Sebuah pesan 36
(Tien Kumakasari)
Baru sekali ini Raya panik atas sakit yang dirasakannya. Ia masuk ke kamar mandi, untuk berkumur dan membersihkan mulutnya.
Ketika terdengar ketukan pintu, ia segera lari keluar, berharap ada seseorang yang bisa menolongnya. Dilihatnya Sari sudah berdiri di depan pintu yang memang tidak tertutuo.
“Raya? Kamu kenapa?” Sari berteriak ketika melihat Raya seperti terlihat panik.
“Ini, aku batuk.”
“Tapi wajah kamu kelihatan pucat?”
“Entahlah, eh … jangan dekat-dekat, nanti ketularan.”
“Memangnya kamu sakit apa?” Sari nekat mendekat.
“Siapa tahu aku sakit TBC. Itu kan menular.”
“Tidak. Kamu kelihatan segar. Jangan-jangan ada penyakit lain. Ayo aku antarkan ke dokter.”
“Aku sering merasa nyeri dada, nggak tahu kenapa.”
“Kamu nggak bilang sama mas Damian, agar dia membawa kamu ke dokter?”
"Jangan, nanti dia panik,”
“Ya sudah, aku akan memanggil taksi, aku antarkan kamu ke dokter,” kata Sari yang langsung mengambil ponselnya, dan memesan taksi online.
Raya masuk ke dalam rumah. Kali ini dia menurut. Ia tak tahu sakit apa. Baru beberapa hari ini terasa, dan dia tak berani mengatakannya kepada suaminya. Tapi kali ini dia merasa badannya sangat tidak enak.
Ia mengambil tas, lalu bergegas ke depan. Lalu mengunci pintunya. Ketika itu taksi yang dipesan Sari sudah datang. Sari segera menarik Raya masuk ke dalam taksi.
Sesampai di rumah sakit, Raya segera masuk ke ruang UGD, karena tubuhnya terasa lemas. Sari menunggu di luar, tapi kemudian dia merasa bahwa harus mengabari Damian. Ia membawa tas Raya, dan sebaiknya dia menelpon dengan ponsel Raya, supaya segera mendapat perhatian.
“Ada apa, Ray?”
“Ini aku, Sari.”
“Kamu? Ini kan nomor kontak Raya?”
“Raya ada di rumah sakit, cepatlah datang.”
“Apa? Kenapa dia?”
“Ketika aku ke rumah, dia terbatuk dan mengeluarkan darah. Tidak banyak sih, tapi Raya bilang dadanya sesak, akhir-akhir ini sering merasakannya.
“Apa? Di rumah sakit mana? Bagaimana keadaannya?” Damian tiba-tiba merasa panik. Begitu mendapatkan alamat rumah sakitnya, dia segera bergegas berangkat.
“Dam, tidak berganti baju dulu?” teriak Agus yang melihat Damian mengenakan pakaian bengkel. Tapi Damian sudah menaiki motornya dan memacunya pergi.
***
Sari masih duduk menunggu. Sebentar-sebentar menoleh ke arah depan, berharap Damian segera datang, Tapi jarak bengkel dan rumah sakit itu memag cukup jauh. Tiba-tiba ponsel Raya berdering lagi. Ada panggilan dari ‘ibu’. Itulah yang tertulis di layar. Sari mengangkatnya.
“Raya, apa kabar kamu? Kamu sendirian di rumah?” kata bu Rahman tanpa menunggu yang ditelpon menyapanya.
“Ini ibunya Raya?”
“Hei, kamu siapa? Aku menelpon Raya, mengapa kamu mengangkatnya?” kata bu Rahman gusar.
“Bu, saya Sari, tetangga sebelah. Saat ini Raya ada di rumah sakit.”
“Apa? Kenapa dia?”
“Tadi katanya dadanya terasa sesak, sekarang sedang diperiksa.”
“Apa? Mengapa sampai begitu? Bagaimana yang namanya Damian itu. Pasti udara di sana tidak sehat, sehingga anakku sesak napas. Suami macam apa dia itu, mengapa tidak bisa menjaga istrinya?”
