SEBUAH PESAN 45
(Tien Kumalasari)
Bu Rahman menyimpan undangan itu di dalam tasnya, lalu bersiap menelpon Raya. Tapi kemudian terdengar mobil suaminya memasuki halaman. Bu Rahman bergegas ke depan dan menyambut sang suami.
“Bapak sudah pulang?” sambutnya.
“Iya, tidak begitu banyak pekerjaan hari ini.”
Bu Rahman mengambil tas kerja suaminya, lalu mengiringinya masuk ke dalam rumah.
“Satpam bilang, tadi ada tamu, siapa Bu?”
“Tamu? Oh, iya … temannya Raya. Hanna.”
“O, dia. Sudah lama tidak ketemu dia.”
“Dia pindah ke Jakarta, mengikuti ayahnya, tapi tidak kerasan, lalu kembali kemari untuk kuliah lagi.”
“Dia mencari Raya? Pasti belum mendengar kalau Raya sudah menikah.”
“Benar, belum mendengar. Dia kemari hanya untuk memberikan undangan ulang tahunnya, sepertinya besok Minggu.”
“Kenapa tidak di suruh ke rumah Raya saja? Raya pasti senang ketemu sahabatnya.”
“Tidak. Pasti Raya malu menerima temannya di rumah.”
“Mengapa malu?”
“Ya malu dong Pak, rumah Raya sekarang seperti apa, pasti Hanna tidak mengira keadaan Raya sekarang ini.”
“Ibu kok gitu. Bapak kira dia tidak akan malu, kan kehidupan seperti apapun bentuknya, semua sudah menjadi niatnya.”
“Ah, biarkan saja. Lagi pula Hanna kelihatan tergesa-gesa, katanya capek baru pulang dari kuliah. Jadi undangannya ibu terima saja, lalu ibu akan mengabari Raya, biar Raya mengambilnya kemari.”
Pak Rahman tak begitu suka mendengar pendapat istrinya. Dari hari ke hari, belum kelihatan juga bahwa hati istrinya mulai luluh. Tapi ia tak mengatakan apapun. Segera masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri.
Bik Sarti keluar membawa dua gelas coklat panas, diletakkannya di meja ruang tengah.
“Bagus, kamu sudah tahu kalau bapak datang, Sarti.”
“Iya Nyonya, saya mendengar suaranya saat bicara dengan Nyonya.”
“Ya sudah, apa cemilan sore ini?”
“Saya menggoreng singkong, Nyonya, empuk sekali.”
“Aduh, kenapa singkong?”
“Tuan tadi pagi pesan sama Sarti, katanya ingin makan goreng singkong.”
Di almari masih ada roti, keluarkan juga rotinya, aku kurang suka singkong, sering keras dan tidak enak.”
“Ini tidak keras, Nyonya. Empuk dan saya bumbui, gurih sekali. Sebentar saya ambilkan,” kata bik Sarti yang kemudian beranjak ke belakang.
“Bawa rotinya sekalian,” titahnya.
“Baik,” jawab bik Sarti dari arah dapur.
Pak Rahman sudah keluar dari kamar dengan berganti pakaian rumah.
“Bapak tidak mandi sekalian?”
“Nanti saja, aku mendengar Sarti menggoreng singkong.”
“Bapak pesan tadi pagi?”
“Iya, benar, syukurlah Sarti tidak lupa,” katanya sambil duduk, lalu menghirup coklat susunya dengan nikmat.
Bik Sarti keluar dengan membawa nampan berisi singkong goreng dan bika ambon kesukaan nyonya majikannya.
“Naa, ini dia. Sudah lama kamu tidak menggoreng singkong, Sarti.”
“Iya Tuan. Soalnya nyonya kurang suka.”
“Hmh, ini Bu, kenapa kurang suka. Enak, empuk, hangat, gurih,” kata pak Rahman sambil mencomot singkong gorengnya.
“Nih, Ibu harus mencobanya,” katanya lagi sambil memotong sedikit singkongnya lalu diangsurkan ke mulut istrinya.
“Enak kan?”
