Thursday, January 25, 2024

Sebuah Pesan (33)

SEBUAH PESAN  33


(Tien Kumalasari)


 


Acara  lamaran itu akhirnya selesai. Ketika Damian berpamit pada Raya, ia mengatakan sesuatu dengan oelan, tapi ia yakin bahwa pak Rahman dan bu Rahman pasti mendengarnya.


“Non, maafkan saya, karena hanya bisa memberikan cincin imitasi yang tidak ada harganya Pada Non. Maaf ya Non.”


Raya menatap kekasihnya dengan mata berbinar.


“Dam, apapun yang kamu berikan untuk aku, adalah sangat berharga bagiku. Tak ternilai,” katanya yang dibalas dengan senyuman paling manis oleh Damian. Raya terpesona menatapnya. Alangkah tampan calon suaminya. Agak nekat Raya, ketika berlama-lama memandangnya, membuat Damian tersipu kemudian  beralih menyalami pak Rahman dan bu Rahman.


“Aku percayakan kelak anak bungsuku, untuk kamu jaga dan kamu cintai dengan sebanyak cinta yang kamu miliki.”


“Akan saya jaga seperti menjaga permata yang sangat berharga,” balas Damian sambil tersenyum, sementara bu Rahman justru membuang muka. Ia hanya mengangguk ketika Damian menyalaminya.


Kamila sangat senang melihat sang adik begitu bahagia. Ia bergerak sangat lincah dan begitu ramah menyalami keluarga Agus, yang belum pernah dikenal sebelumnya.


Tapi sikap bu Rahman yang tampak tak suka, kemudian menjadi perbincangan diantara Agus dan keluarganya, yang ikut mengantarkan Damian.


“Aku terkejut melihat sikap calon ibu mertua kamu Dam. Begitu kelihatan kalau dia merendahkan kamu,” kata Agus.


“Sudah lumrah kalau aku di rendahkan, karena aku kan memang orang rendahan.”


“Tapi tidak seharusnya dia mengucapkan kata-kata menghina yang didengar oleh banyak orang. Harusnya dia sungkan.”


“Ya, aku juga kaget tadi.”


“Tapi ayahnya sangat baik, dia menyalami kami dengan wajah ramah dan kata-kata yang hangat, seperti menyalami teman sejawat.”


“Hanya itu yang membesarkan hati aku, Gus.”


“Dan tentunya cinta sang putri kepada nak Damian, pastinya,” sambung ayah Agus.”


Damian tertawa.


“Sungguh beruntung nak Damian,” sambung ibunya. Pasti nanti akan ada pesta meriah diadakan oleh keluarga itu, soalnya nak Raya kan putri bungsu mereka yang akan dirayakan pernikahannya dengan pesta yang paling meriah,” kata ibu Agus menyambung kata-kata suaminya.


“Tidak Bu, non Raya sudah minta bahwa kami hanya akan menikah di KUA saja. Dan itu juga atas permintaan saya.”


“Apa mereka mau?”


“Kami sudah sepakat, pastinya mereka akan melakukannya sesuai permintaan kami berdua.”


“Ya sudah, kita doakan saja ya Pak, Bu, agar Damian berbahagia dengan pilihannya.”


“Aamiin,” kata ayah dan ibu Agus hampir bersamaan.


***


Melihat sikap ibunya yang belum juga luluh, walau ayahnya sudah dengan jelas merestuinya, Raya sangat sedih. Begitu tamu-tamunya pulang, ia segera menemui ibunya yang sudah masuk ke dalam kamar.


“Bu, maafkan Raya ya,” katanya sambil memeluk ibunya.


“Mengapa meminta maaf?”


“Raya telah mengecewakan Ibu. Ibu harus tahu, Raya sangat mencintai Damian, dan Raya yakin, Damian akan menjadi suami yang baik bagi Raya. Raya akan bahagis menjadi istrinya..”


Bu Rahman mendorong tubuh Raya pelan.


“Kamu tahu, bahwa seoramg ibu akan melakukan hal terbaik bagi anaknya? Kamu tahu, ibu sangat menghawatirkan kamu? Selama ini kamu hidup berkecukupan, tidak pernah kekurangan, apa yang kamu inginkan pasti kesampaian, lalu apa yang menunggu kamu setelah menikah nanti? Hidup seperti apa yang akan kamu hadapi? Apakah kamu pernah membayangkannya?”


