SEBUAH PESAN 60
(Tien Kumalasari)
Damian berdiri tegak di pintu, tapi ketika kemudian pak Rahman melihatnya, dengan isyarat sebelah tangannya, pak Rahman memintanya duduk di hadapannya. Damian dengan ragu mendatanginya. Tapi kemudian dia merasa bahwa tindakannya menemui ayah mertuanya ini adalah tidak benar. Dia hanya tergerak ingin mengetahui tentang apa kesulitan yang dialami sang ayah mertua, tapi ketika melihat suasana tak mengenakkan di ruangan itu kemudian ia bertanya kepada dirinya sendiri, bahwa tak seharusnya dia melibatkan diri dalam usaha bisnis mertuanya. Bukankah belum tentu pak Rahman berkenan melihatnya ikut campur? Damian ingin sekali keluar dari ruangan itu, tapi sudah kepalang basah, dan tampaknya pak Rahman juga tak keberatan dia duduk di depannya.
“Mana Marsono. Panggil dia sekarang,” katanya melalui interkom yang ditujukan entah kepada siapa.
“Apa? Tiga hari tidak ke kantor? Tadi pagi aku masih menelponnya dari rumah, dia bilang ada di kantor. Apa? Dia bohong? Kurangajar. Suruh orang melaporkannya pada polisi. Segera.”
Pak Rahman meletakkan interkom lalu mengusap wajahnya kasar.
“Maaf Pak, apa saya mengganggu?”
“Tidak … tidak. Kamu dari mana?”
“Saya … “ tiba-tiba Damian merasa ragu untuk mengatakan bahwa dia memang ingin menemuinya.
“Sebenarnya … saya hanya mampir, sebelum berangkat kuliah.”
“Oh. Raya baik-baik saja?”
“Ya, dia semakin sehat, sudah bisa makan banyak.”
“Muntah-muntah?”
“Tidak Pak, tidak lagi.”
“Perusahaan semakin kacau. Aku salah. Sudah merasa sejak setahun lalu, bahwa perusahaan ini mundur, tapi aku tetap melepaskannya, dan tetap menyerahkan kepada dia untuk mengelolanya.”
“Tidak berhasil?”
“Perusahaan ini kolaps. Aku baru saja bicara dengan auditor. Perusahaan benar-benar hancur, bahkan punya hutang sebanyak delapan ratus juta rupiah.”
“Ya Tuhan.”
“Kas kosong, dan aku tidak bisa apa-apa, kecuali menjual bisnis ini kepada pihak lain.”
“Jangan Pak, sudah berjalan bagus. Sayang kalau dijual.”
“Mau bagaimana lagi? Aku ingin meminta bantuan Abi, tapi tidak enak juga. Dia juga sedang belajar meneruskan bisnis ayahnya. Jadi kemungkinan besar lebih baik aku lepaskan saja bisnis ini. Aku sudah lelah, walau sebenarnya sayang sekali. Perusahaan ini didirikan oleh almarhum bapak, lalu menjadi besar dan diwariskannya sama aku. Kalau sampai aku menjualnya, sebetulnya aku merasa sayang juga, dan merasa berdosa pada almarhum, karena tidak bisa menjaganya dengan baik.”
Pak Rahman tampak menghela napas lelah.
“Dulu aku pernah punya pemikiran, perusahaan ini akan aku serahkan kamu untuk mengelolanya, tapi karena kamu masih kuliah, aku tahan keinginan itu.”
Pak Rahman kembali menghembuskan napas panjang.
“Hanya saja, sekarang tidak mungkin, karena perusahaan sudah rusak seperti ini.”
Damian menatap mata tua yang tampak lelah itu dengan perasaan iba.
Lalu tiba-tiba timbul keberaniannya.
“Kalau Bapak setuju, biarkan Raya mengelolanya.”
Pak Rahman terkejut.
“Dam, sekarang sudah tidak mungkin lagi. Perusahaan ini sudah hancur. Siapa yang bisa melanjutkan usaha dengan kondisi hancur dan bahkan menanggung hutang? Dijual itu hal terbaik yang aku pikirkan.”
“Saya akan bicara sama Raya. Saya kira Raya akan bisa mengatasinya,” kata Damian mantap.
