SEBUAH PESAN 51
(Tien Kumalasari)
“MBak Rosa sama Hanna juga?”
“Iya, kebetulan lagi pengin pulang ke sini, semalam nginap di rumah aku, lalu aku ajak dia kemari. Mana kakak kamu?”
“Tadi lagi mandi, ini anaknya aku gendong,” kata Raya yang segera berdiri.
Hanna menyalami Raya.
“Lama tidak bertemu Ray.”
“Iya. Ayo masuklah.”
“Damian, senang bertemu kamu di sini,” kata Hanna sambil menjabat tangan Damian, lalu meremasnya keras sekali. Damian ingin mengibaskannya, merasa kesal karena kelakuan Hanna..
“Silakan masuk," kata Damian yang lebih dulu masuk ke dalam.
“Mbak, ada tamu tuh,” kata Damian yang langsung masuk ke kamarnya.
Raya mengikutinya, setelah mempersilakan tamunya untuk duduk di ruang tamu.
Sebelum Kamila keluar, Hanna berbisik di telinga kakaknya.
“Itu MBak, lihat, yang dulu pengin aku pacari, ganteng kan?”
“Aku pernah ketemu ketika Kamila menikah. Saat itu mereka masih pacaran. Hei, kamu, kok kelihatannya masih menaruh perhatian?” kata Rosa sambil memelototi adiknya.
Hanna memeletkan lidahnya. Lalu tiba-tiba Kamila keluar.
“Rosa? Kamu sama Hanna?”
“Kebetulan pas dia pulang, lalu nginep di rumah aku.”
“O, kamu teman kuliah Damian ya?”
“Bukan Mbak, hanya se kampus, beda jurusan.”
“Selamat ya Mil, atas lahirnya anak kamu.” kata Rosa sambil mengulurkan bungkusan besar.
“Terima kasih banyak. Aduh, bawa apa nih?”
“Hanya sekedar oleh-oleh buat si kecil.”
“Ini anakmu sudah besar, montok bener pipinya. Ayo ikut tante,” kata Kamila sambil mengulurkan kedua tangannya ke arah si kecil Rangga. Tapi Rangga menolak, memilih bersembunyi di dada ibunya.
“Ouw, belum kenal tante ya? Lama nggak ketemu, tahu-tahu sudah gede, ya.”
“Dia sudah bisa mengenal bahwa aku lah ibunya. Jarang sekali dia mau diajak orang yang belum pernah dia kenal.”
“Padahal waktu baru lahir aku sudah menggendongnya lhoh.”
“Iya juga sih.”
“Menyenangkan sekali ya Ros, punya anak bayi. Sekarang aku bisa merasakannya. Anak adalah karunia yang indah.”
“Walau bukan anak kandungku, tapi aku merasakannya seperti darah dagingku. Aku akan mencintainya seperti aku lah yang melahirkannya.”
“Betul. Kamu merawatnya dengan sangat baik. Bagaimana kabar ibu kandungnya?”
“Nggak tahu. Begitu anaknya lahir dia sudah langsung pergi begitu saja. Aku heran, tak ada sedikitpun rasa sayang kepada anaknya. Tapi ya sudah, memang bayi itu adalah hadiah untuk aku. Barangkali ibunya sudah kembali mendapatkan kehidupan lamanya, bergelimang harta.”
“Dan dosa juga,” tukas Kamila.
“Ya sudah, biarkan saja. Bagiku, yang penting adalah menyelamatkan anaknya. Oh ya, mana Raya tadi?”
“Dia itu keasyikan menggendong keponakannya, sehingga tak mau melepaskannya, kecuali kalau dia sedang nangis karena lapar.”
“Minum ASI kan?”
“Iya dong, sayang kalau ASI nya terbuang.”
“Sayang sekali aku jadi tak bisa memberikan ASI. Bukan aku yang melahirkan, mana keluar yang namanya ASI?”
“Tidak apa-apa Ros, banyak susu formula yang tetap bagus. Buktinya anak kamu sehat dan menggemaskan.”
“Iya sih, mau bagaimana lagi?”