“Raya sudah tahu apa yang akan Raya lakukan. Raya mengerti bahwa Raya tidak akan hidup berlimpah kesenangan seperti ketika hidup di dekat Ibu dan bapak, tapi Raya akan bahagia.”


“Raya, bahagia itu adalah apabila apa yang kita inginkan bisa kesampaian.”


“Dan Raya menginginkan Damian,” kata Raya sambil kembali memeluk ibunya.


Bu Rahman menampakkan wajah cemberut. Raya menjatuhkan tubuhnya di lantai, lalu menelungkupkan kepalanya di pangkuan sang ibu.


“Ibu, tolong restui Raya, ya Bu,” isaknya.


Tak urung hati bu Rahman runtuh.  Ia tidak mengatakan apapun lagi, tapi mengelus kepala anaknya.


“Tolong beri Raya restu Ibu.”


“Ibu ingin kamu benar-benar hidup senang,” akhirnya kata sang ibu.


“Raya berjanji, akan hidup senang dan bahagia,” kata Raya sambil berdiri, kemudian sekali lagi merangkul ibunya, lalu beranjak keluar dari kamar itu.


Bu Rahman tampak mengusap setetes air matanya yang kemudian runtuh.


“Aku tak ingin melihat kamu sengsara,” bisiknya sambil mengusap air matanya.


***


“Raya, aku mencari kamu ke mana-mana. Rupanya kamu dari kamar ibu,” kata Kamila yang tampaknya sudah bersiap akan pergi.


“Mbak kembali hari ini juga?”


“Sore ini kami harus kembali, karena mas Abi selalu berangkat ke kantor pagi-pagi. Aku tak ingin tergesa-gesa saat menyiapkan semuanya sebelum dia berangkat kerja.


“Istri yang baik,” puji Raya sambil memeluk kakaknya.


“Kamu juga harus bisa menjadi istri yang baik.”


“Akan aku lakukan.”


“Damian sangat tampan ya. Itu yang membuat kamu sangat mencintai dia?”


“Bukan hanya itu. Dia itu sangat baik, begitu santun dan menghormati aku. Dia juga tidak begitu saja menerima cinta aku. Aku harus menangis siang dan malam saat dia minta agar aku melupakan dia. Tapi aku tidak bisa. Semakin dia menyuruh aku pergi, semakin aku jatuh cinta,” kata Raya berterus terang.


Kamila tertawa.


"⁸Kamu tadi ngapain di kamar ibu? Ibu memarahi kamu?”


“Tidak. Aku yang mendatangi ibu, dan manangis di pangkuannya, mohon agar ibu merestui hubungan aku.”


“Dan ibu merestuinya? Kelihatan sekali bahwa ibu tidak suka sama Damian.”


”Ibu tidak mengatakan bahwa beliau merestui, tapi ibu akan mendoakan aku untuk kebahagiaan aku.”


“Semoga semakin hari, hati ibu akan semakin luluh. Yuk ke depan, mas Abi sudah menanti, tuh.”


“Aku akan mengantarkan Mbak dan mas Abi ke bandara.”


“Kamu kan jarang nyetir, biar kami naik taksi saja.”


“Eeh, jangan meremehkan Raya, ya. Walaupun jarang membawa mobil, tapi aku bisa nyetir dengan canggih, tahu.”


“Benar?”


“Ayolah, tunggu aku sebentar, aku akan mengambil kunci dan mengeluarkan mobil aku,” kata Raya yang memang sesungguhnya memiliki mobil sendiri walau jarang sekali dipakainya.


***


Setelah pulang dari rumah Raya itu, Damian tidak langsung pulang. Ia pergi ke rumah Agus, dan menanyakan apa saja yang diperlukan saat dia menikah nanti.


“Kamu hanya akan mengurus surat-surat di kelurahan kamu. Katakan bahwa kamu akan menikah, maka semua yang harus kamu selesaikan pasti mereka sudah memberi tahu.”