“Raya mana mungkin punya uang sebanyak itu? Walau dia punya salon, apa mungkin dia bisa melakukannya?”
“Raya adalah sarjana managemen, apakah Bapak lupa?”
“Aku tahu, tapi masalah hutang itu kan berat.”
“Bapak, sekarang lebih baik pulang saja dan melepaskan semua urusan perusahaan. Saya akan bicara dengan Raya. Saya yakin Raya bisa mengatasinya.”
Pak Rahman menatap menantunya tak percaya. Tapi Damian justru menatapnya dengan senyuman mantap.
“Urusan karyawan yang tampaknya kabur itu akan menjadi proses hukum, polisi yang akan menangkapnya.”
“Tapi jangan berharap dia masih memiliki uang untuk dikembalikan. Ia sudah menghambur-hamburkannya dan bermain perempuan. Itu yang sudah aku dengar,” kata pak Rahman yang mengira bahwa Damian merasa, dengan ditangkapnya Marsono maka uang perusahaan akan kembali.
“Tidak, bukan mengharapkan uangnya kembali, hanya berharap dia mendapatkan pelajaran. Sekarang lebih baik Bapak pulang dan beristirahat,” kata Damian sambil berdiri.
Pak Rahman terus menatapnya, seperti baru saja bangun dari tidur dengan mimpi buruknya.
“Saya akan ke kampus sebentar, lalu akan bicara dengan Raya. Segera, saya akan mengabari Bapak. Sekarang saya permisi dulu.”
Damian meraih tangan pak Rahman, lalu menciumnya, kemudian berlalu.
Pak Rahman menatap punggung tegap itu dengan berbagai perasaan yang memenuhi benaknya. Apa benar Damian bisa mengatasinya? Apa lagi Raya. Dia masih sangat muda. Tapi apa yang dikatakan Damian, sedikit membuat dadanya terasa lega. Paling tidak ada yang membantu memikirkannya.
***
Masih siang ketika pak Rahman pulang ke rumah. Wajahnya tampak kusut dan lelah. Bu Rahman yang sedang duduk di ruang tengah, terkejut melihat sang suami sudah pulang di saat siang. Ia segera berteriak memanggil bik Sarti.
“Sarti, siapkan makan siangnya. Rupanya tuan pulang siang ini.”
“Baik, Nyonya,” jawab bik Sarti sambil berteriak dari belakang.
Pak Rahman naik ke teras, duduk, kemudian mengusap wajahnya lalu menyandarkan tubuhnya di kursi.
“Bagaimana keadaan perusahaan, Pak? Bisa teratasi?” tanya bu Rahman yang kemudian menghampirinya.
Pak Rahman menatap langit-langit rumah, lalu memejamkan matanya. Ia tak sampai hati mengatakan keadaan usahanya yang berantakan. Khawatir membebani pikiran sang istri, sementara dokter selalu berpesan agar perasaan hati sang istri harus benar-benar dijaga.
“Bapak tampak lelah.”
“Iya, lelah, tapi tidak apa-apa.”
“Benarkah tidak apa-apa?”
“Baik-baik saja, semoga segera teratasi.”
“Tapi Bapak tampak tidak baik-baik saja.”
“Yah, maklum lah Bu, bapak kan sudah tua, seharusnya sudah tidak memikirkan itu semua. Saatnya istirahat.”
“Bukankah ada yang Bapak percaya untuk mengelolanya?”
“Ada sih. Tapi kan tidak semua irang bisa mengendalikan sebuah usaha.”
“Maksudnya … dia tidak bisa? Marsono kan?”
“Kurang terampil,” hanya itu yang dikatakan pak Rahman.
“Apakah Bapak ingin menggantikannya dengan orang yang lebih terampil?”
“Tentu saja. Sedang bapak pikirkan. Mungkin Damian akan bisa mengatasinya.”
“Apa? Bapak jangan bercanda. Ini sebuah perusahaan besar. Damian belum berpengalaman dalam mengelola sebuah usaha, nanti malah bangkrut. Damian bisa apa?” kata bu Rahman yang tetap belum bisa menyukai menantunya.
Pak Rahman tak menjawab. Istrinya takut usahanya bangkrut? Padahal itu sudah terjadi.
“Mungkin mobil kita akan aku jual.”