Bu Rahman mengunyahnya, tak ada keluhan. Tetapi ia mengunyahnya sampai habis.
***
Pagi hari itu Damian dan Raya sarapan dengan wajah berseri. Damian merasa lega karena kemarahan Raya tidak berkepanjangan. Pagi ini dia sudah bersikap manis, dan melayaninya sarapan dengan manis pula. Mereka makan dengan ayam goreng sisa kemarin, yang dihangatkan lagi oleh Raya.
“Ini ayamnya masih enak ya.”
“Iya, makanya aku hidangkan lagi untuk sarapan. Tadinya aku khawatir kamu tidak suka.”
“Ah, enak kok, kenapa tidak suka? Masih empuk.”
“Aku hanya memanasinya sebentar, jadi tidak terlalu kering. Kalau sangat kering, keras jadinya.”
“Anak pintar,” katanya sambil mengelus kepala sang istri.
Raya tersenyum senang.
“Ray, kamu kan sudah tahu, keadaan aku sebenarnya seperti apa. Apa kamu ingin sesuatu?"
“Ingin apa maksudnya?”
“Mungkin ingin agar rumah ini direnovasi, supaya kamu bisa tinggal lebih nyaman?”
“Apa? Mengapa harus di renovasi. Biarlah semua seperti semula. Bukankah kamu lebih suka mengenang almarhum Bapak dengan rumah ini?”
“Kalau kamu ingin, akan aku lakukan.”
“Tidak, Dam. Sungguh aku bahagia dengan yang sudah ada. Dengan adanya kamu punya uang, janganlah semua menjadi berubah. Biarlah begini.”
“Aku bangga punya kamu. Dan kamu tahu, jawaban kamu membuat aku semakin mencintai kamu,” Damian merangkul Istrinya dengan penuh kasih sayang.
“Pagi-pagi sudah ngegombal nih?”
“Itu benar, bukan ngegombal.”
“Ya sudah, ini sudah siang, nanti kamu terlambat, dipotong gaji bagaimana? Nanti jatahku berkurang dong,” canda Raya, disambut tawa Damian yang berderai.
“Kamu pinter ya. Baiklah, aku senang kamu mau agar semuanya dibiarkan seperti semula. Dan yang harus kamu ingat, bahwa masalah uang itu hanya aku dan kamu saja yang mengetahuinya.”
“Tentu, aku tahu,” kata Raya sambil berdiri, lalu mengikuti suaminya sampai ke halaman. Seperti biasa, mencium tangannya sebelum berangkat, dibalas ciuman mesra pada keningnya.
***
Raya sedang membersihkan ruang makan dan dapur, ketika ponselnya berdering. Dari sang ibu. Bukannya Raya tak suka, tapi ia enggan mendengar suara ibunya yang menyinyiri suaminya.
“Ya Ibu,” sapa Raya.
“Raya, kamu lagi ngapain?”
“Sedang mencuci piring Bu, ada apa?”
“Ya ampun Raya, betapa beratnya pekerjaan kamu.”
“Mengapa ibu berkata begitu? Bukankah ini sudah menjadi tugas seorang istri?”
“Huh, ibu juga seorang istri, tapi ibu tidak bekerja terlalu berat.”
“Ini juga tidak berat bagi Raya,” jawab Raya kurang senang.
“Ray, pokoknya ibu prihatin sama kamu.”
“Apakah Ibu menelpon hanya untuk mengatakan itu?”
“Kamu ingat Hanna, teman SMA kamu?”
“Ya, tentu saja ingat. Tapi dia tinggal di Jakarta kan?”
“Tidak, sekarang dia tinggal di sini, katanya kuliah lagi di sini.”
“Baru kuliah lagi? Ngapain selama ini?”
“Dia ikut ayahnya di Jakarta, tapi tidak kerasan, sehingga dia kembali lagi ke kota ini. Sudah berbulan-bulan katanya.”
“Ibu ketemu di mana?”
“Dia datang ke rumah, untuk memberikan undangan. Dia ulang tahun, besok Minggu. Undangannya ada di ibu, ambillah.”
