Friday, July 14, 2023
SEBUAH PESAN 43
SEBUAH PESAN 43
(Tien Kumalasari)
Raya mendekati meja itu, melihat setumpuk buku. Dengan heran dia mengamati buku-buku itu. Bukan buku sembarangan. Ia tahu bahwa itu adalah buku perkuliahan, semuanya tentang elektro. Apakah bekerja di bengkel harus mempelajari mesin atau apalah … dengan begitu rumitnya, sehingga harus mempelajarinya dengan buku sedemikian banyaknya? Atau jangan-jangan Damian kuliah? Beribu pertanyaan memenuhi benak Raya. Ia ingin menilpon suaminya, tapi diurungkannya. Takut mengganggu. Ia kembali menumpuk buku-buku itu seperti asalnya, kemudian beranjak keluar.
Ia pergi ke dapur, mengangkat sayur bening yang tadi dimasaknya, dan menatanya di atas meja makan. Setelah beberapa bulan menjadi istrinya, Raya tahu makanan apa yang disukai suaminya, karenanya ia selalu memasak sayur, tanpa santan. Entah sayur bayam dimasak bening, entah sayur asem, entah sup yang semuanya bening. Kalau lauk, Damian suka tempe goreng tepung, kalau habis gajian, Raya membelikannya ayam atau ikan, tapi selalu di goreng. Paling ditambah sambal. Raya tahu, dengan gaji yang tidak seberapa, dia harus bisa mengaturnya sehingga tidak kehabisan uang sampai gajian berikutnya. Hari ini dia sudah selesai memasak sayur bening, dan menggoreng tempe serta membuat sambal terasi.
Tapi siang ini, saat bersih-bersih dan memasuki kamar pak Timan, Raya menjadi memikirkan banyak hal. Mengapa dia dilarang masuk ke kamar itu, dengan alasan kamar almarhum ayahnya jangan sampai berubah, agar dia selalu bisa mengenang sang ayah. Alasan yang sebenarnya aneh, tapi diterima Raya, karena dirinya juga takut ada yang berubah kalau dia ikut bersih-bersih.
Lalu buku-buku itu apa? Hanya mempelajari sesuatu yang ada hubungannya dengan pekerjaannya? Tidak cukup belajar dari Agus yang sudah berpengalaman? Lalu kapankah Damian membawa buku-buku itu saat masuk ke rumah, mengapa dia tak pernah melihatnya? Apakah dia membawanya dengan diam-diam? Apakah buku-buku itu sudah lama berada di sana, jauh sebelum mereka menikah?
Raya melanjutkan bersih-bersih seisi rumah, setelah menutup kembali kamar ayah mertuanya.
Damian memang tak pernah makan siang di rumah, karena bengkel tempatnya bekerja cukup jauh dari rumahnya. Jadi kemudian setelah mandi, maka Raya duduk di ruang makan dan makan sendiri. Pikiran tentang buku-buku itu tetap masih menjadi teka-teki tak terjawabkan.
Tiba-tiba saat makan itu, ia mendengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Raya heran, karena itu suara sepeda motor butut suaminya. Ia meninggalkan piring yang baru diisinya sesendok nasi, kemudian beranjak ke arah depan.
“Dam, tumben pulang siang?”
“Iya, aku ingin makan di rumah.”
Damian turun dari sepeda motor dengan membawa keresek besar berisi kotak, entah apa isinya.
Ia mengulurkannya kepada sang istri.
Raya mencium tangan suaminya, lalu menerima bungkusan yang diberikannya.
“Ini apa? Baunya gurih.”
“Ayo kita buka di ruang makan. Hei, apa kamu sudah makan?” tanya Damian sambil merangkul istrinya.
“Baru mau makan. Syukurlah kamu pulang untuk makan,” kata Raya sambil membuka bungkusan dan kotaknya.
“Ayam goreng utuh?”
“Ya, kamu suka.”
“Dam, mengapa kamu membuang-buang uang untuk membeli ayam begini banyak? Aku memasak sayur bayam dan goreng tempe.”
