”
Pak Rahman kembali pulang dengan berbagai perasaan mengaduk-aduk hatinya. Ada rasa kagum, ada rasa kecewa, ada sesal kenapa putri bungsunya harus jatuh cinta kepada laki-laki seperti Damian. Memang sih, Damian itu ganteng, gagah, baik, dan baru saja pak Rahman menyadarinya bahwa Damian punya pendirian yang teguh. Tak ingin menyusahkan orang lain. Ingin meraih sesuatu dengan kekuatannya sendiri. Luar biasa si bekas tukang kebun ini.
***
Damian masuk kedalam kamarnya, dan berpikir tentang tawaran pak Rahman. Ia takut dikira sombong, tapi dia bukannya sombong. Sikap pak Rahman menunjukkan bahwa dirinya yang seperti ini memang tak pantas berdampingan dengan non Raya yang sangat dicintainya. Harus ada peningkatan status, tapi peningkatan yang dipaksakan. Ini membuatnya sedih. Tapi dia tak menyesalinya, walau resikonya adalah akan kehilangan Raya.
Ia masuk ke kamar mandi dan berwudhu, barangkali ia akan merasa lebih tenang setelah bersujud.
Ia sedang bersiap untuk makan malam, dari sisa lauk yang tadi dibelinya saat menemani Alex makan sebelum mengantarkannya ke bandara, ketika ponselnya berdering. Ia melihat, dari Raya. Hatinya menjadi sedih. Pasti pak Rahman sudah mengatakan bahwa dia tak mau menerima dan memaksa Raya melupakannya. Damian membiarkan ponsel itu berdering, karena tak sanggup mendengar keputusan keluarga Rahman yang akan dikatakan Raya.
Ia mengambil nasi dan lauknya, terus melahap makanannya, mengacuhkan dering bertubi-tubi yang tak ingin diangkatnya.
“Maaf Non, saya tidak berani mendengar berita buruk ini,” gumamnya pelan sambil terus makan, walau hatinya gundah.
***
Raya menutup wajahnya dengan bantal, menangis terisak-isak. Tak biasanya Damian menolak telponnya. Apa dia marah? Ia tak tahu bahwa ayahnya datang menemui Damian. Sehingga dia sebenarnya tak ingin membicarakan tentang kedatangan ayahnya. Mengapa ya Damian tidak mau mengangkat telponnya?
Sementara itu pak Rahman termenung di serampi teras, memikirkan penolakan Damian yang membuatnya sedikit kecewa. Tapi sesungguhnya dia memuji Damian yang tak tergiur oleh iming-iming yang dilontarkannya.
“Bapak sudah pulang?”
“Ya.”
“Sedang memikirkan sesuatu?” tanya sang istri ketika melihat suaminya seperti melamun.
“Aku dari rumah Damian.”
“Apa? Mengapa Bapak ke sana? Jadi, seperti rencana Bapak itu? Dia senang dong,” kata bu Rahman sinis, sambil duduk di depan suaminya.
“Dia menolak.”
“Apa? Bapak menawarkan untuk membeayai kuliah, dan dia menolak? Sombong sekali dia. Huh, apa mau lebih? Uang yang banyak … dan_”
“Tidak, dia tidak minta apapun. Dia hanya ingin hidup sederhana seperti dirinya sekarang ini. Dia tak ingin meraih cita-citanya dengan merepotkan orang lain.”
“Kasihan Raya. Kita sudah berusaha memenuhi permintaannya, dan menyekolahkan si tukang kebun itu, tapi ditolak? Aku yakin dia ingin lebih. Mungkin rumah yang bagus, kendaraan, atau apa?”
“Tidak, aku kan sudah bilang bahwa dia tak menginginkan apapun?”
“Dia menolak, begitu saja?”
“Ya. Aku kagum sama pendiriannya.”
“Dia itu sombong. Apa yang Bagak kagumi dari dia?”