“Hanna kapan menikah?” tanya Kamila kepada Hanna.
Hanna hanya tersenyum.
“Belum menemukan yang cocok Mbak.”
“Jangan terlalu memilih, yang penting dia baik, dan mencintai kamu. Kalau menikah dengan orang yang tidak mencintai, malah membuat sakit hati nantinya.”
“Doakan saja Mil. Lagian sekarang dia biar menyelesaikan kuliahnya dulu.”
“Tentu, aku doakan.”
“Ternyata ada nak Rosa, Hanna juga?” tiba-tiba bu Rahman muncul dari pintu, Rosa dan Hanna segera menyambut tangan bu Rahman dan menciumnya.
“Ini kami sudah mau pulang, Tante,” kata Rosa.
“Kenapa buru-buru? Makan siang di sini saja, aku baru membantu bibik memasak, sebentar lagi pasti matang.”
“Maaf Tante, sebentar lagi mas Rama pasti pulang makan siang, kalau tidak ketemu anaknya, bingung dia,” canda Rosa.
“Oh, iya, tante mengerti. Anakmu lucu dan menggemaskan ya. Lalu kapan Hanna menyusul?”
“Nanti tante, biar menyelesaikan kuliah dulu. Ayuk kita pulang Han,” kata Rosa sambil berdiri.
“Mana Raya? Aku pamit Ray!” teriak Rosa.
“Raya muncul, sendirian.”
“Mau pulang Mbak?” tanya Raya.
“Iya, lain kali kalau mas Rama libur, main lebih lama. Kamu sudah mau pulang?”
“Nanti sore, Mbak.”
“Ya sudah, hati-hati. Mana Damian?”
“Lagi nungguin keponakannya,” jawab Raya.
Bu Rahman tampak merengut. Dia berbisik di telinga Rosa.
“Memang dia tuh sombong.”
Rosa mengerutkan keningnya.
***
“Heii, katamu mau pulang, ibu sudah menanyakan kamu tuh, kok malah ngelamun?” tegur Rosa ketika Hanna melamun sejak kepulangannya dari rumah Kamila.
“Nggak nyangka ketemu Damian di sana.”
“Memangnya kenapa? Katanya kamu sudah melupakannya.”
“Ketika tidak bertemu sih, iya. Tapi ketika tiba-tiba ketemu, jantung Hanna nih masih berdebar-debar.”
“Hanna!” Rosa memelototi Hanna. Tampak sekali Rosa tidak suka.
“Dia ganteng sekali kan Mbak?”
“Mbak sudah pernah berjumpa ketika mereka belum menikah. Memangnya kenapa? Dia itu milik orang, kamu tidak boleh memikirkannya,” kata Rosa dengan wajah bersungguh-sungguh.
“Gantengnya itu, nggak nguwatin,” Hanna ngeyel.
“Dia saja nggak perhatian sama kamu, kenapa kamu masih memikirkannya. Malu ihh!”
“Perasaanku ini lho Mbak. Nggak bisa melupakannya. Masih sering kebawa mimpi, tahu!”
“Memalukan. Dengar ya, tadi bu Rahman bilang kalau Damian itu sombong. Tampaknya keluarga Rahman tidak suka sama dia.”
“Ya sudah, kalau nggak suka, berikan saja sama Hanna.”
Hanna benar-benar tak tahu malu. Tapi Rosa menatapnya dengan marah.
“Kalau kamu teruskan perasaan kamu yang ngelantur itu, kamu bisa gila. Sekarang saja kamu sudah seperti gila,” kata Rosa sambil meninggalkan adiknya sendirian.
“Hanna memang tergila-gila. Carikan dong, yang seperti dia gantengnya,” katanya tanpa malu, tapi Rosa membiarkannya.
***
Sore itu Damian dan Raya pulang. Abi mengantarkannya sampai bandara.
“Apa yang ibu katakan, jangan diambil hati ya Dam,” kata Abi setelah sampai bandara. Raya sudah tampak segar setelah sejak malam harinya sampai seharian selalu minum obatnya.