“Aku suka tempe goreng buatan kamu,” kata Damian sambil tangannya mencomot tempe di atas piring. Tapi kemudian Raya memegangi tangannya.
“Cuci tangan dulu, sayang.”
Damian tertawa, lalu berlari kecil ke arah cucian piring, untuk mencuci tangannya, sementara Raya menyiapkan piring dan membubuhkan nasi untuk sang suami.
Damian sudah duduk di kursi makan, dan melanjutkan niatnya mencomot tempe.
“Lain kali jangan boros ya, kalau ingin ayam, bilang saja, nanti aku yang beli, secukupnya, biar aku memasaknya.”
Damian tersenyum. Wajah tampan itu selalu membuat Raya terpesona.
“Itu bukan aku yang beli. Dikasih teman.”
“Dikasih teman?”
“Eh, bukan teman, bos pemilik bengkel sedang ulang tahun, semuanya dikasih sekotak ayam goreng.”
“Oh. Ya? Baik sekali dia.”
“Ayo dimakan,” kata Damian sambil mengambil ayam goreng sepotong, ditaruh di piring istrinya. Sedih sebenarnya, mengingat Raya yang harus hidup sederhana, dan makan seadanya, sementara sebelumnya pasti selalu makan mewah yang tak akan terjangkau oleh orang biasa.
“Sabar ya Ray,” kata Damian tiba-tiba.
“Apa maksudnya? Aku selalu sabar. Tapi maaf, aku tadi tidak sengaja memasuki kamar bapak.”
Damian berhenti mengunyah makanannya. Menatap wajah sang istri, dan mempersiapkan jawaban kalau ada yang ditanyakan oleh istrinya.
“Maaf, soalnya aku melihat kamar itu sedikit terbuka, dan aku masuk ke dalam. Tapi kamu jangan khawatir, aku tidak merubah apapun. Kamar itu sudah bersih karena kamu selalu membersihkannya bukan? Semuanya tampak berkilau tanpa debu. Karenanya aku tidak merubah apapun, kecuali melihat-lihat buku-buku itu,” kata Raya dengan kata-kata yang tertata, berharap sang suami tidak marah atau menganggapnya lancang.
Damian terbatuk-batuk, lalu Raya mendekatkan gelas minumnya ke hadapan suaminya. Damian meneguknya dengan gelisah.
“Kamu membeli buku-buku itu untuk bisa benar-benar memahami pekerjaan kamu?” kata Raya, hati-hati.
“Maaf Raya, aku belum mengatakan semuanya sama kamu.”
Raya melihat wajah Damian yang tampak gelisah.
“Bukannya itu menunjukkan bahwa kamu ingin bisa menguasai pekerjaan kamu? Buku-buku itu kamu beli? Itu kan mahal? Lagi pula kapan kamu membelinya, aku kok tidak pernah melihat kamu pulang dengan membawa buku?”
Damian sedang berpikir, apakah sekarang saatnya dia berterus terang?
"Raya, nanti sepulang …. mmm … kerja, aku akan mengatakan semuanya. Sekarang aku harus segera kembali.”
Raya mengangguk, mencoba mengerti, walaupun pertanyaannya belum terjawab. Lalu dia melihat Damian makan dengan tergesa-gesa, sambil sesekali melihat jam tangan tua yang melingkar di pergelangan kirinya.
“Jangan tergesa-gesa, nanti tersedak.”
Damian tersenyum, lalu merangkul pundak istrinya, mencium pipinya dengan lembut.
“Maafkan aku ya.”
“Mengapa minta maaf?”
“Aku pergi dulu ya,” kata Damian sambil berdiri.
Sebelum keluar dia masuk ke kamar ayahnya untuk mengambil sesuatu, sementara Raya sedang membersihkan meja makan. Raya hanya menumpuk piring kotor, kemudian bergegas ke depan, mengantarkan sang suami sampai ke dekat motor. Raya meraih tangan suaminya, dan menciumnya.
Tiba-tiba Damian membungkukkan badan, berbisik ke telinga sang istri.