“Mobil, dijual? Bapak mau pakai apa?”
“Ada mobilnya Raya yang dia tidak mau memakainya.”
“Mengapa harus menjual mobil?”
“Yah, banyak alasannya. Tapi Ibu tidak usah ikut memikirkannya. Ini urusan bapak. Tenanglah, semua akan baik-baik saja,” katanya sambil mengangkat badannya.
Bik Sarti keluar dengan membawa segelas jus jambu.
“Silakan Tuan, setelah itu, Tuan bisa makan, semua sudah Sarti siapkan.”
“Baik, Sarti, aku habiskan jus nya ini dulu, baru makan.”
“Baik,” kata bik Sarti sambil beranjak ke belakang.
Pak Rahman menyesap jus jambunya, dan tampak segar.
“Bapak akan kembali ke kantor, setelah makan?”
“Tidak, aku ingin istirahat dulu.”
“Baguslah, jangan terlalu capek. Sekarang ayo kita makan.
Pak Rahman mengikuti sang istri yang sudah lebih dulu masuk ke rumah. Apa yang dikatakan Damian selalu diingatnya. Benarkah Damian sanggup mengatasi semuanya? Entahlah. Dia sudah memutuskan, kalau memang sudah tidak mampu atau susah tertolong, dia akan menjualnya, lalu istirahat saja di rumah.
***
Sore hari itu sepulang dari kuliah, Damian menceritakan perihal usaha ayah mertuanya yang hampir tidak tertolong. Uang perusahaan menipis, dan masih punya hutang delapan ratus juta rupiah. Dulu, barangkali uang segitu bukan masalah bagi pak Rahman. Tapi sekarang, tak ada lagi yang bisa diharapkan.
Raya merasa sangat prihatin mendengarnya. Usaha itu adalah warisan almarhum kakeknya, yang dipercayakan kepada ayahnya agar dikelola sebaik-baiknya. Memang sih, pada awalnya baik-baik saja, dan kelihatan sangat maju pesat. Tapi tiba-tiba seperti lampu yang kehabisan minyak, nyala usaha itu berkedip-kedip, nyaris mati.
“Apa yang bisa kita lakukan?”
“Kamu putrinya. Kamu yang harus bisa mencegah kejatuhan usaha itu.”
“Aku? Apa kamu bercanda?”
Damian tertawa. Merangkul istrinya dengan mesra.
“Ray, kita masih punya sekitar satu milyar lebih, setelah sebelumnya kita pergunakan untuk usaha salon.”
“Apakah pemasukan salon bisa menutup hutang perusahaan bapak?”
“Tidak. Belum bisa. Bukankah aku tadi bilang tentang uang kita? Kita masih bisa menutup hutang itu, bukan?”
“Dam, itu uangmu, yang pasti akan kamu pergunakan untuk banyak hal. Kuliah kamu juga belum selesai.”
“Ray, itu masih cukup. Jangan biarkan bapak juga ikut hancur karena usahanya tidak tertolong. Kamu bisa melakukannya. Bawa uang itu kepada Bapak, lalu kamu tawarkan kepada Bapak agar kamu diijinkan untuk ikut mengelolanya.”
“Kamu yakin, aku bisa melakukannya?”
“Kamu pasti bisa. Kamu punya bekal untuk itu.”
“Sudahkah kamu pikirkan tentang uang itu? Bukankah dengan begitu uang kamu akan habis?”
“Bukan uang aku, tapi uang kita. Bukankah kita bisa makan cukup dengan hasil salon itu? Lalu apa lagi kebutuhan kita? Masih ada sisa untuk keperluan anak kita. Yakinlah bahwa kita tidak akan kehilangan dengan membantu orang tua kamu.”
Raya memeluk suaminya dengan penuh rasa haru. Sang suami yang selalu tersakiti karena ulah ibunya, sekarang akan menjadi pahlawan yang mempertahankan tetap tegaknya usaha ayahnya. Raya merasa, bahwa suaminya adalah laki-laki yang luar bisa.
“Dam, tahukah kamu, bahwa kamu adalah karunia terbesar dan terindah dalam hidup aku?” bisik Raya sambil merangkul suaminya lebih erat.