“Iya Mas, aku juga tidak menganggapnya sebagai hal yang menyakitkan, aku anggap biasa saja. Kalau ibu bilang saya miskin, mengapa aku harus marah atau sakit hati, kalau itu memang kenyataannya?”
“Kamu jangan merendah begitu. Aku tahu, kamu pasti punya sesuatu,” kata Abi memancing.
“Tidak Mas, aku masih seperti dulu. Aku hanya berusaha untuk menyenangkan Raya. Raya begitu tulus menerima keadaan saya, tapi saya berjanji akan terus membahagiakannya.”
“Aku akan selalu berdoa untuk kamu. Segera selesaikan kuliah kamu, aku akan membantu kamu mencari pekerjaan yang bagus.”
“Terima kasih banyak Mas. Hal yang membesarkan hati saya ialah, bahwa bapak, mas Abi dan mbak Mila selalu mendukung saya. Dan yang membuat saya bahagia ialah bahwa Raya juga sangat mencintai saya,” kata Damian sambil merangkul Raya.
“Semoga kalian selalu bahagia, dan berhasil menundukkan hati ibu, pada suatu hari nanti.”
“Aamiin.”
Abi melepas adik iparnya dengan rasa haru. Masih ada pertanyaan yang belum terjawab, bahwa sebenarnya Damian punya harta, tapi Damian tak ingin menunjukkan kesombongan dan kebanggaannya.
***
Bu Rahman duduk di teras, mencari angin. Itu yang dikatakannya ketika suaminya bertanya, tapi sebenarnya dia sedang memikirkan sesuatu.
“Pak, coba Bapak duduk di sini sebentar. Ibu mau bicara.”
“Bicara apa lagi, aku mau mandi nih.”
“Sebentar saja.”
Pak Rahman duduk di depan istrinya.
“Ibu memikirkan apa?”
“Ibu kok berpikir begini. Bukan karena ibu benci, tapi ibu hanya khawatir saja.”
“Soal apa nih?”
“Itu lhoh, Damian. Dia bisa kuliah, bisa naik pesawat pulang pergi, jangan-jangan dia mencari uang dengan menggadaikan rumahnya.”
“Ini apa lagi, ibu tuh. Kok ya ada saja yang dipikirkan tentang Damian, dan semuanya nggak ada baik-baiknya.”
“Dengar ya Pak, namanya orang tua itu pasti anaknya yang dipikirkan. Kalau sampai Damian mendapatkan uang dengan menggadaikan rumah, bukankah setiap bulan dia harus membayar atau mencicil hutangnya? Lha gaji pegawai bengkel itu berapa? Untuk makan, untuk bayar hutang. Akhirnya kan Raya juga nanti yang ikut susah. Ya kan?”
“Bu, jadi orang itu jangan suka berpikiran buruk tentang orang lain. Ibu itu diam-diam menyakiti hati ibu sendiri lhoh. Kesal, hati penuh dugaan-dugaan, curiga, lha itu apa tidak memberatkan hati? Dan kalau hati selalu kesal, bisa jadi penyakit lhoh Bu.”
“Ibu itu memikirkan Raya. Kalau hidupnya sengsara bagaimana? Bapak tahu kan, kemarin itu sakit kekurangan darah? Itu karena kurang makan, hanya saja mereka menutupinya.”
“Dengar ya, Raya itu tidak kekurangan darah, tapi tekanan darahnya rendah. Itu tidak sama. Dan buktinya mereka baik-baik saja. Senang, bahagia.”
“Ya malu lah, mengatakan bahwa hidupnya sengsara. Apa lagi sudah nekat melakukan sesuatu yang semuanya adalah di luar perhitungan.”
“Susah ngomong sama Ibu. Aku mau mandi saja.”
“Kenapa Bapak tidak bertanya, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu? Kalau benar dengan berhutang apa lagi menggadaikan rumah, kan kita bisa membantu.”
“Mengapa kita harus bertanya tentang bagaimana dia mendapatkan uang? Itu kan menyinggung perasaan Damian. Lagi pula kita akan membantu? Ibu kira mudah memberikan sesuatu kepada Damian? Sejak awal dia bilang tidak suka dibantu. Jadi ya biarkan saja dia berusaha sebisa dia dapat melakukannya.”