“Baiklah, aku mengerti. Lalu apa?”


“Apa kamu akan memberikan serah-serahan?”


“Apa tuh?”


“Biasanya laki-laki yang menikah akan membawa serah-serahan, yang berujud kain, baju, perhiasan, uang, dan sebagainya,”


Damian hampir mengatakan bahwa dia akan mampu menyiapkan semuanya, tapi diurungkannya. Ia tak ingin apa yang akan diberikannya hanya akan menimbulkan cibiran di hati keluarga pak Rahman, terlebih ibunya.


“Aku tidak akan membawa apapun, mana aku mampu? Apalagi hanya sebulan waktu yang diberikan tuan Rahman.”


“Ya sudah, tidak apa-apa. Aku kan hanya mengatakan kebiasaan yang terjadi, tapi kalau tidak mampu juga tidak apa-apa.”


“Aku kan juga harus menghemat uang aku, untuk keperluan aku kuliah nantinya.”


“Benar, itu bukan keharusan. Semua tergantung kemampuan.”


“Baik, lalu apa lagi?”


“Apa kamu juga tidak akan memberikan mas kawin?”


“Mas kawin itu apa saja?”


“Kalau mas kawin biasanya hanya seperangkat alat shalat.”


“Nah, itu saja, tidak begitu mahal kan?”


“Tidak mahal, paling hanya duaratusan ribu, cukup.”


“Syukurlah, lalu apa?”


“Itu sudah cukup, kalau kamu menanyakan selanjutnya apa, aku tidak bisa menjawabnya. Tapi mungkin kamu akan membawa istri kamu honey moon keluar negri?” canda Agus, membuat Damian terbahak-bahak.


 “Jangan mengejek dong Gus, kamu seperti tidak tahu siapa aku.”


“Maaf, aku hanya bercanda. Pokoknya aku senang, dan katakan saja kalau kamu butuh bantuan.”


“Iya, aku kan hanya hidup sendiri dan tidak punya siapa-siapa, jadi aku sangat berharap kamu bisa membantu aku.”


“Siap, katakan saja apa yang kamu perlukan.”


“Besok aku mau minta tolong orang untuk mengecat rumahku. Tidak mahal kan mengecat rumah?”


“Tidak mahal, tetanggaku ada, nanti aku bilang sama dia, kapan dia ada waktu untuk mengecat rumah kamu. Kamu siapkan saja catnya, atau biar besok pagi-pagi sebelum kamu berangkat kerja, dia datang ke rumah kamu dan melihat mana yang akan di cat.”


“Baiklah, terima kasih banyak ya Gus, semoga tidak butuh banyak, rumahku kan kecil. Aku hanya ingin agar rumahku tidak kusam.”


“Baner, masa rumah pengantin baru kok kusam? Tapi apa kamu akan langsung membawa istri kamu pulang ke rumah kamu?”


“Ya iya lah Gus, namanya istri ya harus dibawa pulang.”


“Siapa tahu, kamu diminta tinggal di rumah mertua kamu.”


“Enggak lah Gus, aku nggak mau. Kalau dia mau menjadi istri aku, ya harus mau tinggal di rumah aku.”


“Baiklah. Lakukan saja yang terbaik. Aku mendukung apapun keputusan kamu.”


***


Sore itu ketika bik Sarti menyiapkan minuman sore untuk majikannya, dilihatnya wajah sang nyonya masih tampak keruh. Ia heran, mengapa ia belum juga bisa menerima keadaan, sementara suaminya bisa.


“Bik, nggak ada pisang goreng?” tanya pak Rahman.


“Ada,Tuan, saya sedang menggorengnya.”


“Bagus, sudah lama aku tidak makan pisang goreng. Setiap hari roti … roti … roti melulu.”


“Kemarin kebetulan nyonya  membeli pisang untuk digoreng, ini tadi sudah sangat matang, pasti enak dan manis, Tuan,” kata bik Sarti sambil bergegas ke belakang, karena dia memang sedang menggoreng pisang.


“Kalau ada pisang, kenapa tadi tidak dihidangkan tamu-tamu yang datang, Bu?” tegur pak Rahman kepada sang istri, yang sejak tadi diam.