“Dia tidak mau apapun. Mana mungkin mau lebih. Dia sudah bilang, dirinya adalah dirinya yang sekarang. Sederhana. Atau katakanlah miskin, tapi dia tak ingin lebih.”
“Bapak bilang dong sama Raya, hidupnya akan sengsara nanti.”
“Jangan begitu dong Bu, doakan yang baik-baik, untuk anak sendiri.”
“Kita ingin yang terbaik untuk anak kita, bukan Pak? Lalu kalau dia memilih sendiri, dan pilihannya salah?”
“Tampaknya kita tidak bisa menghentikan Raya.”
“Jadi … kita tetap akan menerima gembel itu?”
“Bu, namanya Damian, bukan gembel,” kesal pak Rahman.
“Ya Tuhan, bagaimana nanti kehidupan anakku ;;; “ keluh bu Rahman sedih.
“Sudah, tidak usah menyesali lagi. Bahwa kehidupan manusia itu sudah berada dalam garis takdirnya. Kita hanya bisa berserah dan mensyukuri semuanya,” kata pak Rahman yang sesungguhnya juga sedih.
“Tapi nanti Raya akan hidup kekurangan, aku tidak rela Pak.”
“Kita bisa membantunya. Sudahlah. Sekarang panggil Raya kemari.”
“Dia tidur, ibu baru saja menjenguk ke kamar. Wajahnya ditutup bantal.”
“Coba telpon ke Kamila, dia harus kita ajak bicara. Kalau memang Damian serius, dia harus segera melamar. Aku tidak suka anak-anak muda pacaran semaunya.”
Kamila yang sedang bersantai dengan suaminya, terkejut ketika mendengar dari ibunya, bahwa ayahnya mengijinkan Raya menikah dengan Damian.
“Benarkah Bu?”
“Itu keinginan ayah kamu. Ibu tidak. Ibu tetap tidak suka.”
“Bu, kalau bapak sudah mengijinkan, berarti sudah diperhitungkan semuanya masak-masak, mengapa ibu tetap tidak suka?”
“Kamila, kamu seperti tidak tahu saja. Damian itu siapa?”
“Damian laki-laki yang baik, dan Raya mencintainya. Saya kira ibu tidak boleh begitu. Restu ibu itu penting untuk kehidupan anaknya lhoh.”
“Jadi kamu setuju adikmu menikah sama dia?”
Pak Rahman yang mendengar istrinya bicara, segera mengambil ponselnya.
“Mila.”
“Bapak, saya sudah mendengar dari ibu.”
“Ibumu tidak suka, tapi apakah dia tega melihat anaknya menangis setiap hari? Dia bisa jatuh sakit lagi, dan itu akan membuat kita lebih susah, ya kan?”
“Raya bukan anak kecil. Pasti ada yang istimewa pada Damian sehingga dia bisa sangat mencintainya.”
“Itu benar. Damian hanya miskin. Tapi dia punya pribadi yang baik. Aku akan mempercayakan adikmu pada dia. Bagaimana menurut kamu?”
“Kalau itu memang yang terbaik, dan Bapak menyetujuinya, Mila akan mendukungnya.”
Baiklah, ini baru awal dari pembicaraan aku sama ibumu, nanti kita bicara lagi.”
“Kalau bisa, besok hari Minggu saya akan ajak mas Abi pulang kemari.”
“Syukurlah kalau bisa, jadi akan lebih jelas rencana-rencana yang akan kita bicarakan. Aku juga belum bicara sama Raya. Apalagi Damian. Tadi aku menemui dia, bermaksud menyekolahkannya, tapi dia menolak.”
“Ah, sayang sekali. Kenapa menolak?”
“Pastinya dia punya harga diri. Jelasnya nanti kita bicara kalau ketemu.”
Ketika pak Rahman mengakhiri pembicaraan itu, bu Rahman sudah tidak lagi berada di depannya.