“Yang ibu pikirkan itu Raya.”
“Sudah. Mengapa ibu memikirkan Raya? Raya sudah punya suami, biar suaminya yang memikirkan.”
”Bapak kok gitu.”
“Bapak mau mandi. Gerah,” kata pak Rahman sambil menjauh.
“Huuh, heran deh, kok nggak ada yang mendukung ibu sih, padahal yang ibu pikirkan itu kan demi anak,” kesal bu Rahman, tapi tak ada lagi yang mau mendengarkan.
***
Damian menyuruh Raya segera istirahat, begitu sampai di rumah. Tapi Raya merasa bahwa dirinya baik-baik saja.
“Kamu itu susah dibawa ke dokter, tapi tidak mau menurut kalau diberi tahu.”
“Dam, aku ini tidak apa-apa, sungguh. Lihat, apakah wajahku kelihatan seperti orang sakit?”
“Memang tidak, tapi apa susahnya beristirahat? O, aku tahu, minta digendong ya?”
“Iih, apa sih.”
Tapi Raya dibuat tak berkutik ketika Damian tiba-tiba sudah menggendongnya ke dalam kamar, dan menidurkannya di ranjang.
“Begitu kan maunya? Baiklah, tidak apa-apa setiap kali menggendong kamu. Aku suka melakukannya kok.”
“Dam, aku merasa bahwa kamu terlalu memanjakan aku.”
“Siapa bilang? Kan kamu itu menjadi istri aku dengan keadaan kurang makan, itu sebabnya tekanan darah kamu terlalu rendah. Sebenarnya memang benar kan, soalnya kamu kalau makan terlalu sedikit, sayuran juga nggak begitu suka, minum cuma sedikit. Padahal minum air putih itu kan penting.”
“Perutku ini kecil, nggak muat kalau diisi makanan terlalu banyak.”
“Apa karena lauknya yang kamu sebenarnya nggak cocok, lalu kamu pura-pura saja suka. Aku nggak mau kamu begitu. Masak yang kamu suka juga, jangan aku yang kamu pikirkan. Aku sudah lama menjadi orang tak punya, jadi makan makanan sederhana itu sudah biasa. Beda dengan kamu.”
“Kok panjang sih, kuliahnya sore ini?”
“Kamu ngeyel sih. Sekarang tidurlah, aku temani ya. Ingat, besok harus masak makanan kesukaan kamu. Ayo tidur, aku temani nih."
“Hm, nggak bakalan jadi tidur kalau kamu temani.”
Damian tertawa.
“Kok bisa?”
“Kamu itu kan usil, mana bisa aku tidur.”
“Baiklah, jadi aku keluar saja, kalau begitu?”
“Dam, sebenarnya aku mau bicara sama kamu.”
“Bicara apa? Mintalah apa saja, asal jangan minta agar aku menurunkan rembulan. Soalnya rembulan itu sudah ada di dekatku setiap saat.”
“Tuh kan, mulai deh.”
“Baiklah, katakan, kamu mau ngomong apa.”
“Aku bekerja, boleh?”
“Apa? Siapa suruh kamu bekerja? Nggak, nggak boleh.”
“Sayang dong, aku sekolah, kalau tidak diamalkan ilmunya.”
“Tidak Raya, nanti aku dikira mempergunakan kamu untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga kita. Kalau hal itu kamu lakukan, maka ibu kamu akan berteriak lebih keras. Mengerti, kamu?”
Raya mengangguk. Apa yang dikatakan Damian memang benar.
“Diam saja di rumah, sedang aku pikirkan untuk membuat sesuatu agar kamu punya kesibukan.”
“Apa tuh?”
“Bagaimana dengan … membuka salon kecantikan?”
“Yaaah, aku kan nggak bisa mendandani orang. Itu memerlukan keahlian khusus.”
“Kamu tidak harus bekerja sendiri, ada orang yang bisa melakukannya, dan kamu adalah bos nya.”
***
Besok lagi ya.
No comments:
Post a Comment