“Mereka itu kalau pisang pasti sudah sering makan. Itu sebabnya ibu beli bermacam roti untuk hidangan,”


“Ya jangan begitu, memangnya pisang tidak pantas untuk dihidangkan?”


“Orang kampung pasti lebih suka roti daripada pisang,” jawab bu Rahman sambil tersenyum sinis.


“Ibu itu jangan suka merendahkan orang lain. Apa bedanya orang kampung dengan orang gedongan? Mereka juga manusia, makanannya sama.”


“Beda dong Pak, masa sih, makanan orang kampung sama orang gedongan bisa sama?”


“Ibu selalu begitu deh. Hanya karena tidak suka sama Damian, jadi uring-uringan begitu. Restui dong anak ibu, agar hidupnya bahagia.”


“Aku sudah bilang, akan mendoakan Raya agar menemukan kehidupan yang layak dan baik.”


Ketika itu ponsel pak Rahman berdering, dari Kamila.


“MIla, sudah siap berangkat kamu?”


“Sudah Pak, Raya baru saja kembali. Mohon doa restu ya Pak, sama Ibu juga.”


“Ya, hati-hati Nak, jangan lupa kamu datang saat adik kamu menikah nanti.”


“Iya dong Pak, pasti. Masih sebulan lagi, kami akan mengatur waktunya.”


“Baiklah. Ibu mau bicara?” tanya pak Rahman kepada istrinya. Tapi bu Rahman menggeleng.


“Ibu juga akan terus mendoakan kamu, katanya,” kata pak Rahman untuk menyenangkan hati putrinya.


Ia menutup pembicaraan dengan Kamila, sambil menahan rasa kesal kepada sang istri.


***


Damian sampai di rumah, lalu melihat-lihat keadaan rumahnya, mana yang harus dibenahi. Ia melihat ada atap bocor dan cat yang mengelupas. Ia akan berusaha membuat rumahnya tampak bersih dan nyaman untuk dilihat. Biarlah rumahnya tetap seperti itu, bukankah Raya sudah tahu kalau calon suaminya hanyalah laki-laki miskin?

Tak begitu banyak ia mengeluarkan uang untuk membenahi rumahnya nanti. Lalu ia masuk ke dalam kamarnya. Kecil, tapi bersih. Kasurnya adalah kasur tua yang entah sudah berapa puluh tahun umurnya. Haruskah diganti dengan busa yang empuk untuk persiapan menikah nanti?


Damian tersenyum, membayangkan pengantin baru yang akan tidur di kamar sempit, lalu tidur berdesakan. Mengapa tidak? Bukankah tidur berdesakan akan lebih romantis? Tapi Damian tak ingin mengganti kasurnya dengan kasur busa. Raya pasti merasa aneh kalau tiba-tiba dirinya punya banyak uang. Kejutan cincin berlian yang calon ibu mertuanya menyebutnya imitasi saja sudah membuatnya gerah. Tidak usah diganti, biarlah begini. Raya harus tahu bahwa tidur di kasur yang tidak lagi empuk tetap akan terasa nikmat bagi pengantin baru.


Diam-diam Damian tersenyum, ketika membayangkan ulah Raya nanti kalau sudah berada di kamarnya yang sederhana ini..


Tiba-tiba ponsel Damian berdering, dengan sigap Damian mengangkatnya, karena dari Raya.


“Dam, aku membawa mobil, baru kembali dari mengantarkan mbak Mila dan mas Abi ke bandara. Aku ke rumahmu ya, setengah jam lagi aku sampai,” kata Raya yang tak sempat dijawabnya karena Raya segera menutupnya.


Damian bergegas ke kamar mandi. Ia belum sempat mandi sejak kepulangannya, lalu menunggu sang kekasih hati di teras.


Tapi satu jam sudah berlalu, dan Raya belum juga tampak batang hidungnya.


***


Besok lagi ya.

No comments:

Post a Comment

Arsip Post

Kau Tetap Ku Sayang

Kau Tetap Ku Sayang ~ Ali Assegaf  *Kau Tetap Kusayang* Evie Tamala Dinyanyikan oleh : *Ali Assegaf* (Nur Ali Muntari)   Bukan aku kejam Ata...