***
Pagi-pagi sekali, Raya sudah tampak bersiap akan pergi. Pak Rahman dan bu Rahman yang sedang duduk sambil menghirup minuman pagi nya, segera memanggilnya. Pak Rahman melihat wajah Raya sembab, barangkali dia menangis semalaman.
“Raya, mau kemana,” tanya pak Rahman.
“Mau keluar sebentar,” jawabnya dengan hanya menghentikan langkahnya sebentar, tapi ketika ia mau melanjutkan langkahnya, sang ayah memanggilnya lagi.
“Tunggu sebentar Ray, bapak mau bicara.”
Raya sebenarnya ragu. Sesungguhnya ia ingin ke rumah Damian, dan tak ingin terlambat, keburu dia masuk kerja. Tapi melihat ayahnya seperti ingin bicara penting, ia terpaksa berhenti.
“Duduk di sini sebentar.”
“Kamu harusnya sarapan dulu kalau mau pergi,” tegur ibunya.
“Nanti saja.”
“Duduklah, bapak mau bicara.”
Raya duduk, wajahnya yang pucat tampak tegang.
“Bapak sudah memikirkannya masak-masak. Kalau kamu memang cinta sama Damian, dan Damian juga mencintai kamu, bapak minta agar Damian segera melamar kamu” kata pak Rahman langsung pada pokok pikiran.
Raya terhenyak. Seperti mimpi dia mendengar perkataan ayahnya. Dia menatap tak percaya.
“Kamu siap menjalani hidup sederhana seandainya sudah menjadi suami istri?”
Raya mengangguk, bulir air mata kembali terjatuh dari mata kuyu nya.
“Kamu siap tidak, hidup sengsara?” sambung ibunya tandas.
“Kalau kamu sudah mantap dan betul-betul mantap, temui dia dan katakan keinginan bapak ini. Bapak tidak suka anak-anak bapak pacaran terlalu lama. Kamu mengerti maksudku?”
Raya, lagi-lagi mengangguk.
“Sebenarnya kamu mau menemuinya, bukan?” kata pak Rahman.
Raya hanya mengangguk, tak bisa mengelak.
“Baiklah, rasanya bapak tidak usah berpanjang lebar lagi. Hal yang akan kamu jalani kalau kamu nekat menjalani hidup bersama Damian, sudah pernah kita bicarakan. Kamu akan risih mendengarnya. Dan sejatinya semua yang akan kamu jalani adalah pilihan hidup kamu. Bapak tak bisa apa-apa.”
“Terima kasih, Pak. Saya pergi dulu sekarang.”
Raya berdiri, mencium tangan ayah ibunya, yang semula tak dilakukannya karena nggak mau ditanya kemana dia akan pergi.
Pak Rahman menepuk bahu Raya, tapi bu Rahman menerimanya dengan acuh.
***
Damian sudah mengeluarkan sepeda motor bututnya, ketika melihat Raya memasuki halamannya dengan sepeda motor pula.
Damian berdebar. Ia menstandarkan sepeda motornya, lalu melangkah menyamburtnya.
Wajah Raya berseri, walau matanya tampak sebab. Ijin yang diberikan ayahnya telah memulihkan semangatnya, dan membuat matanya berbinar.
“Sudah mau berangkat ya?” tanya Raya sambil turun dari sepeda motornya.
“Iya sih, kok Non datang kemari pagi-pagi?”
“Aku boleh minta waktu kamu sebentar Dam?”
“Kalau begitu mari duduk dulu,” jawab Damian dengan hati berdebar.
“Nanti terlambat?”
“Saya akan minta ijin untuk datang terlambat, silakan duduk dulu.”
“Aku hanya ingin berkata singkat. Bapak mengijinkan kita hidup bersama.”
Damian terbelalak.
“Dam, aku sangat mencintai kamu, aku tak akan menikah kalau harus berpisah dari kamu.”
“Tapi Non, tadi_”
“Bapak minta agar kamu segera melamar aku.”
***
Besok lagi ya.
No comments:
Post a Comment