Sari akan menutup ponselnya, karena telinganya mendengar omelan-omelan yang tidak enak didengar, tapi kemudian ibunya lagi-lagi berteriak.
“Rumah sakitnya di mana?”
Setelah mengatakan alamat rumah sakitnya, Sari segera menutup ponselnya.
“Itu ibunya Raya? Galak benar”
Sari merasa lega ketika Damian sudah kelihatan, dan bergegas mendekatinya.
“Mana istriku?” tanyanya panik.
“Masih diperiksa di dalam. Syukurlah kamu segera datang Mas, dia tampak ketakutan.”
Damian mendekati ruang UGD, tapi petugas melarangnya masuk. Jadi dia hanya mondar mandir saja di depan pintu.
Agak lama dia menunggu, sampai kemudian dokter memintanya untuk bertemu. Damian masuk, menemui dokternya.
“Kenapa istri saya?”
Dokter itu menatap laki-laki tampan di depannya, yang memakai pakaian belepotan oli. Pasti tampak aneh.
“Istri Anda harus diperiksa lebih lanjut. Tampaknya bukan batuk itu penyakitnya. Apa dia pernah terjatuh? Atau dadanya tertimpa sesuatu? Atau terbentur sesuatu?”
Damian ingat, beberapa minggu yang lalu Raya kcelakaan. Dia bilang dadanya sesak, tapi katanya tidak apa-apa, dan menolak ketika diajak ke dokter.
“Ya, Dokter, beberapa minggu yang lalu dia mengalami kecelakaan. Rupanya dadanya terbentur stir mobil.
“Saya mengira ada memar di jaringan di dalamnya. Sebaiknya menunggu pemeriksaan lebih lanjut.”
“Apakah itu berbahaya?”
“Sejauh ini tidak tampak ada bahaya, tapi butuh penanganan juga.”
“Saya boleh menemuinya?”
“Silakan, dia akan segera dibawa ke ruang rawat.”
Damian mendekati di mana istrinya berada.
“Raya, kamu kenapa?”
“Aku tadi terbatuk lagi, ada sedikit darah, aku agak panik, dadaku rasanya sesak. Baru itu aku merasa takut, karena sesungguhnya sudah lama aku merasakan nyeri.”
“Istri cantikku memang bandel ya. Lihat, aku terburu-buru berangkat, masih dengan pakaian penuh oli.”
Raya tersenyum tipis.
“Masih ganteng kok.”
“Bapak, ibu Raya akan segera dipindahkan ke ruang rawat.”
“Baiklah, pilihkan kamar terbaik untuknya,” pesan Damian.
“Dam, kamar biasa saja. Jangan yang mahal.”
“Jangan khawatir, aku punya sedikit tabungan,” kata Damian enteng, sambil meninggalkan istrinya.
Ketika sampai di pintu, ia bertemu dengan bu Rahman yang datang sendirian. Begitu melihat Damian, tangannya segera diangkat, lalu menuding ke arah hidung Damian.
“Ceraikan Raya!” katanya berapi-api, kedua tangannya berkacak pinggang, dihadapan Damian yang pakaiannya lusuh penuh oli.
“Ibu, saya sangat mencintai Raya.”
“Ceraikan, karena ada yang lebih pantas mendampinginya.”
Damian luruh ke lantai, saat itulah brankar yang membawa Raya sedang berjalan menuju pintu. Raya terkejut melihat Damian terduduk di lantai, di depan ibunya.
“Damian, kenapa?”
“Jangan mengharapkan dia lagi, aku minta dia menceraikan kamu. Lihat saja penampilannya, memalukan.”
“Tidak, Damian suami Raya. Damian akan tetap menjadi suami Raya,” pekik Raya. Dan keributan itu menarik bagi para perawat dan petugas yang ada.
“Berdiri Damian, aku hanya mau menjadi istri kamu.”
Bu Rahman mendelik kearah putrinya.
“Suster, bawa saya ke kamar yang sudah dipesan suami aku.”