“Sesungguhnya, aku sudah mulai kuliah” katanya sambil menyentuh pipi sang istri dengan lembut.
Raya terhenyak, ia ngin mengucapkan sesuatu, tapi kemudian Damian berlalu setelah melambaikan tangannya ke arah sang istri.
Raya terpaku di tempatnya berdiri. Sekilas ucapan itu benar-benar membuatnya terpana. Sejak kapan suaminya kuliah? Mengapa tidak berterus terang saja sejak awal? Ada rasa kesal yang kemudian menyelimuti hatinya. Ia merasa sang suami menyembunyikan sesuati darinya. Ia merasa sang suami tidak mempercayainya.
Raya membersihkan meja makan, mencuci semua perabot kotor, kemudian masuk ke kamar dan membaringkan tubuhnya, dengan bermacam pikiran yang mengaduk aduk hatinya.
***
Damian berangkat kuliah, dan penyesalan mulai merasuki hatinya. Ia bermaksud membuat kejutan, tapi sudah terlanjur ketahuan.
Ia harus memikirkannya dengan cermat, dan mengatakan semuanya dengan hati-hati, agar supaya Raya tidak tersinggung. Ia ingat peringatan om Alex yang mengatakan kemungkinan Raya akan marah atau tersinggung kalau terlambat mengetahui semuanya. Tapi Damian belum punya waktu untuk mengatakan semuanya. Apa benar karena keasyikan tenggelam berpengantin baru, lalu tak sempat mengatakan apapun, bahkan sesuatu yang sangat penting sekalipun?
Damian merasa dirinya terlalu lugu, atau bodoh? Dalam menghadapi kelas kuliah, pikirannya terus tertuju kepada istrinya yang ada di rumah. Lalu ia mengirimkan pesan singkat, dengan emoticon cinta berderet-deret.
“Raya, sedang apa saat ini?”
Pertanyaan konyol. Selama bekerja dia belum pernah bertanya seperti itu. Bahkan ia menganggap hal itu seperti kekanak-kanakan.
Damian menatap layar ponselnya, hanya centang satu. Berarti ponsel Raya tidak aktif. Ia mencoba menelpon, sama saja, tak diangkat. Seperti remaja yang sedang jatuh cinta, Damian gelisah sendiri.
Saat jeda jam kuliah, Damian duduk di bawah sebuah pohon, mencoba menelpon berkali-kali, tetap tak diangkat.
Ia berdiri, dan bermaksud pulang saja, ketika seseorang tiba-tiba bergayut di lengannya.
“Damian, mau ke mana?”
Damian melepaskan tangan seorang gadis yang tadi menggayutinya.
“Dam, kamu mau kemana? Dari tadi kamu tampak gelisah. Makan gado-gado yuk, di kantin. Aku agak lapar.”
“Maaf, aku mau pulang.”
“Kok pulang? Kan belum selesai? Ini masih siang.”
Gadis itu melangkah ke depan Damian, menatapnya dengan kagum. Dia teman kuliah bernama Hanna. Sudah sejak awal Hanna tertarik sama Damian, dan selalu berusaha mendekatinya. Hanna memang cantik, wajahnya oval, hidungnya mancung, bibirnya tipis, dan matanya berbinar bagai sepasang mata bintang. Tapi tidak, bagi Damian, mata itu terlalu genit, selalu minta diperhatikan, manja. Hal yang Damian tidak suka. Lagi pula siapa yang bisa mengalahkan rasa cintanya kepada Raya? Raya adalah segala-galanya, dan tak ada duanya.
Damian melangkah kesamping Hanna, mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Dam, kenapa pulang? Ayuk makan dulu.”
“Tidak. Maaf, istriku sedang menunggu,” katanya sambil melangkah menjauh.
“Apa? Kamu sudah punya istri?” teriak Hanna, yang tak diacuhkan oleh Damian.
Ia menghampiri motornya, lalu kabur pulang. Ia harus menyelesaikan semua masalah kepada sang istri, agar hidupnya tenang.