“Minggu jam berapa?”
“Entahlah, baca sendiri nanti, ibu tidak membacanya. Kamu bisa kan mengambilnya ke rumah?”
“Iya Bu, Raya selesaikan dulu pekerjaan Raya.”
“Atau kamu biar dijemput sopir?”
“Tidak usah Bu, Raya mau ke situ saja. Sebentar lagi ya Bu.”
“Cepatlah, ibu tunggu.”
***
Raya mengayuh sepeda suaminya, menuju ke rumah orang tuanya. Rupanya bu Rahman sudah menunggu di teras. Mata bu Rahman melotot melihat Raya naik sepeda butut suaminya.
Begitu Raya naik ke atas teras, bu Rahman langsung menyemprotnya.
“Ya ampun Raya, mengapa kamu naik sepeda rongsok seperti itu?”
“Itu bukan sepeda rongsok Bu, sepeda yang dulu dipakai Damian untuk bekerja sebelum dia bekerja di bengkel.
“Di sini kan kamu punya sepeda? Kamu juga punya mobil, kenapa tidak kamu bawa saja semuanya, sehingga kalau ke mana-mana, kamu bisa berkendara dengan lebih pantas,” omel sang ibu..
“Tidak usah Bu, biar di sini saja. Mana undangan Hanna?” katanya sambil duduk di depan ibunya.
“Ini, sudah ibu siapkan,” katanya sambil mengulurkan amplop undangan ke arah Raya.
“Ya sudah Bu, ini Raya bawa. Sekarang Raya pamit ya.”m
“Hei, mengapa buru-buru? Biar Sarti membuat coklat susu untuk kamu. Ada kue-kue yang bisa kamu bawa juga.”
“Raya sekarang tidak minum coklat susu. Lagi pula Raya harus segera pulang. Pekerjaan Raya belum selesai.”
“Raya, kamu itu keterlaluan ya. Diberi lauk kemarin itu, kamu pesan agar tidak lagi mengirim lauk. Mau diberi minuman, menolak, ada kue-kue yang sudah disiapkan Sarti, mau menolak juga? Kamu tahu tidak bahwa kelakuan kamu itu sangat menyakitkan ibu?” kata bu Rahman dengan nada tinggi.
“Baiklah Bu, mana kue-kuenya, biar Raya bawa,” kata Raya untuk meredam kemarahan sang ibu.
“Ke belakang sana, apa kamu juga tidak ingin menemui Sarti?”
“Baik, Raya akan ke belakang.”
Tapi sebelum Raya melangkah, bik Sarti sudah keluar membawa nampan berisi segelas coklat susu dan sebungkus kue-kue yang sudah ditempatkan di kotak kue dengan rapi.
“Ini untuk Non,” kata bik Sarti sambil membawa nampan itu ke depan, meletakkan gelas dan kotak kue itu dengan hati-hati.
“Terima kasih Bik, tapi setelah ini, aku mau langsung pulang,” katanya sambil menghirup coklat susunya.
“Hm, enak. Kangen coklat susu buatan Bibik," kata Raya.
“Kue-kue ini tadi, bibik beli di pasar, ini jajanan kesukaan Non Raya. Ibu yang menyuruh bibik membelinya.
:Iya Bik, terima kasih banyak ya.”
Raya meraih kotak kue, dimasukkan ke dalam keresek yang sudah disediakan bik Sarti.
“Ada pesan Hanna ketika memberikan undangan ini Ray. Undangan ini hanya untuk para gadis. Tidak ada cowoknya.”
“Haa? Masa sih, undangan khusus cewek?”
“Iya, Hanna wanti-wanti pesan seperti itu. Jadi lebih baik kamu tidak mengecewakannya nanti.”
Raya tak menjawab. Ia megambil keresek berisi kotak kue, lalu berdiri, dan mencium tangan ibunya.
"Raya pamit dulu ya Bu, pekerjaan Raya belum selesai."
Bu Rahman tak menjawab. Wajahnya muram dan semakin muram ketika melihat Raya mengayuh kembali sepeda butut suaminya.