Dan brankar itu terus berjalan, Damian mengiringinya dengan mata kuyu.
“Hei, jangan taruh anakku di kamar sembarangan. Berikan kamar terbaik untuknya,” pekik bu Rahman tak tahu malu walau menjadi perhatian banyak orang.
“Suami ibu Raya sudah memesan kamar terbaik untuk istrinya,” kata petugas yang mendorong brankar itu.
“Apa dia punya uang untuk membayarnya?”
Bu Rahman masih berkacak pinggang, sementara brankar itu terus berlalu. Ketika itulah tiba-tiba pak Rahman muncul.
“Bu, apa yang ibu lakukan?” kata pak Rahman sambil menurunkan kedua tangan istrinya.
“Anak kita sakit. Pasti karena udara di rumahnya kurang segar, pengap dan tidak sehat,” kata bu Rahman agak pelan.
“Sakit apa Raya?”
“Katanya sesak napas. Selamanya dia belum pernah sakit seperti itu,” omel bu Rahman yang tak mau berhenti, walau lebih pelan karena takut pada suaminya.
“Tunggu di sini, aku mau ketemu dokternya,” kata pak Rahman yang segera masuk ke ruangan untuk menemui dokter yang menangani.
Bu Rahman duduk di kursi tunggu. Pada perasaannya, Damian tak bisa menjaga istrinya. Dia akan memaksa sang suami agar Damian menceraikannya.
Tak lama kemudian pak Rahman keluar, mendekati sang istri dengan wajah kesal.
“Ibu jangan keterlaluan. Raya sakit bukan karena udara buruk. Dia kan pernah kecelakaan beberapa waktu yang lalu? Ada memar di dadanya. Dia tak mau diperiksa waktu itu walau dipaksa Damian.”
“Apa?”
“Ibu jangan keterlaluan. Sikap ibu dengan berkacak pinggang di tempat umum seperti tadi, sangat memalukan.”
Bu Rahman terdiam. Dia telah salah sangka. Tapi kebenciannya pada Damian belum juga surut.
“Di mana kamar Raya? Dia harus diperiksa lebih lanjut.”
“Damian sangat lancang memilihkan kamar terbaik untuk istrinya, memangnya dia punya uang? Beri tahu dia berapa harga sewa kamar terbaik di rumah sakit ini. Biar dia pingsan kalau mendengarnya,” katanya sambil mengikuti suaminya.
Di kamar itu, mereka melihat Damian sedang menunggui di samping istrinya. Memegangi tangannya dan menempelkannya pada pipinya.
“Lihat penampilannya Pak, pakaian lusuh belepotan oli, bisa-bisanya datang kemari, membuat kita malu bukan?”
Pak Rahman mendekati Raya dan Damian. Sambil tersenyum ditepuknya bahu Damian.
“Pasti kamu terburu-buru pergi karena mendengar istri kamu sakit, sehingga tidak sempat berganti baju. Ya kan?”
Damian meraih tangan mertuanya dengan penuh hormat, kemudian menciumnya.
“Maaf Pak, iya, memang benar. Saya begitu gugup ketika mendengar Raya dibawa ke rumah sakit, sehingga tidak memperhatikan pakaian saya,” kata Damian tersipu.
Damian juga mencium tangan ibu mertuanya, yang menerimanya dengan wajah masam.
“Aku sudah ketemu dokter, semoga nanti hasilnya baik, dan tidak membahayakan,” kata pak Rahman.
“Semoga baik-baik saja. Memang agak terlambat, karena Raya baru merasakannya sekarang, padahal sebenarnya sudah sering sesak napas.”
“Anak itu memang bandel. Susah dibawa ke dokter. Sekalinya mau diperiksa, sakitnya sudah parah.”
“Bapak tidak usah khawatir, Raya baik-baik saja.”
“Kamu memang selalu bilang begitu.”
“Dam, biarlah aku yang membayar biaya istri kamu nanti. Kamu tidak usah memikirkannya.”
Damian tersenyum sedih, ketika melirik ke arah ibu mertuanya. Wanita paruh baya yang sangat membencinya itu tampak mencibir. Pastilah dia tidak yakin kalau Damian mampu membayarnya.