***
Raya memang mematikan ponselnya. Ia tak ingin diganggu, berharap bisa tidur dengan nyaman. Tapi tiba-tiba terdengar ketukan di pintu depan. Dengan malas Raya bangun, dan merapikan rambutnya, lalu bergegas ke arah depan.
Raya terkejut, ketika membuka pintu, melihat bik Sarti berdiri menunggu.
“Bik Sarti?”
“Non tidur ya?”
“Iya Bik. Bibik sama siapa?”
“Diantar sopir. Ini, disuruh nyonya membawakan lauk untuk Non,” kata bibik sambil menunjukkan rantang bersusun tiga.
“Oh, mengapa repot-repot Bik, aku sudah masak tadi.”
“Saya bawa masuk ya Non?”
“Ayo BIk,” kata Raya sambil mengajak bik Sarti mengikutinya.
Bik Sarti mengamati rumah Damian dan isinya. Memang tampak memprihatinkan. Tentu saja. Bik Sarti membandingkannya dengan rumah keluarga Rahman yang mewah luar biasa.
“Inilah rumahku Bik,” katanya sambil membawa bik Sarti ke ruang makan, di mana kemudian bik Sarti meletakkan rantangnya, dan meletakkannya satu per satu di atas meja.
“Aku tadi sudah masak Bik.”
“Memangnya Non masak apa?”
“Masak sayur bayam, sama menggoreng tempe, dan sambal terasi,” kata Raya bangga. Ia berharap bik Sarti kagum mendengar dia melakukan semuanya, tapi justru bik Sarti menatapnya dengan iba. Non cantik yang hidup dengan segala kemewahan, sekarang mengatur rumah dan memasak sendiri, bahkan dengan masakan yang begitu sederhana.
“Bukankah aku hebat Bik?” kata Raya yang sebenarnya menunggu bik Sarti memujinya.
Bik Sarti tersenyum.
“Non Raya sungguh luar biasa. Benar, sangat hebat.”
Raya tersenyum senang.
“Dari mana Non belajar memasak?”
“Belajar dari buku, dan kata mas Damian, masakanku enak lho Bik.”
Bik Sarti menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tersenyum, menampakkan kekaguman.
“Non bahagia?”
“Tentu saja aku bahagia. Sangat bahagia. Sebenarnya Bibik tidak usah mengirimi aku seperti ini, aku tidak mau keluarga orang tuaku memikirkan aku, dan menganggap kami tidak mampu. Semua ini membuat aku merasa cukup. Suami aku tidak memberi aku harta berlimpah, tapi mencurahkan cintanya seluas dan sedalam samudra.”
Bik Sarti memeluk Raya dengan linangan air mata.
“Bibik akan bahagia, kalau Non juga bahagia. Alangkah indahnya, cinta seluas dan sedalam samudra.”
Raya tersenyum.
“Ini Bibik masak apa?”
“Kesukaan Non, sup ayam, goreng ikan dan perkedel.”
“Berjanjilah Bik, ini terakhir kalinya Bibik mengirimkan makanan. Aku tidak ingin suami aku tersinggung.”
“Baiklah Non, Bibik mengerti.”
***
Raya baru saja mau menutup pintunya kembali, setelah bik Sarti pergi, ketika mendengar suara motor suaminya.
Raya kembali membukanya, tapi Damian tak menemukan senyuman sang istri ketika menyambutnya seperti biasa. Hati Damian tercekat. Tapi ia berusaha untuk tenang. Ia turun dari sepeda motor dan mendekati sang istri yang terpaku di teras. Memeluknya, bahkan mengangkatnya masuk ke dalam rumah.
“Daaam, lepaskan,” Raya meronta, tidak membiarkannya seperti biasa. Tapi mana mau Damian melepaskannya?
Damian membaringkan istrinya di ranjang.
“Ternyata kamu menyembunyikan buku-buku dibalik baju kamu?” kata Raya tiba-tiba, membuat Damian langsung memegangi dadanya.
***
Besok lagi ya
at July 14, 2023
Share
No comments:
Post a Comment