“Kamulah karunia terbesar dan terindah untuk hidup aku. Kita bisa menjalani semuanya dengan sangat baik. Melewati semua ujian yang kita terima dengan segala keikhlasan. Dan percayalah bahwa kita akan memetik buah manis dari benih cinta yang kita taburkan. Suka dan duka akan kita jalani bersama. Jangan takut kehilangan harta untuk sesuatu yang mulia,” bisik Damian di telinga sang istri, lalu dikecupnya ujung kepalanya dengan manis.
***
Bu Rahman sedang duduk di tepi kolam, di sebuah batu yang memang dipergunakan untuk tempat duduk. Angin sore yang semilir, menghilangkan gerah di siang harinya, dan menggantikannya dengan kesegaran, ketika angin itu mengelus dedaunan di pohon rindang, dan bunga-bunga yang berayun pelan oleh hembusannya.
Tiba-tiba rasa rindunya kepada Raya menyisiri hatinya. Dulu, Raya sangat suka duduk di tepi kolam ini, memberi makan ikan-ikan koi yang berseliweran lincah di dalam kolam, manatap bunga-bunga mekar yang menghiasi seisi taman. Bu Rahman juga ingat, akan memperluas taman bunga kesukaan gadis bungsunya, dengan mempergunakan lahan yang masih ada di samping rumah. Tiba-tiba wajah bu Rahman murung. Kegagalannya membangun taman yang baru itu urung, gara-gara Damian pamit keluar dari pekerjaannya.
“Huhh, akal bulus dia. Supaya bebas merayu anak gadisku,” gerutunya kesal.
Tiba-tiba ia mendengar sepeda motor memasuki halaman. Suara mesinnya yang keras, menunjukkan bahwa yang masuk adalah sepeda motor butut milik menantunya. Bu Rahman menghela napas kesal. Bergeming di tempatnya semula, tak ingin melihat menantunya datang.
Bu Rahman masih menatap ikan-ikan koi yang tadi ditaburinya makanan, ketika kemudian mendengar langkah bik Sarti mendekat.
“Nyonya, ada tuan Damian dan non Raya yang datang,”
Bu Rahman menoleh sejenak, tapi tak hendak beranjak.
“Sembarangan dia itu. Istri sedang hamil diboncengin sepeda motor butut. Awas saja kalau ada apa-apa,” omelnya.
“Rumah tuan Damian kan tidak jauh dari sini Nyonya, jadi tidak apa-apa kalau membonceng sepeda motor.
“Tidak apa-apa … tidak apa-apa ….”
“Nyonya ditunggu tuan di ruang tamu.”
"Aku di sini saja."
“Tapi tuan bilang, Nyonya diminta datang ke sana,” bik Sarti seperti memaksa.
Tanpa menjawab, bu Rahman berdiri. Wajahnya gelap ketika berjalan menuju rumah.
***
Ketika bu Rahman akhirnya menyusul ke ruang tamu, suami dan anak menantunya sedang membicarakan sesuatu. Sesuatu yang kemudian membuatnya terkejut.
“Bapak tidak usah khawatir. Hutang perusahaan akan dibayar oleh mas Damian,” kata Raya sambil bergayut di lengan ayahnya.
Bu Rahman berdiri tegak di pintu. Hutang perusahaan akan dibayar Damian? Jadi perusahaan punya hutang? Mengapa suaminya tak mengatakan dan justru bilang bahwa perusahaannya baik-baik saja? Lalu Damian akan membayarnya?
“Delapan ratus juta itu banyak, aku akan menjual mobil aku dulu, barangkali bisa sedikit meringankan,” kata pak Rahman.
Bu Rahman melongo. Jadi perusahaan punya hutang delapan ratus juta?
“Jangan dijual Pak, nanti kalau Bapak mau pergi ke mana-mana, bagaimana. Biarlah Raya menyelesaikan semuanya,” sambung Damian.
Sebuah kekompakan yang luar biasa. Kalau Raya mengatakan Damian akan membayarnya, maka Damian mengatakan bahwa Raya yang akan menyelesaikannya.
Bu Rahman berpegangan pada pintu penghubung ruang tengah itu, karena merasa bahwa bumi tempatnya berpijak seperti bergoyang.
***
Besok lagi ya.
No comments:
Post a Comment