“Raya, bagaimana kalau aku kembali dulu, setelah mandi aku akan kembali kemari,” kata Damian sambil memegangi tangan istrinya.
“Tapi cepat kemari ya, aku nggak mau sendirian.”
“Biar nanti bik Sarti menemani kamu,” sela ibunya.
“Tidak mau, aku mau Damian.”
“Baiklah, aku pergi dulu.”
Damian kembali menyalami dan mencium tangan kedua mertuanya, kemudian berlalu. Damian terkejut ketika seseorang memanggilnya.
“Mas Damian!”
Damian terkejut, rupanya Sari masih menungguinya di depan UGD.
“Sari, kamu masih di sini?”
“Iya, aku kan tadi datang bersama Raya. Maunya ikut ke ruang rawat, tapi takut mertua kamu, galak benar,” keluh Sari.
Damian tersenyum.
“Nggak apa-apa, jangan dipikirkan. Aku mau ke administrasi dulu sebentar, nanti pulangnya aku antar kamu, sekalian aku mau pulang dulu.”
“Baiklah,” kata Sari senang.
***
Ketika hanya ayah dan ibunya yang ada di dekatnya, Raya mengadu atas perlakuan ibunya kepada Damian.
“Ibu sangat menyakiti Damian, tiba-tiba bilang bahwa Damian harus menceraikan Raya.”
“Ibu jangan keterlaluan. Bagaimanapun Damian sudah menjadi menantu kita, berarti sudah menjadi keluarga kita,” tegur pak Rahman kepada istrinya. Memang pak Rahman sangat penyabar. Walau sangat kesal, dia selalu mengucapkan kekesalannya dengan halus.
“Ibu sangat panik. Tiba-tiba Raya sesak napas, dia selamanya belum pernah sakit sesak napas, ibu mengira rumah suaminya begitu pengap, udaranya tidak bersih. Jangan salahkan ibu dong, lumrah kan kalau orag tua mengkhawatirkan anaknya?” bu Rahman mencoba membela diri.
“Semua orang tua akan khawatir saat anaknya sakit, tapi Ibu selalu tidak bisa mengendalikan diri. Ibu lupa kalau ucapan Ibu itu menyakiti orang lain.”
Bu Rahman diam, tapi bibirnya merengut bak kerucut.
“Ya sudah, aku mau ke bagian administrasi dulu, biar aku nitip uang sekalian untuk semua pembiayaan nanti, supaya tidak menyusahkan Damian.”
"Dia pasti susah, sekarang dia sedang pulang untuk mencari pinjaman uang ke mana-mana demi membayar biaya rumah sakit. Lancang sekali, tiba-tiba pesan kamar terbaik, tanpa bilang sama kita,” kata bu Rahman lagi.
“Sssh, Ibu, sudah, jangan mengomel terus,” kata pak Rahman sambil menjauh.
Raya ingin mengatakan bahwa tadi Damian bilang punya tabungan, tapi diurungkannya. Menurutnya, lebih baik ayahnya yang membayar, supaya suaminya tidak terbebani dengan biayanya.
Bu Rahman duduk di samping Raya yang terbaring sambil memejamkan mata.
“Masih terasa sesak?”
“Tadi sudah disuntik, sudah berkurang,” jawabnya tanpa membuka matanya.
Beberapa saat lamanya, kemudian pak Rahman kembali dengan tergopoh-gopoh.
“Bagaimana Pak? Sudah Bapak bayar semuanya kan?”
“Saya baru mau menitipkan sejumlah uang, tapi petugas mengatakan bahwa suami Raya sudah lebih dulu menitipkan uang dalam jumlah banyak,” kata pak Rahman sambil duduk di sofa.
“Apa? Pasti terjadi kesalahan. Darimana dia mendapatkan banyak uang?”
“Aku sudah meminta petugas untuk meneliti lagi, dan memang benar Damian sudah membayarnya.
***
Besok lagi ya.
No comments:
Post a Comment