***
Raya sampai di rumah, lalu membuka undangan yang diberikan Hanna melalui ibunya. Ia membacanya, tapi tak ada pesan bahwa yang boleh datang hanya cewek. Mana mungkin dia datang sendiri, malam pula. Karena penasaran Raya menelpon Hanna. Ada nomor kontak di undangan itu, untunglah, karena sejak ponselnya hilang saat kecelakaan, dia memiliki ponsel baru dan semua nomor kontak hilang lenyap.
“Hallo, ini siapa?” jawab Hanna dari seberang.
“Hanna, aku Raya.”
“Raya? Ya ampun Ray, aku menelpon kamu kok nggak bisa, ternyata nomormu ganti, yang ini ya?” Hanna berteriak.
“Iya. Aku ganti ponsel, ganti nomor. Bisa menelpon kamu juga karena undangan kamu ada nomor kontak kamu.”
“Kamu sudah menerimanya? Syukurlah. Kamu datang sama suami kamu ya? Kamu menikah nggak mengundang aku sih, jadinya aku nggak tahu kalau kamu sudah menikah.”
“Ibu sudah memberi tahu ya? Kami menikah hanya di KUA saja, tidak mengundang siapapun,” kata Raya yang kemudian mengetahui kalau ibunya berbohong. Buktinya Hanna minta agar dia datang bersama suaminya.
“Seperti apa suami kamu? Aku ingin kenal.”
“Nanti kalau kami datang, kamu juga pasti kenal. Ya kan?”
“Baiklah, awas ya, jangan sampai tidak datang. Maaf aku terburu-buru, karena harus berangkat kuliah. Oh ya, pacarku teman kuliah aku, nanti kamu juga aku kenalin deh, sama dia.”
“Baiklah.”
***
Siang hari itu kebetulan Damian pulang lebih dulu untuk makan siang di rumah, karena masih ada waktu sebelum jam kuliah dimulai.
Saat makan itu, Raya menceritakan tentang temannya yang mengundang mereka besok Minggu.
“Kalau kamu mau datang datang saja.”
“Sama kamu dong, masa aku sendiri?”
“Baiklah, terserah kamu saja. Apa kamu ingin membeli baju untuk datang ke pesta itu?”
“Tidak Dam, aku masih punya baju yang bagus, mengapa harus beli? Kita harus hemat, gajian masih setengah bulan lagi, ya kan?”
Damian terkekeh geli. Raya masih tetap bersikap biasa, tak menampakkan sesuatu yang membuatnya banyak keinginan, walau tahu bahwa dia punya uang untuk memenuhi keinginannya.
“Benar, nggak ingin?”
“Nggak ingin, nanti kamu pakai hem batik saja. Kamu juga masih punya kan?”
“Baiklah, cantik. Tapi aku buru-buru ya, makan sambil ngobrol, takut terlambat kuliah nih.”
“Iya, cepatlah berangkat agar jangan terlambat.
***
Ditempat kuliah, Damian sudah bisa konsentrasi dengan mata kuliah yang diterimanya. Tidak seperti kemarin, karena memikirkan sikap sang istri yang membuatnya gelisah.
Jam kuliah sudah usaiv, lalu Damian beranjak ke tempat parkiran sepeda motor. Tiba-tiba sebuah tangan menggayutinya, membuat Damian sebel, karena is tahu siapa yang selalu melakukannya.
“Jangan begini dong Han, nggak bagus dilihat orang.”
“Dam, aku tuh hanya ingin mengundang kamu.”
“Mengundang apa?”
“Besok Minggu ada pesta di rumah aku. Aku ulang tahun. Kamu datang ya?”
“Minggu ini? Maaf Hanna, hari MInggu ini aku juga ada undangan bersama istri aku.”
“Huh, kamu tuh berkali-kali bilang istri … istri … tapi aku nggak percaya lhoh, Sungguh.”
“Ya sudah kalau nggak percaya,” kata Damian sambil ngeloyor pergi, membuat Hanna kemudian membanting-banting kakinya.
***
Besok lagi ya.
No comments:
Post a Comment